• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kisah Awal DOM t

Dalam dokumen Fakta Bicara (Halaman 43-64)

Sepanjang 1989-1998, Aceh berstatus Daerah Operasi Militer (DOM). Status itu disandang karena Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soeharto bermaksud untuk memberantas Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang melakukan perlawanan, untuk kemerdekaan Aceh. GAM diproklamirkan oleh Hasan Tiro pada 4 Desember 1976.

Sejumlah sumber menyebutkan bahwa status DOM Aceh selama sembilan tahun, Misalnya dapat dilihat dari judul buku “Aceh Bersimbah Darah, Mengungkap penerapan Status Daerah operasi Militer (DOM) di Aceh 1989-1998, yang ditulis oleh Al Chaidar, Sayed Mudhahar Ahmad dan Yarmen Dinamika. Namun dokumen resmi tentang ditetapkannya DOM pada tahun 1989, tidak ditemukan.

Meski masyarakat luas mengetahui bahwa penerapan DOM dimulai sejak tahun 1989, namun jauh sebelum itu, pemerintah pusat telah melancarkan sejumlah operasi militer untuk menumpas GAM, yang ketika itu disebut dengan Aceh Merdeka (AM). Saat itu, masyarakat juga mengenal gerakan tersebut dengan sebutan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) sebagaimana yang dilabelkan pemerintah saat itu.

Sebelum Aceh secara resmi dinyatakan berstatus DOM dalam rentang 1989-1998, beberapa peristiwa kontak senjata telah terjadi di wilayah ini, ditandai dengan dilakukannya kampanye panjang berintensitas rendah yang bertujuan melacak anggota-anggota GAM dan menghancurkan

pemberontakannya.1

Operasi-operasi penanganan pemberontakan tersebut telah menyebabkan terjadinya berbagai macam pelanggaran HAM yang dilakukan oleh tentara Indonesia, dulu disebut Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

Sejumlah operasi militer ABRI yang dilakukan di Aceh awalnya dipicu oleh timbulnya gerakan bersenjata yang disebut GPK. Meski begitu, penetapan status Aceh sebagai daerah operasimiliter tidak terlepas dari peran Ibrahim Hasan, Gubernur Aceh periode 1987-1993. Hal ini terungkap dalam wawancara Ibrahim Hasan dengan Majalah Tempo, pada Agustus 1998.2 Ia membedakan gerakan yang dilakukan oleh GPK saat itu ke dalam dua kelompok, yakni GPK generasi pertama(sejak tahun 1976), dan setelah itu merupakan GPK generasi kedua.

Menurut Ibrahim Hasan, GPK generasi kedua terjadi karena penyelesaian masalah terhadap GPK generasi pertama belum tuntas. Awalnya, pemerintah saat itu mengira bahwa setelah Hasan Tiro, deklarator GAM hijrah ke luar negeri, masalah GPK generasi pertama selesai. Tapi kemudian, gerakan tersebut muncul lagi dengan melibatkan beberapa orang Aceh yang eksodus ke Malaysia dan kemudian dibawa mengikuti pelatihan militer ke Maktabah Tajurra di Libya.

“GPK generasi kedua ini --generasi pertama tahun 1976-- berbeda sekali dengan GPK generasi satu. GPK generasi kedua ini luar biasa kejam. Ganas sekali. Tidak ada lagi nilai-nilai kemanusiaan. Begitu datang, mereka serbu dulu polisi, kantor-kantor polisi. Polisi ditembak mati di tengah jalan, kemudian dipotong-potong. Istrinya kemudian diperkosa.”

