• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tokoh Buruh / Advokat Senior

Dalam dokumen Majalah Integritas Desember 2013 (Halaman 31-37)

Muchtar Pakpahan. Inilah tokoh pejuang buruh yang gigih

memperjuangkan kesejahteraan buruh. Ia menyadari betul,

pendidikan adalah jalan yang tak bisa dihindari bila masyarakat

Indonesia ingin lebih maju dan lebih sejahtera.

O

leh karena itu, memerangi buta huruf, yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah kewajiban bagi pemerintah untuk melaksanakannya dengan dengan konsisten, tanpa diskriminasi.

Sejak awal terjun ke dalam pergerakan buruh, Muchtar tidak pernah lupa menimba ilmu. Ia juga berkomitmen mengangkat harkat dan martabat kaum-kaum terpinggirkan, seperti sektor buruh, petani, nelayan, dan pedagang kaki lima.

”Buta huruf itu seharusnya sudah bisa selesai dituntaskan. Indonesia yang sudah merdeka selama enam puluh delapan tahun, masih saja terdapat di pelosok-pelosok negeri yang tidak melek pendidikan. Ini seharusnya menjadi tanggung jawab utama pemerintah,” kata Muchtar ketika diwawancarai Majalah INTEGRITAS di kantornya, Jalan Tanah Tinggi II Nomor 44 B, Jakarta Pusat, 11 Desember lalu. Kaum-kaum terpinggirkan sering dianggap sebagai masyarakat yang bodoh alias tidak berpendidikan, juga dianggap miskin karena memiliki penghasilan yang sangat minim. Sekalipun sudah puluhan tahun merdeka, Indonesia tampaknya terus masih tertinggal dari negara-negara yang semakin maju dunia pendidikannya dan kehidupan warganya yang semakin sejahtera. Hal ini terjadi karena para pejabat pemerintahan Indonesia saat ini korup dan tidak mengabdi kepada masyarakat Indonesia.

”Beginilah jadinya bila penguasa di negara ini berwatak neolib,” tambah lelaki yang keluar-masuk bui pada masa Orde Baru ini.

Di negeri ini, untuk menjadi cerdas dan pintar terus dipersulit. Muchtar Pakpahan mengisahkan sejumlah perjalanan hidupnya, yang secara konsisten ingin memberikan sumbangsih nyata kepada perbaikan nasib kaum-kaum terpinggirkan dan termiskinkan.

Pria kelahiran 21 Desember 1953 di Bah Jambi II, Tanah Jawa, Sumatera Utara, ini berasal dari keluarga miskin. Lahir sebagai anak yatim, dia bersekolah di sekolah rakyat (SR) yang pada masa itu gratis. Sekalipun hidup dalam situasi serba kekurangan, Muchtar kecil sudah menunjukkan potensi kecerdasannya dalam pendidikan.

Menurut kakaknya, Muchtar kecil tidak sempat duduk di kelas satu SR itu. ”Saya langsung dipindahkan ke kelas dua. Sebab, sewaktu guru di kelas satu itu hendak mengajar mata pelajaran anak kelas satu, saya sudah mahir mengikutinya,” ujar Muchtar seperti yang dia dengar dari sang kakak. Memang, selama mencicipi pendidikan di SR Muchtar termasuk murid yang rajin belajar. Oleh karena itu pula, dia selalu menjadi juara kelas. Memasuki tingkat pendidikan lebih tinggi, yakni ke sekolah menengah pertama (SMP), Muchtar harus bergumul dengan kondisi perekonomian keluarganya. Keinginannya untuk bersekolah tidak surut. Kelas satu hingga kelas dua SMP, Muchtar masih sempat menikmati pendidikan gratis. “Masuk ke kelas tiga pada masa pemerintahan berubah, rezim dipimpin oleh Soeharto. Dan mulai saat itu sekolah pun bayar,” kenangnya.

Keluarga yang hanya ditopang oleh ibunya, tidak menyurutkan niatnya untuk terus sekolah. Setelah tamat SMP dia kesulitan melanjutkan ke SMA. ”Akhirnya, saya hanya bisa menganggur selama hampir setahun, tidak melanjutkan sekolah. Hanya bisa menangis saja. Tetapi di rumah, saya tetap membaca buku, menulis dan belajar.”

