• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tragedi KNPI t

Dalam dokumen Fakta Bicara (Halaman 112-126)

t

Kisah 1

Minggu pagi, 3 Januari 1999 atau 15 Ramadhan, terdengar pengumuman dari pengeras suara masjid. Isinya mengajak seluruh masyarakat untuk berkumpul di masjid, mereka akan mengadakan demo ke Kantor Bupati Aceh Utara.

Massa berkumpul dan bergerak ke Kantor Bupati Aceh Utara. Karena Minggu, kantor tutup dan massa bergerak ke pendopo yang berada di pusat Kota Lhokseumawe. Di tengah jalan mereka dihadang tentara. Orang kampung membawa senjata berupa parang dan pisau. Tiba-tiba ada lemparan batu dari barisan belakang pendemo. Kemudian, aparat mulai melepaskan tembakan ke arah massa. Padahal waktu itu di barisan paling depan adalah anak-anak dan perempuan.

Korban meninggal di tempat tiga orang. Luka-luka mencapai puluhan, di antaranya anak-anak dan perempuan. Massa ketakutan dan lari menyelamatkan diri. Lalu aparat datang ke kampung-kampung, mengingatkan warga untuk tidak ikut-ikutan melakukan demo.

Karena kondisi sudah dianggap aman, sebagian masyarakat pulang ke rumah masing-masing. MD, salah satu korban tragedi di Gedung Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) mengakui, ia tidak mengetahui siapa yang menggerakkan massa.

Setelah kejadian tersebut, MD berjalan menuju pasar. Di tengah jalan ia melihat seorang anak berumur 15 tahun terkena serpihan peluru. Ternyata anak yatim itu masih ada

hubungan saudara dengannnya.

Karena kasihan, ia membantu membawanya ke rumah sakit. Di Jalan Iskandar Muda, dekat Gedung KNPI, persis berdampingan dengan Markas Komando Resor Militer (Korem) Lilawangsa, Tentara menghadang MD dan dua perempuan lain yang menolong anak tersebut.

Mereka menanyakan tujuan MD, ia mengatakan hendak mengantar seorang anak ke rumah sakit, sebab klinik di desanya tidak buka sejak demo. Sebelum pergi, MD telah mengingatkan anak tersebut, jika ada pemeriksaan jangan mengatakan ke rumah sakit akibat terkena peluru, tapi karena jatuh dari kamar mandi. Namun si anak mengaku ia terkena peluru.

Tentara marah, MD dibawa dengan tuduhan sebagai mata-mata daerah Pusong. Saat dibawa ke KNPI, ia melewati beberapa tentara yang sedang istirahat, ada yang meneriakinya sebagai orang Pusong, kemudian tentara tersebut mengeroyok MD, satu lawan 10.

Pusong adalah daerah pesisir yang sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan. Sampai saat ini masyarakat Pusong masih tinggal di rumah-rumah pinggir pantai yang terbuat dari kayu.

Karena serangan yang sangat tiba-tiba, MD berusaha menyelamatkan diri. ia berusaha melawan, tapi hal tersebut membuat tentara semakin marah karena dianggap melawan. Kemudian mereka mulai menggunakan senjata. Saat itu MD diam dan tidak berani melawan.

Tentara terus memukulinya, kemudian ia disuruh merangkak ke Gedung KNPI, air tergenang sepanjang jalan dan lapangan menuju gedung. Ia berhenti merangkak tepat di depan pintu KNPI.

“Entah air hujan atau sengaja disiram di situ. Seperti masa perang yang saya lihat di TV,” kenang MD.

MD melihat tubuh-tubuh kaku berlumuran darah berjejer di lantai. Ia ketakutan dan mulai berzikir, karena merasa nasibnya akan sama seperti mereka. Kemudian

tentara-tentara memerintahkannya untuk tidur seperti yang lain. Dengan jarak lebih dekat, ia melihat mereka masih ada yang hidup, walaupun dalam keadaan sangat lemah. “Saya lihat yang sudah meninggal dilempar ke sudut ruangan, mereka sekitar 10 orang,” ujar MD.

