• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perang Koboy di Pondok Kresek t

Dalam dokumen Fakta Bicara (Halaman 177-190)

Tahun 1999, intensitas konflik Aceh semakin memanas, tak terkecuali kawasan Bener Meriah (dulu masuk Kabupaten Aceh Tengah). Konflik di sana dikisahkan kembali oleh tokoh masyarakat setempat, Sutrisno.

Saat itu, Sutrisno adalah Kepala Desa Pondok Kresek, Kecamatan Pondok Baru. Belakangan, nama Pondok Kresek berganti menjadi Sedie Jadi. Sejak tahun 2004, Sutrisno menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bener Meriah.

Sutrisno dan beberapa warga lain di desa itu mulai gusar saat konflik mendera. Bukan karena perang antara GAM dan TNI/Polri yang terjadi di mana-mana, tapi ada isu lain yang mulai merebak. “Kalau orang Jawa lewat ke daerah Aceh, nanti akan disweeping sama GAM. Bisa dibilang hilang lah,” kata Sutrisno.

Selain itu, ia juga mendapat kabar bahwa di beberapa tempat telah terjadi pengusiran terhadap penduduk di kampung-kampung yang dihuni suku Jawa. Misalnya, di Jantho, Kabupaten Aceh Besar, di Samalanga, Kabupaten Aceh Utara (sekarang Bireuen), di Aceh Timur, dan di beberapa tempat lainnya yang dihuni oleh warga transmigrasi asal Jawa.

Awalnya, Sutrisno tak percaya, hingga kemudian kabar itu benar-benar dialami langsung oleh salah seorang familinya di kawasan Bireuen. Di sana, ada beberapa Kepala Keluarga (KK) suku Jawa yang diusir secara paksa dari kampung

mereka. Harta benda yang telah diusahakan selama sekian tahun, dihargai dengan sesuka hati oleh pelaku pengusiran. “Dan ada juga yang dibunuh,” kata Sutrisno.36

Kabar yang dulu hanya didengar, kini telah dialami langsung oleh keluarganya. Keputusan harus dibuat. Tapi, jika harus pergi, pergi ke mana? Sutrisno memang bersuku Jawa, tapi ia lahir di Aceh Tengah, pada 27 mei 1967 silam. Kakeknya dan neneknya sudah menetap di kawasan dataran tinggi Aceh itu sejak tahun 1937. Keduanya meninggal dan dikuburkan di Bener Meriah.

Saat itu, Sutrisno sama sekali tidak tahu di mana kampung asalnya di Pulau Jawa. Begitu juga dengan sebagian besar penduduk transmigrasi lainnya. Ketika sudah menjadi anggota Dewan, Sutrisno mencoba melacak keberadaan tempat asal dan familinya yang ada di Pulau Jawa. April 2010 lalu, ia berhasil menemukan tempat dan sanak familinya itu. Satu orang keponakannya kini tinggal bersama di Bener Meriah.

Atas dasar pemikiran; jikapun harus pergi, hendak pergi ke mana, warga Pondok Kresek memutuskan, mereka tidak akan meninggalkan desa yang telah ditempati selama puluhan tahun itu. Mereka menyatukan diri, bersepakat, jika memang ada yang datang dan mengusir, akan dilawan bersama-sama.

Kekhawatiran adanya pengusiran paksa terhadap warga suku Jawa tidak hanya dirasakan oleh penduduk Pondok Kresek, tapi juga oleh warga suku Jawa yang tinggal di beberapa desa lain yang keseluruhannya berjumlah 30 persen dari penduduk yang ada di Bener Meriah dan Aceh Tengah37. Para tokoh masyarakat dari berbagai desa berkumpul, dan memutuskan akan bertahan.

Keputusan sudah dibuat, musuh yang akan dihadapi pun sudah jelas, dan mereka bersenjata. Lalu, bagaimana cara melawan jika sewaktu-waktu musuh datang dan mengusir

36_Wawancara Sutrisno, mantan kepala Desa Pondok Kresek, saat ini anggota DPRK Bener Meriah

secara paksa? Tentu dengan senjata pula. Lalu darimana mendapatkan senjata?