Satu hal yang tak bisa lupa dan selalu dijalankan Muchtar adalah pesan ibunya agar selalu rajin berdoa dan pergi beribadah ke gereja. ”Bahkan, terutama bila menjelang ujian disekolah, saya berdoa dank e gereja. Juga ada kebiasaan ibu saya, menyediakan nasi putih dan telur ayam kampung sebutir dimasak, untuk saya makan, setelah terlebih dahulu berdoa

kepada Tuhan Yesus.”

Setelah lewat satu masa tahun ajaran, Muchtar semakin gelisah ingin melanjutkan ke SMA. Pada masa penerimaan murid baru untuk tahun ajaran berikutnya, dia pun pamit dari Ibunya untuk pergi dari kampungnya ke Kota Medan. Niatnya, hendak melanjutkan sekolah.

Setibanya di Medan, Muchtar bekerja sebagai seorang penarik becak. ”Sembari menarik becak, saya mendaftar ke SMA 5 dan dites.” Rupanya dia diterima. Sehari-hari Muchtar menarik becak untuk memperoleh uang demi membiayai kebutuhan sekolahnya di kota Medan. Selama setahun lebih menarik becak, Muchtar sempat tergiur untuk terjun ke dunia keras premanisme yang saat itu marak di Kota Medan. Sebab, sehari-hari, ketika dia menarik becak, dia menyaksikan preman-preman bisa memperoleh uang yang banyak dan memiliki kendaraan pribadi yang mentereng.

”Hanya dengan duduk di pintu keluar masuk terminal bus Teladan di Medan, preman itu bisa memiliki banyak uang. Sebab hampir semua kendaraan yang lalu lalang mengantar uang ke dia. Bahkan, dia bisa memiliki mobil Toyota Corolla (waktu itu salah satu mobil termewah yang pernah dilihatnya). Enak betul dia. Saya kepingin juga begitu,” paparnya, tersenyum.

Dia yang hanya menarik becak harus pontang-panting mendayuh becaknya untuk memperoleh penumpang yang akan membayar jasanya. Itu pun jika lagi banyak penumpang, masih bisa memperoleh uang. Niat itu sempat ditindaklanjuti Muchtar dengan berlatih ilmu bela diri.

Selain itu, dia mengikuti saran sejumlah orang untuk ngelmu atau mengasah ilmu kanuragan yang tidak biasa dengan bertapa dan berguru pada seseorang yang dikenal sebagai dukun sakti agar memiliki kekebalan badan jika berkelahi juga ilmu-ilmu lainnya yang dianjurkan. Sebab, pada saat itu

seorang yang bisa menguasai lapangan dengan jago berkelahi, tahan pukul, akan bisa menguasai dunia pasaran. Sejak itu Muchtar sempat menjadi dikenal di kawasan tempatnya mangkal. Sebab, dia pun semakin sering menjadi buah bibir di lingkungan itu. ”Tetapi saya bukan sembarangan berkelahi. Saya akan berkelahi kalau saya melihat ada kernet atau tukang becak yang memaksa penumpang, biasanya ibu-ibu, saya pasti akan berantam. Dan saya juga pernah dikeroyok, tetapi ya masih ada ilmu bela diri yang saya punya.” Sekalipun tetap rajin pergi ke gereja dan berdoa, Muchtar yang pada waktu itu pendiam dan tidak berani mengutarakan isi hatinya pada perempuan yang ditaksirnya juga berniat memiliki ilmu menundukkan perempuan. ”Tetapi semua itu saya buang, karena ternyata saya pernah mencobanya pada seorang teman sekelas saya, saya naksir, eh tak mempan. Wah, saya merasa dibohongi ilmu itu. Saya buang saja semua.” Setelah menceritakan hal itu, ia terkekeh.

Memasuki kelas dua SMA, Muchtar berhenti sebagai penarik becak dan

dunia pasaran. Sebab, kala itu, abang tertuanya sudah bisa mengirimkan biaya untuk pendidikannya. ”Abang saya rutin kirim wesel. Ya saya pergunakan uang itu untuk belajar.”

