• Tidak ada hasil yang ditemukan

Totalitas Adalah Nomor Satu"

Dalam dokumen Majalah Integritas Desember 2013 (Halaman 90-93)

D

itemui di kantornya, Kampus UMB, kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, kepada INTEGRITAS Arissetyanto menjelaskan tentang peran dan strategi UMB dalam memajukan pendidikan di Indonesia, juga perjalanan karirenya sampai akhirnya menjadi Rektor UMB pada 2010.

Sejak lulus dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia pada 1992 sebagai wisudawan terbaik, Arissetyanto tidak pernah terpikir akan berkarier di dunia akademisi. Seperti kebanyakan sarjana teknik lain, setelah lulus ia menjalankan bisnisnya sendiri sebagai kontraktor bidang migas. Ia pernah membangun tangki bahan bakar minyak di Indramayu (Balongan), Dumai, dan Balikpapan. Arissetyanto juga bekerja sama dengan perusahaan di Bandung (Jawa Barat) merakit dan mengekspor peralatan keselamatan bandara. Namun, sembari bekerja ia mengikuti perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Misalnya, tentang ujian nasional dan terbitnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Ia juga kerap menulis tentang pendidikan di majalah dan koran. Motivasi untuk meneruskan jenjang pendidikan S-2 muncul ketika dia bertemu dengan teman lama di perpustakaan Salemba yang sudah terlebih dulu mengecap pendidikan S-2. Akhirnya, Arissetyanto memilih kuliah di UMB. Pada 1996, ia menjadi dosen di universitas yang berdiri sejak 1985 ini. Sepuluh tahun kemudian, ia menduduki jabatan wakil rektor. Pengalamannya di dunia bisnis menjadi modal penting dalam menyusun bahan mengajar Kewirausahaan yang dapat dipergunakan mahasisiwa S-1. Ia bersama Prof Dr H Suharyadi dan Purwanto SK, M.Si menyusun bahan mengajar berjudul Membangun Usaha Sukses Sejak Usia Muda. Disusul dengan tulisan-tulisan lain mengenai kewirausahaan dan pendidikan, serta aktif menjadi pembicara di berbagai kegiatan kemahasiswaan.

Ibarat lokomotif, tantangannya

sebagai rektor adalah bagaimana menggerakkan gerbong kereta, yaitu seluruh civitas akademika, agar mencapai tujuan. Tantangan kedua, bagaimana menanamkan enterpreneur mindset kepada seluruh dosen agar mampu bergerak lebih dinamis mengikuti perkembangan zaman. ”Apa pun organisasinya, yang paling bahaya adalah terperangkap dalam zona nyaman. Padahal, yang paling penting adalah kita harus mengasah diri kita sehingga bisa membuat nilai tambah terus-menerus dan tidak mandek,” ujarnya.

Dalam bekerja Arissetyanto memang tidak pernah mau tanggung-tanggung. Baginya totalitas adalah nomor satu. Maka tak mengherankan jika ia sering mendapat predikat sebagai dosen terbaik di UMB. Terakhir gelar itu didapatnya pada 2011. ”Di mana pun kita bekerja, kita harus menjadi nomor satu. Bila tidak di jabatan, ya nomor satu dalam kinerja,” katanya.

Ada beberapa tokoh yang cukup menginspirasi hidupnya, khususnya dalam berkarier. Misalnya, Napoleon Bonaparte, Ronald Reagen, dan Soekarno. Dari Napoleon ia belajar konsep soft power karena Napoleon sangat memperhatikan semua hal yang berkaitan dengan para prajuritnya, termasuk memperhatikan kondisi keluarga mereka. Maka tak aneh bila Arissetyanto tak pernah lupa dan selalu memberi ucapan selamat bila ada dosen yang berulang tahun.

Dari Ronald Reagen ia belajar tentang ketegasan dalam bersikap dan bijak dalam mengambil keputusan demi tujuan yang lebih besar. Sebagai keponakan Soeharto, Arissetyanto juga mengagumi nilai-nilai positif yang dimiliki pamannya itu. Seperti kemampuan Soeharto dalam mengoperasikan ideologi bangsa yang tertuang dalam P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dan kemampuannya mengeksekusi rencana.

”Tegas, direktif, apa yang sudah disampaikan itu kalau sudah punya komitmen akan dikawal terus,” papar Arissetyanto.

Pria berusia 44 tahun ini juga memiliki hobi unik. Selain membaca buku biografi, ia gemar mengumpulkan mainan. Koleksinya mencapai ribuan dan kini diwariskan kepada anak laki-lakinya.

Pengajaran Soft Skill Jadi Ciri Khas Dalam upaya merealisasi visi universitas menjadi ”universitas unggul dan terkemuka untuk menghasilkan tenaga profesional yang memenuhi kebutuhan industri dan masyarakat dalam persaingan global”, UMB mencoba menerapkan apa yang dimaksud dengan universitas unggul. Unggul berarti setiap mahasiswa harus lulus hanya dalam delapan semester; enam bulan setelah lulus bekerja dan membuat bisnis sendiri; memiliki kompetensi bahasa Inggris dengan TOEFL di atas 450; dan memiliki kaidah moralitas.