“Mereka itu GPK teroris. Teroris yang dilatih di Libya. Kemudian murid di SD-SD di daerah tepi pantai dipaksakan menyanyikan lagu Aceh Merdeka. Itu di Pidie. Kemudian pos-pos ABRI, polisi diserang habis. Selesai dari Pidie,

1_Ross Clarke, Galuh Wandita, Samsidar, Memperhatikan Korban: Proses

Perdama-ian di Aceh dari Perspektif Keadilan Transisi, International Centre for Transitional

Jusctice, Jakarta Pusat 2008, hal. 11

2_Wawancara Prof. Dr. Ibrahim Hasan:”Yang Ganas itu GPK Generasi Kedua”, Ma-jalah Tempo Edisi 23/03-8/Agustus/1998

mereka menggilir ke Aceh Utara. Di Panton Labu, Jeunieb, di Samalanga. Kemudian di Aceh Timur, di Keude Geurubak, Peureulak. Di situ, GPK yang paling besar. Mereka memilih di situ, karena mereka mudah lari. Dari Aceh Utara juga mudah lari ke Malaysia. Pidie juga begitu. Kenapa dia tidak pilih Aceh Tengah, Aceh Barat, apalagi Aceh Selatan? Dalam kondisi seperti itulah saya panggil ABRI.”3

Secara kronologis, penetapan DOM setidaknya dapat disimak daripublikasi majalah Tempo. Di tahun 1989, muncul gerakan bersenjata yang oleh pemerintah disebut GPK. Gerakan mereka makin meningkat setelah merebut 21 pucuk senjata dan membunuh 20 prajurit ABRI yang sedang melaksanakan kegiatan ABRI Masuk Desa pada tahun 1991.

Wilayah kegiatan kelompok bersenjata itu mula-mula hanya di Aceh Utara, kemudian meluas hingga Aceh Timur dan Pidie. Menghadapi situasi ini, Gubernur Aceh waktu itu, Ibrahim Hasan, minta bantuan pasukan ABRI kepada Presiden Soeharto. “Saya mengundang putra-putra terbaik bangsa dari Jakarta untuk membantu memulihkan keamanan di Aceh,” ujar Ibrahim kala itu.

Ibrahim juga berpesan agar rakyat Aceh membantu tugas-tugas ABRI. “Beri nasi kalau mereka lapar, dan air kelapa jika mereka haus. Ibarat orang meukeurija rayuek(pesta besar) sudah tentu risikonya akan pecah piring dan gelas selusin-dua lusin, hal itu janganlah jadi soal,” kata mantan rektor Universitas Syah Kuala itu.4

Sumber lain menyebutukan, sebelum DOM ditetapkan, pemerintah telah mengupayakan pendekatan kultural dengan mengedepankan peran tokoh-tokoh agama. Namun usaha itu tidak mampu mengatasi kondisi keamanan kala itu.Hingga akhirnya pemerintah memutuskan pendekatan militer sebagai solusi penanganan keamanan di Aceh. Inilah awal dari derita masa DOM yang dialami masyarakat Aceh.5

Sumber tersebut menyebutkan juga, saat itu Ibrahim

3_Ibid 4_Ibid

Hasan sempat berkilah. Menurutnya, ia hanya melaporkan kondisi keamanan Aceh sebagaimana yang mesti dilakukan sebagai Gubernur Aceh kala itu. Hal tersebut menurutnya dilakukan setelah melakukan konsultasi dengan berbagai pihak; Muspida, ulama, pimpinan partai Golkar, serta tokoh-tokoh Aceh lainnya seperti Ali Hasjmy, Noer Nikmat (di Medan), serta mantan aktivis DI/TII seperti Hasan Saleh, yang pernah menjadi Panglima Perang DI/TII, dan Hasan Ali yang merupakan mantan Perdana Mentri DI/TII, bupati, aparat keamanan dari Kodim dan Korem.

Atas desakan Mayjen (Purn) H.R Pramono, Ibrahim Hasan melaporkan kondisi Aceh kepada Presiden Suharto. Ia menyampaikan bahwa aksi-aksi yang dilakukan GPK saat itu tergolong ganas, mereka merupakan sisa-sisa GPK tahun 1976.

Dalam pertemuan pertama, presiden menekankan agar lebih dulu dilakukan pendekatan kultural dan kemasyarakatan. Hal itu dilaporkan Ibrahim Hasan kepada kalangan Muspida, ulama dan tokoh masyrakat. Salah satu yang kemudian dilakukan adalah oleh Majelis Ulama Indonesia yang saat itu diketuai Ali Hasjmy. Ia turun langsung ke daerah-daerah rawan, namun pendekatan tersebut kemudian dinyatakan gagal dan dianggap penting untuk menempuh pendekatan militer.

