• Tidak ada hasil yang ditemukan

Majalah Integritas Desember 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Majalah Integritas Desember 2013"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

DEWAN PENASIHAT :

Prof DR Priyatna Abdurrasyid, SH, Ph.D, FCBArb Prof DR JE. Sahetapy, SH, MA

Prof DR Eman Suparman

Prof DR Romli Atmasasmita, SH. LLM Prof DR Suhardiman, SE

Prof DR M Daud Silalahi, SH, MH Prof DR Adnan Buyung Nasution, SH Prof DR D. Khumarga SH, MH Prof DR Chandra Wijaya, MSi, MM Prof DR Mardjono Reksodiputro, SH, MA Prof Harkristuti Harkrisnowo, SH, MA, PhD Prof DR Bomer Pasaribu

Prof DR Joni Emirson, SH, MH DEWAN PENGARAH :

H. Oetoyo Usman, SH

DR Frans Hendra Winarta, SH, MH DR HM.Jafar Sidik, SH, MH, M.Kn, Arb Judhi Sunardi, MBA

Yohanes Yahya

Muhammad M. Banapon, SPd, MSi PEMIMPIN PERUSAHAAN :

DR Jimmy Budi Hariyanto, SH, MH, MBA, DBA WAKIL PEMIMPIN PERUSAHAAN :

Swari Arizona, SH PEMIMPIN REDAKSI : Hendrik Aryanto, SH SEKRETARIS REDAKSI : Oktavianus AMS, SH, MH REDAKTUR PELAKSANA : Andreas SC Hutagalung, ST REDAKTUR : Victor Raqual, SE Roy JS, S.Si Juson Maluddin Zainal Sidabutar Sunggul Tumangger La Ode Abdul, SH, SE REDAKTUR SENIOR : Usman Gumanti KEUANGAN : Mugi Hastuti, SH, MKn ADMINITRASI & IKLAN :

Restety Nurcahya, SH. SEKRETARIAT :

Verawaty Novita PENERBIT :

PT. Media Komunitas Prima BANK :

Bank Windu Kentjana Internasional Tbk. Cabang Cibinong. Ac. 1001343188 an. PT. Media Komunitas Prima ALAMAT REDAKSI :

KOMPLEK RUKO RADEN INTEN NO.8A LT.2 Jl. Radin Inten II, Duren Sawit Jakarta Timur Telp : 021-866 14103 Fax : 021- 866 02316 HP. 0878 756 789 15

Email : media.integritas@gmail.com redaksi@ mediaintegritas.com

SUARA REDAKSI

INTEGRITAS

Perangi Kemiskinan Tak Boleh Seolah-olah

Majalah INTEGRITAS edisi kali ini menyoroti soal kemiskinan. Bagi Indonesia, kemiskinan tetap menjadi masalah besar. Mengatasinya tentu tidak boleh dilakukan setengah hati, apalagi berpura-pura serius. Boleh jadi, angka kemiskinan memang sudah turun, dan itu berkat kerja keras pemerintah. Boleh jadi memang begitu adanya. Akan tetapi, keraguan yang diutarakan sejumlah pakar ekonomi mengenai angka itu, tentu juga patut diperhatikan. Jangan-jangan ....

Tentulah akan sangat berarti jika upaya mengentaskan kemiskinan dibarengi dengan upaya serius, tidak seolah-seolah, memerangi praktik korupsi. Jangan pernah dilupakan, hingga saat ini kebocoran anggaran negara masih tetap terjadi dan cukup tinggi jumlahnya. Kalau saja itu dilakukan, maka angka kemiskinan pasti bisa jauh lebih dikurangi.

Rubrik Maestro Hukum kali ini mengangkat figur DR Muchtar Pakpahan yang sudah malang melintang dalam dunia perburuhan. Dan politisi gaek Sabam Sirait yang terus berkiprah dalam dunia perpolitikan yang kami rangkum dalam rubrik Sepak Terjang.

Sosok Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof Jimly Assidiq, yang kini menjadi Ketua Dewan Kehormatan KPU juga menarik untuk dibaca mengenai idenya untuk mendorong peradilan etika untuk melengkapi peradilan hukum yang sudah ada sebelumnya.

Diharapkan dengan membuka halaman demi halaman majalah ini, pembaca budiman mendapatkan informasi yang bermanfaat. Kritik dan saran tetap kami tunggu sebagai feedback terhadap majalah ini agar lebih baik dari waktu ke waktu. Selamat membaca.

Jabat erat,

Redaksi

(4)

SURAT PEMBACA

media.integritas@gmail.com

Dinasti Kekuasaan itu

Akhirnya Kandas

Baru-baru ini kita mendengar penangkapan seorang Gubernur dan dinyatakan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ratu Atut merupakan gubernur yang telah lama menguasai Banten ini, ramai dibicarakan karena dia memanfaatkan trah ayahnya yang cukup disegani di kalangan masyarakat Banten.

Bukan hanya dia saja, semua anggota keluarganya ikut beramai-ramai mencicipi nikmatnya kekuasaan itu. Mulai dari keluarganya satu darah sampai kepada orang-orang yang berada di lingkaran keluarganya, tercatat sedang menjabat jabatan-jabatan strategis di lingkungan pemerintahan daerah Banten. Teriakan mahasiswa dan masyarakat sejak lama juga dibungkam untuk mengamankan kekuasaan itu. Hingga pada saatnya, kekuasaan dinastinya yang korup itu kemudian tercium oleh KPK. Di awali dengan Operasi Tertangkap Tangan (OTT) oleh KPK, mantan ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar ditangkap dengan sangkaan suap atas sejumlah penyelesaian perkara pemilukada di sejumlah daerah.

Kemudian, oleh KPK menjadikan kasus Akil pintu masuk penyelidikan kasus korupsi di lingkaran kekuasaan Gubernur Banten. Pengembangan

yang dilakukan berhasil menangkap adiknya, Tubagus Chaery Wardana atau Wawan.

KPK lantas tidak berhenti pada penyelidikan kasus suap Wawan, pada tanggal 17 Desember lalu, kediaman Atut digeledah oleh KPK dan menetapkan Atut resmi menjadi tersangka KPK.

Masyarakat Indonesia kini yakin dengan proses pemberantasan korupsi di Indonesia, dan berharap dinasti-dinasti kekuasaan yang korup lainnya bisa diciduk oleh KPK juga. Bravo KPK.

Sunardi, Dosen, Tanggerang.

Pemimpin Yang Pintar,

Tapi Miskin Etika

Untuk menduduki kursi pimpinan seyogianya memang harus pintar. Kepintaran tersebut diharapkan bisa menelurkan kebijakan-kebijakan yang bisa menjawab persoalan-persoalan masyarakat dan bangsa. Akan tetapi, justeru sebagian besar pemimpin di negeri ini mempergunakan kepintarannya untuk mengamankan kekuasaannya dan mengeruk kekayaan untuk diri sendiri dan kelompoknya.

Ya, tidaklah cukup jikalau hanya

kepintaran dijadikan sebagai

parameter untuk seorang pemimpin, tetapi harus juga dibarengi dengan etika untuk menjamin integritas seorang pemimpin itu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan amanah yang diberikan oleh rakyat.

Contoh kasus yang sudah ramai diberitakan di media cetak dan elektronik, mantan ketua MK Akil Mochtar dan Gubernur Banten Ratu Atut Chosyah, tersangka kasus suap dan korupsi yang telah ditetapkan oleh KPK, semakin meyakinkan masyarakat perlu suatu penegakan etika di dalam penyelenggaran kekuasaan negara. Penegakan etika sekarang ini tidak bisa dianggap tabu lagi atau tidak bisa diungkap secara umum dengan alasan menyangkut privasi seseorang.

Alih-alih untuk melindungi privasi satu orang, rakyat menjadi korban. Akibat dari pemimpin sekarang ini tidak mengedepankan etika dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, rakyat menjadi miskin. Oleh karena itu, ke depan, Indonesia harus mempunyai badan penegak etik untuk menjamin integritas pemimpin di negeri ini dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan amanah yang diberikan rakyat.

