• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tragedi Jamboe Keupok t

Dalam dokumen Fakta Bicara (Halaman 193-200)

t

”Siapa yang lari ke gunung berarti GAM.” Pada medio tahun 2003, pernyataan itu sering dilontarkan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) setiap kali mereka melakukan operasi atau sekedar patroli ke Desa Jambo Keupok, Kecamatan Bakongan, Aceh Selatan.

Bagi penduduk setempat, kata-kata itu menjadi semacam ancaman yang mengkhawatirkan, sekaligus pernyataan yang melegakan. Khawatir, karena siapa yang lari ke hutan berarti GAM (Gerakan Aceh Merdeka), namun sedikit melegakan, jika tak ingin dituduh sebagai GAM, maka jangan lari ke hutan. Tetap di kampung.

Karena itu, ketika Jumat malam tanggal 16 Mei 2003, dari kejauhan terdengar rentetan salak senjata sejak pukul 22:00 WIB hingga beberapa jam lamanya, warga tak menaruh firasat apa-apa. Mereka berdiam diri di rumah, tak perduli sebab musabab rentetan senjata itu.

Warga juga tak akan menyangka, jika keesokan harinya akan menjadi saat yang paling memilukan dalam hidup. 16 orang meninggal, 12 di antaranya dibakar hidup-hidup, tiga rumah hangus. “Sembilan orang termasuk famili saya,” kata SB, 25 tahun, salah seorang keluarga korban yang ditemui di Saree School, Aceh Besar. Saat itu SB sedang mengikuti training penulisan bagi korban konflik Aceh. SB dan sepupunya, N, 29 tahun, mewakili korban dari Jamboe Keupok, Aceh Selatan.

Desa Jamboe Keupok berada 12 kilometer dari Ibu Kota Kecamatan Bakongan. Letaknya di ujung perkampungan,

Setelah desa ini, yang ditemui hanya areal pegunungan. Dengan luas dua kilometer persegi, Jamboe Keupok memiliki empat dusun, Keude Tuha, Hilir, Seneubok Pareh, dan Dusun Tengah.

SB menceritakan kisah pilu yang menimpa keluarganya itu. SB memang tak mengalami langsung peristiwa tersebut, namun semua yang diceritakan SB dibenarkan oleh N.

Selain orang tua, N juga kehilangan suami tercinta. Ia melihat langsung peristiwa itu. N tak mampu untuk menceritakan kembali tragedi. Setiap kali mengingat, air matanya berderai tak tertahan.

Ceritanya, pagi hari, Sabtu, tanggal tanggal 17 Mei 2003, atau dua hari sebelum Aceh ditetapkan sebagai daerah Darurat Militer (DM). Seperti hari-hari sebelumnya, saat itu, warga bersiap mengawali aktivitas. Ayah SB sudah tiba di sebuah warung kopi yang tak jauh dari rumah. Ia membawa serta kitab suci Al Quran. Rencananya, bersama beberapa rekan yang lain, usai menikmati kopi ia akan menuju ke tempat pengajian.

Jelang pukul 07.30 WIB. Rencana ayah SB untuk mengikuti pengajian terpaksa urung dilaksanakan. Pasalnya, anggota TNI sudah berada di setiap sudut desa. “Sebenarnya mereka sudah masuk sejak pukul 06.00 WIB,” kata SB. Namun tidak ada pergerakan apa-apa hingga menjelang pukul 07:30 WIB. “Mereka datang menggunakan tiga reo, TNI Parako.”

Saat itu, entah kapan dan dari mana munculnya, tiba-tiba saja puluhan anggota TNI sudah berada di setiap rumah-rumah penduduk. Mereka berjaga, di bagian depan dan belakang. Warga tak bisa berkutik. Termasuk Ayah SB dan beberapa rekannya yang lain. “Hanya bisa duduk diam di tempat,” kata SB.

Sesaat kemudian, terdengar suara deru mobil memasuki dusun. ”Seperti mobil pelontar,” kata SB. Bersamaan dengan suara deru mobil tersebut, pelaku yang sudah bersiap di setiap rumah penduduk mulai bergerak. Mereka masuk ke dalam rumah, memeriksa isi rumah, dan memaksa keluar

setiap orang yang berada di dalam.