Mayjen (Purn) H.R Pramono sebagai Pangdam I Bukit Barisan kemudian menerapkan Operasi Jaring Merah di seluruh Aceh. Tokoh-tokoh yang dianggap bertanggung jawab terhadap pemberlakuan DOM di Aceh adalah:

Jendral (Purn) Haji Mohammad Suharto sebagai 1.

Presiden Republik Indonesia saat itu sekaligus sebagai Panglima Tertinggi dalam struktur Militer Indonesia. Jenderal (Purn) L.B Murdani, Mentri Pertahanan dan 2.

Keamanan

Jenderal (Purn) Try Sutrisno, Pangab ABRI 3.

Letjen (Purn) Syarwan Hamid, Danrem 011 Lilawangsa, 4.

Jenderal (Purn) Faisal Tanjung, saat itu menjabat 5.

sebagai Komandan Seskoad di Bandung (1989-24 Juli 1992). Dalam masa jabatan sebagai Pangab (21 Mei 1993-1998) banyak mengirimkan banyak pasukan non organik di Aceh. Dalam masa jabatan sebagai Menkopolkam (1998) ia menyatakan bahwa peristiwa pembantaian di Aceh bukanlah suatu pelanggaran HAM.

Mayjen (Purn) H.R Pramono yang saat itu menjabat 6.

sebagai Pangdam I Bukit Barisan untuk wilayah Aceh, Sumut, Sumbar, dan Riau.

Letjen Prabowo Subianto, saat itu menjabat sebagai 7.

Komandan Intelijen (Danjen) Kopassus.

Prof. DR. Ibrahim Hasan, MBA saat itu sebagai Gubernur 8.

Daerah Istimewa Aceh (1986-1991).6

Lebih kurang sebulan setelah Ibrahim Hasan menyampaikan himbauannya tentang “meukeurija rayuek” itu, kemudiandatanglah para “undangan” Gubernur Ibrahim, terutama satuan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dari Jakarta. Sejak itu di seluruh wilayah Daerah Istimewa Aceh dilancarkan Operasi Jaring Merah. Amnesti Internasional mencatat, dari tahun 1989 hingga 1992, sebanyak 2.000 orang, termasuk warga sipil dan pendukung Aceh Merdeka, dibunuh. Lebih kurang seribu warga sipil ditangkap atas dugaan mendukung Gerakan Aceh Merdeka atau karena memiliki hubungan saudara dengan anggota kelompok Aceh Merdeka. Lebih dari 50 orang diadili dan dihukum penjara 13 hingga 20 tahun, atas tuduhan subversi.7

Juli 1990, setahun sebelum Gubernur Ibrahim mengundang pasukan dari Jakarta, satuan ABRI berhasil menembak mati Yusuf A.B, seorang tokoh penting GAM. Yusuf, Gubernur Wilayah Pasee dalam struktur GAM, ditembak di kawasan Matang Seujuk, Kecamatan Baktinya, Kabupaten Aceh Utara. Operasi yang lebih intensif dilancarkan dengan

6_Ibid 7_Loc.Cit

nama sandi Jaring Merah. Hasilnya, sejumlah pendukung GAM ditangkap dan diadili. Dalam sebuah operasi di bulan Desember 1993, Kopassus berhasil menembak mati Umar Ibrahim, Panglima Wali Negara dan Ketua Komando Pusat Negara Islam Aceh Merdeka.8

Hingga beberapa tahun sejak operasi militer Aceh berstatus DOM, tidak ada kabar yang begitu mencolok, apalagi hingga diketahui dunia luar. Sejak sebelum ditetapkan dan setelah ditetapkan sebagai wilayah DOM, tak banyak banyak masyarakat yang tahu akan dampak yang ditimbulkan akibat pemberlakuan status tersebut. Hanya sebagian masyarakat yang tahu dan merasakan langsung dampaknya, seperti di daerah Pidie dan Aceh Utara, dua daerah yang kemudian paling banyak muncul dalam laporan kasus-kasus pelanggaran HAM seusai DOM dicabut pada 1998.

