• Tidak ada hasil yang ditemukan

(KISAH-KISAH DARI TENGAH) Pembantaian di Kanis Gonggong

Dalam dokumen Fakta Bicara (Halaman 158-172)

t

Satu persatu, warga meninggalkan desa. Ada yang terang-terangan, ada yang secara diam-diam dengan alasan ingin mengantarkan keluarga. Tapi yang mengantar pun tak jua kembali ke desa.

Tahun 2001, sama seperti daerah lain di seluruh Aceh, suasana Desa Cemparam Jaya, Kecamatan Syiah Utama, Kabupaten Bener Meriah (dulu Aceh Tengah) mencekam. Sebabnya karena intensitas konflik Aceh yang semakin meningkat. Ada perang antara aparat keamanan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di mana-mana.

Khususnya di wilayah Aceh bagian tengah, suasana diperparah lagi dengan terjadinya pengusiran terhadap warga keturunan Jawa oleh sekelompok orang. Pengusiran itu bahkan dilakukan dengan cara kekerasan. Di Desa Cemparam Jaya, kondisi itu memaksa sebagian warga untuk pindah ke tempat yang dikira lebih aman.

Jn, 50 tahun, adalah salah seorang warga Cemparam Jaya yang memilih bertahan di desanya. Saat itu ia menjabat sebagai kepala salah satu dusun. Sebagai pemimpin, ia merasa memilki tanggung jawab untuk menjadi panutan warganya. “Kalau pemimpinnya lari duluan, pemimpin macam apa saya ini. Apa kata dunia,” katanya sambil terkekeh saat ditemui beberapa waktu lalu di tempat kediamannya sekarang, Desa Selirih Mara, Kecamatan Syiah Utama, Bener Meriah.

Jn bukannya tak sadar akan resiko yang bakal diterima atas keputusannya itu. Ia mengaku sering mendengar kejadian-kejadian buruk yang berlaku di desa lain yang dihuni oleh mayoritas suku Jawa. Tapi sebagai pemimpin, ia tetap berpegang teguh pada prinsip, meski nyawa taruhannya.

Ibu Jn juga sempat memohon agar ia ikut mengungsi bersama yang lain. “Doanya saja mak yang mamak tinggalkan untuk aku,” Jn tetap berpegang pada prinsip. Ia tak melarang keluarga dan warga yang lain jika ingin meninggalkan desa.

Secara pribadi Jn juga punya alasan lain untuk tetap bertahan di desa yang letaknya di wilayah pedalaman Bener Meriah. “Saya ingin tahu sebenarnya GAM itu siapa? Karena memang saya belum tahu, yang namanya GAM itu siapa. Kenapa orang pada takut semua,” pikir Jn kala itu.

Hingga Juli 2001, dari total 61 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di Cemparam Jaya, hanya 21 KK di antaranya yang memilih bertahan. Dalam keadaan tetap was-was, mereka memilih tetap tidak meninggalkan rumah yang telah ditempati selama berpuluh tahun itu.

Hingga suatu malam tanggal 9 Juli 2001. Hal yang selama ini dikhawatirkan datang juga. Warga Cemparam Jaya kedatangan tamu yang tak diundang. Jumlahnya puluhan orang. Tanpa sepengetahun sang tamu, warga buru-buru bersembunyi di kebun kopi yang tak jauh dari daerah perumahan.

Satu persatu, rumah-rumah dibakar. Dari dalam kebun kopi, Jn dan warga yang lain hanya bisa menyaksikan peristiwa itu dengan rasa amarah bercampur sedih. “Kami tidak berani teriak. Karena tujuan mereka bukan cuma bakar rumah, tapi orangnya pun dibunuh kalau jumpa.”

Meski begitu, salah seorang warga yang tak tahan melihat peristiwa itu mengusulkan agar mereka melakukan perlawanan untuk melindungi harta benda. Jn menyergah, pertimbangannya, pelaku pembakaran juga melibatkan anak-anak yang berumur sekitar 12 tahun. Ia tak mau anak-anak tersebut menjadi korban jika mereka melakukan perlawanan.

