BAB III PERUBAHAN POLA KONSUMSI PEMUDA DI ERA
B. Perubahan Pola Konsumsi Pemuda dengan E-wallet
1. Media Iklan Sebagai Daya Penarik Masyarakat Konsumeris
Pemuda sebagai generasi yang melek teknologi dan internet masa kini menjadi sektor pemilik smartphone, pengguna media sosial, dan pemilik akun e-wallet terbanyak dibanding generasi lainnya. Pemuda yang sehari-harinya akrab dengan media sosial dan internet akan mendapati dirinya berada di tengah-tengah sistem sosial dan komunitas masyarakat
66
yang memperlihatkannya tentang berbagai jenis konsumsi. Tidak hanya memperlihatkan jenis konsumsi, akan tetapi citra yang terbangun dari jenis konsumsi itu juga akan mempengaruhinya.
Pengaruh teknologi dalam hidup, kita rasakan selama 24 jam dalam 7 hari, artinya berturut-turut kita menggunakan berbagai jenis teknologi untuk menyokong kehidupan kita agar lebih baik dan efisien. Hadirnya artificial intelligence atau biasa disebut juga dengan AI, internet of things atau IoT, dan computer vision atau CV adalah 3 hal mutakhir di tahun 2020 yang penerapannya sangat membantu kehidupan manusia.
Jika dahulu produsen hanya bisa memasarkan produknya di kolom iklan koran dan TV saja, saat ini produsen bisa memasarkan produknya di ponsel pintar, internet, hingga pemasangan billboard jualan di jalan yang ramai. Sign value dan symbol value yang ditekankan oleh Baudrilla rd sebagai inti konsumsi masyarakat konsumeris terdapat pada iklan yang sering kali kita lihat. Publikasi iklan di berbagai media tanpa mengena l waktu dan tempat, seakan membuat masyarakat menjadi terkungkung dan terisolasi dengan citra yang muncul dari tanda-tanda iklan produk tersebut. Iklan juga berfungsi untuk menghilangka n nilai guna atau use value dari suatu objek, sehingga konsumen tidak lagi mengonsumsi suatu produk dari kegunaannya, melainkan berdasarkan citra (image) produk tersebut (Murti, 2005:39).
Bahasa yang persuasif, tampilan yang menarik, ditambah dengan selebriti yang menjadi objek iklan dalam memasarkan produk membuat
67
produk tersebut seakan menjadi keharusan bagi masyarakat untuk membeli dan memilikinya, sehingga status sosial dirinya akan naik dan terjaga. Hidup individu menjadi tidak bebas, karena akan selalu didikte oleh barang karena ia harus terus menerus memenuhi keinginannya untuk memiliki barang yang menjadi tren saat ini (Pawanti, 2013). Masyarakat seakan teralienasi dengan serbuan iklan tanpa henti. Istilah “korban iklan” pun tak ayal kita temui saat ini. Iklan yang fungsinya sebagai sarana promosi produk malah memuat pesan konsumerisme yang membuat masyarakat melazimkan konsumsi secara terus menerus yang akan melahirkan identitas baru, status sosial, serta gaya hidup konsumtif. Kita menghadapi masyarakat yang konsumsinya menjadi penandaan keberadaan seseorang.
Iklan jelas menjadi salah satu daya tarik bagi konsumen untuk membelanjakan pendapatannya ke produk tertentu. Akan tetapi, berkembangnya zaman diiringi juga dengan berkembangnya pola pikir konsumen serta produsen. Konsumen tak lagi hanya sekedar melihat dari sisi tampilan dan bahasa iklan, namun juga dari sisi ekonomis dan keuntungannya, maka dari itu diskon, cashback dan promo juga memilik i andil besar dalam berlangsung proses konsumsi. Seperti yang diungkapka n informan W bahwa banyak promo khususnya di bidang makanan membuatnya sering tak berpikir panjang dalam mengeluarkan uang, “iya, karena banyak promo khususnya makanan, jadi tanpa pikir panjang untuk top up saldo tanpa cek budgetnya.” Hal serupa dialami Ang yang sering
68
kali membeli sesuatu yang tidak dibutuhkannya, namun diskon yang terbatas pada waktu menariknya untuk membeli, “aku mudah banget tergiur dengan iklan, karna kaya yang aku bilang, sebenernya aku ga butuh-butuh banget, tapi karna ini diskon dan kapan lagi dia diskon, ya yaudah beli beli aja.” Hal ini telah diuji dari sisi psikologis (dilansir dari enterprise.shef.ac.uk) bahwa manusia akan cenderung membeli sesuatu saat itu juga karena adanya keterbatasan waktu. Waktu yang minim dan mepet akan membuat konsumen menjadi harus membeli dan membayar saat itu juga jika tak mau kehabisan barang tersebut. Informan Z juga melakukan hal yang sama dengan Ang, promo, diskon, dan cashback adalah hal yang menariknya untuk mengonsumsi sesuatu. Biasanya hal itu dibarengi dengan pembayaran melalui e-wallet, “haha iya banget, kamu belum selesai nanya aja, aku udah mau langsung jawab, biasanya aku karena diskon dan cashback si, karena uang cashbacknya itu bisa aku manfaatin untuk beli pulsa.” Menarik untuk ditilik lebih jauh, karena pembayaran dengan e-wallet yang memberikan efisiensi serta keuntunga n membuat gaya hidup masyarakat kita menjadi banyak berubah, infor ma n G bahkan mengungkapkan bahwa alasannya membeli sesuatu dilandas i promo dan diskon, “yang mempengaruhi saya untuk membeli biasanya adalah promo dan diskon.” Informan S juga mengungkapkan bahwa dirinya sangat menyenangi diskon dan cashback, “DISKON dan CASHBACK?? YES! YES! (jawabnya sambil sumringah).”
69
Gambar III.B.1.Iklan Poster Makanan dari OVO dan GoPay
Sumber: Twitter GO-JEK dan OVO (diunduh pada 10 Agustus 2020)
Baudrillard yang mengawali konsep konsumerisme ini karena kritiknya atas konsep ekonomi Karl Marx tidak membuatnya membuang semua konsep kapitalis ala Marx ini. Menurut Baudrillard (1997:185), masyarakat konsumeris akan menjadikan iklan (advertising) sebagai guru dan teladan moral yang harus diikuti, padahal hal itu akan berujung pada gaya hidup hedonis. Gaya hidup hedonis menjadikan seseorang individualis dan mendasarkan identitasnya pada kepemilikan barang tertentu. Hal ini sangat mungkin terjadi karena dalam kapitalisme global, kegiatan produksi sudah bergeser dari penciptaan barang konsums i menjadi penciptaan tanda (Baudrillard, 1998:72-75). Atau dengan kata lain, kapitalisme global memfokuskan diri pada “manajemen konsumsi” (Kushendrawati, 2006). Lebih jauh lagi, iklan yang diproduksi oleh
70
produsen ini memuat tanda yang sengaja mereka buat lalu mereka sebarluaskan hingga akhirnya tanda-tanda tersebut secara halus masuk ke dalam pikiran konsumen yang menjadi target produsen.
Oleh Baudrillard, pemenuhan diri, kesenangan, kelimpahan, serta tentunya prestise adalah hal-hal yang dijanjikan produsen pada produk yang mereka tawarkan. Ironisnya, makna dari tanda yang dikonsumsi masyarakat konsumeris tidak didapat dari nilai guna (use value), akan tetapi malah didapat melalui sistem tanda itu sendiri (Piliang, 2004:118).