Sebenarnya, upaya pengungkapan sejumlah

pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh pada masa DOM telah mulai diupayakan sejak tahun 1991, khususnya oleh media. Kantor berita Reuters pada bulan Mei 1991 melaporkan sejumlah orang Aceh telah dieksekusi di depan umum.9 Selain itu, majalah Tempo edisi 25 Mei 1991 juga menurunkan liputan tentang kejadian tersebut.Namun minguan berita itu tak mendapatkan bukti-bukti seperti dilaporkan Reuters yang berpusat di Inggris itu.

Tempo malah menurunkan counter beritadari Kepala Penerangan Kodam I/Bukit Barisan waktu itu, Letkol Achmad Soedjai,yang menyebutkan bahwa 13 anggota GPK Aceh divonis di pengadilan, bukan dieksekusi di depan umum. Pernyataan Achmad dibenarkan Kepala Pusat Penerangan ABRI kala itu, Brigjen Nurhadi.10

Bahkan Bupati Pidie, Diah Ibrahim yang pernah menjadi salah satu sumber wartawati Reuters Elizabeth Pisani, menampik pemberitaan ihwal eksekusi di depan umum terjadi di wilayahnya. Ternyata, kantor berita Reuters keliru

8_The Killing Field di Aceh, Majalah Tempo Edisi 23/03-8/Agustus/1998 9_ibid

menyebutkan tempat eksekusi. Berdasarkan liputan Tempo pada Agustus 1998, disebutkan bahwa tim relawan Forum Peduli Hak Asasi Manusia (FP-HAM) menyatakan eksekusi di depan umum itu memang pernah terjadi. Namun bukan di Pidie, melainkan di Desa Lueng Sa, Simpang Ulim, Aceh Timur. Ada dua warga desa yang menjadi korban eksekusi: Sarjani Ibrahim (35 tahun), penduduk Lueng Sa, dan Tengku Imum Budiman (50 tahun) penduduk Lueng Dua. Eksekusi pada tahun 1991 itu bertepatan pada bulan puasa, 17 Ramadan 1411 Hijriah.

Membongkar kekerasan masa DOM

Tahun 1997 menjadi era baru kebangkitan demokrasi di Indonesia. Mahasiswa dan rakyat turun ke jalan. Mereka menuntut segera dilakukan reformasi di Indonesia. Pada 21 Mei 1998, Suharto mundur, rakyat pun berpesta. Sejumlah kebobrokan yang dijaga ketat selama 32 tahun mulai disuarakan.

Kondisi itu dimanfaatkan para aktivis yang sedari dulu telah menghimpun data berbagai macam pelanggaran HAM di Aceh. Sebelumnya, tuntutan pencabutan status DOM Aceh mengemuka dari beberapa pihak (lihat kronologis pencabutan DOM). Ketika gaung reformasi semakin membahana, kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh pun ikut terangkat ke permukaan. Sejumlah data dan fakta pelanggaran HAM di propinsi yang berstatus istimewa itu segera terkabar ke hampir seluruh penjuru dunia.

Akibat permberlakuan DOM dengan sandi operasi Jaring Merah, rakyat harus menerima akibat yang sungguh memilukan. Salah satu sumber menyebutkan bahwa sejak tahun 1989 hingga 1998 jumlah korban mencapai 30.000 jiwa. Hal ini dianggap sebagai malapetaka peradaban yang hanya mungkin terjadi dalam masyarakat primitif.11

11_Al Chaidar, Sayed Mudhahar Ahmad dan Yarmen Dinamika, Aceh Bersimbah

Darah, Mengungkap penerarapan Status Daerah operasi Militer (DOM) di Aceh 1989-1998, Pustaka Al-Kausar, Jakarta 1999

Data yang dimiliki Koalisi NGO HAM Aceh menunjukkan operasi yang semula bertujuan menumpas GAM, dalam pelaksanaannya mengakibatkan 871 orang tewas di TKP karena tindak kekerasan, 387 orang ditemukan mati, 550 orang hilang, 368 korban penganiayaan, 120 korban dibakar rumahnya, serta 102 korban perkosaan.12

Berdasarkan data korban DOM hasil investigasi yang dilakukan oleh TPF yang dibentuk pasca pencabutan DOM menunjukkan bahwa konsentrasi korban terbesar adalah di Kabupaten Aceh Utara sebanyak 1716 korban, kemudian Aceh Timur sebanyak 1548 korban, kabupaten Bireuen yang saat itu masih tergabung dengan Aceh Utara sebanyak 525 korban, dan Kabupaten Pidie yang mencakup Pidie Jaya saat itu sebanyak 494 korban.