(5)

D A F T A R I S I

13

LAPORAN UTAMA

Drs Hartono Laras, Dirjen PSPK Kemensos :

Tanggulangi Kemiskinan

Jangan Asal Hamburkan Uang

29

MAESTRO HUKUM

Dr Muchtar Pakpahan, SH MH.,Tokoh Buruh / Advokat Senior :

Raih Gelar Doktor Dibantu Radius Prawiro,

Dibui Karena Disertasinya Kritik Soeharto

35

BANKING

Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur BCA

:

Prestasi Team Work di Tangan Dirigen BCA

INTEGRITAS

EDISI 09 - TAHUN 01

LAPORAN UTAMA

5

Perangi Kemiskinan, Baiknya Lihat

Vietnam

Syarifuddin Hasan

Menteri Koperasi dan UKM

”Angka 11,36 Persen Itu Sudah Cukup

Bagus Kok”

Drs Hartono Laras

Dirjen PSPK Kemensos :

Tanggulangi Kemiskinan Jangan Asal

Hamburkan Uang

Ceppie K Sumadilaga

Deputi Kemeneg PP/Bappenas

”Sikap Egoistis Itu Penghambat

Pengentasan Kemiskinan”

Hendri Saparini Ph.D

Pengamat Ekonomi dari

CORE-Indonesia:

Mengentaskan Kemiskinan,

Pemerintah Baru Kampanye

Salamuddin Daeng

Peneliti IGJ (Indonesians for Global

Justice) :

Perdagangan Defisit, Kok Angka

Kemiskinan Turun

Dr Badikenita Putri Sitepu, SE., M.Si

Calon Anggota DPD dari Sumut :

”Bisa Makan Saja, Bukan Berarti Tidak

Miskin”

(6)

41

VISIONER

Anang Iskandar, Kepala Badan Narkotika Nasional

:

”Mereka Tak Kenal Efek Jera,

Mereka Butuh Penyembuhan”

45

POLITISI

Prof Dr Ir Suhardi, M.Sc, Ketua Umum Partai Gerindra

Sistem Proporsional Terbuka Jelas

Bebani Partai dan Caleg

59

BIROKRASI

DR H Syarifuddin Hasan Menteri Negara Koperasi dan UKM :

”Kami Akan Terus Berupaya Optimalkan

Pemanfaatan Anggaran”

Pemilu 2014 Banyak Caleg Nekat dengan

Alasan Basi

Sembilan Partai Andalkan Artis Hati-hati,

Ada Lho Caleg Penipu

EKSEKUTIF

49

Edi Sukmoro, Direktur Aset Non Railways PT KAI

:

“Menjalankan Tugas Pokok Merupakan

Targetan Pribadi Saya”

BISNIS & NIAGA

53

Dr Junaedy Ganie , CEO BNI Life :

Berbagai

Indikator Memberi Kami Alasan Untuk

Memelihara Optimisme

BNN

64

PROFESOR

65

Prof Dr Jimly Asshiddiqie, Ketua Dewan

Kehormatan Penyelenggara Pemilu :

Jika

Penegakan Hukum Semata, Penjara

Penuh

EvENT

69

Alumni Gathering 2013 FEB UGM

KONSULTASI BANI

72

PENEGAK HUKUM

74

KONSULTASI HUKUM

81

SEPAK TERJANG

83

Sabam Sirait, Politisi Senior PDI-P :

”Ara-lah

yang Membuat Saya Kini Maju Lagi”

(Setelah Berdebat Lama Sekali)

KAMPUS

88

Dr Ir Arissetyanto Nugroho, MM, Rektor

Univeristas Mercu Buana :

"Dalam Bekerja,

Totalitas Adalah Nomor Satu"

MENUJU SENAyAN

91

SENyUM SEJENAK

94

(7)

LAPORAN UTAMA

K

ementerian Negara

Perencanaan Pembangunan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, diwakili deputinya, Ceppie K Sumadilaga, juga menegaskan pengentasan kemiskinan sudah menjadi salah satu program utama pemerintah. ”Kemiskinan itu tidak mungkin kita telantarkan

begitu saja.”

Ada dua pendekatan yang dilakukan Bappenas dalam menjalankan programnya saat ini, yakni pendekatan ekonomi dan memberikan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) dan bantuan beras miskin (raskin).

Usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah tertuang dalam Instruksi Presiden tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (2010). Dengan adanya percepatan tersebut, Dirjen Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Sosial Drs Hartono Laras, mengklaim di ujung tahun

Perangi Kemiskinan,

Baiknya Lihat Vietnam

(Percaya, Angkanya Memang Sudah Turun)

Kemiskinan sedang dan akan terus diseriusi pemerintah. Ketika

Susilo Bambang Yudhoyono baru memimpin negeri ini angka

kemiskinan 17,6 persen. Dan kini, sudah turun menjadi 11,37 persen.

Tapi, ada baiknya jika kita melihat Vietnam.

(8)

ini, jumlah kemiskinan mencapai 11,37 persen dari total penduduk Indonesia.

Akan tetapi, bagaimanapun usaha yang dilakukan oleh pemerintah tentu tidak boleh lepas tangan atas realita kondisi masyarakat saat ini: di setiap sudut kota banyak yang kurang gizi, dan tidak punya tempat tinggal. Syarief Hasan, Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, ditanya tentang hasil yang sudah dicapai pemerintah dalam pengentasan kemiskinan mengatakan, ”Angka 11,37 itu sudah bagus. Sebaiknya kita jangan berpatokan dengan angka itu saja, tetapi lihatlah kemajuan yang sudah dicapai pemerintah.”

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menurut dia, memang sudah berkomitmen mengurangi angka kemiskinan.

”Dan hasilnya lihat sekarang, kekuatan ekonomi kita mulai kuat. Tingkat pengangguran mulai berkurang, hanya tinggal 6,25 persen. Keberhasilan pemerintah mengurangi jumlah kemiskinan itu, resepnya sederhana saja, cukup melakukan pembangunan ekonomi yang merata,” kata politisi Partai Demokrat itu kepada Majalah INTEGRITAS di kantornya, 18 Desember lalu. Artinya, pembangunan ekonomi itu tidak hanya dilakukan di Ibu Kota Jakarta saja, tetapi merata sampai ke daerah terpencil.

”Saya yakin, jika pembangunan itu merata, perekonomian pasti akan tumbuh karena menyerap tenaga kerja. Ya, mudah-mudahan saja kedepannya kita bisa mengurangi jumlah kemiskinan menjadi 10

persen, dengan berkurangnya jumlah pengangguran,” tambah Syarief.

JANGGAL

Hendri Saparini Ph.D, pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE-Indonesia), mengatakan, data itu berbeda dengan fakta yang terjadi.

”Coba lihat, tahun 2004 pemerintah mengeluarkan pernyataan, jumlah kemiskinan 16,6 persen. Setelah 10 tahun kemudian, angka kemiskinan di Indonesia saat ini sekitar 12 persen. Kesimpulannya, angka kemiskinan kita saat ini turun sekitar empat persen. Nah, yang menjadi pertanyaan saya, apa benar selama 10 tahun angka kemiskinan di Indonesia turun sekitar empat persen? Saya belum yakin,” ujar Saparini.

Menurut Saparini, angka kemiskinan yang berkurang sekitar empat persen itu janggal. Sebab, anggaran negara

(APBN) yang dikeluarkan pemerintah tiap tahun naik di atas 100 triliun rupiah.

”Kalau saja tiap tahunnya APBN dari 380 triliun menjadi 1.800 triliun lebih, kemudian anggaran pengentasan kemiskinan lebih dari 100 triliun, nyatanya angka kemiskinan tidak signifikan turun. Padahal, untuk menghitung pengurangan angka kemiskinan itu bisa memakai dua data. Yakni, melalui data referensi dan comparative study,” papar dia. Dalam konteks itu, Saparini menganjurkan pemerintah hendaknya belajar dari Vietnam. Negara tersebut bukan lagi melakukan program pengurangan kemiskinan, tetapi memangkas kemiskinan. Begitu juga dengan Cina. Pada 1985 angka kemiskinan di negara itu sekitar 65 persen, tetapi pada 2007 hanya tujuh persen. ”Nah, kalau keadaannya seperti ini, siapa yang disalahkan?”. Selama ini ada kesalahan paradigma dalam mengatasi kemiskinan. Pemerintah tidak pernah memisahkan program pengentasan kemiskinan dan program pertumbuhan ekonomi. Justru, pemerintah saat ini lebih mengutamakan program pengentasan kemiskinan yang sifatnya normatif, seperti pembagian beras rakyat miskin (raskin) dan bantuan langsung tunai (BLT).

Pada 2005 pemerintah membuat program raskin yang diberikan kepada sekitar 19,5 juta keluarga dan katanya jumlahnya sudah dikurangi sekitar 18 juta orang. Setelah berapa tahun berlalu, orang yang dibantu dengan program raskin masih banyak yang tidak mampu membeli beras. ”Bisa saya simpulkan, program

Berbeda dengan negara

Cina, pemerintahnya

memiliki program dua kali

dalam lima tahun, yaitu

fokus dalam pertanian.

Mereka sadar, orang

miskin yang terbanyak

ada di pedesaan. Para

petani Cina pun diberikan

subsidi pupuk, benih padi,

alat teknologi pertanian,

(9)

pengurangan kemiskinan masih jauh dari harapan,” tambah Saparini. Menurut dia, sudah waktunya pemerintah melibatkan orang miskin dalam program pertumbuhan ekonomi dengan memberikan mereka keterampilan dan subsidi dalam pengembangan usaha kecil supaya terjadi pemangkasan jumlah kemiskinan. ”Sebab, pertumbuhan ekonomi kita yang terjadi sekarang ini hanya melahirkan kesenjangan kelas, orang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin sulit keluar dari kubang kemiskinan.”

Berbeda dengan negara Cina, pemerintahnya memiliki program dua kali dalam lima tahun, yaitu fokus dalam pertanian. Mereka sadar, orang miskin yang terbanyak ada di pedesaan. Para petani Cina

pun diberikan subsidi pupuk, benih padi, alat teknologi pertanian, sampai subsidi listrik.

”Sehingga kita bisa melihat, selama 10 tahun perekonomian Cina sangat maju, salah satunya dari hasil pertanian. Jangan salah menilai, jumlah petani di Cina masih sekitar 60 persen. Status ekonomi petaninya pun sudah menjadi kelompok kelas menengah. Mereka jugalah yang saat ini melakukan ekspor hasil pertaniannya sampai ke seluruh dunia,” tambahnya.