Sekalipun masih di kelas 2, Muchtar mengikuti kursuspelajaran kelas tiga. Guru-guru yang mengizinkannya ikut les itu pun memperbolehkan dia belajar. Mata pelajaran yang dia perkuat di tempat les adalah pelajaran Kimia, Matematika, Fisika, Biologi, dan Bahasa Inggris. Dalam pelajaran-pelajaran kelas tiga itu, Muchtar bisa mengikutinya, maka ketika masa ujian dan kelulusan SMA untuk kelas tiga berlangsung, Muchtar pun mengajukan untuk ikut ujian kelulusan, walau masih kelas dua SMA.

Permintaannya itu ditolak. ”Tetapi, ada guru-guru saya di tempat kursus itu yang juga guru di sekolah saya, mengatakan bahwa saya sudah mengikuti pelajaran kelas tiga dan berprestasi dalam pelajaran itu. Akhirnya, saya boleh ujian kelulusan tetapi bukan di SMA 5, melainkan ke SMA 6.”

Lulus SMA, ia ingin kuliah. ”Saya bercita-cita ingin jadi dokter.

Makanya saya coba testing ke Fakultas Kedokteran USU (Universitas Sumatera Utara), eh rupanya tidak lulus. Lalu saya ke Universitas Metodis, ambil kedokteran.”

Beberapa semester kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Metodis Medan, Muchtar mulai terlibat aktif di pergerakan kemahasiswaan. Pada waktu itu Hariman Siregar, tokoh peristiwa Malari, sedang getol memimpin aksi unjuk rasa menentang kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat.

”Saya pun berniat juga kuliah hukum, maka saya mendaftar ke USU ke fakultas hukum dan diterima,” ujar Muchtar, lantas menambahkan bahwa dia sempat berkuliah di dua tempat pada masa bersamaan.

Tak berselang lama, Muchtar mengalami sebuah kecelakaan, tabrakan kendaraan, yang mengakibatkan kakinya terluka parah. Kondisi itu membuat dia rehat kuliah dari Fakultas Kedokteran Universitas Metodis. “Sebab, fakultas kedokteran harus benar-benar bisa ikuti perkuliahan. Dan pada akhirnya saya memilih tidak meneruskan kuliah di kedokteran itu. Saya teruskan kuliah di Fakultas Hukum USU.”

Sejak itu ia sudah tidak mendapat bantuan wesel lagi dari kakaknya dan terpaksa kembali menarik becak. Muchtar yang tertarik pada pergerakan mahasiswa itu pun bergabung menjadi anggota Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Medan. Ia banyak belajar dan aktif di organisasi ini hingga terpilih menjadi Ketua GMKI Cabang Medan. Semasa masa akhir perkuliahan di Fakultas Hukum USU, Muchtar udah mulai bekerja sampingan menjadi wartawan di Harian Sinar Harapan dan perlahan menjadi asisten pengacara.

Setelah menamatkan pendidikan S-1 Hukum, Muchtar ditawari oleh Sekjen Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) untuk mengajar sebagai dosen di Universitas HKBP Nomensen di Medan. Kampus itu memang milik Gereja HKBP. Memenurut Sekjen HKBP ilmu yang

itu pun diterima Muchtar.

Pada 1984, selain menjadi dosen, di Universitas HKBP Nomensen itu Muchtar dan kawan-kawannya mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Universitas HKBP Nomensen yang konsentrasinya memberikan bantuan hukum dan advokasi kepada para petani, nelayan, buruh, pedagang kaki lima dan memperjuangkan hak-hak asasi manusia.

LBH itu pun cukup progresif pada masa itu, sebab, hampir tiap hari kampus itu menjadi sumber pemberitaan sejumlah media massa di Medan atas aksi-aksi dan kerja-kerja LBH itu.

”Dan tiap hari juga ada tentara yang mendatangi dan mengamati kampus itu karena kegiatan LBH-nya yang dianggap berbahaya bagi kekuasaan Orde Baru pada waktu itu,” tuturnya.

Pada masa-masa itu pula ia terjun ke lapangan melakukan advokasi buruh dan pembelaan terhadap buruh di Sumut. Pada suatu kesempatan ia memiliki buruh dampingan di daerah Tanjung Balai. Di sana pula sedang bertugas sebagai guru seorang gadis bernama Rosintan Marpaung, yakni gadis yang dia taksir sewaktu

sama-mahasiswa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Medan—sekarang menjadi Universitas Negeri Medan (Unimned), Fakultas Keguruan Ilmu Eksakta Jurusan Fisika. Mereka sama-sama menjadi aktivis GMKI. Pada sebuah konferensi cabang GMKI, Muchtar telah menyatakan cintanya kepada Rosintan, tapi nampaknya masih belum firmbenar.