Menurut Jn, hanya ada dua orang GAM yang ikut dalam pembakaran itu, selebihnya adalah anak-anak dan beberapa warga setempat. Ternyata, pelaku adalah orang-orang yang selama ini dianggap sebagai kawan oleh Jn. “Jadi sandiwara mereka itu sudah saya baca,” kata Jn menyimpulkan apa yang dilihatnya saat itu.

“Katanya geriliya, tapi mainnya kok begitu? Berarti mereka sudah mengganggap kita ini kerupuk semua.”

Hampir semua rumah rata dengan tanah. Tapi Jn tidak ingat berapa jumlahnya. Melewati tengah malam, warga masih bertahan di kebun kopi. Tak berapa lama kemudian, pelaku meninggalkan tempat kejadian.

Api mulai padam, situasi dianggap sudah aman. Tepat pada pukul 03:00 WIB, warga keluar dari lokasi persembunyian, jumlahnya 12 orang. Mereka hanya bisa memandang puing-puing rumah yang terbakar dengan sedih. Tak ada lagi tempat untuk berteduh.

Di tempat terbuka di salah satu sudut dusun, warga berkumpul. Dalam situasi yang masih dirundung was-was, mereka mengadakan musyawarah. “Rumah kita sudah dibakar, sebelum kita ini dibunuh habis, lebih bagus kita berangkat turun (pergi dari desa) malam ini,” kata Jn mengusulkan.

Tujuannya, ke Sidodadi atau ke Selamet Rejo, desa lain di Kecamatan Banda yang bertetangga dengan Kecamatan Syiah Utama.

Usulan itu ditolak oleh seorang tetua desa, yang tak lain adalah paman Jn. Ia beralasan, tak mungkin melakukan perjalanan melewati hutan pada malam hari dengan diikuti oleh anak kecil bersama mereka. Ya, rombongan 12 orang tersebut, termasuk beberapa di antaranya anak-anak.

“Kita turun aja Lek...” Jn tetap menyarankan agar perjalanan dilakukan pada malam hari. Ia tak yakin jika esok hari para pelaku tidak akan mendatangi lagi dusun. Atau bisa jadi pelaku akan mencegat mereka di jalan. “Kau tenang aja nak,” kata Paman Jn meyakinkan.

Mereka kemudian sepakat untuk meninggalkan desa keesokan harinya. Malam itu, warga menunggu datangnya pagi di tempat terbuka, bersama puing-puing rumah dan harta benda yang hangus terbakar.

Keesokan pagi, matahari mulai bersinar. Suasana desa yang dulunya asri berganti dengan legamnya asap dan arang sisa pembakaran rumah. Warga hanya bisa memandang, berserapah pun sudah tak ada gunanya lagi.

Mereka berkeliling untuk mencari sisa-sisa harta yang masih bisa digunakan. Perut lapar, untuk menanak nasi memang sudah tak mungkin. Dari sebuah kedai kecil milik salah seorang warga, Jn memungut beberapa makanan yang masih mungkin untuk dilahap. “Yang tidak habis dimakan mereka (pelaku), paginya kami yang makan,” kata Jn.

Warga masih di desa. Jn menyarankan agar mereka segera berangkat. Ia khawatir jika pelaku pembakaran rumah akan menghadang mereka di jalan. Tapi pamannya memberi nasehat, tak usah terburu-buru. Apa yang ditakutkan Jn dianggap tak mungkin terjadi.

Sudah pukul 08:00 WIB. Mereka mulai bersiap-siap meninggalkan desa, tujuannya ke Desa Selirih Mara, tempat Jn dan keluarga menetap sekarang. Jn sudah siap dengan sepeda motornya. Anaknya yang perempuan duduk di belakang sambil memegang sebuah tilam yang berhasil diselamatkan pada malam hari.

Mereka mulai berangkat. Dalam perjalanan, Sle, adik Jn, menawarkan diri untuk memegangi tilam. “Udah bang, biar aku saja,” kata Sle. Ia tak tega melihat anak gadis Jn bersusah payah memegangi tilam tersebut.

Kini, Jn berboncengan dengan Sle, sedangkan anak gadisnya ikut bersama rombongan yang lain. Mereka berangkat secara bergantian, agar tidak menampakkan suasana mencolok di perjalanan.