Tabel Data Jumlah Kasus per Kabupaten

Keterangan:

1= pembunuhan 5= pelecehan seksual

2= penculikan 6= kekerasan

3= Penganiayaan 7= pembakaran

4= penangkapan 8= pengerusakan

Kedudukan Aceh Utara dan Aceh Timur sebagai wilayah yang memiliki korban terbanyak mungkin disebabkan karena di kabupaten itulah memiliki sumber daya gas alam yang dikelola oleh PT Arun LNG.Co. Melindungi keberadaan proyek tersebut menjadi salah satu alasan pemerintah Orde Baru untuk mengirimkan tentara dalam jumlah besar ke

12_Loc.Cit Kab

Kab 11 22 33 33 44 55 66 77 88 JumlahJumlah

A Timur 808 237 26 1 0 530 574 1 20 2197 AUtara 272 394 656 103 11 0 0 0 0 1436 Bireuen 63 76 326 2 7 0 0 0 0 474

Pidie 373 138 0 0 0 0 0 0 0 511

Aceh. Hal ini diperkuat dengan data jumlah korban terbesar di Aceh Utara berada di Kecamatan Baktiya, Jamboe dan Matangkuli yang merupakan titik-titik eksplorasi gas alam tersebut. Begitu juga di Aceh Timur, korban terbesar berada di Idi, Simpang Ulim, dan Peurelak yang merupakan daerah yang berada dekat dengan lokasi eksplorasi gas alam.

Selain itu, pemerintah Orde Baru juga mengampanyekan isu tentang keberadaan Gerakan Pengacau Liar (GPL) sehingga operasi ABRI untuk melaksanakan Jaring Merah merupakan langkah pemulihan keamanan Aceh. Hal ini mengakibatkan warga di daerah-daerah yang menjadi basis GAM mengalami teror yang luar biasa. Misalnya, di Kecamatan Tiro, tempat kelahiran Hasan Tiro.13

Tindakan paling keji dilaporkan terjadi pada masa pemberlakukan DOM. Selain pembunuhan terhadap masyarakat sipil, puluhan ribu warga lainnya ditahan dan dimasukkan ke dalam kamp-kamp indoktrinasi. Kasus-kasus kekerasan seksual dilaporkan terjadi di daerah-daerah konflik. Para anggota GAM dikabarkan juga melakukan pelanggaran terhadap mereka yang dituduh sebagai informan dan orang Jawa yang mengikuti program transmigrasi sebagai sasaran utama.14

Ketika kasus-kasus pelanggaran HAM masa DOM mengemuka pada 1998, banyak pihak menuntut pemerintah mencabut status DOM Aceh. Tuntutan itu juga dibarengi rasa

13_Ibid 14_Loc.Cit. hal.1

tidakpercaya terhadap apa yang sudah terjadi di Aceh. “Saya terkejut juga menerima laporan kasus orang hilang itu, kini lebih dari 1.000 orang, bahkan ada pihak yang memperkirakan kasus tersebut mencapai angka 5.000 orang,” kata HT Djohan, Ketua DPR Propinsi Aceh tahun 1998 kepada Hari Sabarno Ketua Tim Pencari Fakta TPF DPR RI. Ia juga menjelaskan kepada TPF DPR-RI bahwa sesuai laporan yang diterimanya, selama berlangsung operasi pemulihan keamanan di Aceh telah banyak terjadi tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM, termasuk kepada kaum wanita serta munculnya kasus “orang hilang”.15

Akibat pemberlakukan DOM, di Aceh telah memunculkan beberapa sebutan yang bernada angker dan menyedihkan. Misalnya,“Bukit Tengkorak” di Lhoksukon, “Bukit Janda” di Pidie, dan “Rumoh Geudong” yang terkenal dengan kesadisan penyiksaan yang pernah terjadi di tempat itu. (Baca: Kisah Rumoh Geudong).