MD mengalami dan menyaksikan berbagai macam penyiksaan. Mulai dengan tangan kosong dan menggunakan alat seperti kabel, popor senjata dan lainnya. “Dihantam ke lantai, inanju meupatee lage manok matee, na yang ditrom, dianiaya lah tanyoe. (dihantam ke lantai, disitu menggelepar seperti ayam mau mati, dipukuli, dianiaya kita). Diijak-injak, ditendang muka, saya lihat ada teman yang sudah keluar biji mata dan miring mulutnya.”

MD dituduh sebagai komandan dari Pusong yang menggerakkan aksi massa. Seorang tentara mengatakan kepada semua orang MD komandan dari Pusong. Tentara lain marah kemudian duduk di atas MD dan menyilet daging bawah mata sebelah kiri. Perlakuan tersebut didapat karena tentara curiga MD punya ilmu kebal. Kemudian ia ditendang di bagian tengkuk, lalu MD melihat seperti cahaya berpendar, kemudian hilang. Ia tak sadarkan diri.

Sampai sekarang, luka bekas sayatan masih terihat di bawah mata sebelah kirinya. Kejadian itu terulang ketika MD dipaksa mengaku sebagai komandan dari Pusong. Ia dipaksa naik kepanggung KNPI, namanya dipanggil berkali-kali. Tapi ia tidak beranjak dari tempatnya. Karena ia ingat pesan seorang tentara dari tim penasehat untuk tidak bangun jika namanya dipanggil kecuali dipanggil komandan tersebut. Tapi saat itu tentara Lintas Udara (Linud) yang masuk ke ruang KNPI menyiksa MD.Tentara menyayat bagian bawah matanya.

“Wate ditarik sikin inan, sang ka diteubit iek, tapi nyan keuh dupnan, meu ban syok teuh. Saket that. Meu kreut-kreut (ketika disayat rasanya keluar pipis, bergetar-getar tubuh saya, sakit sekali).”

mengaku sebagai komandan Pusong. Karena sudah tidak tahan dengan perlakuan yang ia alami, MD mencoba meminta belas kasihan tentara. Ia menggigit bibir bagian dalam, tentara melihat Madi mulai menggelepar, darah dan busa keluar dari mulutnya. Kemudian ia dibiarkan karena dikira tidak akan bertahan. “Udah tu, hampir lewat,” MD menirukan ucapan tentara saat itu.

MD menyebut mereka tim penyiksa, karena setelah tim tersebut keluar, masuk tim lain yang ia sebut tim penasehat. Semua tawanan diperintahkan untuk duduk, tangan mereka diikat dengan kawat. Sampai meninggalkan bekas hitam.

Karena korban sudah terlalu lemah, mereka tidak dapat menyimak yang dikatakan tim penasehat. Sekilas, MD menyimpulkan jika mereka mengatakan kepada semua tawanan untuk jangan ikut-ikutan dan menyesalkan keikutsertaan korban dalam demo. Karena walaupun mereka tahu sebagian besar tawanan tidak bersalah, tetapi mereka sudah terjaring operasi. Tidak lama kemudian, tim penyiksa kembali masuk.

Setiap hari mereka disiksa, MD ingat saat mereka duduk memeluk lutut menghadap tembok. Tentara mengambil tawanan secara acak. Korban lain tidak boleh melihat perlakuan tentara tersebut. Tapi MD penasaran, ia mencuri lihat dari bawah lengan, waktu itu ia melihat salah satu korban sedang diangkat dan dihantam ke lantai. Tentara melihat kelakuan MD, lalu ia pun dipukuli.

Malam hari mereka istirahat, karena waktu itu bulan puasa, mereka diberi makan ketika sahur dan buka puasa. Malam mereka tidak disiksa. Tawanan tidur di lantai yang dipenuhi darah. Pagi hari, mereka kembali disiksa.

Setelah agak siang, masuk tentara yang menurut MD baru pulang operasi, mereka terlihat sangar, mata merah, pakaian lengkap, memakai tutup kepala. “Saya nggak pernah lihat tentara seperti itu, ngeri that (mengerikan).”

Hari ke lima, para tawanan diberi obat, karena persediaan obat tidak cukup untuk korban yang sangat

banyak, sebagian korban yang mengalami luka sayat seperti MD dijahit tanpa bius. “Lebih dari disiksa sakitnya.”