Sangat berbeda dengan di Indonesia, yang awalnya ada sekitar 40 persen, kini semakin berkurang jumlahnya. Orang malas menjadi petani karena nasib tidak pernah diperhatikan pemerintah, dan justru produk impor pertanian membanjiri negeri ini.

Hal senada dilontarkan, Bedenikta Putri Sitepu, pemerhati anggaran pemerintah, yang juga calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Sumatera Utara (Sumut) ini, berpendapat, parameter yang digunakan untuk kategori miskin sangat rendah.

”Oleh karena itu, persoalan kemiskinan itu akan bisa teratasi, jika pemerintah sendiri menetapkan asumsi penduduk tidak miskin itu bukan hanya bisa makan, tetapi lebih kepada memenuhi kesejahteraan penduduk itu sendiri,” ujarnya. Pemerintah menyadari tanggung jawab yang diamanatkan konsitusi. Melalui Bappenas, pemerintah sudah membuat program Masterplan Percepatan Pengurangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI). Dalam program

(10)

itu, semua unsur kementerian dilibatkan, termasuk perusahaan BUMN. Berdasarkan hasil penelitian, terutama di Pulau Jawa, kantong-kantong kemiskinan bukan hanya terdapat di kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya, tetapi juga banyak terdapat di daerah pinggiran, dan salah satu faktor kemiskinan adalah infrastruktur jalan masih minim sehingga pertumbuhan di wilayah kantong kemiskinan sulit tumbuh.

”Kami sadar, selama ini dalam program pengentasan kemiskinan jalan masing-masing ditiap kementerian. Makanya, sikap egoistis itu sudah kami hilangkan karena sikap egoistis sebenarnya penghambat program pengentasan kemiskinan. Contohnya, kami lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur di desa, seperti jalan dan irigasi, lalu memberikan pelatihan dan pemberdayaan petani, dan masih banyak lainnya,” ujar Ceppie. Selain itu, Kemensos juga ditugasi menjalankan program subsidi beras bagi masyarakat berpendapatan rendah, atau program raskin, untuk 15,5 juta keluarga di seluruh Indonesia. Masih banyak program yang sudah dicanangkan dari kementerian sosial.

Lantas, berapa anggaran yang dibutuhkan untuk mengentaskan kemiskinan? Pada tahun ini anggaran dari APBN sebesar Rp 5,6 triliun. Pada 2014, rencananya mendapat dana tambahan sebesar Rp 7,6 triliun, yang semuanya akan diutamakan perluasan untuk program keluarga harapan.

Pemerintah sudah menargetkan, tahun depan jumlah kemiskinan

harus berkurang menjadi 8 sampai 10 persen.

Dalam kaitan itu, Hartono berharap ada sinergitas, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanggulangan Kemiskinan.

Dia menjelaskan, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua memang kaya sumber daya alam, tetapi penduduknya memprihatinkan. ”Untuk itulah, kami prioritaskan pembangunan ekonomi dan infrastruktur di wilayah itu supaya pertumbuhan ekonomi mereka terangkat. Wilayah daerah perbatasan negara, seperti Kalimantan, juga menjadi prioritas kami.”

BESAR DAN RAWAN KORUPSI Hartono membenarkan, dana untuk pengentasan kemiskinan cukup besar dan rawan korupsi. ”Untuk itulah, saya selalu berusaha memberikan dana bantuan program secara selektif, apakah bantuan itu layak atau tidak diberikan. Intinya, jangan asal hamburkan uang dalam pengentasan kemiskinan, sebab uang yang dipakai itu uang negara, yang asalnya juga dari masyarakat,” katanya.

Menurut dia, Kemensos juga sudah menyiapkan aturan ketat menyangkut penggunaan dana. ”Tujuannya, supaya mereka yang diberikan bantuan itu menjadi orang yang siap dan bertanggung jawab dalam menjalankan program yang dijalankan.”

Hartono menegaskan, masalah kemiskinan di Indonesia sebenarnya tidak sulit diatasi. Selama kita bersatu, dan orang-orang yang berpotensial dibidangnya dimanfaatkan, pasti persoalan kemiskinan itu bisa terselesaikan dengan baik. Sebab, letak geografis negara kita ini sangat strategis. Negara kita hanya memiliki dua musim saja, tak seperti di negara Eropa.

”Banyak yang mengatakan, negara kita ini sedang berada dalam kesulitan ekonomi. Semua harga pangan sangat mahal. Namun harus diingat, persoalan ekonomi yang sulit itu bukan hanya dihadapi Indonesia,” sambungnya.

Dari sudut pandang yang berbeda, Salamuddin Daeng, peneliti IGJ, mengkritisi perjanjian WTO yang telah ditandatangani oleh pemerintah. Ia mengakui sulit untuk membuktikan perjanjian itu akan

Berdasarkan data BPS

2006-2010, terjadi

penurunan signifikan

dalam jumlah pabrik

industri, yang tentu saja

akan menyebabkan

hilangnya lapangan

pekerjaan. Sementara, di

bidang pertanian masih

sulit terbaca.

Tapi ada beberapa data

yang menggambarkan,

seperti di Surabaya

(Jawa Timur), jumlah

petani berkurang setiap

tahunnya. Petani itu

akan hilang kalau ada

(11)

berdampak pada kemiskinan atau tidak. Sekalipun sulit dibuktikan, perjanjian WTO yang diturunkan melalui kebijakan nasional itu, jelas sekali terpampang aspek yang diatur begitu luas. Di antaranya, perjanjian WTO mengatur subsidi pertanian, membuka kran impor, penegakkan intelektual properti di bidang pertanian dan perjanjian di bidang jasa.

Pada sektor pertanian, misalnya, akibat perjanjian WTO, akses masyarakat (petani) kepada barang semakin berkurang dan akses terhadap perlindungan produk petani lokal melemah gara-gara harga barang impor pertanian yang murah menghantam produk pertanian lokal.

Faktor-faktor ini yang kelak menjauhkan petani dari tingkat pendapatan yang layak. Lalu, pemerintah tidak lagi mendukung subsidi bagi petani. Penjualan pun semakin menurun sebagai akibat dari pendapatan yang rendah. Sementara, biaya produksi mahal berakibat pada pendapatan (income) menurun. Terakhir, berpengaruh pada indikator kemiskinan yakni tingkat pengeluaran dan keseimbangan kemampuan berbelanja (purchasing power parity). ”Itu akibat langsung dari perjanjian WTO,” kata Daeng.

Menurut dia, kini ada kecenderungan meningkatnya harga minyak di tingkat global dan nilai dolar. Situasi ini akan mempengaruhi setiap negara untuk memenuhi kebutuhannya. Misalnya, kenaikan harga kebutuhan pokok secara otomatis akan mempengaruhi daya beli masyarakat. Kemudian, diikuti kelangkaan barang yang menyebabkan masyarakat akan sulit

memperoleh barang. ”Sumber-sumber masyarakat untuk mendapatkan pendatapan juga semakin hilang.” Berdasarkan data BPS 2006-2010, terjadi penurunan signifikan dalam jumlah pabrik industri, yang tentu saja akan menyebabkan hilangnya lapangan pekerjaan. Sementara, di bidang pertanian masih sulit terbaca. Tapi ada beberapa data yang menggambarkan, seperti di Surabaya (Jawa Timur), jumlah petani berkurang setiap tahunnya. Petani itu akan hilang kalau ada transformasi industri.

Data statistik tersebut mengartikan bahwa hidup itu semakin sulit yang diakibatkan oleh harga semakin tinggi, kelangkaan barang terjadi dimana-mana dan industri pabrik bangkrut. Anehnya, angka kemiskinan turun yang justru bertentangan dengan fakta-fakta seperti terjadi krisis pangan dimana-mana, krisis lahan pertanian yang signifikan, bangkrutnya industri nasional dan membludaknya sumber pangan impor.

”Semua fakta itu berbicara banyak tentang kemiskinan di Indonesia,” tegas dia.

Dulu, pemerintah saban hari berkoar tentang surplus perdagangan. Tapi kini yang terjadi Indonesia mengalami banjir barang impor dan defisit perdagangan. Pemerintah tidak bisa lagi membantah adanya defisit perdagangan yang cukup besar. Semua produk nasional terkapar. Contohnya, industri pangan.

Kondisi sekarang, tingginya impor, harga, biaya pendidikan, biaya kesehatan, dan basis produksi menyebabkan hancurnya pertanian dan pangan. Juga, industri hancur

dengan berkurangnya pabrik yang disebabkan, antara lain, karena ketidakpastian soal pungutan pajak. ”Makanya, agak ganjil manakala perdagangan defisit kok angka kemiskinan bisa turun?” tambah Daeng.

Neraca internasional tidak bisa dibohongi dimana tercatat neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit. Pun, neraca pembayaran defisit oleh karena uang yang dikeluarkan pemerintah digunakan untuk pembayaran cicilan utang dan bunga pokok. Kondisi APBN juga semakin membengkak. Ini berimplikasi kepada nilai tukar rupiah terhadap dolar, yang juga mempengaruhi dua hal, yaitu harga pangan dan energi yang kini kebanyakan diimpor. Parahnya, pemerintah menanggulangi defisit tersebut dengan cara melipatgandakan utang. Ini berarti pemerintah mencoba menyelesaikan masalah dengan masalah. Pembayaran utang negara diatasi dengan menyedot utang jangka pendek yang pada akhirnya akan menjadi beban makro-ekonomi.

