• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEPAK TERJANG

Dalam dokumen Majalah Integritas Desember 2013 (Halaman 85-90)

A

yahanda Maruarar Sirait (anggota DPR RI) itu menegaskan, tidak mesti menjadi pejabat atau anggota legislatif untuk bisa mewarnai perpolitikan yang cerdas dan berprinsip, dengan semangat nasionalisme.

Bahkan, sebelum didaftarkan sebagai calon senator dari Jakarta, Sabam Sirait sudah menyampaikan kepada kolega dan keluarganya, termasuk kepada Maruarar, bahwa dirinya sudah tidak berminat menjadi politisi yang berkantor di Senayan.

”Saya sudah tua dan sakit-sakitan. Saya bilang, ’Saya sudah cukup. Tidak harus menjadi anggota DPR atau menjadi anggota DPD’,” ujar Sabam ketika berbincang

dengan INTEGRITAS di Sekretariat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Jakarta, Jalan Salemba Raya 49, Jakarta Pusat, 6 Desember lalu.

Sabam berdebat dengan Maruarar (kini pengurus Dewan Pimpinan Pusat PDIP) selama berhari-hari karena anak pertamanya itu kembali mengusulkan dan memintanya kembali berpolitik lewat jalur DPD. Maruarar, atau biasa disapa Ara, tidak menyerah. ” B e r ka l i -kali saya tolak permintaan Ara itu. Tetapi dia terus meminta saya. Alasannya, di sisa usia saya ini, sebagai seorang politisi yang sudah mendarah daging sejak muda, pasti akan merecoki partai ataupun perpolitikan bila tidak dikasih kesempatan berpolitik praktis lagi. Padahal saya katakan, ’Saya sudah cukup kok’,” tutur Sabam.

Pria kelahiran Pulau Simardan, Tanjung Balai, (Sumatera Utara), 13 Oktober 1936, ini memang dikenal sebagai salah satu tokoh senior, dan sentral, di partai berlambang banteng itu.

Sabam adalah anggota DPR-GR/MPRS (1967 hingga 1977). Kemudian, pria yang dikenal humoris dan cerdas ini tercatat sebagai seorang deklarator Partai Demokrasi Indonesia (PDI), ketika lima partai politik bersepakat melakukan fusi di masa Orde Baru. Pada 10 Januari 1973, Sabam sebagai tokoh Partai Kristen Indonesia (Parkindo), bersama sejumlah tokoh politik dari Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Partai Katolik, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan Partai Musyawarah Masyarakat Banyak (Murba) mendeklarasi

berdirinya Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang sejak reformasi berubah menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Setelah fusi itu, Sabam terpilih menjadi Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI, jabatan yang kemudian dipegangnya selama 13 tahun. Kiprahnya di dunia politik semakin berkibar. Selain vokal dan berani menyuarakan aspirasi rakyat, ia juga tampil dalam waktu yang tepat. Ia menjadi anggota DPR Fraksi PDI dari 1973 hingga 1982, kemudian anggota MPR (1982-1983). Pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung atau DPA (1983 1992), ketika kembali ke Senayan ia menduduki kursi Wakil Ketua Komisi I DPR (1992-1997). Jabatan lain yang pernah didudukinya dalah Ketua BKAP/ BKSAP DPR dan Ketua Pansus Otonomi Khusus Papua (1999-2004). Pada 2005 hingga 2009, Sabam kembali menjadi anggota DPR dari Fraksi PDIP dan ditempatkan di Komisi I. Alhasil, dia mengabdikan diri untuk bangsa dan negara hampir separuh usianya.

“Mungkin ini seperti takdir juga,” ujarnya, lalu terkekeh.

Beberapa hari setelah berdebat dengan Ara, Sabam mendapat telepon dari sahabatnya yang juga politisi senior di PDIP, Sidarto Danusubroto. Sidarto yang kini Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) malah berusia lebih tua dari Sabam. Purnawirawan polisi yang pernah menjadi ajudan Bung Karno itu berusia 80-an tahun tapi masih juga maju sebagai calon anggota DPD dari Provinsi DIY Yogyakarta untuk Pemilu 2014. “Anda kan masih sehat walau

lebih tua dari saya. Masih bisa jogging, karena sebagai polisi selalu melatih fisik. Nah, kalau saya? Saya sudah sakit-sakitan, hanya bisa duduk, membaca, untuk naik tangga saja sudah kewalahan,” ujar Sabam kepada Sidarto.