Hari ke lima di KNPI, tawanan sudah tidak mendapatkan siksaan. Tahanan satu persatu mulai dikeluarkan dari KNPI, mata mereka ditutup dengan kain hitam. Sebanyak lima orang dikembalikan lagi ke KNPI, MD tidak tahu nasib mereka.

Hari ke tujuh ketika mereka dibariskan, MD ingat jumlah tawanan 147 orang. Hari itu, polisi datang, MD sudah pasrah dengan nasibnya.

Satu hari satu malam MD berada di Kepolisian Resort (Polres) Aceh Utara. Di situ ia dipaksa mengaku bahwa ia komandan dari Pusong, dan membagi-bagikan senjata untuk masyarakat yang mengadakan demo ke Kantor Bupati. “Kau kan yang bagi-bagi senjata untuk orang kampung?” tanya petugas.

“Enggak pak, saya nggak bagi-bagi buat apa saya ngaku, karena saya nggak bersalah, di rumah aja nggak ada parang hanya ada pisau, itu pun sudah patah kalo tidak percaya lihat di rumah saya,” ujar MD waktu itu membela diri.

“Mengaku aja, biar cepat beres.”

“Alah jangan pura-pura bego kau, malas saya, bawa aja dia ke sana lagi.” ancam mereka. MD memohon untuk tidak dikembalikan ke KNPI.

Saat diketik di dalam laporan, MD dilabelkan sebagai Komandan Pusong, yang membagikan parang saat demo. Ia kembali protes. “Ini cuma merek aja, udah kau teken udah. Kau pulang nanti,” ujar petugas.

Kemudian keuchik dan orang tuanya datang, MD tetap bersikeras tidak mau menandatangani surat pernyataan bahwa ia Komandan Pusong yang membagikan senjata untuk warga. “Han ek lon teken, lon hana ikot-ikotan, pajan lon ikot, yang na ku ba aneuk yatim u rumoh saket (tidak mau saya tanda tangan, saya enggak ikut-ikutan, saya hanya bawa anak yatim ke rumah sakit).”

Kemudian ibu MD memintanya untuk menandatangani surat itu, karena orang tuanya sudah rela kalau memang

setelah ditanda-tangan ia tidak kembali ke rumah. “Adak pih dipeunget hana di puwo ureung chik lon ka rela. Karna weuh, lheunyan lon teken (walaupun ditipu tidak dikembalikan ke rumah, orang tua saya sudah rela. Karena sedih melihat orang tua, akhirnya saya tanda tangan).”

MD dibebaskan, hanya dikenai wajib lapor. Hari pertama pulang dari Polres, ia dibawa ke rumah orang tuanya. Istrinya kaget melihat kondisi MD. Wajah dan seluruh tubuhnya bengkak, ia juga tidak mengenali istri dan anaknya. Kondisinya terlalu lemah.

Hari ke dua di rumah orang tuanya, beberapa orang tentara dan camat datang menjenguknya. Tentara tersebut meminta keterangan dari MD, bagian tubuh yang luka difoto. Ketika ditanya bagaimana perlakuan yang dialaminya, MD hanya diam, karena sebelum keluar dari KNPI, ia diancam untuk tidak memberitahu perlakuan yang dialaminya kepada siapapun. Karena jika ketahuan, ia akan diambil kembali untuk dihabisi.

Namun tentara yang mendatangi rumahnya meyakinkan MD untuk menceritakan semua yang ia alami. “Ngaku saja bang, nggak usah takut ada kami.”

“Padahal saya takut karena ada mereka, lama mereka menunggu kesaksian dari saya. lon pike pu nyoe dipanceng enteuk malam ka di cok lon (saya fikir, apa ini hanya pancingan, nanti malam saya kembali diambil),” cerita MD tentang tentara berbaret hijau yang mendatanginya.

Setelah lama menunggu, akhirnya MD menceritakan semua yang dialaminya di gedung KNPI. Setelah itu, para tentara dan camat mengatakan MD akan diberi bantuan. “Masalah bantuan enggak terlalu saya dengar, tapi memang ada bantuan tiga ratus ribu, yang diambil melalui Keuchik tidak lama setelah kejadian.”

