BAB III PERUBAHAN POLA KONSUMSI PEMUDA DI ERA
B. Perubahan Pola Konsumsi Pemuda dengan E-wallet
4. Perubahan Gaya Hidup
Plummer (1983:97) gaya hidup adalah bagaimana cara individ u menghabiskan waktu mereka (dalam beraktivitas), sesuatu yang mereka anggap penting dalam hidup (ketertarikan), serta apa yang mereka pikirkan tentang hal di sekitarnya. Gaya hidup dari mengonsumsi barang seperti mengikuti tren yang ada dari fesyen, perawatan badan, riasan, elektronik, kendaraan, berlangganan film dan musik secara online, hingga mengonsumsi jasa seperti menghabiskan waktu di luar untuk makan, minum, pergi ke tempat hiburan, mengikuti berbagai pengalaman sosial serta travelling adalah jenis-jenis gaya hidup masyarakat konsumeris yang banyak tinggal di area perkotaan. Hal ini sangat dimungkinkan karena kota didesain sebagai ruang konsumen (consumer space) yang diharapkan mampu memuaskan kebutuhan kelas menengah baru (Abdullah, 2007:33).
Berkembangnya zaman yang diiringi dengan berkembangnya teknologi membuat gaya hidup masyarakat juga mengalami perubahan. Salah satunya adalah tersedianya fitur pembayaran baru, yakni e-wallet, dompet digital yang memungkinkan kita untuk melakukan transaksi di mana pun, kapan pun dan pada transaksi apapun. Dikutip dari (Mufida h, 2006) pesatnya teknologi membuat hampir tidak ada batas geografis, etnis,
80
politik, dan sosial antara masyarakat yang satu dengan yang lain, terlebih dalam gaya hidup pola konsumtif. Pengaruh globalisasi dan modernisas i menjadi penyebab mobilitas sosial vertikal di masyarakat tumbuh menjadi lebih besar. Hal itu terjadi lantaran semua orang bisa dengan bebas menyalurkan pendapatan mereka ke berbagai jenis konsumsi. Konsumsi barang dan jasa yang di dalamnya sudah terpancar citra membuat tidak hanya golongan kelas atas melirik lalu ingin mencicipinya, akan tetapi golongan kelas menengah bahkan hingga kelas bawah ingin mencobanya. Sehingga gaya hidup konsumerisme tidak lagi dimiliki satu golongan, tapi juga ada di tiap golongan masyarakat.
Konsumerisme telah menjadi “cara hidup” atau the way of life (Miles, 2006: 3-4). Hal ini didukung dengan adanya perkembangan pada pembayaran era baru, yakni e-wallet. Hal ini seperti yang diungkapka n oleh informan W, “Perubahan yang saya rasa setelah ada e-wallet adalah suka beli sesuatu tanpa terpikir budget yang ditentukan tiap bulan, khususnya biaya untuk beli makan.” Informan I menyebutkan kemudahan yang diberikan e-wallet membuat gaya hidupnya jadi berubah, hasrat untuk terus mengonsumsi lagi dan lagi sering muncul, “e-wallet ini kan ngebuat lebih mudah dan lebih cepet kalo mau transaksi, jadinya pengen beli beli terus.” Dalam budaya masyarakat konsumeris, gaya hidup mendapat kedudukan yang istimewa, lantaran masyarakat konsumeris selalu berusaha mencari mode, gaya, serta kesan yang baru (Mufida h,
81
2006). Informan N bahkan menuturkan bahwa gaya hidupnya menjadi sangat berbeda semenjak ada e-wallet,
Hmm, kerasa lebih tu di makan ya. Dulu pas aku S1 kalau ga makan di tempat makannya, ya beli bahan terus olah sendiri kan, tapi setelah banyak menghitung, beli bahan-bahan makanan dan energi masak, bersih-bersih gitu juga harus disebut cost, kalau dihitung itu jatohnya lebih mahal dari beli di e-wallet. Jadi ada unsur praktis, ada promo-promo juga kan yang ngebuat aku sekarang berubah, yang mana promo itu kan bukan cuma murah tapi juga menguntungkan (wawancara dengan N, 03 Juni 2020).