Khususnya di Pondok Kresek, kebetulan saat itu ada seorang warga yang sudah memiliki pengalaman tempur sebagai anggota Operasi Perlawanan Rakyat (OPR) di masa DI/’TII. Namanya Tg, ia mahir membuat senjata rakitan. Warga kemudian menyuplai bahan-bahan seadanya kepada Tg untuk diolah menjadi senjata rakitan. Dari olahan tangan Tg tersebut, terciptalah beberapa jenis senjata api rakitan. Pokoknya senjata api, apakah itu bagus atau tidak.

Salah satu jenis senjata api rakitan yang dibuat saat itu adalah kecepek. Amunisi senjata ini diolah dari korek api. Di dalam bagian pelurunya dimasukkan hancuran besi. Dengan jarak tembakan sekitar 200 meter, kecepek mampu mengenai semua sasaran yang ada di depannya. Pelurunya menyebar, hampir mirip senjata modern Shotgun Pump (SP). Kecepek mampu mematikan lawan dengan jarak maksimal 60 meter.

Ketika di Pondok Kresek warga mempersiap diri untuk bertahan, di tempat lain, pembantaian terhadap suku Jawa benar-benar terjadi. Ju, yang tak lain adalah paman Sutrisno menjadi salah seorang korban. Tepatnya pada tanggal 6 September tahun 2000, bersama beberapa orang lainnya, mayat Ju ditemukan di Weh Kanis. Dari informasi yang diterima Sutrisno, pamannya itu menjadi korban sweping terhadap warga Jawa yang dilakukan oleh sekelompok orang. Seminggu setelah meninggal, mayat Ju dibawa dan dikuburkan di Pondok Kresek.

“Jadi yang sebelumnya saya dengar bahwa ada sweping orang jawa, dan bahkan dibunuh, sudah menimpa langsung keluarga saya. Dengan dasar itu, memperkuat bahwa betul kita memang mau dihabiskan,” ujarnya.

Untuk kesekian kalinya, warga dari beberapa desa mengadakan rembukan di Pondok Kresek, bisa dibilang, desa ini adalah tempat berkumpulnya warga suku Jawa khususnya di Aceh Tengah untuk mengadakan rembukan. Mereka berkoordinasi untuk menyikapi masalah yang

terjadi. Menurut Sutrisno, ketika pamannya menjadi korban sweping, pasukan GAM saat itu masih menguasai Kecamatan Permata dan sekitarnya selama 11 hari penuh. Mereka bebas menenteng senjata ke sana kemari. Jelas saja hal itu semakin membuat takut warga Desa Pondok Kresek, karena memang berbahaya bagi mereka.

Rasa khawatir bertambah, meski kondisi semakin tak menentu, namun tak ada aparat keamanan yang patroli atau ditempatkan di desa. Padahal saat itu, Sutrisno sudah pernah menghadap ke Bupati Aceh Tengah yang saat itu dijabat oleh Mustafa Tami, ia meminta agar aparat keamanan ditempatkan di Pondok Kresek. Namun permintaan itu tak kunjung ditanggapi.

Kondisi sudah jelas, warga memang harus mempertahankan keselamatannya sendiri. Pirin, salah seorang warga Pondok Kresek mengusulkan kepada Sutrisno agar warga membuat bunker (lubang pertahanan), di salah satu sudut desa. Saat itu, usulan tersebut benar-benar tak diterima akal Sutrisno, karena ia tak pernah membayangkan akan terjadi perang di desa yang dipimpinnya itu. Bahkan ia sempat mengganggap Pirin kurang waras.

Tak berapa lama, bersama istrinya, Pirin berhasil merampungkan pembangunan bunker sederhana itu. Ada juga beberapa bunker lain yang dipersiapkan warga.

Bunker sudah ada, senjata api rakitan juga, tapi senjata itu butuh peluru. Dengan bahan-bahan seadanya, warga juga mencoba mempersiapkan peluru. Bagaimanapun caranya, peluruh harus ada. Beberapa di antaranya didapatkan dari polisi yang ditukarkan dengan kayu grupel.

“Entah beli, entah dari mana, kadang kita tukar kayu grupel dengan Brimob yang datang, kita dapat peluru lima biji. Jadi kita upayakan hal-hal seperti itu, dengan tujuan, apabila betul memang kita diserang pakai senjata api, kita bisa memberi perlawanan, meskipun dengan suara saja.”