Karena setelah sama-sama lulus kuliah, Muchtar telah menjadi seorang pengacara dan Rosintan menjadi seorang guru, dan kebetulan pula Rosintan bertugas di Tanjung Balai, di saat Muchtar sedanga da tugas pendampingan buruh di sana, maka hampir setiap minggu mereka bertemu dan menjalin hubungan pacaran yang serius, hingga ke jenjang pernikahan. ”Saya memang sudah berdoa kepada Tuhan, agar diberikan jodoh yang sepadan. Saya berjanji bila saya dapat jodoh, dan diberi anak laki-laki maka saya akan berikan anak laki-laki itu sebagai hamba pelayan di rumah Tuhan. Jadi saya pacarannya lewat doa, meskipun sering diledekin teman-teman,” ujarnya tersenyum.

Dua tahun berikutnya, yakni pada 1986, Muchtar dikirim oleh Universitas

Indonesia (UI) di Jakarta. Dia mengambil Jurusan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Aktivitasnya di LBH dan Universitas HKBP Nomensen juga terus berlanjut. Muchtar yang sedang proses menyelesaikan studi pascasarajananya di UI, tiba-tiba disetop oleh kampus yang mengirimnya untuk melanjutkan pendidikannya. Menurut Profesor Miriam Budiardjo, dosen Muchtar di Pasca Sarjana Fisipol UI, pihak Universitas HKBP Nomensen yang mengirimnya belajar ke UI sudah mengirimkan surat bahwa Muchtar sudah bukan tanggung jawab kampus itu lagi dalam melanjutkan pendidikannya.

”Alasannya pihak Pangdam meminta agar Universitas HKBP Nomensen menghentikan proses pendidikan saya. Karena katanya saya orang kiri yang berbahaya,” kata Muchtar.

Padahal, tidak lama lagi studi S-2 Muchtar itu akan rampung. Dalam kondisi itu, Muchtar marah kepada kampus tempatnya mengabdi sebab studinya diputus di tengah jalan. Namun dia tidak putus asa. Muchtar pun melamar ke Universitas Kristen Indonesia (UKI) di Jakarta sebagai dosen, dan diterima. Mendapat pekerjaan

sebagai dosen di Jakarta, Muchtar melanjutkan menyelesaikan studi S2-nya di UI setelah diberhentikan dari Universitas HKBP Nomensen karena alasan ada tekanan dari Pangdam. Pada 1987 Muchtar membuka kantor pengacara. ”Di Gedung Viola Sinambela di daerah Kramat Raya, di lantai 8.”

Setelah plang kantor lawyer-nya dipasang, kasus pertama yang ditangani dia adalah kasus buruh. Yakni, para karyawan dan sopir bus PPD (Perusahaan Pengangkutan Djakarta) yang hendak dipecat. ”Ada 2.800 supir yang akan di-PHK. Alasannya perusahaan itu mengalama overload.” Setelah ditelusuri dan diadvokasi, Muchtar menemukan bahwa upaya PHK terhadap 2.800 sopir bus PPD itu bukanlah karena overload, melainkan karena adanya manajemen dan pimpinan PPD yang korup. ”Pada akhirnya para pimpinan yang korup itu terbukti bersalah, ditangkap dan dipenjarakan.”

Ada cerita yang menarik saat menangani kasus PPD. Begitu Muchtar membuka kantor pengacara itu, seseorang bernama Janipar Sinurat mendatanginya di kantor. Rupanya Janipar adalah teman sekolah Muchtar di SR, yang juga terancam PHK. ”Kami

satu kelas, satu bangku, satu kampung. Saya memanggil dia dengan sebutan tulang (om).”

Ketika Janipar mendatanginya, Muchtar sempat berkilah bahwa dirinya ingin menghasilkan uang dengan membuka kantor pengacara. Sebab, sudah lama juga dia sebagai pengacara melakukan pembelaan kepada buruh, petani, nelayan dan pedagang asongan selama di Medan. ”Sudah mau cari uang aku sekarang. Demikian jawabku waktu itu ke dia.”