Tim Pencari Fakta (TPF) untuk melakukan investigasi ke berbagai kecamatan di Aceh Utara, hingga Minggu (20 September 1999) mendata 287 orang terbunuh, 328 orang lainnya dinyatakan hilang. Tim investigasi yang dikoordinir TS Sani di wilayah timur Aceh Utara, mencatat 116 orang tewas dan 212 hilang dengan jumlah janda 233 orang dan 770 anak yatim.16

Di wilayah barat, tim yang dikoordinir Muzakkir SH dan Yacob Hamzah SH, mendapat data sementara orang tewas (diketahui kuburnya) sebanyak 171 jiwa dan hilang atau diculik 116 orang. Sedangkan janda 196 orang dengan anak yatim 642 orang. Korban lainnya 290 orang mengalami cacat fisik dan mental.

Korban jiwa dan harta, menurut kedua koordinator tim investigasi pencarian fakta itu, rata-rata terjadi antara 1989--1997, dan umumnya dilakukan aparat keamanan di samping Gerakan Pengacau Liar (GPL – Sebutan lain untuk GAM atau AM).

Tim yang menyisir desa-desa di Aceh Utara menemukan 69 unit rumah dibakar, beberapa unit lembaga pendidikan dan balai pengajian. Kendaraan yang diambil terdiri atasempat

15_hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/07/30/0007.html 16_zxbakri.tripod.com/selama-dom.html

unit mobil dan 26 unit sepeda motor. Kehilangan barang sebanyak 178 kasus dalam berbagai jenis, serta kerugian uang ratusan juta rupiah. Di samping ratusan ekor ternak lembu.17

Tuntutan penarikan status DOM hingga tuntutan adanya kepastian hukum bagi korban dan pelaku makin nyaring disuarakan. “Masyarakat Aceh sangat menginginkan DOM dihapus dan pasukan khusus ABRI ditarik dari daerah ini,” kata Mustafa A Gelanggang kepada media pada Juli 1998. Saat itu, ia adalah Sekretaris Fraksi Persatuan Pembangunan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRD) Aceh. 18

Pada bulan yang sama, Gubernur Aceh saat itu, Prof. Dr. Syamsuddin Mahmud juga meminta kepada pemerintah pusat agar status DOM Aceh segera diakhiri dan menarik kembali satuan ABRI non organik yang bertugas di Aceh saat itu. Permintaan itu tertuang dalam Surat Gubernur Aceh bernomor 520/16588 bertanggal 29 Juli 1998. Tembusan surat ditujukan kepada Ketua DPR/MPR, Menko Polkam, Mendagri dan Menhankam/Pangab, seperti yang disampaikan oleh Kepala Humas Pemda Aceh, Drs. H. Natsir Ali kepada kantor berita Antara di Banda Aceh.

Permintaan itu diikuti dengan alasan dan latar belakang mengapa DOM harus dicabut. “Kehadiran satuan ABRI yang berasal dari luar Aceh pada saat ini justru dirasakan mengganggu karena tindakan-tindakan yang dilakukan mereka menjadikan masyarakat merasa tidak aman,” sebut Syamsudin Mahmud.19

Satu bulan setelah Syamsudin Mahmud menyampaikan surat tersebut, pemerintah melalui Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto di Lhokseumawe, menyatakan mengakhiri operasi militer di Aceh. Pernyataan itu juga diikuti dengan permintaan maaf atas perlakuan yang pernah dilakukan ABRI kepada rakyat Aceh pada masa DOM. Berikut ini kronologis pencabutan DOM di Aceh yang terlihat jelas harus diupayakan melalui jalan panjang oleh beberapa elemen di Aceh.