Sabam tidak menyangka bahwa desakan-desakan itu bisa terwujud. Sekitar tujuh ribu fotokopi KTP dia terima beberapa hari sebelum mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Fotokopi KTP itu merupakan syarat yang harus dipenuhi ketika mendaftar sebagai calon anggota DPD.

“Ya mau gimana? Never mind-lah. Dijalani saja. Dan seusia saya ini, juga harus terus turun ke bawah dan berjuang,” kata dia, tersenyum. Sabam sungguh menyadari, usianya yang sudah tidak muda lagi mungkin akan menjadi bahan gunjingan sejumlah kalangan, terutama anak-anak muda yang merasa kepentingannya terganggu, sebab harus bersaing dengan orang sekaliber dirinya.

“Bagi saya, politik itu bukan soal menang atau kalah dalam pemilihan. Tapi, soal bagaimana memiliki prinsip berpolitik untuk melayani masyarakat,” ujar Sabam diplomatis.

Don’t Do That

Sabam yang baru meluncurkan Politik Itu Suci, buku biografi berisi perjalanan karier dan pandangannya tentang politik, mengingatkan, berpolitik praktis tidak harus dengan cara-cara yang pragmatis atau mencari keuntungan pribadi. “Uang memang diperlukan juga dalam berpolitik, tetapi bukan

segala-galanya. Pragmatisme dan hanya cari-cari kesempatan dan menebar money polititics dalam berpolitik terbukti tidak akan awet, malah akan merugikan diri sendiri dan masyarakat. Tidak akan dipercaya oleh masyarakat. Don’t do that. Berpolitik harus memiliki prinsip yang teguh, memiliki idealisme yang kokoh. Berpolitik harus memiliki jati diri,” ujar Sabam.

Ia senang kalau melihat banyak pemuda terjun ke dunia politik praktis. Namun, dia mengingatkan, politik praktis harus dimaknai dan diwarnai dengan prinsip-prinsip berpolitik yang mengabdi untuk kepentingan masyarakat.

Sabam yang sudah malang melintang dalam dunia perpolitikan Indonesia itu pun mengingatkan kaum muda, terutama para calon anggota legislatif (caleg) yang berlomba-lomba ingin meraih kursi anggota DPR/DPRD agar tidak menjadikan politisi sebagai pekerjaan.

Caleg-caleg yang bertindak bagai seorang pencari kerja atau jobs seeker, lanjut Sabam, tidak akan bisa

berbuah apa-apa bagi masyarakat. “Yang seperti itu adalah penipu-penipu saja. Itu tidak perlu diikuti. Berpolitik bukan menjadi penipu.” Zaman sekarang, untuk duduk di struktur partai politik loyalitas dan idealisme harus teruji. Tidak ujug-ujug bisa duduk sebagai pimpinan partai politik tanpa proses kaderisasi yang jelas.

”Di masa kami dulu, begitu masih bisa. Tiba-tiba seseorang bisa duduk sebagai pimpinan partai politik. Itu pun sebenarnya bukan ujug-ujug. Sebab, kualitas dan loyalitas itu tetap menjadi pertimbangan. Kalau sekarang, malah ada yang bayar supaya bisa duduk dalam struktur partai. Nah, yang seperti itu pastinya tidak akan bagus. saya katakan, yang begitu itu adalah para penipu,” kata Sabam.

Dia tidak menampik, dalam sistem perpolitikan Indonesia yang multipartai seperti sekarang, ada dinamika. Seorang caleg ataupun kader bisa saja pindah dari satu parpol ke parpol lainnya.

”Itu sah-sah saja. Tetapi harus dilihat latar belakangnya. Apakah

dia pindah atau loncat karena ada unsur sakit hati, ataukah hanya unsur pragmatisme. Jika dikarenakan adanya persoalan prinsip dan idealisme yang tidak tertampung melalui parpol tempatnya semula, saya kira itu sah-sah saja. Asal jangan karena sakit hati dan sikap pragmatis saja,” terang Sambam. Menurut dia, seorang politisi, termasuk yang kini menjadi caleg, tidak cukup hanya memiliki uang yang banyak, tetapi juga harus mengasah kemampuan, kepekaan, dan juga ilmu yang akan diabdikan kepada masyarakat melalui politik. “Perlu banyak belajar, membaca banyak buku. Melengkapi dengan keterampilan, ilmu dan juga mengasah hati dan militan. Niscaya, jika terjun ke dunia politik praktis tidak akan tergilas.”