Lelaki, perempuan, tua, muda, semua digiring ke luar, lalu dikumpulkan di sebuah tempat. Kelompok laki-laki dipisah dari kaum perempuan dan anak-anak. Mereka ditempatkan di depan sebuah rumah berkontruksi papan. Lalu, tanpa pandang bulu, para lelaki dipukuli habis-habisan.

Tak tahan melihat suami mereka disiksa, beberapa perempuan berteriak histeris. Salah seorang perempuan yang suaminya ikut disiksa hari itu nekat untuk menolong. Bersama dengan seorang anaknya, ia nekat menerobos kawalan pelaku saat melihat sang suami terjerambab ke tanah akibat dipukuli. Ia berusaha menarik suaminya, menjerit dan meronta sekuat tenaga.

”Dor..,” sebutir peluru bersarang di kakinya. Ia tak bisa berkutik lagi. Pelaku menyeretnya kembali ke kumpulan perempuan. Bersama para perempuan lainnya, ia dimasukkan ke dalam sebuah rumah. Di luar, penyiksaan terhadap suami mereka terus berlanjut.

Dari dalam rumah, salah seorang perempuan mencoba mencuri pandang. Ia menyaksikan para pelaku memukuli kelompok lelaki yang berada di luar. Saat itu, tiba-tiba melintas salah seorang penduduk lain menggunakan sepeda motor. Pelaku langsung melepaskan tembakan, tepat di kepala lelaki naas tersebut.

Melihat kejadian itu, spontan saja perempuan yang mengintip dari dalam rumah menjerit histeris. Mendengar jeritan itu, pelaku berang, mereka kemudian melepaskan tembakan ke arah rumah. Beruntung tidak ada yang kena. Lalu para perempuan itu diperintahkan ke luar. Di antara mereka, terdapat seorang lelaki yang tak lain ada suami N. Saat pelaku memeriksa ke dalam rumah ketika pertama datang, ia berhasil bersembunyi. Namun karena merasa takut saat pelaku memberondong rumah tersebut, ia memutuskan ikut ke luar bersama para perempuan.

tidak tahu. Sampai di luar dia dikumpulkan bersama lelaki lainnya,” kata SB.

Setiba di luar, perempuan dan anak-anak kemudian digiring ke dalam rumah sekolah yang tak jauh dari lokasi awal. Bagi mereka, hari itu, waktu seolah berjalan lambat. Di bawah rentetan suara senjata yang tak henti-henti, mereka terus saja merapal segala macam doa, berharap kengerian itu segera berakhir.

Dikurung di dalam gedung sekolah, para perempuan itu tak bisa berbuat apa-apa. Mereka tak tahu lagi apa yang terjadi pada suami dan sanak saudara lelaki yang masih dalam pengawasan para pelaku. Yang terdengar hanya suara rintih dan rentetan tembakan.

Tak berapa lama kemudian, 12 orang lelaki tersebut dimasukkan ke dalam rumah yang berada dekat dengan lokasi kejadian. Sama seperti para perempuan tadi, mereka dikurung dari luar. “Lalu rumah itu dibakar,” kata SB.

***

Suasana mulai tenang, tidak ada lagi suara rintihan dan rentetan senjata. Pelaku sudah meninggalkan lokasi, dan kobaran api dari rumah tempat 12 orang lelaki itu dikurung mulai padam. Bahu membahu, para perempuan yang dikurung di dalam gedung sekolah mencari cara untuk keluar, mereka berhasil.

Suasana masih mencekam, darah penyiksaan berceceran. Isak tangis saling menyahut. Awalnya mereka bingung hendak ke mana, setelah bermusyarah, mereka sepakat menuju ke sungai yang tak jauh dari lokasi.

Dalam perjalanan, ketika rombongan perempuan dan beberapa orang anak-anak itu melewati sebuah rumah yang sudah terbakar, salah seorang perempuan melihat tumpukan hitam di antara sisa-sisa rumah yang terbakar. Ia mendekat, dan sontak saja ia berkata “Nyoe pat ureng nyo mandum (Mereka di sini semua).”

wajahnya,” kata SB. Lima orang di antara korban tersebut berumur 18 hingga 20 tahun. Salah seorangnya Usman, 18 tahun, yang tak lain sepupu SB.

N mendekat ke tempat tumpukan mayat. Ia memeriksa satu persatu tubuh-tubuh yang terbakar itu. Ada sesosok manyat yang bagian kakinya tak habis terbakar. Dari tanda kuku, N meyakini, sosok mayat tersebut adalah suaminya tercinta.