“Kau dengar omongku ini. Kita ini memang saudara (Sle), tapi kalau dalam perjalanan ini, nyawa kita itu kita sendiri yang selamatkan. Nanti kalau ada orang yang cegat

di jalan, nanti kau loncat saja. Lari terus, tinggalkan abang,” kepada Jn memberikan nasehatnya. Sle mengiyakan perkataan abangnya itu.

Perjalanan dilanjutkan. Jn melaju sepeda motornya dengan perasaan was-was. Desa Cemparam Jaya berada di wilayah pedalaman Bener Meriah. Untuk keluar desa, warga harus melewati arel hutan dan pegunungan. Desa Selisih Mara berada tujuh kilometer dari Cemparam Jaya.

Hingga pukul 09:00 WIB, perjalanan masih aman-aman saja. Mereka sudah tiba di wilayah Kanis Gonggong. Tiba-tiba, antara yakin dan tidak, dari kejauhan Jn melihat lima sosok tubuh telungkup bersimbah darah. Belum cukup waktu untuk meyakinkan apa yang dilihat, ia dikejutkan oleh kemunculan beberapa orang yang gelagatnya sangat tidak bersahabat. Mereka langsung mencegat.

“Dari maka kau?” tanya mereka dengan suara keras. “Saya duluan yang harus nanya, siapa kau?” bukannya menjawab, Jn balik bertanya.

“Jangan banyak tanya, kubunuh kau!” dengan parang yang terhunus di tangan, mereka langsung menuju ke arah Jn.

Sadar tidak akan mungkin terjadi negosiasi, Jn melaju sepeda motor ke arah para pelaku. Sle masih duduk di belakang, ia tak melaksanakan rencana yang disampaikan kepadanya saat berangkat tadi. Jn menyikut Sle hingga terjatuh, tujuannya agar ia segera meninggalkan tempat itu.

Jn terus melaju sepeda motornya, menerobos kawanan orang-orang yang ingin merenggut nyawa itu. Begitu dekat, pelaku langsung menebaskan parang. Ketika pelaku menebas bagian tangan kiri, Jn mengangkat tangannya. Tebasan dari kanan pun segera datang, ia kembali memegang kemudi dengan tangan kiri, tangan diangkat dengan segera. Pelaku menebas bagian kepala, Jn segara menunduk. Ia berhasil menghindar serangan pertama.

Di depan, tiga orang sudah siap menunggu, dengan parang terhunus. Sebagian mereka memakai sebu. Jn tetap

melaju sepeda motornya ke arah pelaku yang memang berdiri di badan jalan. Kali ini, Jn berpikir tak mungkin bisa melewati mereka. Ia harus memberikan perlawanan.

“Begitu mereka sudah ada lagi di depan saya, yang sebelah kiri saya timpain kereta, yang depan saya tunjang, yang kanan saya tinju,” kata Jn menceritakan kembali peristiwa yang dialaminya hari itu. Semua gerakan itu dilakukan dalam waktu yang bersamaan. “Saya juga heran, kok kena semua,” Jn terkekeh.

Tiga orang pelaku terjerambab ke tanah. Tapi bukan berarti Jn segera lolos dari maut, bahaya malah semakin mengancam. Sadar tak mampu melumpuhkan Jn, pelaku berteriak meminta pertolongan. Seketika, pelaku yang lain datang, Jn tak ingat berapa jumlahnya, yang ia tahu, ada banyak sekali orang yang datang memakai sebu dengan parang terhunus.

Tak mungkin Jn melawan. Ia berlari sekencang mungkin menuju ke rawa-rawa yang tak jauh dari lokasi kejadian. Jn menerobos lumpur dan pepohonan rawa. Pelaku enggan mengikuti ke dalam rawa. “Saya masuk ke dalam buangan air, terus saya lari pontang-ponting.”

Pelaku rupanya tak mengejar dari belakang. Mereka mengitari ke sisi lain, tujuannya, ingin mencegat dari depan. Begitu tiba ke sisi lain rawa-rawa tersebut, Jn sadar dirinya sudah terkepung. Pelaku berada tepat di depannya, ia bisa melihat langsung kaki mereka. Tapi Jn tak terlihat, rawa-rawa tersebut memang dipenuhi semak-semak.

“Ya Allah ya tuhanku, tolonglah saya, saya belum mau mati. Tunjukkanlah kekuasaanmu,” dalam keadaan terkepung, Jn bermunajat, ia benar-benar takut. Ia terus berdoa. Saat itulah, Jn mengaku merasakan langsung kebesaran Tuhan.