Akan tetapi, mendengar jawaban Muchtar itu, Janipar malah balik marah dan hendak mengangkat Muchtar dari tempat duduknya dan dilemparkan. Sebelum hal itu terjadi, Muchtar tersenyum dan mengiyakan akan mendampingi dan berjuang bersama mereka untuk PPD.

Rupanya, kasus PHK sopir PPD itu menimbulkan reaksi besar di Jakarta. Sebab, selain para pejabat di PPD banyak yang ditangkapi dan dipenjarakan, kasus itu pun jadi pemberitaan bear di Ibukota. Maka, kian banyak kasus buruh yang masuk ke kantornya. ”Kami tetap melayani dan mengadvokasi tanpa dibayar. Bahkan terkadang uang kantong pribadi yang keluar untuk ongkos mereka,” tutur Muchtar.

Tidak berselang lama dari penanganan kasus itu, Muchtar kembali membuat Ibukota gempar dengan penanganan kasus pedagang asongan di Jakarta. Muchtar turun membela para pedagang asongan melawan Soedomo yang waktu itu menjadi Menko Polhukam. Bahkan, pada saat itu pun Muchtar sudah mendapat ancaman akan diculik dan dibunuh. Masih di tahun yang sama, wabah demam berdarah merambah Jakarta. Amun upaya pemerintah memberikan pertolongan dan bantuan mengobatai dan mengatasi demam berdarah itu tidak ada. Muchtar Pakpahan melalui kantor pengacaranya waktu itu mengajukan somasi dan gugatan hukum, bahwa pemerintah harus bertanggung jawab dan berkewajiban menolong warga yang kena demam berdarah.

Peristiwa itu pun kembali menjadi isu besar di Ibukota dan menjadi buah bibir yang dipublikasikan media massa. Kasus itu dikenal dengan Kasus Muchtar Pakpahan melawan Gubernur DKI Jakarta dan Kakanwil Kesehatan DKI (kasus endemi demam berdarah) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 1988. Dalam kasus ini pengacara Muchtar Pakpahan selaku penggugat mendalilkan bahwa ia bertindak untuk kepentingan diri sendiri sebagai korban

wabah demam berdarah maupun mewakili masyarakat penduduk DKI Jakarta lainnya yang menderita wabah serupa. Somasi yang dilakukan Muchtar itu pula menjadi somasi pertama dan mendorong lahirnya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Indonesia. Pada saat itu Provinsi DKI Jakarta dipimpin oleh Gubernur Wiyogo Atmodarminto. ”Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat urusan Tata Usaha Negara waktu itu akhirnya menetapkan bahwa pemerintah berkewajiban juga melakukan pengasapan atau fogging untuk mencegah terjadinya demam berdarah,” kenang Muchtar.

Tentu, sebelum mengajukan somasi itu dia mengumpulkan dan menganalisis semua kebijakan dan anggaran pemerintah. Sebab, pada waktu itu, pemerintah menyampaikan bahwa pihaknya tidak bisa mengobati demam berdarah, dan tidak ada anggaran untuk mengatasinya. ”Saya konsultasi dengan dokter-dokter mengenai demam berdarah itu. Menurut para dokter, demam berdarah bisa diobati dan bisa dicegah. Kemudian saya ke DPR menanyakan apakah ada anggaran pemerintah untuk itu, dan DPR bilang memang ada anggaran.”

Muchtar pun kian jauh melakukan advokasi dan memberikan bantuan hukum kepada buruh. Belum genap setahun kantor pengacara Muchtar Pakpahan dibuka, kasus-kasus perburuhan pun membludak yang datang ke kantor itu. ”Kami menjadi kewalahan dan tak sanggup sendirian menanganinya waktu itu.”