Kabar tentang kejadian itu langsung tersiar ke desa lain. 16 orang meninggal, satu luka tembak, tak ada lagi lelaki di desa Jamboe Keupok. Mengetahui kabar itu, beberapa warga dari desa tetangga langsung mendatangi tempat kejadian, hari itu juga.

Mayat-mayat diangkat dari puing-puing rumah, dimandikan dan dikuburkan di satu tempat. “Manyat tidak bisa diluruskan lagi. Bagaimana bentuk saat meninggal, begitulah dikuburkan,” kata SB. Warga trauma, tak berani lagi tinggal di desa. Mereka memilih untuk mengungsi ke sebuah masjid di desa tetangga.

Menurut informasi yang diketahui SB, penyerangan terhadap Desa jamboe Keupok terjadi akibat informasi yang diberikan seorang cuak (informan) kepada TNI. Ia memberitahu bahwa di Desa Jamboe Keupok, terdapat banyak orang GAM. Hanya 15 orang dari total penduduk yang tidak terlibat GAM.

Sebelum tahun 2001, menurut SB, di desanya memang banyak anggota GAM. Bahkan, mereka pernah menjadikan Jamboe Keupok sebagai tempat latihan militer. Tidak hanya bagi anggota GAM, latihan itu juga diperuntukkan bagi anak-anak di desa tersebut. Lelaki dan perempuan, termasuk yang masih bersekolah. Bagi yang tidak bersedia ikut latihan, akan dianggap tidak setuju dengan perjuangan.

Saat itu, usai bangun tidur pagi, SB dan beberapa teman seusianya yang lain diperintahkan untuk latihan fisik seperti lari, melompat, dan merayap. Tidak ada latihan menembak. “Setelah latihan baru ke sekolah. Memang kelihatannya

mereka tidak mengutamakam pendidikan. Seharusnya yang anak sekolah kan jangan diganggu,” kata SB seolah kesal.

Latihan tersebut tidak hanya mengganggu sekolah para pelajar di Jamboe Keupok, tapi juga keselamatan mereka. Di desa itu dan desa-desa sekitar lainnya, TNI sering melakukan razia. Mereka melakukan pemeriksaan badan terhadap siapa saja yang lewat. Termasuk kepada anak sekolah.

“Mereka periksa siku kami, kalau sikunya luka berarti ikut latihan. Kami anak sekolah yang ikut latihan luka semua sikunya, kami semua kena sama TNI,” kata SB.

Ia juga menyebutkan, jika pada masa itu ada banyak orang GAM yang menenteng-nenteng senjata di desa. Ada juga mesin bubut untuk merakit senjata. “Dari beberapa kecamatan, semua (GAM) berkumpul di desa kami.”

Sebelum peritiwa Jamboe Keupok, aparat memang sering masuk ke desa. “Yang paling sering Brimob,” kata SB. Setiap kali datang, mereka selalu mengambil paksa harta penduduk, seperti televisi, kulkas, hingga sepeda motor. Sebelum kejadian itu, kontak tembak antara aparat dengan GAM memang sering terjadi. Bukan di Desa Jamboe Keupok, tapi di sekitar pegunungan yang jauh dari desa.

Namun, 16 orang yang menjadi korban itu bukanlah GAM, SB menyakini itu. Saat itu menurutnya GAM tidak lagi menetap di kampung. Hanya sesekali melintas. “Mereka tidak lagi di desa sejak tahun 2001. Mereka sudah ke hutan. Setelah kejadian itu GAM tidak pernah lagi ke kampung, mereka tidak berani. Dan orang kampung pun sudah marah, jangan sampai gara-gara mereka ada di kampung, datang lagi tentara, kami lagi yang jadi korban.”

Pada tahun 2001, SB baru saja menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Orang tuanya kemudian memutuskan untuk melanjutkan pendidikan SB ke sebuah dayah terpadu yang berjarak 12 kilometer dari desa.

Ketika peristiwa tragis yang merenggut nyawa sembilan orang familinya, SB baru lima hari tiba di dayah. “Kamu balik saja ke pasantren,” kata SB mengenang saat-saat terakhir

bersama ayahnya.

Di dayah, hari itu, usai menjalankan tugas sebagai pengawas, ia beristirahat di sebuah bilik. SB tertidur lelap.

