• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu

Dalam dokumen Majalah Integritas Desember 2013 (Halaman 67-71)

”R

oh hukum itu harus berdasarkan etika,” kata Prof Dr Jimly Ashiddiqie kepada Majalah INTEGRITAS di ruang kerjanya, Gedung Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP), Jakarta Pusat.

Jimly adalah guru besar hukum tata negara yang namanya cukup dikenal. Ia tercatat pernah menjabat di sejumlah lembaga negara. Ilmu hukumnya tidak terbantahkan lagi. Banyak konsep hukum yang sudah dihasilkan guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia ini.

Ke depan, hukum dan etika harus bekerja sama, harus dipahami sebagai sistem yang saling mengisi. Kekurangan hukum harus diisi oleh etika. Apalagi beban hukum sekarang ini sudah terlalu berat, semua orang meyakini bahwa hukum menjadi solusi untuk dapat mengatasi segala-galanya. “Padahal nyatanya enggak,” ujar Jimly Misalnya, dari segi kelengkapan

hukum, untuk mengontrol perilaku manusia melalui sistem sanksi. Sanksi hukum yang terberat adalah di bidang pidana, yaitu pidana mati. Hukuman mati sekarang ini makin lama makin tidak populer. Makin banyak negara menghapus pidana mati karena dianggap tidak lagi sesuai dengan perkembangan kemanusiaan. Maka, sebagai akibatnya, semua orang hanya mengandalkan penjara. Seakan-akan penjara menjadi solusi bagi manusia modern.

Menurut dia, di seluruh dunia penjara penuh, perilaku manusia tidak kunjung beres juga, dan tingkat kejahatan semakin meningkat. Demokrasi yang ideal memberikan ruang hidup yang semakin bebas, mengakibatkan semakin banyak orang menggunakan kebebasan itu untuk kepentingan sendiri-sendiri. “Itulah yang disinyalir menghasilkan tindak kriminal, yang pada akhirnya membuat semua penjara penuh, contohnya, kondisi penjara di Indonesia. Penghuni penjara itu hanya bisa tidur bergantian karena ruangan

penjaranya sudah melebihi kapasitas daya tampung.”

Dalam kaitan itu, Jimly menyebut jenis-jenis kejahatan baru yang dihasilkan undang-undang. Misalnya, tanaman ganja yang sebenarnya merupakan rempah-rempah yang bisa digunakan untuk bumbu makanan, oleh undang-undang, orang-orang yang menanam, memiliki, menggunakan dan memperdagangkan ganja dianggap pelanggaran hukum yang serius. “Ini yang disebut dengan mala prohibita.” Mala prohibita adalah istilah bahasa Latin yang mengacu kepada perbuatan yang tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh undang-undang. Berbeda dengan mala in se, suatu perbuatan yang dianggap sebagai sesuatu yang jahat bukan karena diatur atau dilarang oleh undang-undang, melainkan karena pada dasarnya bertentangan dengan kewajaran, moral, dan prinsip umum masyarakat beradab.

Ia menengarai mala prohibita menjadi penyumbang terbesar makin rumit dan

kompleksnya hukum di Indonesia dan semakin membebani hukum sendiri. Oleh karena itu, hukum dengan sistem sanksinya terbukti sudah tidak efektif sehingga tidak bisa diharapkan lagi. Dia menyayangkan, kondisi penjara sekarang ini bukan lagi sebagai lembaga pemasyarakatan, melainkan sudah berubah menjadi sekolah kriminal. Banyak orang yang sudah keluar dari penjara bukan malah lebih baik, tetapi malah makin jahat. Apalagi di bidang tindak pidana korupsi, koruptor yang masuk penjara itu, umumnya keluar dengan dendam bukan dengan pertobatan. Mereka tidak tobat malah dendam, karena merasa diperlakukan tidak adil dan merasa dipolitisasi. Oleh karena itu, sekarang ini, kemampuan hukum untuk mengontrol kemampuan perilaku manusia harus dievaluasi. Hukum tidak bisa lagi diharapkan karena hukum itu sendiri sudah terlalu berat bebannya. Hukum harus dilengkapi dengan sistem etika. Ketika sistem etika berfungsi pelanggaran

hukum bisa dicegah sejak awal sebelum perilaku menyimpang itu menjadi suatu pelanggaran hukum. Tapi tentu tidak memahami etika dalam perspektif lama.