Masyarakat di kampungnya ikut menjenguk MD, mendoakan kesehatannya. Setelah ia lebih sehat, MD pulang ke rumahnya di Pusong. Di rumahnya ia mendengar kabar bahwa ia dituduh cuak (mata-mata) oleh warga kampung.

Karena tidak terima dengan tuduhan tersebut, ia mendatangi Panglima Wilayah Pusong yang waktu itu dijabat Tengku Raju. Ia melapor bahwa ia dituduh cuak. Setelah penyiksaan di KNPI Ia tidak menyangka orang kampung menganggapnya cuak.

“Nyoe ka dianggap cuak, bah droen bi beude sikrak, neu pauso aneuk, neu peuruno kiban cara. (kalau memang dianggap cuak, beri saya senjata, isi pelurunya, ajari saya bagaimana cara menggunakannya),” tantang MD.

Setelah itu, MD hidup normal kembali. Tahun 2002 ia mengadu nasib ke Kutacane, Aceh Tenggara, berjualan jamu. Selama belum damai, dia masih sering mendengar kabar, masyarakat wilayah Pusong hidup dalam ketakutan. Jelang tsunami dia kembali ke kampungnya.

***

Setelah tsunami, tepatnya pasca-damai MD

mendapatkan bantuan Rp10 juta. “Kalau dikasih kan wajar kita ambil, tapi kami sebagai korban enggak hanya cukup dengan itu, maunya nasib kami diperjuangkan, jangan dilalaikan dengan uang dan proposal. Maunya semua bersatu dan kita tuntut hak kita yang pernah dirampas dulu. Kita bisa berusaha dan mencari rezeki. Jangan sampai kena tipu lagi.”

Ia sedih mengingat nasib sesama korban. Walaupun sering sakit-sakitan ia bersyukur masih bisa bekerja. Sedangkan korban lain seperti janda dan anak-anak korban konflik nasibnya lebih menyedihkan. Tidak ada yang menjamin kebutuhan hidup mereka. Ia juga mengingatkan pemerintah agar tidak lupa pada korban konflik.

“Mereka duduk di pemerintahan karena ada pengorbanan dari seluruh rakyat Aceh, termasuk korban konflik. Pemerintah mengusahakan pekerjaan dan biaya pendidikan bagi anak korban, jangan sampai putus sekolah karena tidak ada biaya,” harapnya.

sekolah setelah duduk di kelas dua Sekolah Menengah Atas (SMA) dan kelas dua Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Matang Kuli, Aceh Utara. Anaknya yang ke tiga, kelas dua Sekolah Dasar (SD) dan sibungsu masih bayi.

MD sering sakit-sakitan, hasil melautnya hanya cukup untuk makan, tidak untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. “Nyoe kesedihan aneuk nyoe cukop that brat. Na yang hana lon woe u rumoh karena hana sanggup lon kalon aneuk mit nyoe (anak-anak saya sangat sedih, sampai saya tidak sanggup pulang karena tidak sanggup melihat anak-anak).”

“Kalau bicara masalah dendam, sebenarnya dendam, tapi ini sudah damai, kita pelihara damai ini.”

Ia sangat berharap pemerintah berlaku adil terhadap semua korban konflik, semuanya diadili dan dihukum sesuai hukum yang berlaku di Indonesia. “Undang-undang yang kita pelajari di sekolah ditegakkan, untuk apa juga belajar, anak-anak sekarang juga belajar hal yang sama. Rugi saja belajar sementara hukum tidak berjalan, hukum tidak bagi penguasa, hanya untuk orang menindas orang kecil seperti kami,” ujarnya mengakhiri. [ ]

Kisah 2

Pada 3 Januari 1999, Pukul 12:00 WIB, istri dan anak US belum kembali ke rumah setelah berdemo ke kantor bupati sejak pagi. US memutuskan mencari mereka bersama empat temannya yang juga mencari keluarga.

Di persimpangan jalan dekat Rumah Sakit, ia diintrogasi oleh tentara. US mengatakan apa adanya, ia menuju rumah sakit mencari anak istri, karena ia dengar ramai korban demo yang dibawa ke rumah sakit.