Memasuki tahun 2001 keadaan semakin memanas. Untuk memudahkan komunikasi, warga juga mengupayakan

Handy Talkie (HT). Sejak tahun tahun 2000, pada malam hari warga tidak lagi tidur di rumah masing-masing. Yang perempuan berkumpul, yang lelaki berjaga-jaga dalam beberapa kelompok.

Untuk kesekian kalinya, Sutrisno kembali meminta kepada aparat keamanan agar pasukan ditempatkan di desa mereka. Kepada Kapolsek setempat, ia memohon, paling tidak pada malam hari ada aparat keamanan yang tinggal di desa. Tapi menurut Sutrisno, permintaan itu tidak ditanggapi, aparat keamanan juga takut saat itu.

Malam, 5 Juni tahun 2011. Seperti malam-malam sebelumnya dalam beberapa waktu terakhir, warga lelaki berjaga-jaga di beberapa sudut desa. Ada di pos bawah tak jauh dari pintu gerbang masuk ke Desa Pondok Kresek. Ada juga di pos atas, di salah satu ujung desa yang letaknya agak di ketinggian. Desa ini memang berada di kaki pegunungan, memasuki desa dari arah pintu gerbang, kita langsung menemukan jalur menanjak.

Saat itu, selain warga desa Pondok Kresek, ada juga warga dari Desa Jumirah yang memilih bermalam di desa ini. Informasi yang berkembang saat itu, akan segera terjadi penyerangan. Dari HT yang dimiliki warga Pondok Kresek, mereka bisa berkomunikasi dengan anggota GAM yang berada di sekitar desa. Tapi warga Pondok Kresek tak paham dengan sandi yang digunakan oleh GAM. Dari hasil analisa semampunya, diketahui bahwa benar akan terjadi penyerangan. Sasarannya, Sidodadi dan Pondok Gajah, bukan Pondok Kresek.

Menurut Sutrisno, saat itu di Pondok Gajah ada Koramil dengan 12 orang anggota TNI. Atas dasar informasi yang berkembang saat itu, enam orang anggota TNI Koramil Pondok Gajah ditempatkan ke Sidodadi. Sedangkan di Pondok Kresek tidak ada aparat keamanan yang berjaga, hanya warga yang bersenjata rakitan.

Informasi lain yang didapati tim penulis, warga yang berjaga-jaga saat itu bukan karena adanya kabar akan terjadi

penyerangan, tapi memang karena adanya pengumuman agar dilaksanakan jaga malam massal di seluruh Kabupaten Aceh Tengah.

Sebagai kepala desa, Sutrisno memimpin penjagaan. Ia berada di pos bawah, dengan senjata api rakitan, HT dan sepatu PDL. Di pos atas, ada sekitar delapan orang. Mereka berjaga sambil bakar jagung. Jelang pukul 22.00 WIB, salah seorang di antara mereka menuju ke arah semak untuk buang air kecil.

Saat itulah, ketika menoleh ke arah bukit, 30 meter dari tempatnya berdiri, ia melihat puluhan orang sedang berendap-endap. “Ada orang masuk!” kata dia setengah berbisik kepada rekannya yang lain. “Siapa?” teman yang lainnya bertanya. Belum sempat pertanyaan terjawab “Dor…!,” spontan lelaki yang berbisik itu melepaskan tembakan dari senjata rakitannya.38

Sutrisno di pos bawah, mendengar letusan itu, spontan ia berserapah. “Kurang ajar anak-anak itu, main petasan malam-malam. Belum ada instruksi udah maen itu,” kata dia. Ada 10 butir peluru yang dibawa bersamanya. Belum habis rasa kesalnya, tiba-tiba kembali terdengar suara letusan, kali ini lebih dahsyat, jumlahnya tak terbilang. Ia yakin suara itu berasal dari moncong senapan serbu AK-47.

“Serbuu..!” Sutrisno berteriak. Begitu hendak menuju ke pos atas, langkahnya terhenti oleh penampakan musuh yang ternyata sudah begitu dekat, tak jauh dari lokasi pos bawah.

Dor..! dor..! dor..! rentetan tembakan senapan otomatis langsung ditujukan ke arah mereka. Sesekali diselingi ledakan bom! Sutrisno dan rekan-rekan urung menuju ke pos atas, mereka bersembunyi di sebuah rumah warga. Dari luar, tembakan bertubi-tubi menghantam dinding rumah.