Suasana yang lengang tiba-tiba gaduh. Angin kencang datang, berputar-putar tak menentu arah. Kayu-kayu beterbangan, menimbulkan suara yang riuh. Kesempatan itu tak disia-siakan Jn, ia melarikan diri, merayap di antara pengepung.

“Jangan cuma berdiri di situ kalian. Itu kalian tebas semak itu, dia (Jn) masih di bawah kakimu. Kau tebas-tebas, pasti dia ada di situ,” salah seorang pelaku memberikan perintah tersebut ketika Jn telah melewati mereka sekitar 10 meter jaraknya.

Menurut Jn, saat itu pelaku berbicara menggunakan bahasa Gayo. “Kepada yang suku Gayo saya harap jangan tersinggung. Itu kan masa lalu,” katanya menyelingi cerita saat wawancara.

Jn melanjutkan cerita. Pelaku segera melakukan perintah yang menurut Jn adalah pimpinan dari kelompok tersebut. Mereka membabat semak-semak, saat itulah tampak bekas tempat Jn merayap.

“Kejar terus kata mereka, itu yang berbahaya, kalau dia lolos, habis kita semua!” teriak pelaku.

Mendengar perkataan itu, rasa takut Jn bertambah. Ia terus merayap agar tak terlihat oleh pelaku yang mengejar mengikuti jejak Jn. Ia tak perduli apa yang ada di depan. Semak belukar, pepohon berduri diterobos dengan buru-buru. Dari amatannya saat itu, ada tiga orang pelaku yang terus mengejar.

Setelah merayap cukup jauh, Jn melihat ke belakang. Tak tampak lagi pelaku yang mengejar. Perasaannya sedikit lega, kali ini ia berlari sekuat tenaga melewati hutan seorang diri. Setelah cukup yakin bahwa pelaku tidak mengejar lagi, ia beristirahat sejenak.

“Disitulah saya sadar, rupanya saya tidak pakai celana lagi,” kata Jn. Ia yakin celana training yang awalnya dipakai terlepas saat ia merayap menyelamatkan diri.

***

Sejauh mata memandang, tak ada seorang pun yang tampak, harta-harta penduduk ditinggal begitu saja. Jn baru saja tiba di Desa Slamet Rejo, Kecamatan Bandar. Seorang diri, ia berlari menyusuri jalan aspal desa tersebut. Tak ada

sandal, hanya baju dan celana dalam yang ia pakai.

Jn terus mencari-cari orang yang bisa ditemui. Ia berlari ke mesjid desa, di sanalah, penduduk setempat dan dari beberapa desa lainnya telah berkumpul. Ketika pertama kali sampai ke mesjid, ia langsung bertemu dengan abangnya. Tubuh Jn dipenuhi luka dan darah, si abang langsung pingsan.

“Aduh, malah aku yang jadi nolongin yang pingsan tadi,” kata Jn sambil terkekeh.

Jn segera meminta celana. Ia menceritakan apa yang baru dialaminya. “Kawan kita mungkin banyak yang korban. Saya salah satunya coba dibantai tadi,” Jelasnya.

“Cobalah menurut kalian, bagaimana caranya, tolonglah yang dibelakang itu,” kata Jn menyarankan. Saat itu, beberapa orang anggota TNI dari Koramil Pondok Baru tengah berada di tempat pengungsian. Akhirnya disepakati, bersama beberapa warga lainnya, mereka akan mengecek keberadaan warga Cemparam Jaya yang pergi meninggalkan desa pagi tadi. Jn tidak ikut.

Anggota TNI dan beberapa warga lain tiba di Kanis Gonggong, tepatnya, di lokasi tempat Jn dan adiknya dihadang. Di sana, darah berceceran. Tak ada seorang pun di tempat itu. Setelah diperiksa, akhirnya diketahui, ada beberapa manyat di dalam jurang, di tempat lokasi kejadian.

Satu persatu mayat diangkat. Kondisi jurang yang cukup dalam dan dipenuhi semak belukar membuat aparat agak kesulitan mengangkat mayat-mayat itu. Kondisi mayat itupun cukup mengerikan, penuh luka tatakan pedang. Setelah diangkat, mayat-mayat itu dijejerkan di pinggir jalan. Dihitung, dan diketahui ada 12 orang yang menjadi korban pembantaian hari itu.