Asumsi dan pendapat yang berbeda-beda terhadap persoalan kemiskinan, bukanlah untuk dijadikan perdebatan, melainkan mencari solusi dan lebih serius dalam upaya-upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia, untuk dapat mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat sesuai dengan amanat konstitusi.

(12)
(13)

”L

alu, bagaimana dengan persoalan kemiskinan di negara kita? Saya nilai, dalam perjalanan sembilan tahun terakhir, program pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah sudah cukup baik,” katanya kepada Majalah INTEGRITAS

di kantornya, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, 18 Desember lalu. Berdasarkan data statistik, jumlah kemiskinan kita saat ini tinggal 11,36 persen. Angka statistik sampai saat ini memang masih menjadi bahan perdebatan. Ada yang bilang, angka itu tidak realistis dan masih jauh dari harapan.

”Kalau bagi kami dari pemerintahan, angka itu sudah bagus, banyak mengalami perubahan dari yang sebelumnya. Intinya, kita jangan berpatokan dengan angka 11,36 persen. Tapi mari lihat, kemajuan apa saja yang sudah dilakukan pemerintah

Syarifuddin Hasan

Menteri Koperasi dan UKM

”Angka 11,36 Persen Itu

Sudah Cukup Bagus Kok”

Kemiskinan itu pasti tetap ada. Bukan hanya di

Indonesia tapi juga di negara maju, seperti Amerika

Serikat, tetap ada orang miskin. Buktinya, jumlah

kemiskinan di negara itu saat ini mencapai 14 persen

dan jumlah pengangguran mencapai tujuh persen.

(14)

sampai saat ini,” tambahnya.

Menurut dia, negara kita pernah mencapai angka kemiskinan 17,6 persen pada saat Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden. ”Beliau berkomitmen mengurangi angka kemiskinan itu, dan hasilnya lihat sekarang, kekuatan ekonomi kita mulai kuat. Tingkat pengangguran mulai berkurang, hanya tinggal 6,25 persen. Keberhasilan pemerintah mengurangi jumlah kemiskinan itu, resepnya sederhana saja, cukup melakukan pembangunan ekonomi yang merata.”

Artinya, pembangunan ekonomi itu tidak hanya dilakukan di Ibu Kota Jakarta saja, tetapi merata sampai ke daerah terpencil.

”Saya yakin, jika pembangunan itu merata, perekonomian pasti akan tumbuh karena menyerap tenaga kerja. Ya, mudah-mudahan saja ke depannya kita bisa mengurangi jumlah kemiskinan menjadi 10 persen, dengan berkurangnya jumlah pengangguran,” tambahnya.

Yang jelas, Syarif bersyukur, sebab krisis perekonomian global yang dialami negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat ternyata tidak terlalu berdampak ke Indonesia.

Untuk mempercepat program pengentasan kemiskinan, sebagai Menteri Koperasi dan UKM, ia terjun langsung ke bawah menjumpai masyarakat. Ketika berdialog dengan masyarakat yang ingin membuka usaha, ia langsung memberi bantuan kredit usaha rakyat kecil untuk pengembangan usaha.

”Tahun ini, program kredit usaha kecil untuk rakyat jumlahnya mencapai 36 triliun. Pembinaan dan bantuan koperasi di daerah-daerah juga terus mengalami kemajuan,” paparnya.

Dia menjelaskan, pemerintah juga memberi bantuan program jaminan sosial dan kesehatan serta bantuan dana pendidikan. Ada juga pembangunan infrastruktrur jalan di tiap pedesaan. “Dengan adanya program bantuan ekonomi dan jaminan sosial itu, beban masyarakat kita bisa terbantu dan mereka bisa keluar dari lingkar kemiskinan. Sekali lagi, semua program pemerintah yang dikerjakan saat ini adalah program pembangunan yang prorakyat.” Syarief tidak mempersoalkan jika ada yang mengatakan semua program pemerintah dalam pengentasan kemiskinan masih jauh dari harapan. Baginya, komentar-komentar itu hal yang biasa di negara kita yang demokratis, atau sudut pandang yang berbeda saja dalam menilai persoalan. ”Artinya, ketika negara kita banyak mengalami kemajuan dalam pembangunan ekonomi, justru mereka masih melihat dari sisi luarnya.”

Memang, masih banyak yang melakukan praktik kotor, seperti tengkulak, atau ada koperasi yang tidak sehat dalam manajemen. Tapi, justru berbagai kelemahan itu harus diperbaiki terus.

”Sekali lagi, saya tak mempersoalkan berbagai kritik itu. Kalau kritik dan saran itu ada yang baik, pasti saya tampung, ya kalau kritiknya ada yang tak bagus, ya buat apa saya dengar. Lebih baik, kita terus mengerjakan program pembangunan ekonomi kita yang sudah maju. Buktinya, banyak pemimpin negara lain yang memuji keberhasilan perekonimian negara kita,” ucapnya.

Ia tidak bisa menerima jika pemerintahan SBY-Boediono dinilai sebagai pemerintahan yang menghamba kepada kepentingan pihak asing. ”Sekarang begini saja,

sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan ekonomi neolib itu? Tentu saya jawab dengan sederhana, ekonomi yang semuanya diserahkan ke pasar tanpa ada intervensi. Sekarang saya mau menegaskan, kalau memang benar pemerintah kita itu terkesan neolib, berarti tak ada lagi kebijakan subsidi listrik, bensin, pupuk, koperasi, pendidikan, kesehatan, dan masih banyak lagi.”

Dalam kaitan itu dia memberi contoh jumlah APBN yang mencapai 1.800 trilun rupiah lebih. Dana subsidi yang diberikan kepada masyarakat mencapai 333,7 trilun rupiah. ”Jadi, sangat tidak mungkin kalau dikatakan kebijakan pemerintah kita neolib. Sebab, prinsip ekonomi neolib itu paling benci jika ada program subsidi kepada masyarakat, sementara kita lihat sendiri, pemerintah sangat pro kepada program subsidi untuk masyarakat kecil.”

Bagaimana kesiapan pemerintah menghadapi kebijakan “ASEAN Community” pada 2015? Menurut Syarief, yang harus dilakukan adalah menciptakan SDM yang andal dan kreatif. Lalu, secara serius mengenalkan berbagai kemajuan teknologi kepada generasi muda supaya mereka tidak kalah bersaing. ”Kalau kita jauh-jauh hari menciptakan SDM yang andal dalam bidang koperasi, tentu kita bisa bersaing dengan negara lain. Dan masyarakat kita pun tak akan mau menjadi anggota koperasi negara lain kalau koperasi kita sudah kuat,” katanya.

Andreas/ Hendrik/Viktor

(15)

H

artono mengingatkan, bicara soal masalah kemiskinan sebaiknya dipahami dulu Instruksi Presiden tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (2010). Percepatan penanggulangan kemiskinan itu artinya bukan mengurangi jumlah kemiskinan dengan cara yang kilat. ”Di ujung tahun ini, jumlah

Drs Hartono Laras

Dirjen PSPK Kemensos

Tanggulangi Kemiskinan

Jangan Asal Hamburkan Uang

”Wah, saya masih terus bekerja keras untuk

mengurangi jumlah kemiskinan masyarakat Indonesia

dengan kementerian yang terkait,” begitu jawab

Drs Hartono Laras, Dirjen Pemberdayaan Sosial dan

Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Sosial.

(16)

kemiskinan 11,37 persen dari total penduduk Indonesia. Lalu apa tugas kami dari Kementerian Sosial? Tentu kami bekerja sama dengan pihak kementerian yang terkait, yang dinamakan agenda program ’basis terpadu’, yang dikelola langsung oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TMPK), yang koordinasinya langsung oleh Wakil Presiden,” paparnya.

Salah satu agenda yang sudah dijalankan adalah program keluarga harapan. TMPK mengupayakan membangun rumah sasaran dari 1,516 juta menjadi 2,4 juta bagi keluarga yang dikategorikan miskin, dimulai sejak 2007 sampai 2014. Ditargetkan tahun depan menjadi 3,4 juta keluarga harapan supaya kondisi ekonomi mereka lebih baik.

”Kami juga sedang menggalakan program yang terkait jaminan kesehatan nasional bagi masyarakat yang terlantar ketika lanjut usia. Lalu ada program bantuan usaha ekonomi kecil untuk masyarakat miskin, perbaikan rumah tidak layak,” jelas Hartono.

Selain itu, Kemensos juga ditugasi menjalankan program subsidi beras bagi masyarakat berpendapatan rendah, atau program raskin, untuk 15,5 juta keluarga di seluruh Indonesia. Masih banyak program yang sudah dicanangkan dari kementerian sosial.

Lantas, berapa anggaran yang dibutuhkan untuk mengentaskan kemiskinan? Pada tahun ini anggaran dari APBN sebesar Rp 5,6 triliun. Pada 2014, rencananya mendapat dana tambahan sebesar Rp 7,6 triliun, yang semuanya akan diutamakan perluasan untuk program keluarga harapan.