Karena jumlah peluru yang sedikit, warga harus menghemat peluru. Tembakan baru dilepaskan jika sasaran sudah jelas. “Dor..!” sesekali balasan tembakan terdengar dari dalam rumah tempat Sutrisno dan rekan-rekannya

bersembunyi. Setelah tembakan sedikit mereda, mereka ke luar, tujuannya ke tempat lain yang lebih aman.

Di pos atas, YA dan rekan-rekan memilih mundur. Pos tersebut tepat berada di samping rumah YA . Di dalam ada ibu, kakak perempuan dan keponakannya. YA mundur ke tangga menuju halaman rumah. Rupanya musuh sudah ada di mana-mana, mereka terkepung. Di bawah berondongan senjata, sesekali ia melepaskan tembakan balasan.

Saat itu, YA mengaku sempat menembak salah seorang musuhnya dari jarak dekat. Ia yakin, tembakan itu mengenai sasaran. Tepatnya di tempat tak jauh dari tempat pertamakali ia terkepung, “Saya rasa kenak dia,” kata YA .

Sebelumnya, rekan YA sempat memperingatkan musuh tersebut untuk berhenti. YA langsung menembak. Setelah itu, ia juga mengaku sempat menembak satu orang musuhnya yang lain, ia yakin, tembakan itu juga mengenai sasaran. Setiap satu tembakannya dibalas dengan berondongan.

Listrik padam, tapi suasana terang benderang. Malam itu purnama. Rentetan tembakan diiringi letusan bom terus menggema di desa yang berada di kaki bukit itu. YA dan rekan-rekan berusaha menghidar dari amatan pelaku. Tapi mereka tidak lari, berendap-endap sambil sesekali membalas tembakan. Saat itu, pelaku mulai membakar rumah warga satu persatu, termasuk rumah YA . “Waktu dibakar rumah, kami masih di sekitar lokasi, sembunyi,” kata Yudi.

Di pos bawah, Sutrisno dan rekan-rekannya masih terus menghadapi gempuran musuh. Mereka juga tidak lari meninggalkan desa, hanya menghindar. Mereka menyelinap dari balik-balik rumah, tujuannya hendak ke pos atas. Ketika hendak sampai di pos atas, mereka menemukan salah seorang warga yang menjadi korban penembakan, namanya Edy Suyono. Ia menghembuskan nafas terakhir setelah sebelumnya dievakuasi ke dalam bunker.

Melihat salah seorang warganya tertembak, Sutrisno memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke pos atas, tapi menghindar ke sisi lain ujung desa. Setibanya di

sana, beberapa rumah telah hangus terbakar.

Sudah satu jam, suara tembakan masih terdengar. Bak bermain petak umpet, Sutrisno dan rekan-rekan menghidar dari pantauan pelaku. Ketika mereka tiba di ujung desa sisi lain, pelaku tiba di pos bawah. Sambil melepaskan tembakan dan memabakar rumah, mereka berteriak-teriak, dalam bahasa Aceh dan Gayo. “Kata-katanya kira-kira, Jawa harus pergi dari sini. Habiskan semua, habiskan!” kata Sutrisno menceritakan.

Rumahnya termasuk yang dibakar pelaku. Suara tembakan baru reda pada pukul 23:30 WIB, atau satu setengah jam sejak suara tembakan pertama kali meletus.

Pelaku sudah meninggalkan desa, dari kejauhan, suara tembakan sesekali terdengar. Sutrisno memperkirakan jumlah pelaku ratusan orang. Begitu juga dengan YA. Bahkan ia mendapat informasi bahwa ada 30 orang pasukan inti pelaku dari Aceh Utara yang ikut penyerangan malam itu. Mereka memakai loreng. Setiap tiga sampai enam orang pelaku memiliki satu pucuk senjata.

Ada juga pasukan jerigen, yang bertugas sebagai pembakar rumah. Kemudian hari didapatkan informasi bahwa sebagian pasukan jerigen adalah warga yang menetap di Pondok Kresek, dan dari desa tetangga yang diajak paksa oleh pelaku untuk ikut penyerangan dan pembakaran itu.