17_Ibid 18_Loc.cit hal 7

Tabel Kronologis Pencabutan DOM Aceh20

20_Diolah berdasarkan antenna.nl/indonesie/mn08172.html

Waktu Keterangan

14 Oktober 1996

Rektor Universitas Syiah Kuala Prof. Dr. Dayan Dawood pada konferensi pers di Darussalam mengatakan, dalam kondisi sekarang, Aceh lebih aman dibanding Jakarta. Karenanya, predikat Aceh sebagai “Daerah Rawan” sudah saatnya dicabut, karena merugikan secara ekonomis, politis, dan psikologis

24 Oktober

1996 Wakil Gubernur Lembahannas, Prof Dr Juwono Sudarsono mengatakan, berdasarkan kajian mutakhir Lemhannas, Aceh lebih berpeluang dihapuskan dari predikat daerah rawan dibanding Timtim dan Irja, asal Aceh tidak lagi berniat memisahkan diri dari republik. 29 Oktober

1996 Pangab Feisal Tanjung menegaskan, Aceh sudah aman dan terkendali. Tapi, tentang

pencabutan predikat daerah rawan,

menurutnya, tak boleh gegabah. Semua itu harus dikaji dan dievaluasi.

29 Desember

1996

Kapolda Aceh, Kolonel Pol Drs Suwahyu menilai situasi Aceh sudah cukup aman. Karena itu sudah sepantasnya operasi militer dihentikan, diganti Operasi Kamtibmas. 30

Desember 1996

Pangdam I/BB Mayjen Sedaryanto menyatakan mendukung sepenuhnya keinginan masyarakat Aceh untuk itu. Namun, ia meminta jaminan “hitam di atas putih” sebelum status daerah rawan dicabut.

1997 Selama tahun 1997, desakan terhadap pencabutan DOM atau penarikan pasukan khusus dari Aceh terus dilakukan berbagai kalangan, namun tidak lagi secara terbuka.

Maret-April 1998 Terutama memasuki “Era Reformasi” desakan terhadap pencabutan digelar di mana-mana secara terbuka oleh kelompok-kelompok mahasiswa, para korban, LSM dan berbagai lapisan masyarakat. Para pengunjukrasa itu, baik di Aceh, Medan, maupun Jakarta mendesak pemerintah pusat untuk segera mencabut DOM.

29 Mei 1997

Atas desakan berbagai kelompok masyarakat, terutama mahasiswa, LSM, dan korban DOM, DPRD Aceh melayangkan surat kepada Menhankam RI, yang isinya meminta pencabutan atau peninjauan status daerah operasi militer.

8-22 Juni 1998

Karena DOM belum dicabut, 13 mahasiswa melakukan mogok makan selama tiga minggu di Kampus Unsyiah, Banda Aceh. Mereka akhirnya berhenti dan merubuhkan tendanya karena harus ikut ujian final.

Di bulan ini pula, para kobran DOM, terutama janda, mulai secara terang-terangan melaporkan perlakuan sadis pasukan elite yang terlibat “Operasi Jaring” terhadap masyarakat.

Laporan itu disampaikan antara lain ke DPR-RI, DPRD Aceh, DPRD Pidie, DPRD Aceh Utara, DPRD Aceh Timur, serta sejumlah LSM, bahkan organisasi pemuda. Bersamaan dengan itu, gedoran para mahasiswa juga semakin gencar.

22 Juni 1998

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Aceh mengusulkan kepada Menhankam/Pangab untuk mencabut DOM dan mengembalikan status “Bumi Serambi Mekkah” sebagaimana dicita-citakan masyarakat.

22 Juli 1998

Karena desakan dan laporan tadi, DPRD-RI membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) “Kasus Aceh”. Tim ini diketuai Hari Sabarno yang juga Wakil Ketua MPR/DPR.

26-31 Juli

1998 TPF DPR mencari keterangan dan masukan di Banda Aceh, Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur sebagai bahan evaluasi masih layak-tidaknya pemberlakuan DOM. Selama berada di Aceh, TPF acap disambut dengan unjukrasa yang menuntut DOM segera dicabut.

29 Juli 1998

Gubernur Aceh, Prof. Dr. Syamsuddin Mahmud mengirim surat kepada Presiden RI yang isinya minta pencabutan status DOM dan mengakhiri tindak kekerasan di Aceh.

31 Juli

1998 Direktur LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta, Nursyahbani

Dalam dokumen Fakta Bicara (Halaman 43-64)