”Kita juga harus mengetahui perkembangan sistem etika yang baru. Bukan cuma di Indonesia, seluruh dunia sudah mempromosikan sistem etika,” ujarnya

”Umumnya kode etik dan perilaku di organisasi profesional termasuk di kelembagaan negara, hanya sebatas simbolik saja. Tidak benar-benar diterapkan dan ditegakkan sebagaimana halnya hukum,” tambahnya.

Pada akhir abad XX (1997), Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) melalui sidang umumnya, menganjurkan supaya anggota-anggotanya membangun infrastruktur etik dan perilaku di lingkungan jabatan publik.

Ia menjelaskan, infrastruktur etik ada dua, pertama kode etik, kedua lembaga penegak kode etik (bisa ad hoc atau

permanen). Dalam praktik hal itu juga berkembang. Di Amerika Serikat, misalnya, ada yang namanya komisi yudisial, tetapi itu bukan dijadikan sebagai lembaga nasional, setiap pengadilan masing-masing ada komisi yudisialnya.

Indonesia meniru konsep yang dipakai Amerika Serikat, tetapi ada perbedaan. Di Indonesia, komisi yudisial diatur langsung di dalam konstitusi dan menjadi lembaga negara. Itu adalah akibat perkembangan zaman, bahwa sistem kekuasaan kehakiman mesti dilengkapi dengan sistem etika, yang sifatnya bukan cuma internal tapi juga lembaganya dibentuk eksternal. Ada lembaga kode etiknya dan ada lembaga penegak kode etiknya, yaitu komisi yudisial.

Ini merupakan tren baru. Dalam Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan DPR dan MPR, ada Badan Kehormatan DPR. Badan Kehormatan DPR melengkapi sistem kode etik anggota DPR, lalu ada lembaga yang

menegakkannya.

”Makanya anggota DPR yang dipecat. Kita bukan ngarang sendiri, tetapi itu merupakan suatu perkembangan baru,” katanya.

Indonesia sudah punya Komisi Kejaksaan, Komite Etik KPK, Majelis Kehormatan MA, Majelis Kehormatan Hakim MK, tetapi cara kerjanya belum dikonstruksi sebagai peradilan sehingga lembaganya masih dipengaruhi cara pandang lama tentang etika, bahwa etika itu masalah privat sehingga menyidangkannya juga harus tertutup. ”Itulah yang terjadi sehingga misalnya di KPK sidangnya tertutup, sementara cara berpikir orang yang mau menyidangkannya pun seperti mau memeriksa pesakitan secara hukum. Jadi, tradisi untuk menerapkan dan menegakkan etika itu masih campur baur juga seperti sistem etika dan sistem hukum,” papar Jimly.

Dalam kaitan itu dia memberi contoh Majelis Kehormatan Hakim MK, yang di dalamnya ada mantan Ketua MA, mantan Ketua MK, mantan Jaksa Agung. ”Lihat cara mereka bersidang (panggil saksi), persis seperti logika peradilan hukum. Seperti hal yang tidak perlu lagi dilakukan (dikorek-korek) lagi atau mencari-cari bukti, misalnya kasus Akil, sudah tertangkap tangan, ngapain lagi dicari-cari bukti hukumnya?”

Ia berpendapat, seseorang yang sudah terbukti melanggar hukum seyogianya melanggar etika juga, maka tak perlu lagi cari-cari bukti. Sebaliknya, seseorang yang tidak melanggar hukum belum tentu tidak melanggar etika, karena etika itu cakupannya lebih luas. Untuk bisa menegakkan etika, bangsa Indonesia memang masih harus membangun tradisi. Yang kedua, cara sidangnya sebagian masih tertutup, maka hakim MK Arsyad Sanusi pun disidang oleh MK secara tertutup. Lalu kesimpulannya direkomendasikan

mempercepat masa pensiun enam bulan.

”Putusan seperti itu bukan sanksi. Sebab, jika diajukan ke Presiden, prosesnya enam bulan juga. Ya, sama juga prosesnya seperti memberhentikan dengan hormat dan ucapan terima kasih atas jasa-jasanya. Itu bukan sanksi etika,” katanya.