Selain menjalankan tridarma perguruan tinggi, UMB melakukan beberapa inovasi dan kreativitas untuk memperbaharui kualitas pengajaran di kelas, menjalankan kurikulum berbasis kompetensi, dan mengajarkan mahasiswa tentang pentingnya tanggung jawab dan komitmen yang tinggi. Oleh karena itu, UMB sangat tegas terhadap mahasiswa yang absen mengikuti perkuliahan.

”Bila dua kali saja tidak masuk kuliah, itu akan memengaruhi nilai mereka,” jelas Arissetyanto.

Dengan begitu mahasiswa diajari menghargai proses.

”Ada mata kuliah dengan konsep soft skill yang menjadi ciri khas UMB. Bagaimana dia memiliki sikap tanggung jawab, leadership, karsa dan sebagainya,” paparnya.

Menurut dia, sikap-sikap mahasiswa akan diukur dan dinilai lalu dicantumkan dalam sertifikat. ”Jadi yang diukur misalnya kedisiplinan mahasiswa

maka kita rekomendasikan anak ini memiliki ketepatan waktu.”

UMB juga membuat pusat wirausaha, bekerja sama dengan lembaga-lembaga pembiayaan dan beberapa perusahaan swasta.

”Kami memiliki mata kuliah Wirausaha selama tiga semester, dan memiliki Carier Center. Beberapa mahasiswa UMB beberapa waktu lalu mendapat pinjaman dari Bank Mandiri 20 juta rupiah untuk membuat peternakan lele. Ada juga yang membuka butik di Blok M, dan banyak lainnya. Kami mempersiapkan mahasiswa untuk hidup mandiri, tidak hanya mencari kerja,” tambahnya. Selain itu, mahasiswa juga diberi sarana untuk pengembangan bakat dan minat, seperti di bidang olahraga dan 13 unit kegiatan mahasiswa (UKM). Prestasi mahasiswa UMB untuk UKM di bidang paduan suara bisa diacungi jempol. Pada akhir 2012, mahasiswa UMB meraih juara pertama tingkat internasional 1st Xinghai Prize International Choir Championships di Guangzhou, China, dengan satu emas, satu medali perak, dan grand prize kategori folklore. UMB berencana bertanding lagi di Eropa.

Bukan Pabrik Ijazah

Arissetyanto sependapat, masalah biaya kuliah kerap melanda banyak perguruan tinggi swasta di Indonesia yang kini jumlahnya sudah mencapai 3.016 buah. Oleh karena itu, ia berharap pihak-pihak yang ingin mendirikan universtitas swasta sebaiknya ditopang oleh pendanaan yang memadai, misalnya memiliki lembaga industri yang mapan.

”Kebetulan Pak Probosutedjo, pendiri universitas ini, sudah memiliki hotel, perkebunan dan industri lainnya. Sehingga pendanaan tidak menjadi masalah,” tutur Arissetyanto.

Tapi Arissetyanto memaklumi, banyak universitas lain mengalami

kesulitan pendanaan karena ratio jumlah mahasiswa di berbagai universitas memang terlihat timpang. ”Ada universitas yang memiliki mahasiswa tak lebih dari seribu orang, ini sangat tidak ideal.”

Ia menyarankan, universitas-universitas swasta sebaiknya melakukan merger. Hal kedua yang menjadi perhatian Arissetyanto adalah kondisi pendidikan di Indonesia yang masih perlu pembenahan.

”Di Indonesia tidak ada yang disebut manpower planning, padahal itu sangat perlu,” ujarnya.

Ia berpendapat, Indonesia harus menentukan seberapa besar kebutuhan sarjana yang diperlukan setiap tahun sehingga tidak ada kesenjangan antara sarjana yang dihasilkan dengan kebutuhan bangsa ini. Ia melihat sarjana teknik dan sains sangat sedikit padahal bangsa yang ingin maju harus memiliki banyak sarjana teknik dan sains. ”Pada tahun 2016 diperkirakan kita akan kekurangan 40 ribu sarjana teknik dan sains. Itu sangat ironis. Itu terjadi karena anak-anak Indonesia saat ini sangat pragmatis sehingga lebih memilih program studi yang begitu

lulus bisa langsung kerja. Kita tidak ingin perguruan tinggi menjadi pabrik ijazah. Harus ada pola terencana dan terukur.”

Memang harus ada perencanaan sumber daya manusia karena dengan pertumbuhan ekonomi enam persen, negeri ini hanya dapat menyediakan 250 ribu lapangan kerja, sedangkan saat ini mahasiswanya mencapai 5,4 juta orang.

Ketiga, Arissetyanto berharap pemerintah lebih berperan aktif dalam mengelola program-program studi bisnis yang menjamur dimana-mana. ”Sebaiknya PTN tidak perlu lagi memiliki program studi ekonomi, serahkan saja kepada swasta. Jadi program studi yang peminatnya sedikit, seperti linguistik atau MIPA, itu saja yang dikelola PTN.” Ia hanya berharap Indonesia memiliki sistem pendidikan yang terintegrasi dan bertujuan jangka panjang. Untuk menuju 100 tahun Indonesia merdeka pada 2045, semua lembaga pendidikan, dari TK sampai PT, harus mempersiapkan generasi terbaik.

Dalam dokumen Majalah Integritas Desember 2013 (Halaman 90-93)