Tugas ini harus segera diselesaikan

karena pemerintah sudah menargetkan, tahun depan jumlah kemiskinan harus berkurang menjadi 8 sampai 10 persen. Tentu, untuk mencapainya harus ada kerja sama, termasuk dengan masyarakat. ”Perlu saya pertegas, untuk mencapai target pengurangan jumlah kemiskinan, kami tidak akan menggubris dan juga tidak mau dipengaruhi persoalan politik,” katanya.

Dia mengakui, dulu kerja sama di kementerian dalam mengurus masalah kemiskinan memang kurang baik. Sekarang sudah tidak ada lagi program yang tumpang-tindih. Dalam kaitan itu, dia berharap ada sinergitas, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanggulangan Kemiskinan.

Dia menjelaskan, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua memang kaya sumber daya alam, tetapi penduduknya memprihatinkan. ”Untuk itulah, kami prioritaskan pembangunan ekonomi dan infrastruktur di wilayah itu supaya pertumbuhan ekonomi mereka terangkat. Wilayah daerah perbatasan negara, seperti Kalimantan, juga menjadi prioritas kami.”

Waspadai Korupsi

Indonesia dikenal sangat rawan bencana alam. Bukan hanya rentan bencana alam, bencana konflik sosial pun bisa datang setiap waktu. Menyadari hal itu, tim SAR Kemensos setiap saat siap diterjunkan ke berbagai wilayah yang terkena bencana alam.

”Pasca-bencana alam

kamilangsung mempersiapkan program pemberdayaan ekonomi,” jelas Hartono.

Dia membenarkan, dana untuk pengentasan kemiskinan cukup besar dan rawan korupsi.

”Untuk itulah, saya selalu berusaha memberikan dana bantuan program secara selektif, apakah bantuan itu layak atau tidak diberikan. Intinya, jangan asal hamburkan uang dalam pengentasan kemiskinan, sebab uang yang dipakai itu uang negara, yang asalnya juga dari masyarakat,” katanya.

Menurut dia, Kemensos juga sudah menyiapkan aturan ketat menyangkut penggunaan dana. ”Tujuannya, supaya mereka yang diberikan bantuan itu menjadi orang yang siap dan bertanggung jawab dalam menjalankan program yang dijalankan.”

Hartono menegaskan, masalah kemiskinan di Indonesia sebenarnya tidak sulit diatasi. ”Selama kita bersatu, dan orang-orang yang berpotensial dibidangnya dimanfaatkan, pasti persoalan kemiskinan itu bisa terselesaikan dengan baik. Sebab, letak geografis negara kita ini sangat strategis. Negara kita hanya memiliki dua musim saja, tak seperti di negara Eropa. Banyak yang mengatakan, negara kita ini sedang berada dalam kesulitan ekonomi. Semua harga pangan sangat mahal. Namun harus diingat, persoalan ekonomi yang sulit itu bukan hanya dihadapi Indonesia.”

Dia yakin, kalau kita bekerja sama, Indonesia pasti bangkit menjadi negara yang maju karena bangsa kita sudah teruji sebagai bangsa yang kuat menghadapi segala persoalan. ”Intinya, kalau ingin negara kita keluar dari kubang kemiskinan, kita semua harus tetap bekerja keras, berjiwa optimistis.”

(17)

Ceppie K Sumadilaga

Deputi Kemeneg PP/Bappenas

M

engatasi persoalan

kemiskinan memang sudah menjadi salah satu program utama pemerintah. ”Kemiskinan itu tidak mungkin kita telantarkan begitu saja, tetapi harus diatasi,” kata Deputi Bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan Usaha Kecil dan dan Menengah Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional di ruang kerjanya, Menteng, Jakarta Pusat. Menurut dia, program yang sedang dijalankan Bappens saat ini adalah menggunakan dua pendekatan. ”Satu, melalui pendekatan ekonomi. Maksudnya, kami menciptakan keterampilan usaha dan lapangan kerja seluasnya dengan hasil yang layak. Lalu yang kedua, memberikan bantuan progam bantuan langsung tunai (BLT) dan bantuan beras miskin (raskin), dan lainnya.”

Ceppie mengakui, program bantuan pengentasan kemiskinan itu berjalan cukup berjalan baik. ”Namun ada juga faktor-faktor yang menghambat di lapangan ketika proses bantuan itu berjalan.”

Melihat data Badan Pusat Statistiki (BPS) 2010-2011, memang terlihat ada pergerakan.

”Masyarakat miskin yang selama ini dibantu program pemerintah perlahan taraf perekonomiannya berubah baik. Tapi, ada juga yang awalnya taraf ekonominya mapan tiba-tiba hancur karena faktor bencana alam, konflik sosial, atau terlebih lagi, ketika situasi perekonomian global sedang tidak stabil, sudah tentu bisa terjadi gejolak infllasi dalam tiap waktu. Dan dampaknya, perekonomian Indonesia bisa terpuruk,” paparnya. Beberapa pengamat ekonomi mengatakan, di ujung tahun ini tingkat kemiskinan semakin meningkat karena ada faktor dari dampak kenaikan bahan bakar minyak maupun krisis ekonomi global. Untuk itulah, di tengah ancaman krisis ekonomi global yang melanda Amerika Serikat dan di kawasan Eropa, pemerintah membuat agenda program ekonomi kreatif bagi masyarakat kecil.

”Saya pikir, dampak dari pemberdayaan ekmpak kenaikan onomi kreatif itu baik sekali untuk mengantisipasi datangnya krisis global ke negri kita. Apalagi, pemerintah sudah mempunyai target akan menaikkan pertumbuhan ekonomi menjadi 7,3 persen. Saya rasa, hal itu menjadi tantangan yang harus dikerjakan,” tambah Ceppie.

”Sikap Egoistis Itu

Penghambat Pengentasan

Kemiskinan”

(18)

Untuk mencapai target itu, Bappenas sudah mempersiapkan program Masterplan Percepatan Pengurangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI). Dalam program itu, semua unsur kementerian dilibatkan, termasuk perusahaan BUMN. Berdasarkan hasil penelitian, terutama di Pulau Jawa, kantong-kantong kemiskinan bukan hanya teradapat di kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya, tetapi juga banyak terdapat di daerah pinggiran, dan salah satu faktor kemiskinan adalah infrastruktur jalan masih minim sehingga pertumbuhan di wilayah kantong kemiskinan sulit tumbuh.

”Kami sadar, selama ini dalam program pengentasan kemiskinan jalan masing-masing ditiap kementerian. Makanya, sikap egoistis itu sudah kami hilangkan karena sikap egoistis sebenarnya penghambat program pengentasan kemiskinan. Contohnya, kami lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur di desa, seperti jalan dan irigasi, lalu memberikan pelatihan dan pemberdayaan petani, dan masih banyak lainnya,” ujarnya.

Menurut dia, orientasi pembangunan di wilayah pedesaan itu sangat bagus. Sebab, desa itu sumber kekuatan ekonomi yang sangat dahsyat jika dikelola dengan baik. Kultur masyarakat Indonesia tidak seperti masyarakat negara lain. Masyarakat kita pada umumnya senang berkumpul dalam keluarga besar, seperti filosofi orang Jawa,

mangan ora mangan asal ngumpul. Namun, karena sekarang kondisi pertanian kita jarang diperhatikan, masyarakat kita banyak yang meninggalkan desa, merantau ke kota besar maupun menjadi TKI/TKW. ”Tujuan mereka memang untuk

mengadu nasib, agar kehidupan mereka menjadi lebih baik. Nah, kalau dari sekarang kita sudah serius memperhatikan pembangunan desa, saya pikir jumlah TKI/TKW perlahan berkurang. Mereka kembali memilih menjadi petani lagi, dan mengolah kembali lahan pertanian,” jelasnya.

Ketika ditanya mengenai kesiapan Indonesia menghadapai era ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada 2015, Ceppy mengatakan, sebenarnya negara kita belum siap menghadapi era itu. Sebab, bangsa kita selalu tidak mempersiapkan diri sejak awal. Padahal, negara ASEAN yang lainnya, jauh-jauh hari sudah mempersiapkan diri.

Dalam kaitan itu dia berharap, program MP3KI itu bisa berjalan baik kedepannya, dan tiap kementerian menjalankan program pengentasan kemiskinan berjalan masing-masih, namun harus saling bekerja sama. Ceppie menegaskan, sebaiknya era reformasi ini kita tidak usah lagi memperbanyak perdebatan yang membuang energi. Lebih baik banyak bekerja sambil menguatkan kualitas

pelayanan kepada masyarakat supaya perubahan itu lebih cepat terjadi. Sebenarnya, SDM kita sudah sangat banyak. Hanya saja, setiap program pembangunan yang sudah ada sering tidak berjalan baik karena tak ada koordinasi yang baik.

Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto membuat kebijakan pembangunan dalam bentuk instuksi presiden (iInpres). Semua kementerian atau birokrasi dari atas sampai bawah harus menjalankan instruksi tersebut. Apalagi, pada masa itu ada GBHN. Namun, setelah reformasi situasinya berubah.

”Kami sering mengalami kesulitan komunikasi dan benturan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah, sehingga rencana pembangunan yang sudah direncanakan sejak awal sering tertunda. Tetapi, persoalan yang sering terjadi itu perlahan mulai bisa teratasi. Saat ini, kami sudah menjalankan program kerja sama dalam format pelatihan kepada pejabat daerah di seluruh Indonesia,” paparnya.