Suasana mulai lengang. Api masih membara dari rumah yang dibakar. Warga mulai berkumpul, mereka menyisir kampung. Pirin, 60 tahun adalah korban meninggal yang pertamakali ditemukan. Awalnya, mayat Pirin tidak dikenali, karena setengah badan bagian atas hangus terbakar. Di tubuhnya ada luka tembak, kepalanya terbelah oleh tatakan parang. Anak Pirin menyakini bahwa itu adalah ayahnya.

Korban lain adalah Edy Suyono, ia terkena tembakan dan meninggal saat dievakuasi ke dalam bunker. Zen Kaharuddin, 50 tahun, ia meninggal di dalam bunker akibat jantungan. Sedangkan Marnak, 60 tahun, baru ditemukan abu jasadnya setelah warga mematikan kobaran api dari salah satu rumah

yang dibakar. “Cuma tinggal abunya saja,” kata Sutrisno. Korban lain adalah Irma Yuni Prastika, dua tahun. Ia terkena tembakan dan meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit. Satu orang terluka, terkena tembakan di kaki (baca; kesaksian NA). Peristiwa 5 Juli 2001 itu memakan korban jiwa lima orang, 15 rumah dan balai desa ludes dilalap api. Aparat keamanan baru tiba di Desa Pondok Kresek pada pukul 00:30 WIB.

“Mareka baru datang, untuk apa lagi, sudah ada tidak ada lagi penyerang. Orang kita sudah beberapa orang jadi korban,” kata Sutrisno. Ia juga menduga beberapa pelaku turut menjadi korban saat perang malam itu. Ketika penyerangan selesai, warga menemukan banyak jejak darah yang diyakini milik pelaku. Di tempat kejadian, pelaku juga meninggalkan sepatu, parang, dan tentu saja selonsong peluru dari berbagai jenis senjata; AK-47, Double Loop, Shotgun, dan GLM. Saat dikumpulkan, jumlahnya mencapai satu ember.

YA menduga korban dari pihak musuh mencapai 13 orang. “Menurut informasi ada 13 orang mereka yang kena. Setelah beberapa hari kejadian, ada banyak tentara yang dikirim. Ada juga yang dari mereka (pelaku) yang kita pegang, dia mengaku, ada sekitar 13 orang mereka yang kena. Yang jelas di mata saya waktu itu dua orang.”

Ia juga menyebutkan dua nama anggota GAM yang terlibat penyerangan malam itu, yang kemudian menyerahkan diri di Buntul.

Pagi hari, kabar telah terjadinya perang selama satu setengah pada malam itu dengan cepat menyebar ke desa-desa lain. Warga dari berbagai desa-desa kemudian berbondong-bondong menuju kampung duka itu, termasuk Komandan Kodim setempat. Hari itu, dalam suasana duka, warga tetap memilih untuk bertahan di desa. Mereka berkumpul di mesjid. Sore hari, yang lelaki melakukan patroli, dan saat malam tiba jaga malam seperti sebelum penyerangan itu tetap dilakukan.

sempat menerima sejumlah bantuan dari Bupati Aceh Tengah dan dari warga Budha yang ada di kabupaten ini. Setelah itu, warga kembali ke rumahnya masing-masing. Bagi yang rumahnya dibakar, mereka menumpang pada sanak famili. Pondok Kresek hanya pernah diserang sekali. Usai penyerangan itu, jika ada orang yang mencurigakan, menurut Sutrisno, pihaknya segera mengamankan orang tersebut.

Pondok Kresek telah nyata diserang. Pelakunya menggunakan bahasa Gayo dan Aceh. Untung saja peristiwa penyerangan kampungnya itu tidak menyebabkan perang saudara, atau perang antara suku-suku yang ada di Aceh Tengah. Sutrisno masih ingat benar, salah seorang yang sangat berjasa menghindari terjadinya perang saudara tersebut adalah Kopral Nawawi, anggota TNI 142.

Kopral Nawawi lah yang berupaya menghubungkan para tokoh masyarakat dari suku Jawa, Gayo dan Aceh untuk mengadakan pertemuan membicarakan kelanjutan masalah yang terjadi saat itu. Jika dibiarkan, kondisi akan semakin memburuk; orang Jawa tidak berani ke kampung Gayo, dan begitu juga sebaliknya. Pada tanggal 9 Juni 2001, pertemuan diadakan di Pondok Baru. “Ada juga sebagian masyarakat kita yang dari kelurga korban yang sudah tak terkontrol,” kata Sutrisno.