Tiba-tiba, SB tersentak. Ia baru saja bermimpi buruk tentang kampung dan keluarganya. Buru-buru ia keluar dari bilik. Belum habis rasa penasaran karena mimpi buruk yang baru saja dialami, rasa penasaran SB bertambah akibat tingkah teman-temannya.

Semua menatap SB dengan mimik iba. Ia makin terheran. “Ada apa?” SB bertanya pada salah seorang teman. “Tak ada apa-apa,” sang teman menjawab sambil berlalu. Pimpinan dayah kemudian memanggil SB untuk menghadap. Ia menceritakan apa yang telah berlaku di Desa.

Rasa sedih dan amarah spontan berkecamuk.“Seperti apa mimpi saya, seperti itulah kejadiannya,” kata SB. Ia langsung minta pulang ke desa, tapi pimpinan dayah tidak mengizinkan, kondisi saat itu memang tidak memungkinkan. Tanpa bisa melihat langsung lokasi kejadian atau mengunjungi tempat pengungsian, SB harus menerima kenyataan pahit itu.

Waktu berjalan, hingga satu bulan lamanya. Warga masih bertahan di tempat pengusian. Setelah dikira memungkinkan, 45 hari setelah kejadian, warga memutuskan untuk kembali ke desa. Tapi SB masih belum diizinkan pulang.

Hingga kemudian, setelah hampir dua bulan, dari seorang utusan yang dikirim ke dayah, SB mendapat pesan, ibunya meminta agar ia segera pulang. “Langsung saya pulang,” kata SB.

Setiba di desa, rasa sedih beserta amarah kembali memuncak. Orang-orang menatap SB dengan wajah iba. Suasana haru menyelimuti kepulangan SB. Ada banyak orang yang melayat ke rumahnya. Maklum saja, Sembilan orang korban tragedi Jamboe Keupok adalah keluarga SB.

Setelah dua hari di kampung, SB lalu mengajak beberapa orang warga untuk mengadakan khanduri bagi para almarhum sekaligus pemasangan batu nisan di kuburan.

Warga yang umumnya perempuan itu sepakat. Usulan itu juga mendapat sambutan dari petua desa.

“Hari itu kami mencari batu ke sungai, tidak jauh dari desa. Besok paginya, kami undang pimpinan pasantren untuk doa bersama.”

Kini, hampir delapan tahun telah berlalu. Bagi SB, peristiwa itu terlalu pahit untuk dilupakan. Tak hanya dalam ingatan, cerita mengenai tragedi Jamboe Keupok dan berbagai peristiwa lain di masa konflik ditorehkannya dalam catatan hariannya (diary). “Ketika masa konflik, ada 27 orang warga (Jamboe Keupok) yang meninggal,” ucapa SB membeberkan salah satu isi catatan hariannya.

Khusus peristiwa Jamboe Keupok, untuk mengenang para almarhum, setiap tahunnya warga mengadakan peringatan ala kadar dengan cara doa bersama. Acara dipusatkan di makam tempat 16 orang korban dikubur, Letaknya di tempat pekuburan umum desa, 500 meter dari rumah SB, atau 50 meter dari rumah tempat korban dibakar.

Awalnya, tempat pemakaman korban dibangun seadanya. Hingga pada tahun 2007, dari hasil sumbangan warga dan bantuan lembaga Kontras Aceh, warga membangun pagar besi yang mengelilingi tempat 16 orang korban tragedi Jamboe Keupok disemayamkan.

Selain itu, sebagai bentuk solidaritas, SB juga menggerakkan warga untuk membentuk komunitas yang disebut sebagai Perkumpulan Korban Konflik Jamboe Keupok. Warga juga mempercayakan SB untuk menjadi ketua. Komunitas ini murni inisiatif warga sendiri, khususnya keluarga korban.

”Ada orang GAM waktu itu mau jadi ketua, tidak kami izinkan. Kami tidak mau disangkut-sangkut pautkan dengan lembaga lain,” kata SB.

Sebagai keluarga korban konflik, SB mengaku pernah mendapatkan dana diyat dari Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Menurutnya ada 30 orang warga Jamboe Keupok yang masuk dalam daftar penerima diyat. 27 orang warga biasa, dan tiga

Dalam dokumen Fakta Bicara (Halaman 193-200)