Dalam pelatihan itu peserta dilatih cara membuat format pembangunan, dari perencanaan keuangan sampai program monitoring pembangunan. Agenda itu sudah berjalan baik beberapa tahun ini dan para pejabat daerah semakin banyak yang berminat. Disinggung soal penyelenggaran pemilihan langsung kepala daerah, yakni mengenai perlu-tidaknya pemilukada dievaluasi, dia menjawab, “Perlu. Sebab, pemilukada menghabiskan uang negara. Sementara, biaya pembangunan ekonomi dalam rangka pengentasan kemiskinan masih banyak yang kekurangan dana.”

Andreas Hutagalung

”Kami sadar, selama

ini dalam program

pengentasan kemiskinan

jalan masing-masing

ditiap kementerian.

Makanya, sikap egoistis

itu sudah kami hilangkan

karena sikap egoistis

sebenarnya penghambat

program pengentasan

kemiskinan.

(19)

”Saya pikir, data BPS itu berbeda dengan fakta yang terjadi. Coba lihat, tahun 2004 pemerintah mengeluarkan pernyataan, jumlah kemiskinan 16,6 persen. Setelah 10 tahun kemudian, angka kemiskinan di Indonesia saat ini sekitar 12 persen. Kesimpulannya, angka kemiskinan kita saat ini turun sekitar empat persen. Nah, yang menjadi pertanyaan saya, apa benar selama 10 tahun angka kemiskinan di Indonesia turun sekitar empat persen? Saya belum yakin,” kata Hendri

Mengentaskan Kemiskinan,

Pemerintah Baru Kampanye

Hendri Saparini Ph.D

Pengamat Ekonomi dari CORE-Indonesia

Dalam mengentaskan kemiskinan,

selama ini pemerintah hanya sibuk

berkampanye. Misalnya, menyampaikan

data Badan Pusat Statistik tentang angka

kemiskinan kepada masyarakat.

(20)

Saparini Ph.D, pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE-Indonesia), kepada Majalah INTEGRITAS di Jakarta.

Saparini berpendapat, angka kemiskinan yang berkurang sekitar empat persen itu janggal. Sebab, anggaran negara (APBN) yang dikeluarkan pemerintah tiap tahun naik di atas 100 triliun.

”Nah, kalau saja tiap tahunnya APBN dari 380 triliun menjadi 1.800 triliun lebih, kemudian anggaran pengentasan kemiskinan lebih dari 100 triliun, nyatanya angka kemiskinan tidak signifikan turun. Padahal, untuk menghitung pengurangan angka kemiskinan itu bisa memakai dua data. Yakni, melalui data referensi dan comparative study,” katanya.

Dalam konteks itu, ia menganjurkan pemerintah hendaknya belajar dari Vietnam. Negara tersebut bukan lagi melakukan program pengurangan kemiskinan, tetapi memangkas kemiskinan. Begitu juga dengan Cina. Pada 1985 angka kemiskinan di negara itu sekitar 65 persen, tetapi pada 2007 hanya tujuh persen. ”Nah, kalau keadaannya seperti ini, siapa yang disalahkan?”. Selama ini ada kesalahan paradigma dalam mengatasi kemiskinan. Pemerintah tidak pernah memisahkan program pengentasan kemiskinan dan program pertumbuhan ekonomi. Justru, pemerintah saat ini lebih mengutamakan program pengentasan kemiskinan yang sifatnya normatif, seperti pembagian beras rakyat miskin (raskin) dan bantuan langsung tunai (BLT).

Pada 2005 pemerintah membuat program raskin yang diberikan kepada sekitar 19,5 juta keluarga dan katanya jumlahnya sudah dikurangi sekitar 18 juta orang. Setelah berapa tahun berlalu, orang yang dibantu dengan program raskin masih banyak yang tidak mampu membeli beras. ”Bisa saya simpulkan, program pengurangan kemiskinan masih jauh dari harapan,” tambah Saparini. Menurut dia, sudah waktunya pemerintah melibatkan orang miskin dalam program pertumbuhan ekonomi dengan memberikan mereka keterampilan dan subsidi dalam pengembangan usaha kecil supaya terjadi pemangkasan jumlah kemiskinan. ”Sebab, pertumbuhan ekonomi kita yang terjadi sekarang ini hanya melahirkan kesenjangan kelas, orang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin sulit keluar dari kubang kemiskinan.”

Berbeda dari negara Cina, pemerintahnya memiliki program dua kali dalam lima tahun, yaitu fokus dalam pertanian. Mereka sadar, orang miskin yang terbanyak ada di pedesaan. Para petani Cina pun diberikan subsidi pupuk, benih padi, alat teknologi pertanian, sampai subsidi listrik.

”Sehingga kita bisa melihat, selama 10 tahun perekonomian Cina sangat maju, salah satunya dari hasil pertanian. Jangan salah menilai, jumlah petani di Cina masih sekitar 60 persen. Status ekonomi petaninya pun sudah menjadi kelompok kelas menengah. Mereka jugalah yang saat ini melakukan ekspor hasil pertaniannya sampai ke seluruh dunia,” tambahnya.

Sangat berbeda dengan di Indonesia, yang awalnya ada sekitar 40 persen, kini semakin berkurang jumlahnya. Orang malas menjadi petani karena nasib tidak pernah diperhatikan pemerintah, dan justru produk impor pertanian membanjiri negeri ini.

”Berbeda dengan sektor industri, seperti otomotif. Justru saat ini pemerintah lebih memperhatikan subsidi perkembangan sektor otomotif, padahal negara kita salah satu negara pertanian,” tandasnya. Kurang Sinergitas

Kinerja tiap kementerian terkait pengentasan kemiskinan kurang bersinergitas, seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Bappenas, Kementerian Sosial, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perdagangan.

Menurut Saparini, jika Kementerian Pertanian sedang menggalakkan program swasembada pangan, seharusnya Kementerian Perdagangan ikut mendukung. Nyatanya kementerian sibuk menjalankan programnya masing-masing, atau tumpang-tindih. Sudah banyak instruksi presiden tentang mengatasi masalah kemiskinan tapi dijalankan setengah hati.

Pada zaman Orde Baru pemerintah fokus mewujudkan program pembangunan yang dilakukan tiap lima tahun sekali, melalu Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Ketika Presiden Soeharto sangat fokus i dalam program pertanian sehingga Indonesia mengalami masa kejayaan swasembada pangan dan banyak dipuji negara lain. Kini, program

(21)

pembangunan pemerintah ditetapkan melalui Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).

”Justru program kementerian tidak bersinergi. Bisa saya simpulkan, selama ini pemerintah belum fokus dalam satu strategi pembangunan. Makanya kita bingung, entah mau jadi negara apa ke depannya,” ujarnya. Saparini mengatakan, Thailand sangat fokus berswasembada pangan. Begitu juga Cina, saat ini pemerintahnya sedang mencanangkan negara yang berbasiskan manufaktur industri elektronik karena kondisi pertanian mereka sudah kuat. Sementara, kalau kita bicara strategi pembangunan Indonesia, selama 10 tahun ini, tentu kita bingung menjawabnya. Disebut negara pertanian, kondisi petaninya memprihatinkan, disebut negara industri, kita belum mampu bersaing dalam teknologi industri dari negara luar.

”Sulit memang mendongkrak perekonomian negara kita yang masih terpuruk. Sebab, sampai saat ini saja negara kita masih digempur oleh beragam produk barang impor yang harganya murah, seperti dari Cina. Sementara kita belum bisa bersaing, dan kita masih mengekspor bahan mentah. Kalaupun produksi bahan mentah itu diproduksi di Indonesia, biayanya sangat mahal,” katanya. Beragam persoalan ekonomi itu tentu harus diselesaikan. Kalau tidak diselesaikan, tentu negara kita tak punya arah pembangunan yang jelas. Belum lagi, kebijakan perdagangan bebas atau ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang akan diterapkan pada 2015 di wilayah ASEAN.

”Karena era perdagangan di era AFTA itu sangat bebas, saya pikir kalau pemerintah tidak siap bersaing dalam kebijakan AFTA, perekonomian kita bisa semakin terpuruk. Apalagi, masyarakat kita masih dikategorikan pra sejahtera, tentu belum bisa bersaing seperti negara Singapura,” jelas Saparini.

Dia yakin, kalau perekonomian kita dikelola baik, Indonesia menjadi negara terkuat di dunia dengan peringkat ketujuh karena ditopang oleh sumber daya alam yang sangat kaya. ”Tak ada istilah negara yang bangkrut.”

Dalam konteks itu ia mempertanyakan Gerakan Ekonomi Syariah yang diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta, sebagai gerakan perekonomian alternatif. Gerakan Ekonomi Syariah itu bagus. Namun kalau pemerintah tidak punya konsep yang jelas dalam program itu, tentu banyak manfaatnya.