Bagi Sutrisno, untung ada saja ada pertemuan itu, jika tidak perang saudara secara terangan-terangan bakal meledak di Aceh Tengah. Kalau pun memang terjadi beberapa pertentangan, hal itu bukan secara keseluruhan, artinya musuh yang dihadapi saat itu sudah jelas dari pihak mana. Tidak semua orang Aceh atau Gayo dianggap musuh, dan juga sebaliknya tidak semua orang Jawa diaggap musuh, bisa dipilah-pilah.

Perang terus berlanjut di beberapa tempat. Sutrisno mengaku tetap ikut perang, tapi ia juga aktif mengikuti

pertemuan-pertemuan dalam rangka menyamakan

pandangan antar beberapa suku. “Artinya, saya juga tidak mau mati konyol.”39 Setelah dilakukan sejumlah perundingan,

jelaslah siapa musuh yang dihadapi, yaitu GAM.

Waktu itu, Sutrisno sudah dengan sikap yang tegas, pro kepada NKRI, perlawanan yang mereka berikan ada bukti bahwa mereka memihak kepada merah putih. Mereka berlindungya kepada TNI-Polri. Ia juga bergabung bersama Pembela Tanah Air (PETA),pernah menjabat sebagai wakil ketua.

Baru saja usai dilakukannya pertemuan, kejadian mengerikan lainnya terlanjur terjadi. Di kawasan Pepedang telah terjadi pembantaian besar-besaran terhadap masyarakat. Sutrisno tahu kabar itu, menurutnya ada 60 orang yang tewas. Pihaknya termasuk yang ikut turun melakukan evakuasi terhadap korban. 60 orang itu bercampur; suku Gayo, Aceh dan termasuk Jawa.

Pertemuan lainnya pernah diikuti Sutrisno adalah adalah di Camp, sebuah tempat yang berada di Nisam. Pertemuan itu diadakan saat masa CoHA, dihadiri oleh tokoh masyarakat, ulama. Ada juga GAM yang hadir. Saat undangan pertemuan pertama, Sutrisno tak berani hadir. Ia baru datang pada pertemuan yang kedua. Sutrisno hadir dengan menyamar sebagai wartawan, membawa kamera dan sempat memotret beberapa di antara mereka.

Sebagai seorang kepala desa saat itu, Sutrisno terus mengupayakan berbagai hal untuk warganya. Tak lama usai penyerangan dan pembakaran rumah warga, ia langsung menemui bupati, meminta agar disediakan bantuan rumah. Permintaan itu ditanggapi, tapi hanya untuk 10 rumah saja, kurang dari jumlah total rumah yang dibakar. Satu rumah dijatahkan Rp7 juta.

Dengan dana 10 rumah itu, warga bersama-sama bekerja, memotong kayu di hutan untuk bahan pembangunan rumah. Hasilnya, dari jatah 10 yang tersedia, mereka berhasil mendirikan 13 unit rumah. Tahap kedua, pemerintah setempat kembali memberikan bantuan rumah, untuk tiga unit. Jumlah itu kemudian disiasati hingga seluruh rumah yang terbakar dan rusak bisa diperbaiki. Keseluruhan yang

dibangun mencapai 20 rumah.

Sejak tahun 2004, Sutrisno menjadi anggota DPRK Bener Meriah. Jabatan Kepala Desa Pondok Kresek yang sudah berganti nama menjadi Desa Sedie Jadi dipegang oleh Ali Udin. Saat ini, Desa Sedie Jadi dihuni oleh 130 (KK), hampir semua berprofesi sebagai petani.

Bagi Ali Udin, sebagai daerah yang pernah mengalami masa konflik yang parah, pemerintah masih kurang perhatiannya terhadap desa tersebut. Memang, selama ini keluarga korban telah pernah menerima dana diyat, tapi menurutnya itu saja tidak cukup jika dibanding apa yang dialami pada masa konflik.

Di sisi lain, ia sangat mensyukuri perdamaian yang ada sekarang ini. Warga kini dapat leluasa mencari rezeki. Tak ada

Dalam dokumen Fakta Bicara (Halaman 177-190)