Saat aparat dan warga bersiap-siap mengevakuasi manyat itu, tiba-tiba ada hal yang mencurigakan. Daun pisang yang dipakai untuk menutupi manyat salah satu korban itu bergerak-gerak. Mereka langsung memeriksa, ternyata sosok yang dipenuhi luka bacokan itu masih hidup.

“Namanya Im, saat itu umurnya 14 tahun,” kata Jn. Padahal menurutnya, jika dilihat dari kondisi Im saat itu, sangat tidak bisa diterima akal sehat jika dia selamat. Badannya penuh luka parah, mata dicongkel dan tubuhnya dilempar ke jurang yang dalam.

Ketika diangkat dari jurang, Im dikira sudah meninggal. Karena itu, tak ada pertolongan yang diberikan pada awalnya. Ia diperlakukan sama seperti mayat-mayat yang lain. Karena kondisi jurang yang cukup terjal, tubuh Im terpaksa ditarik begitu saja. Darahnya terus berceceran.

Diketahui masih hidup, Im langsung dilarikan ke Rumah Sakit di Pondok Baru. Setelah diperiksa, dokter setempat mengatakan pihaknya tak mampu menangani kondisi Im yang cukup parah itu. Im kemudian dibawa ke rumah sakit di Kota Takengon. Sama seperti sebelumnya, dokter setempat juga mengatakan tidak mampu memberikan pertolongan.

Im lalu dilarikan ke Rumah Sakit di Banda Aceh. Lagi-lagi, dokter di Banda Aceh juga tak mampu memberikan pertolongan. Setelah itu, Im di bawa ke Jakarta. Di sanalah ia baru mendapatkan perawatan yang intensif. Sesampai di Jakarta, Im juga dijadikan sebagai contoh kasus terhadap sejumlah peristiwa yang terjadi di Aceh pada masa itu.

Kejadian di Kanis Gonggong menyebabkan 11 orang meninggal, termasuk Sle dan Paman Jn . Kondisi para korban sungguh menggenaskan, “ada yang dikorek otaknya, ada yang dikorek jantungnya dan wajahnya dihancurkan,” kata Jn.

Anak perempuan Jn selamat, tapi anaknya sempat melihat Paman Jn digorok lehernya oleh pelaku.

Saat itu, menurut penuturan Jn dari pengakuan anaknya, dihadapan pelaku, pamannya telah memohon sambil bersujud, tapi permohonan itu tidak digubris. Dalam keadaan bersujud, pelaku menyayatkan pedangnya ke bagian leher lelaki malang itu.

Melihat kejadian itu, anak perempuan Jn hilang kendali, ia langsung melompat ke jurang bersama tiga orang lainnya. Setelah berguling-guling, ia sempat tertindih tiga

orang tersebut. Syukur, ia selamat. Setelah diobati, ia hijrah ke Medan selama empat tahun.

Pasca penghadanganan di Kanis Gonggong, warga dari tiga desa, yaitu Cemparam Jaya, Sidodadi dan Slamet Rejo memilih untuk mengungsi ke Mesjid Desa Sidodadi. Di sana, mereka bertahan hidup sebisanya. Ketika malam hari, mereka berjaga secara bergantian. “Di pengungsian lebih susah lagi, aparat yang datang yang seharusnya melindungi kita, tapi kita malah yang disuruh jaga. Jadi seolah kita yang jagain dia,” kata Jn.

Saat itu, desakan untuk mengungsi ke luar propinsi kembali datang. Adik Jn yang lain mengajak abangnya itu untuk pindah ke Medan, tapi ia menolak. “Saya lebih baik takut daripada susah. Kalau susah kita sendirian, kalau takut kita ya rame. Kalau di Medan kita susah sendiri, kalau di sini kita takutnya rame-rame,” katanya memberikan alasan saat itu.

Empat bulan di pengungsian, Jn kemudian pindah ke Desa Selisih Mara, kampung asal bapak dan mertuanya. Ia tinggal di sana hingga sekarang. “Setelah kejadian itu, saya baru tahu siapa GAM itu, dan saya juga takut. Awalnya saya tidak takut, karena saya pikir kalau sudah kenal mungkin tidak akan dibunuh, rupanya enggak, yang udah nyembah pun terus dibunuh,” kata lelaki kelahiran Kuala Simpang tahun 1984 itu.