Konsep ekonomi syariah tidak hanya bergerak pada sektor bank syariah, atau asuransi syariah. Yang paling konkret adalah memberikan subsidi untuk usaha masyarakat dalam bentuk UKM. Ada potensi pasar halal dalam agenda ekonomi syariah. Namun, agenda pasar halal itu justru dikuasai oleh Thailand dan sebentar lagi Malaysia. Apakah Presiden SBY sudah berpikir bahwa konsep ekonomi syariah itu sudah menjalankan agenda pengelolaan sumber daya alam? Karena, faktanya sumber daya alam kita saat ini justru lebih banyak dikuasai oleh asing. Dia mengingatkan, kalau pemerintah memahami konsep

ekonomi syariah sekadar konsep bank syariah, tentu kurang ada manfaatnya, apalagi infrastruktur pembangunan kita pun masih belum terbangun dengan baik. ”Sebaiknya pemerintah jangan menjalankan konsep ekonomi syariah sekadar ikut-ikutan saja. Justru, negara yang bukan mayoritas muslim, seperti Inggris, berhasil menjalankan konsep ekonomi syariah karena mereka sebelum menjalankan ekonomi syariah jauh-jauh hari sudah mempersiapkan konsepnya sebaik mungkin.”

Jika negara ini ingin maju dalam perekonomian yang berdaulat, pemerintah harus berani melawan kebijakan ekonomi liberal yang dilakukan pihak asing. Fakta yang terjadi, sejak adanya Undang-Undang Penanaman Modal Asing, hampir 80 persen aset kekayaan alam kita sudah dikuasai oleh asing.

Dan hal itu sangat merugikan perekonomian bangsa kita. Sudah waktunya kita kembali dalam konsep perekonomian rakyat yang berlandaskan Pancasila yang merujuk UUD 1945. Sebab, di dalam UUD 1945 tegas diatur soal perekonomian dan kesejahteraan rakyat, saling berkaitan,yakni Pasal 33, Pasal 34, Pasal 31, Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 23. Keenam pasal itu bersinergi dan tidak bisa dipisah-pisahkan.

”Contohnya, saat ini masih ada 57 juta rakyat Indonesia yang masih dalam kategori pengangguran, maka pemerintah harus bertanggung jawab untuk memberikan mereka lapangan kerja, dan pendidikan yang layak,” jelas Saparini.

(22)

W

orld Trade Organization (WTO) mengumumkan disepakatinya Paket Bali oleh 160 negara anggota pada 7 Desember 2013. Setelah terjadinya skandal politik tukar-guling (trade-off) untuk menyelesaikan dua isu, yakni Perjanjian Fasilitasi Perdagangan (Trade Facilitation) dan Proposal Public Stockholding for Food Security

dalam Perjanjian Pertanian.

Perjanjian perdagangan internasional WTO yang dituangkan dalam kebijakan pemerintah, melalui regulasi nasional serta turunannya, bertubrukan langsung dengan kebijakan hajat hidup orang banyak. Kebijakan itu berbenturan dengan industri pertanian, industri kecil dan menengah, perdagangan secara umum, sektor lingkungan dan hutan.

Salamuddin Daeng, peneliti IGJ, mengakui, sulit membuktikan apakah perjanjian WTO yang telah ditandatangani oleh pemerintah itu akan berdampak pada kemiskinan atau tidak. Kendati sukar dibuktikan, perjanjian WTO yang diturunkan

melalui kebijakan nasional itu, jelas sekali terpampang aspek yang diatur begitu luas. Diantaranya, perjanjian WTO mengatur subsidi pertanian, membuka kran impor, penegakkan intelektual properti di bidang pertanian dan perjanjian di bidang jasa.

Pada sektor pertanian, misalnya, akibat perjanjian WTO, akses masyarakat (petani) kepada barang semakin berkurang dan akses terhadap perlindungan produk petani lokal melemah gara-gara harga barang impor pertanian yang murah menghantam produk pertanian lokal.

Faktor-faktor ini yang kelak menjauhkan petani dari tingkat pendapatan yang layak. Lalu, pemerintah tidak lagi mendukung subsidi bagi petani. Penjualan pun semakin menurun sebagai akibat dari pendapatan yang rendah. Sementara, biaya produksi mahal berakibat pada pendapatan (income) menurun. Terakhir, berpengaruh pada indikator kemiskinan yakni tingkat pengeluaran dan keseimbangan kemampuan

berbelanja (purchasing power parity). ”Itu akibat langsung dari perjanjian WTO,” kata Daeng.

Menurut dia, kini ada kecenderungan meningkatnya harga minyak di tingkat global dan nilai dolar. Situasi ini akan mempengaruhi setiap negara untuk memenuhi kebutuhannya. Misalnya, kenaikan harga kebutuhan pokok secara otomatis akan mempengaruhi daya beli masyarakat. Kemudian, diikuti kelangkaan barang yang menyebabkan masyarakat akan sulit memperoleh barang. ”Sumber-sumber masyarakat untuk mendapatkan pendatapan juga semakin hilang.” Berdasarkan data BPS 2006-2010, terjadi penurunan signifikan dalam jumlah pabrik industri, yang tentu saja akan menyebabkan hilangnya lapangan pekerjaan. Sementara, di bidang pertanian masih sulit terbaca. Tapi ada beberapa data yang menggambarkan, seperti di Surabaya (Jawa Timur), jumlah petani berkurang setiap tahunnya. Petani itu akan hilang kalau ada transformasi industri.

Perdagangan Defisit,

Kok Angka Kemiskinan

Turun

Salamuddin Daeng

Peneliti IGJ (Indonesians for Global Justice)

Indonesia bergelimang dengan sumber daya alam.

Ketersediaan pertambangan berupa mineral, biji besi,

dan sektor energi berada diurutan teratas seperti,

batubara, gas, minyak, dan panas bumi. Oleh sebab

itu, tidak pantas jika negara ini menjadi miskin.

(23)

Data statistik tersebut mengartikan bahwa hidup itu semakin sulit yang diakibatkan oleh harga semakin tinggi, kelangkaan barang terjadi dimana-mana dan industri pabrik bangkrut. Anehnya, angka kemiskinan turun yang justru bertentangan dengan fakta-fakta seperti terjadi krisis pangan dimana-mana, krisis lahan pertanian yang signifikan, bangkrutnya industri nasional dan membludaknya sumber pangan impor.

”Semua fakta itu berbicara banyak tentang kemiskinan di Indonesia,” tegas dia.

Dulu, pemerintah saban hari berkoar tentang surplus perdagangan. Tapi kini yang terjadi Indonesia mengalami banjir barang impor dan defisit perdagangan. Pemerintah tidak bisa lagi membantah adanya defisit perdagangan yang cukup besar. Semua produk nasional terkapar. Contohnya, industri pangan.

Kondisi sekarang, tingginya impor, harga, biaya pendidikan, biaya kesehatan, dan basis produksi menyebabkan hancurnya pertanian dan pangan. Juga, industri hancur dengan berkurangnya pabrik yang disebabkan, antara lain, karena ketidakpastian soal pungutan pajak. ”Makanya, agak ganjil manakala perdagangan defisit kok angka kemiskinan bisa turun?” tambah Daeng.

Neraca internasional tidak bisa dibohongi dimana tercatat neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit. Pun, neraca pembayaran defisit oleh karena uang yang dikeluarkan pemerintah digunakan untuk pembayaran cicilan utang dan bunga pokok. Kondisi APBN juga semakin membengkak. Ini berimplikasi kepada nilai tukar rupiah terhadap dolar, yang juga mempengaruhi dua hal, yaitu harga pangan dan energi

yang kini kebanyakan diimpor. Parahnya, pemerintah menanggulangi defisit tersebut dengan cara melipatgandakan utang. Ini berarti pemerintah mencoba menyelesaikan masalah dengan masalah. Pembayaran utang negara diatasi dengan menyedot utang jangka pendek yang pada akhirnya akan menjadi beban makro-ekonomi.

Daeng tidak sependapat dengan adanya anggapan bahwa utang Indonesia dianggap aman dengan menghitung pada sisi perbandingan PDB (product domestic bruto). Padahal, mereka lupa menghitung perbandingan PDB itu sama dengan menghitung angin. Kontribusi terbesar PDB itu berasal dari perusahaan asing. ”Jadi, menghitung PDB itu sama saja menghitung angin oleh karena yang dihitung perusahaan asing juga.”

Utang tidak bisa dibandingkan dengan PDB. Negara maju seperti Amerika dan Jepang mempunyai piutang. Berbeda dengan Indonesia yang tidak punya piutang tapi banyak utang. Dan pemerintah ujung-ujung membebankan utang kepada rakyat melalui peningkatan pajak.

Dia memaparkan, tahun ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencetak surat utang senilai 300 triliun untuk APBN. Celakanya, surat utang itu diterbitkan dan dimanfaatkan sebagian besar untuk menggaji aparatur pemerintah. ”Itu

kan bahaya sekali. Negara maju jika berutang biasanya dalam rangka membangun industri. Tapi Indonesia berutang untuk membayar birokrasi yang korup.”

Jika keadaan itu yang terjadi, maka ke depan beban Indonesia semakin berat karena diwarisi oleh utang yang begitu besar, beban defisit anggaran dan beban defisit transaksi barang

jasa. Pemerintah semakin rentan terkena krisis.

Ketika pemerintah menyebut angka kemiskinan mencapai delapan persen atau sekitar 30 juta jiwa dengan wajah ceria, menurut dia, itu tidak pantas. Disisi lain, indikator mengukur kemiskinan dianggap menyesatkan. Mengapa? Pasalnya, kemiskinan itu diukur dari tingkat pengeluaran, bukan tingkat pendatapan dan pekerjaan. Sementara pengeluaran itu bisa dihitung dari mana-mana, mulai dari utang, bantuan sosial, bantuan langsung tunai dan bantuan langsung sementara masyarakat.