Melihat banyaknya kasus perburuhan dan tidak sanggup dia tangani, Muchtar pergi menemui seorang pendeta, Pendeta Raintung, yang saat itu menjadi pengurus di Persekutuan Gereja di Indonesia (PGI). Dari pertemuan itu, mereka sepakat untuk membentuk sebuah lembaga yang khusus menangani persoalan perburuhan kala itu. Maka, terbentuklah Lembaga Penyadaran dan Bantuan Hukum Forum Adil

Sejahtera (LPBH FAS). PGI bertanggung jawab mencari pendanaan untuk menjalankan kerja-kerja advokasi dan pembelaan perburuhan di LPBH FAS itu, sedangkan LPBH FAS sendiri fokus mengurusi perburuhan, melakukan pelatihan-pelatihan terhadap buruh dan pembelaan-pembelaan serta perjuangan kesejahteraan buruh. Belum genap satu tahun berdirinya LPBH FAS, pada 1988, Muchtar diminta menjadi staf ahli Jaksa Agung. Pada waktu itu jabatan Jaksa Agung dipegang oleh Laksamana Muda TNI Sukarton Marmosujono, SH. Tapi, Aktivitas LPBH FAS terus berjalan.

Lebih dari dua tahun menjadi staf ahli Jaksa Agung, Muchtar tidak betah. Sebab, banyak kasus-kasus korupsi yang dilakukan lingkaran keluarga dan kroni Cendana pada waktu itu malah dipetieskan oleh Jaksa Agung. Selain itu, Muchtar malah terserang penyakit vertigo karenanya.

Ketika ia masih menjadi staf ahli Jaksa Agung, seorang pengusaha di Kalimantan Timur, yang ternyata masih teman dari temannya Tomy Soeharto, melakukan bisnis ilegal, yakni menampung mobil bodong dan butut, mengecatnya agar terlihat baru dan dijual dengan harga baru. Tentu saja, belum berapa lama mobil seperti itu dipergunakan akan rusak. Dan pihak bengkel menyampaikan bahwa mobil itu bukan mobil baru, tetapi mobil butut yang dicat.

“Saya katakan, bahwa orang itu berbuat salah, harusnya dipenjarakan, karena curang dan merugikan perekonomian negara. Dan malah si pengusaha itu menertawai saya, meledek saya dan menantangi saya. Kata dia, silakan, tunggu saja apa benar bisa dipenjara. Eh benar juga, dia malah bebas. Saya kalah,” jelas Muchtar. Pada 1990, Muchtar keluar dari staf ahli Jaksa Agung dan kembali aktif di LPBH FAS. Pada saat bersamaan itu, Muchtar melanjutkan studi ke program doktoral di Universitas Indonesia, dengan biaya

sendiri.

Pada saat menyelesaikan program doktoralnya, Muchtar kehabisan amunisi. Ia mendatangi Menteri Keuangan Radius Prawiro. Untuk menyelesaikan disertasi ia harus menyediakan uang 32 ribu dolar Amerika atau setara dengan Rp 32 juta (kurs dolar masih Rp 1.000).

”Saya temui beliau pada waktu beliau main golf. Saya katakan, ’Saya sudah mau ujian disertasi. Saya musuhnya Pak Harto, Bapak pembantunya Pak Harto. Walau saya dianggap musuh oleh Pak Harto, tetapi saya bukan musuh Indonesia, dan saya adalah warga Negara Indonesia dan alumni GMKI dan suatu saat pasti berguna bagi Indonesia,” tuturnya. Memang, pada saat itu, Radius Prawiro adalah Ketua Dewan Penasihat organisasi Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI) dan Muchtar salah satu ketua PIKI. Adapun Ketua Umum PIKI adalah Dr dr Peter Patta Sumbung, yang juga alumni GMKI. Radius Prawiro sendiri adalah mantan aktivis GMKI. Radius bercerita bahwa Muchtar selalu jadi percakapan di dalam sidang kabinet yang dipimpin Presiden Soeharto. ”Emang kalau dengar namamu, Pak Harto itu keringat dingin di sidang kabinet,” kata Prawiro kepada Muchtar.

Singkat cerita, Radius memenuhi permintaannya. Sejarah mencatat, Muchtar Pakpahan akhirnya meraih gelar doktor. Dan, setelah berhasil mempertahankan disertasinya di UI, dia ditangkap anggota intelijen, lalu dibawa ke markas Badan Intelijen Negara di Wisma Tenang, Ragunan, Jakarta Selatan.

”Saya dikasih tahu bahwa disertasi saya mengundang subversif karena berisi kritikan terhadap pemerintahan Orde Baru,” kata Muchtar Pakpahan.

BANKING

Prestasi Team Work

Dalam dokumen Majalah Integritas Desember 2013 (Halaman 31-37)