Contoh yang kedua, hakim agung Achmad Yamanie juga disidangkan secara tertutup. Kesimpulannya sama, mempercepat masa pensiun juga. Tetapi setelah banyak yang mempermasalahkan, dibentuklah Majelis Kehormatan oleh KY bersama dengan MA, dengan melakukan sidang terbuka.

Setelah sidang dibuat terbuka, masyarakat bisa mengikuti logikanya, bahwa betul dia melanggar kode etik yang berat. Maka atas dasar itulah dia diberhentikan secara tidak hormat. Kasus Achmad Yamanie merupakan satu-satunya hakim agung hingga saat ini yang diberhentikan dengan tidak hormat.

Jadi, keterbukaan dan transparansi sebagaimana prinsip peradilan modern itu belum diterapkan sebagaimana mestinya. Memang betul, ada kadang kala kasus yang harus tertutup, tetapi pada prinsipnya haruslah terbuka, seperti peradilan anak dan perceraian sehingga ada prinsip baru yang diadopsikan ke dalam sistem penegakan etika. Itulah yang dinamakan Jimly sebagai prinsip peradilan etika. Kalau di bidang hukum, kita punya kitab hukum dan pengadilan hukum, di bidang etika, kita juga harus punya kitab etika, buku etika, kode etika dan pengadilan etika. Jadi, demokrasi abad modern sekarang tidak hanya diimbangi oleh rule of law tapi juga rule of ethic. Rule of law terdiri atas code of law dan court of law; rule of ethic juga terdiri

dari code of ethic dan court of ethic. Inilah yang memberi kualifikasi baru sistem demokrasi abad XXI, bukan lagi hanya diimbangi tegaknya hukum tapi juga etika. Dengan demikian, demokrasi abad ini harus menjadi demokrasi yang lebih substansial dibandingkan dengan hanya prosedural karena hanya diimbangi rule of law sehingga terciptalah demokrasi yang substansial, demokrasi yang bermartabat dan berintegritas, bukan hanya formalistik prosedural. Cirinya rule of law dan rule of ethics.

Ia menegaskan, etika harus diwujudkan di dalam praktik kehidupan, tidak hanya diceramahkan di acara-acara keagamaan sehingga setiap perilaku itu dikontrol oleh dua sistim, yaitu sistim etika dan sistem hukum.

“Sistem hukum sanksinya hanya menghukum. Sistem etika ada dua hal, yaitu bisa menghukum kalau sudah sangat berat, tetapi bisa juga bersifat mendidik, misalnya peringatan dan teguran. Sedangkan dalam sistem hukum tidak ada sifatnya teguran,” paparnya.

Jimly menjelaskan, fokus penegak hukum dan penegak etik berbeda. Penegak hukum yang menjadi sasarannya adalah subjek hukumnya, sedangkan penegak etika sasarannya adalah institusinya. “Kalau sistem hukum, orangnya yang dihukum. Kalau sistem etika, institusinya yang diselamatkan.”

Ia berharap, fakultas-fakultas hukum di Indonesia melakukan kajian terhadap peradilan etik karena tidak bisa lagi hanya mengandalkan hukum. ”Bila perlu, fakultas hukum di Indonesia dikembangkan dengan mengganti nama nya menjadi fakultas hukum dan etika.”

J

akarta, Minggu, 8 Desember 2013, bertempat di Ball Room Pascasarjana UGM Jakarta, Alumni Gathering Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM 2013 kembali diselenggarakan dengan mengusung tema “Indonesia Masa Depan, Kepemimpinan dan Kepedulian.”

Acara tahunan temu alumni ini menghadirkan alumni yang sukses di instansi pemerintahan dan swasta. Antara lain, Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Rahmat Waluyanto yang kala itu

menyosialisasikan tentang peran Otoritas Jasa Keuangan.

Dalam temu alumni itu diadakan diskusi singkat yang berbicara tentangmasa depan ekonomi Indonesia yang menghadirkan pembicara lulusan FE UGM yaitu pengamat ekonomi, Dr Hendri Saparini dan Deputy Country Director Asian Development Bank (ADB) Edimon Ginting.

Diakhir perhelatan, FEB UGM memberikan award kepada para alumni yang telah mengabdi kepada

masyarakat dan Kampus UGM, diantaranya, DR Jimmy Budi Hariyanto, SH, MH, MBA, DBA

Tim Redaksi.

Dalam dokumen Majalah Integritas Desember 2013 (Halaman 67-71)