Gambar III.B.4.1.Poster Cashback OVO
Sumber: www.ovo.id (diunduh pada 15 Agustus 2020) Kehadiran e-wallet sebagai moda pembayaran baru dirasa N sebagai salah satu perubahan gaya hidupnya. E-wallet dengan efisie ns i serta keuntungannya membuat N yang dulunya senang masak, memili h untuk memiliki gaya hidup yang simpel yaitu memesan makanan lewat aplikasi online lalu, makanan akan diantarkan ke depan kamar. Informa n Ad juga menuturkan perubahan gaya hidup yang ia rasakan, yaitu beralih dari pembayaran dengan kartu kredit menjadi pembayaran e-wallet, khususnya pada fitur pay later yaitu metode pembayaran baru yang memungkinkan konsumen untuk melakukan transaksi tanpa membayar di awal, tagihan akan diberikan di akhir bulan, “Ada sedikit perubahan,
82
apalagi dengan adanya pay later.” Tak jauh berbeda, informan F mengungkapkan terjadinya perubahan gaya hidup konsumsinya yang menjadi meningkat semenjak ada e-wallet, khususnya pada belanja dan transaksi online di luar makanan, “Frekuensi belanja online atau transaksi online aku meningkat, salah satunya adalah sekarang beli make up atau barang yang tidak langsung (di luar makanan) dikonsumsi biasanya lewat online.” Tidak hanya perubahan pada tingkat frekuensi belanja, tapi juga pada pemilihan tempat berbelanja. Belanja secara online menjadi piliha n pertama dari belanja secara langsung di toko. Hal berbeda dituturka n informan V bahwa sisi tidak mengeluarkan uang ‘secara riil/fisik’ yang ditawarkan e-wallet membuatnya menjadi terasa lebih mudah untuk bertransaksi,
Aku merasa kayak ga lagi melakukan pembayaran sih sangking gampangnya. Semua juga dalam satu device, di HP aja dan jujur aku suka yang lebih praktis sih emang. Jadi seneng pake e-wallet. Terus ga perlu ke ATM, nyari kembalian, bikin dompet tebal karena koin atau kertas selembaran haha, agak males sih (wawancara dengan V, 14 Juni 2020).
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan (Ramadani, 2016), secara psikologis, seseorang akan lebih mudah mengeluarkan uang dalam bentuk nontunai dibanding tunai dan kemudahan serta kecepatan yang ditawarkan e-money.
Perubahan pola konsumsi juga dirasakan informan Z yang menyatakan bahwa dirinya awalnya tak terlalu memikirkan pandangan orang lain, akan tetapi setelah pernah diberi komentar buruk terkait penampilannya, hal itu membuatnya menjadi lebih selektif dengan gaya
83
penampilannya yang membuatnya jadi orang yang mementingka n penampilan saat ini,
Hm, biasanya aku ngga terlalu pikirin apa yang orang pikirin tentang aku ya, jadi ya untuk prestise gitu ngga ya, tapi ya sebenernya semua orang itu kan pengen terlihat baik di hadapan orang-orang jadi ya kalau beli baju misal ya ga jelek-jelek amat lah, tapi ya ngga bagus-bagus amat yang sampe narik perhatian gitu. Jadi ya kalau aku beli itu, aku harus pikirin untuk diri aku dulu, kira-kira aku suka ga ya? jadi ya, terserah orang lain, suka atau ngga. Tapi dua tahun terakhir ini aku lagi seneng mikir banyak soal baju yang akan mau aku beli, karena aku pernah diomongin temenku karena bajuku ngga banget haha dan aku kaya sakit hati gitu, jadi ya sekarang untuk baju, aku suka mikir yaa ngga malu-maluin lah bajunya (wawancara dengan Z, 03 Juni 2020).
Berbeda dengan informan V yang menyadari bahwa selain memenuhi kebutuhan primer, dirinya juga memenuhi kebutuhan tersier yang sudah diatur dalam jadwal pengeluarannya,
Aku sadar kebutuhan aku. Ya adalah ya beberapa spendings memang sifatnya tersier, sesuatu yang aku inginkan bukan aku butuhin banget, untuk self-care haha. Tapi semua itu tetep under my control. Memang aku jadwalkan aja (wawancara dengan V, 14 Juni 2020).
Senada dengan informan V, informan N juga mengatakan bahwa konsums i barang yang dia lakukan biasanya berdasarkan keinginan untuk memberikan apresiasi pada dirinya setelah melewati atau melakuka n sesuatu, “itu biasanya ke lebih faktor keinginan si, biasanya aku ngasih reward ke diri sendiri. Reward tu ngasih penghargaan ke diri aku gitu. Biasanya bentuknya reward makanan si, aku makan enak apa gitu.”
Gaya hidup juga dibungkus dengan status kelas sosial ekonomi (Pawanti, 2013). Secara tak sadar, masyarakat konsumeris mula i
84
mengklasifikasi gaya hidup orang lain dan dirinya sendiri yang berujung pada penggolongan suatu kelas sosial ekonomi tertentu. Jika kita refleksi secara sadar, pakaian bertujuan menutupi dan melindungi tubuh kita dari cuaca yang terik dan hujan, akan tetapi berkembangnya gaya yang didukung dengan bertebarannya iklan, merek, dan tren yang dipakai oleh selebritis yang sering kita lihat setiap saat membuat kita melihat bahwa pakaian merepresentasikan pesan dan gaya tertentu. Dari satu klasifikas i itu, kita tidak lagi mendefinisikan seseorang, tapi juga turut mendefinisikan suatu kelas atau komunitas tertentu.
5. Keterkaitan Status Sosial dan Identitas Diri dengan Daya Konsumsi