Sabam mengenang sebuah ucapan yang sangat menginspirasi dirinya. Dulu, ketika kan menjadi Sekjen PDI hasil fusi, tokoh politik dan bapak bangsa dr Johannes Leimena mengatakan, “Sabam, kini engkau telah masuk ke dalam kawanan serigala, tetapi engkau tidak boleh menjadi serigala. Jangan pernah menjadi serigala.”

Leimena adalah senironya di Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) serta tokoh pergerakan dan pejuang di masa sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan itu.

“Itu saya ingat dan saya pegang teguh,” sambung Sabam.

Sabam Sirait adalah anak dari pasangan Hendrik Sirait dan Yulia Sibuea, asal dari Porsea, Kabupaten Tobasamosir. Kedua orangtuanya berharap dia menjadi guru. Pada masa itu guru adalah pekerjaan yang sangat mulia.

Karena Sabam tidak berminat menjadi guru, orangtuanya kemudian meminta Sabam menjadi polisi. Sabam mengiyakan. Namun, ketika hendak mendaftar ke kepolisian, Sabam gigit jari karena pendaftaran sudah ditutup.

Pupus sudah harapan kedua orang tuanya. Ternyata, Sabam

tertarik memikirkan persoalan bangsa. Melihat intelektualitas serta sikap kritis Sabam, orangtuanya yakin sang anak bisa menjadi orang besar

Pada April 1956, Sabam memutuskan melanjutkan studi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI). Sejak menjadi mahasiswa, Sabam aktif di GMKI. Oppung—begitulah ia biasa disapa--juga aktif dalam Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI). Sabam tercatat sebagai aktivis mahasiswa 66 yang terkemuka. Pada masa itu, pergerakan dan pergolakan nasional sangat mewarnai kehidupannya. Dia aktif di Parkindo. Ia bahkan tidak sempat mendapatkan ijazah dari kampusnya karena hampir seluruh aktivitas dan energinya sudah tersedot pada kehidupan politik masa itu. Sejak menjadi Sekjen Parkindo, Sabam total menggunakan waktunya berpolitik prakti.

“Seratus persen hidup saya waktu itu untuk mengurusi Parkindo. Saya tidak memikirkan uang, tidak memikirkan yang aneh-aneh. Beraktivitas murni dalam pusaran politik,” tuturnya,

Lahap Baca Buku

Politisi yang sangat disegani kawan dan lawan ini mengaku terus mengasah ilmu. Dia tidak mau kalah oleh anak-anak muda. Sejak muda, Sabam memang dikenal lahap membaca buku.

“Walau sudah tua begini, dalam sehari saya masih menyediakan waktu enam sampai delapan jam untuk membaca,” kata pria yang secara pribadi memiliki aliran politik sosial demokrat tapi bukan ala partai komunis dan bukan pula ala PSI (Partai Sosialis Indonesia). Dia membaca apa pun, mulai dari hasil penelitian, buku baru, majalah, dan surat kabar. “Kalau orang tidak membaca, otaknya bisa menjadi, dalam istilah Batak, majal alias tidak kreatif.”

Selain lahap membaca buku, pria yang dikenal humoris ini sejak muda memiliki ”kebiasaan lain”. Tak banyak yang tahu bahwa setiap hari dia harus meminum obat antikoagulasi (anti-penggumpalan darah) karena dia mengidap penyakit kelainan darah.

Sabam mengaku sudah terdiagnosis menderita penyakit itu sejak berumur 25 tahun. Seorang dokter pernah memprediksi usia Sabam hanya sampai 60 tahun. ”Kata dokter terjadi pembentukan bekuan darah dalam pembuluh darah. Saya lupa nama penyakitnya. Tapi, berkat kuasa Tuhan dan kemajuan ilmu pengetahuan, saya bertahan. Tapi,

saya harus minum obat secara rutin yang bisa mengencerkan darah saya,” tuturnya.

Sabam sangat bergantung kepada obat tersebut. Kalau sampai lupa, kondisi tubuhnya akan ngedrop. ”Jadi, kalau sampai enam hari saya tidak minum obat itu, terus darahku mengental, maka habislah aku.”

Ia mengucapkan kalimat itu dalam logat Batak yang kental Semasa berkantor di parlemen, Sabam memiliki pasangan duet istimewa: Ara. Sabam di Komisi I, Ara di Komisi XI.