Tingkat pengeluaran yang dijadikan indikator kemiskinan itu sangat rendah dan tidak tidak manusiawi sekali, yakni keseimbangan kemampuan berbelanja (purchasing power parity) adalah satu dolar yang setara dengan 6.500 rupiah. Apabila indikatornya dinaikkan menjadi dua dolar maka jumlah orang miskin di Indonesia meningkat menjadi 150-220 juta jiwa.

Indonesia bergelimang dengan sumber daya alam. Ketersediaan pertambangan berupa mineral dan biji besi berada pada urutan ke-1 s/d 10. Demikian halnya di sektor energi yang berada diurutan teratas seperti, batubara, gas, minyak, dan panas bumi. Oleh sebab itu, tidak pantas jika negara ini menjadi miskin. ”Persoalannya adalah kita bodoh dan gagal dalam meletakkan dasar-dasar dalam pembangunan ekonomi sendiri dan terombang-ambing dalam persaingan internasional,” jelas Daeng.

(24)

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Mulai dari makan segar-segar sampai uranium bahan pembuat bom ada di Indonesia. Akan tetapi , kemiskian merupakan gambaran secara umum yang didapati di masyarakat.

Bedenikta Putri Sitepu, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Sumatera Utara (Sumut), mengatakan, persoalan kemiskinan disebabkan asumsi tingkat kemiskinan yang berbeda-beda. Bila merujuk kepada asumsi pemerintah berdasarkan data Badan Pusat Statistik, masyarakat Indonesia secara umum tidak miskin. Sedangkan bila

merujuk kepada data World Bank, Indonesia merupakan negara miskin. Di situlah letak persoalan kemiskinan di Indonesia. Data kemiskinan yang berasal dari BPS merupakan data dari penelitian yang dilakukan sekali dalam lima tahun. Asumsi kebutuhan lima tahun sebelumnya berbeda dengan kebutuhan sekarang ini.

“Harga kebutuhan pokok pada saat lima tahun yang lalu tidak sama dengan harga sekarang ini,” ujarnya. Kemudian, paramater kebutuhan masyarakat yang tidak tergolong

”Bisa Makan Saja,

Bukan Berarti Tidak Miskin”

Dr Badikenita Putri Sitepu, SE., M.Si

Calon Anggota DPD dari Sumut

miskin, sangat jelas berbeda dengan paramater yang dikeluarkan oleh World Bank. Di Indonesia, warga yang tak mampu memenuhi kebutuhan 2.100 kilokalori per hari, serta kebutuhan dasar minimal untuk nonmakanan Rp 212.000 per bulan, masuk kategori miskin. Dengan memakai kategori ini, jumlah penduduk miskin di Indonesia 34,96 juta jiwa. Sedangkan bila menggunakan acuan World Bank, hampir separuh jumlah penduduk Indonesia masuk kategori miskin. Acuan yang digunakan adalah kemampuan penduduk untuk membelanjakan US$ 2 per hari. Putri berpendapat, parameter yang digunakan untuk kategori miskin sangat rendah. Jika angka kemiskinan di Indonesia tinggi, maka pemerintah dianggap gagal. Jadi, survei ekonomi penduduk yang dilakukan oleh pemerintah itu tidak lebih dari sebuah pencitraan. Yang perlu sebenarnya dijawab oleh pemerintah saat ini adalah Apakah dengan tingkat pendapatan penduduk sekarang ini, bisa memenuhi tingkat kebutuhan gizi penduduk itu sendiri?

“Oleh karena itu, persoalan kemiskinan itu akan bisa teratasi, jika pemerintah sendiri menetapkan asumsi penduduk tidak miskin itu bukan hanya bisa makan, tetapi lebih kepada memenuhi kesejahteraan penduduk itu sendiri,” ujarnya. ■

(25)

SOROTAN

Di Jember, Jawa Timur, ada caleg yang pekerjaanya juru parkir. Namanya Hery Susanto. Lelaki berusia 45 tahun ini sehari-hari mencari makan sebagai juru parkir di Desa Tegal Rejo, Kecamatan Mayang, Jember. Sudah delapan tahun lebih Hery berprofesi sebagai juru parkir di Dinas Perhubungan Jember. Hery nekat maju sebagai caleg untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jember dari Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Alasan Hery menjadi caleg sederhana dan klise: ingin memperjuangkan nasib rakyat, terutama juru parkir di Jember.

Hery mengaku tidak bermain-main dan akan berusaha seoptimal mungkin

untuk memperjuangkan aspirasi rakyat

kecil, jika benar-benar terpilih menjadi wakil rakyat.

“Saya ini rakyat kecil, tahu apa yang dirasakan rakyat sehari- hari. Bagaimana susahnya mencari makan, untuk kebutuhan lainnya juga,” ucap pria yang sehari-hari sejak pagi mengatur kendaraan roda dua dan empat di Jalan Trunojoyo, Jember, itu. Sehari-hari ia berjalan lebih kurang 30 kilometer karena dia berpindah-pindah lokasi parkir. Dalam kesempatan

seperti itu Hery menanyai warga

tentang keluhan-keluhan masyarakat dan mencatatnya dalam sebuah buku, sekaligus memperkenalkan dirinya sebagai caleg.

“Saya tidak punya duit, saya

tidak punya tim sukses, saya hanya

punya modal kepercayaan kepada masyarakat,” ujarnya.

Hery memanfaatkan waktu luangnya setelah menjadi juru parkir untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat. “Saya datangi satu persatu rumahnya, saya ajak dialog langsung rakyat. Kalau mereka mau berjuang dengan saya, ayo ikut saya

bersama-sama di pemilu legislatif mendatang.”

Ia menantang seluruh caleg di Jember, khususnya di Daerah Pemilihan

III, untuk bertarung secara adil, tidak

bermain kotor dengan membagi-bagikan uang. “Ayo kita bertarung secara sehat, kita bersaing untuk

mendapatkan simpati rakyat.”

Ketua DPC PKPI Jember Tutuk Kurnia Wahyuningtyas membenarkan, salah satu calegnya adalah seorang juru parkir.

“Di partai kami, tidak ada yang

membedakan antara status sosial

caleg. Jadi tidak harus banyak duit, yang penting caleg benar-benar dipercaya

masyarakat,” katanya.

Jumlah caleg PKPI di Jember 41 orang. Yang terjaring sebagai caleg, selain seorang juru parkir tadi, ada juga tokoh maasyarakat, mantan kades, dan pengusaha.

Di Sukoharjo, Jawa Tengah, seorang kernet atau kondektur bus juga menjadi caleg. Pria yang bernama Ismanta itu adalah warga Perumahan Johor Baru, Sukoharjo.

Lelaki berusia 50 tahun ini adalah kernet bus jurusan Solo-Purwantoro. Mengapa dia juga kebeletjadi caleg? Lagi-lagi jawabannya klise. Ismanta merasa terpanggil untuk membangun

daerah yang terpencil dan setiap

hari ia lintasi kala bekerja, terutama sepanjang jalur antara Solo-Wonogiri-Gunungkidul.

Ia mendaftarkan diri serta mendapat

nomor urut 8 untuk Dapil IV, Gunung Kidul, DIY. Ia memilih Partai Nasional

Demokrat sebagai kendaraan politiknya

Pemilu 2014 Banyak

Caleg Nekat dengan

Alasan Basi

Pemilu 2014 bakal diramaikan tukang parkir, tukang

bakso, tukang koran, dan kondektur. Mereka merasa

pantas jadi wakil rakyat, dengan alasan yang sudah

basi.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mewujudkan upaya-upaya tersebut dalam rangka menunjang kegiatan para anggotanya (Promosi Anggota) , perusahaan koperasi pada organisasi yang didirikan oleh

CMMI merupakan sebuah sekumpulan pengetahuan atau best practices untuk membantu organisasi dalam menjalankan proses-proses dalam pengembangan software menjadi lebih

KPAI tidak mempunyai kedudukan sederajat dengan lembaga yang secara langsung menerima kewenangan konstitusional, tetapi KPAI dibentuk hanya untuk mendukung kinerja pemerintah

Karya tulis ilmiah berupa skripsi ini dengan judul “Analisa Distribusi Temperatur Chip pada Proses Pembubutan dengan Pendingin Kriogenik menggunakan FEM-Autodesk Simulation

E.coli. Untuk pengambilan contoh terkait Ciguatoxin dan kekerangan, dilakukan pada ikan karang hasil tangkapan dengan berat minimal 2 kg di lokasi pendaratan

Ketiga metode tersebut menghasilkan hasil yang tidak jauh berbeda yaitu reksa dana syariah memiliki rata-rata kinerja yang lebih baik dari reksa dana konvensional

Dari hasil penelitian yang berjudul Pengaruh Keselamatan dan Kesehatan Kerja terhadap Kinerja Karyawan yang dilakukan di PG Kebon Agung ini, maka dapat diketahui

*Total Keseluruhan Tenaga Kerja yang ada di Perusahaan, Direct Subordinate: Jumlah Anak Buah yang secara Langsung di bawah Anda, Total Anak Buah: Total Keseluruhan Jumlah Anak