Tapi para tentara tidak percaya yang dikatakan US. Setelah dipukul, US dibawa ke KNPI. “Dipoh lage asee, dipeueh-eh di dalam KNPI lage manyet, digidong, darah meuhambo dalam KNPI, yang lon teupu 117 droe dalam KNPI, yang na sileuwe dalam teuk. Ditumpok lage manyet, tentara

nyan ganas-ganas that (dipukul seperti anjing, di dalam KNPI orang ditidurkan seperti mayat, diinjak-injak darah berhamburan, yang saya ingat jumlahnya sekitar 117 orang. Hanya tinggal celana dalam. Disusun seperti mayat, tentara terlihat sangat ganas).”

Ia juga mendengar suara tembakan pukul 04.00 WIB pagi, US yakin ada tahanan yang ditembak.

Selama di KNPI, US hanya sanggup berpuasa dua hari, selanjutnya ia terlalu lemah untuk berpuasa. Seluruh tubuhnya berdarah-darah.

Untuk buang air kecil saja para tawanan dikawal lima tentara. Ia juga ditanya mengenai pekerjaannya. Padahal ia seorang nelayan, tapi karena ketakutan ia menjawab ia seorang penjual ikan. Mendengar jawabannya, tentara marah dan kembali memukuli US. Ternyata beberapa penjual ikan tidak memberi ikan kepada tentara.

Di gedung KNPI ia diinterogasi, mereka menuduh US terlibat pemukulan terhadap seorang tentara bernama Bambang. Memang beberapa waktu sebelum demo dan kejadian KNPI, seorang tentara dipukul oleh masyarakat di pasar ikan. Bambang memang terkenal sering membuat onar, karena masyarakat tidak tahan melihat kelakuannya, lalu dipukuli ramai-ramai.

US ingat di KNPI ada tawanan yang disetrum, korban yang disetrum hanya berjarak 10 meter darinya. Tawanan tersebut dituduh membakar bendera merah putih saat demo.

Malam hari semua tawanan tidak bisa tidur, lantai dingin, darah tergenang di lantai. Ketakutan, kesakitan dan kelaparan.

Hari ke tiga, keuchik dan camat datang. Ia sudah tidak mengalami penyiksaan. Setelah dikeluarkan, US tidak mengetahui nasib tawanan lain. Setelah bebas, dia berobat ke Bireun. Karena jika tinggal di Pusong, ia ketakutan. Untuk biaya pengobatan selama sebulan menghabiskan Rp5 juta.

tidak diterima karena dianggap GAM pelarian dari Pusong. USmemilih berobat tradisional. Dadanya sakit, karena sering dipukuli. Ludahnya pun memerah.

US trauma, melihat orang yang datang menjenguknya ia pun ketakutan. sampai hari ini ia masih takut jika melihat tentara. Bahkan kejadian itu masih sering terbawa mimpi.

“Lon manteng teingat keu sue nyan, baje nyan, mantoeng terbayang-bayang kejadiannya. Perasaan mantoeng hana meuoh lom, trauma lheuh (saya masih ingat suara itu, baju itu, kejadiannya masih terbayang-bayang. Perasaan masih belum menentu. Masih trauma).”

Satu bulan kemudian ia kembali ke Pusong, namun tiga bulan setelah itu ia baru kembali melaut, karena kondisinya belum pulih, sampai hari ini pun ia masih sering merasa sakit di bagian dada.

“Nyoe jino jak u laot saket dada wate tarek pukat. Man tanyoe ka terpaksa kiban ta peuget (Kalau sekarang, kalau saya tarik jala, dada terasa sakit. Tapi mau bagaimana lagi),”

Sampai sekarang, US mengaku belum pernah mendapatkan bantuan apapun setelah damai. US sangat mengharapkan keadilan dapat ditegakkan. Selain itu, pemerintah juga memperhatikan ekonomi masyarakat.