”Ara itu memang anak saya. Tapi, dia maju karena kemampuannya sendiri. Dia sudah bekerja mati-matian di partai sejak 15 tahun lalu,” ujar pengagum Bung Karno dan dr Johannes Leimena ini. Pada Pemilu 2009, Sabam dan Ara kembali maju sebagai caleg PDIP. Keduanya sama-sama mendapat nomor satu. Bedanya, Sabam dipindah ke Dapil Kalimantan Tengah, sedangkan Ara tetap dipertahankan di Dapil lamanya, yakni Dapil Jawa Barat IX. Dalam daftar calon tetap (DCT) PDIP, Sabam ternyata tercatat sebagai salah satu caleg tertua.

Apa yang memotivasi Sabam, sampai-sampai di usianya yang sudah sepuh itu masih bersedia di-caleg-kan kembali?

”Kalau itu, seharusnya ditanyakan ke Mega dan Pram (Pramono Anung, yang kala itu menjabat Sekjen PDIP-Red),” jawabnya, lantas terkekeh. Sekalipun begitu, sebagai kader partai, Sabam harus menerima dan menjalankan keputusan-keputusan partai. ”Kalau masih mau dan

mampu, ya terimalah.”

Mengenai Dapil Kalimantan Tengah untuk dirinyta, dia mengaku tidak pernah meminta secara khusus. Selama ini Sabam selalu tunduk kepada keputusan partai. ”Saya ini pernah jadi caleg di Sumut, Sulut, pernah juga Papua, dua kali terakhir di DKI. Teman-teman ada yang bercanda mungkin karena belum pernah ditaruh di Pulau Kalimantan, makanya saya di pasang di Dapil Kalimantan Tengah.” Mendapat dapil baru waktu itu membuat Sabam harus bekerja ekstrakeras, apalagi dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menerapkan sistem suara terbanyak. Nomor urut satu tidak lagi menjadi jaminan. Siapa pun caleg yang mendapat suara terbanyak, dialah yang berhak mendapatkan kursi yang dimenangkan partainya di dapil bersangkutan.

”Sewaktu Pemilu 2004, saya masih bisa kampanye di seluruh wilayah Indonesia untuk semua caleg PDIP. Walau itu masih saya lakukan, intensitasnya jelas berkurang. Sebab, saya harus fokus menggarap dapil saya sendiri,” katanya berseloroh.

Sabam memang sudah banyak makan asam garam dunia politik. Pemilu 1977 mengantarkannya ke Senayan dari jalur PDI. Sebenarnya dia berkiprah di parlemen sejak 1967 (dari Parkindo). Seiring bergulirnya reformasi, Sabam menjadi bagian dari kekuatan pro-Megawati Soekarnoputri yang mendeklarasikan PDIP pada 14 Februari 1999 di Istoran Senayan, Jakarta.

Bahkan, seperti diakui Ketua Umum PDIP Megawati

Seokarnoputri, Sabam Sirait-lah yang mendatangi keluarga Megawati dan Taufiq Kiemas di masa Orde Baru, dan mengajak dia kembali berkiprah dalam dunia politik.

Mega sempat mengenang pertemuannya dengan Sabam saat bersama suami tercinta, mendiang Taufiq Kiemas. Ketika itu, Mega dan Taufiq yang sedang berada di daerah Kemayoran, Jakarta Pusat, bertemu dengan Sabam. Saat pertemuan itu, Mega dan Taufiq sudah lama menjauh dari politik karena tekanan orde baru.

”Jadi suatu ketika, Sabam, saya dan almarhum Pak TK, bertemu di Kemayoran. Dari jauh beliau sudah lari,” kenang Mega.

Saat itu, Sabam-lah yang mendorong Megawati beserta Taufiq Kiemas untuk masuk ke dalam dunia politik.

“Taufiq, Mega, sini, masih sempat kita ngomong. Fiq, coba kamu berdua masuklah kembali ke politik,” kata Sabam.

Saran Sabam itu membuat Megawati tertawa. Mengapa? Sebab, pada masa itu publik masih memandang sebelah mata sosok Bung Karno.

”Saya ketawa, mengerti bahwa itu tak mungkin. Semua alergi nama Bung Karno. Tapi dia bilang, ’Cobalah’,” cerita Mega ketika memberi sambutan pada acara peluncuran buku Politik Itu Suci di Gedung Lemhannas, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, 10 November lalu.

Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.

Itulah prinsip kepemimpinan yang diterapkan Dr Ir Arissetyanto Nugroho,

MM, dalam memimpin Universitas Mercu Buana (UMB). Warisan nilai dari

Ki Hajar Dewantara tersebut mengajarkannya bagaimana cara memimpin,

memotivasi, dan menginspirasi seluruh dosen, karyawan, dan mahasiswa.

Dalam dokumen Majalah Integritas Desember 2013 (Halaman 85-90)