***

Sebelum kejadian tersebut, warga Cemparam Jaya mengaku tak pernah bermasalah dengan pihak siapapun. Meski konflik Aceh terus memanas kala itu, hingga warga memutuskan untuk meninggalkan desa, tidak pernah ada pos aparat keamanan yang ditempatkan di desa.

Menurut pengetahuan Jn, penyerangan dan

penghadangan dan pembunuhan terhadap warga Cemparam Jaya dilakukan karena pelaku telah mengganggap orang Jawa sebagai musuhnya.

“Menurut saya, kalau dari pihak yang sesunggungnya, enggak ada saya dengar begitu. Tapi di lapangan kok kejadiannya begitu. Katanya Jawa kafir, Jawa penjajah, begitu dia teriak waktu bakar rumah. Kita enggak mengerti apa maksud mereka.”

Karena itu Jn menggangap bahwa perang yang terjadi saat itu bukanlah perang sesungguhnya. Bagi dia, yang namanya perang jelas tidak akan memberikan keuntungan bagi siapapun. “Kalau bisa anak cucu saya jangan merasakan seperti itu lagi. Yang namanya perang itu kejam,” katanya.

Bagi Ju, Perang yang terjadi saat itu lebih kepada perang suku. Karenanya, sulit untuk dibayangkan jika harus mencari siapa pelaku yang tega melakukan pembantaian sadis tersebut. Ia tak mau terlalu memikirkan lagi. “Kalau mau cari tau, stress saya. Lebih baik, kalau memang takut dosa, ya enggak usah ikut perang. Kalau perang, kalau tidak dibunuh, ya membunuh.”

***

Berulang kali Jn telah menjelaskan, bahwa dirinya adalah benar korban konflik dari Desa Cemparam Jaya. Adik kandungnya benar-benar menjadi korban saat peristiwa 9 Juli tahun 2001. Tapi petugas di Badan Reintegrasi Aceh (BRA) setempat menuduh Jn telah mengada-ngada. Penjelasan berulang kali dari Jn dianggap hanya rekayasa oleh mereka. Saat itu, ia akan mengurus dana diyat dari pemerintah bagi korban konflik Aceh.

“Kemudian datang dari milisi yang ikut mengambil mayat waktu kejadian, dia bilang, saya ini benar, adik saya benar jadi korban. Baru mereka diam,” kata Jn menjelaskan. Sebagai keluarga korban konflik, ia mengaku telah pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah sebanyak lima kali.

Ia tak ingat rincian waktu dan jumlahnya, bantuan itu diterima sekitar tahun 2001, 2002 dan 2007. Bantuan yang terakhir diterima sejumlah Rp3 juta, yang tak lain adalah

dana diyat.

“Setelah damai cuma sekali dapat. Dana itu untuk saya sebagai keluarga almarhum (adik), kalau bantuan untuk saya korban konflik enggak pernah ada,” katanya.

Di Desa Cemparam Jaya, kondisi sekarang lebih ramai dibanding masa konflik. Jn tentu saja bersyukur dengan semakin membaiknya kondisi tersebut. Bagi dia pribadi, meski telah mengalami langsung perisiwa mengerikan tersebut, namun tak ada istilah trauma baginya. “Sekarang ini tinggal jengkelnya aja, bukan trauma. Apalagi kalau ada orang pemerintah yang ngomong sok jujur di depan saya, rasanya mau saya lepok terus. Taik kucing semua!” kata Jn dengan nada kesal.

Kekesalan ini bukan tanpa alasan, hal itu tak lain disebabkan karena perangai pemerintah yang ditunjukkan kepada masyarakat selama ini, khususnya terhadap warga korban konflik. Bayangkan saja, meski di Desa Cemparam Jaya saat ini telah dibangun begitu banyak rumah bagi warga yang rumahnya dibakar pada masa konflik, namun hal itu terkeculi buat Jn.

Bantuan rumah tersebut diberikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Mamamia. Ketika pertama sekali

Dalam dokumen Fakta Bicara (Halaman 158-172)