“Sebetoi jih mantoeng beungeh, tapi tanyoe hanjeut dendam, karna Allah peugah dosa dendamnyan, ta serah bak Allah. Beungeh jeut tapi hanjeut dendam (sebetulnya saya masih marah dengan pelaku, tapi kita tidak boleh dendam, karena kata Allah dendam itu dosa, kita serahkan pada Allah semuanya. Marah boleh, tapi jangan dendam),” ujar laki-laki 50 tahun ini. [ ]

Kisah 3

Dw menggendong bayinya yang baru berumur enam bulan dan menuntun seorang anaknya yang masih duduk di kelas tiga Sekolah Dasar (SD). Sang suami ikut barisan laki-laki. Tentara mulai menembak pendemo dengan membabi buta.

“Wate nyan dipeugah demo jak lake perdamaian, leh pu perdamaian hom, lon hana meuphom (ketika itu katanya demo meminta perdamaian, entah perdamaian seperti apa, saya tidak mengerti).”

DW melihat beberapa helikopter terbang rendah, kemudian tentara mulai menembaki para pendemo. Ia ketakutan tidak sanggup untuk lari, kakinya mendadak lemas. Akhirnya ia berjalan di antara desingan peluru dan melihat masyarakat yang kena terjangan timah panas tersebut. Di tengah kepanikan ia berpesan pada anak sulungnya untuk lari menyelamatkan diri, tapi si anak tetap ingin bersama ibu dan adiknya. Akhirnya mereka terus berjalan. Satu tangan menggendong si bungsu tangan sebelahnya menuntun si sulung.

“Bek mak, dak mate-mate sigo (jangan mak, kalaupun mati, mati bersama kita),” ujar anak sulungnya yang waktu itu masih duduk di kelas tiga SD ketika sang ibu menyuruhnya untuk lari menyelamatkan diri.

Pukul 11:00 WIB DW sampai di masjid kampungnya, tapi ia tidak melihat Is, suaminya. Kepada siapa saja yang datang, ia menanyakan suaminya. Pukul 16.00 WIB ia pulang ke rumah. Namun sang suami tidak ada di rumah.

Ia mulai gelisah, saat hendak pergi mencari suaminya di Rumah Sakit, seorang yang dituakan di kampungnya, Abu Sayed Amad melarangnya karena khawatir ia ikut hilang seperti beberapa korban lain. Akhirnya Abu Sayed dan beberapa orang lainnya mencari Is.

Setelah Ashar, ambulan berhenti di depan rumahnya, ternyata membawa mayat Is “Saya lihat di kepalanya terdapat luka yang sangat besar, dada kirinya tertembus peluru tembus sampai ke belakang. Uang dan KTP dirampas,” DW mulai terisak.

Setelah Magrib, jenazah dimandikan. DW melihat bekas luka menganga di kepala Suaminya. Kepalanya bergeser sampai beredar isu di masyarakat kepalanya putus. Si sulung menyaksikan kondisi ayahnya. Jenazah kemudian dibawa ke

Meunasah Blang, Kandang untuk dimakamkan.

“Pu han ta e, cit ka di keu mata, (apa enggak dilihat, memang sudah di depan mata),” ujar si sulung.

Saat itu aparat masih keluar masuk kampung. Setelah kematian sang suami, DW tidak pulang ke kampungnya, ia duduk di pinggir jalan selama tujuh hari. Warga desa yang kasihan melihat kondisi DW memberikan makanan untuk ke dua anaknya.

Kemudian ia pulang ke rumahnya di Pusong, mengambil beberapa keperluan anak-anaknya. Para tetanggga menasehati untuk mengungsi, tentara masih mencari-carinya. Mereka menanyakan rumah Is. Tentara mengetahui alamat dan nama suami DW dari dompet yang dirampas. Ia mengungsi selama satu bulan. Beberapa bulan setelah kejadian, ia mendapat bantuan yang diberikan melalui keuchik Rp900.000.Selanjutnya Rp2,5 juta dari wali kota. Dan Rp3 juta yang ditransfer melalui rekening bank. Setelah damai, DW mengaku belum mendapatkan bantuan.

Sekarang, anak sulungnya telah dewasa dan si bungsu duduk di kelas satu SMP. Ia sangat membutuhkan biaya untuk kebutuhan biaya pendidikan anaknya. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, DW bekerja menjadi buruh cuci.

Dalam dokumen Fakta Bicara (Halaman 112-126)