• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pepedang Berdarah t

Dalam dokumen Fakta Bicara (Halaman 172-177)

Sekitar akhir tahun 2001, masyarakat di dataran tinggi Aceh, khusus di Kabupaten Bener Meriah dikejutkan oleh kabar terjadinya pembantaian besar-besaran yang terjadi di kawasan Pepedang. Tepatnya di sebuah ruas jalan tembus Bener Meriah-Aceh Utara. Beberapa sumber menyebutkan, jumlah korban atas kejadian itu mencapai 60 orang. Namun tim penulis tidak berhasil mendapatkan angka pasti jumlah korban. Motif pembunuhan juga masih misteri.

Dari hasil penelusuran di lapangan, tim penulis berhasil menemui seorang korban yang selamat dari kejadian Pepedang. Awalnya, ia menolak untuk diwawancara, setelah dijelaskan maksud dan tujuan, ia bersedia, tapi tidak mau namanya disebut.

Sebut saja namanya Saksi Pepedang (SP). Ia tak ingat lagi kapan persisnya peritiwa itu terjadi, antara akhir 2001 atau awal 2002. Saat itu, SP bersama adik angkat dan pamannya berangkat menuju ke Trusep, arah Kecamatan Samar Kilang. Setelah menempuh perjalanan, mereka tiba di kawasan Pepedang, suasana sepi. Satu kilometer dari Pepedang, mereka tiba di tempat tujuan.

Untuk sebuah keperluan, adik angkat SP yang bersuku Jawa itu pergi ke sebuah tempat yang rutenya harus melewati Pepedang. Tak berapa lama, SP yang warga asli Bener Meriah mendengar suara letusan senjata. Ia khawatir, kalau-kalau terjadi sesuatu terhadap adik angkatnya itu. Ia lantas meminjam sepeda motor milik salah seorang temannya.

Mengunggunakan motor Honda CB itu, SP melaju ke arah Pepedang.

Saat itu jelang siang hari, setibanya di Pepedang, dari kejauah SP melihat beberapa orang berpakaian loreng, ada senjata di tangan. Jumlahnya 20 hingga 30 orang. Mereka memanggil SP, melihat kondisi demikian, ia tak memutar haluan sepeda motornya, hanya menurunkan kecepatan saja. Ketika orang bersenjata itu memanggilnya, ia mengganguk saja. “Iya..,” kata SP saat itu.

Jarak antara SP dan orang bersenjata itu sudah sangat dekat. Ia mencoba mencari tahu, siapa mereka? Tak mau terlalu lama berpikir, SP melepaskan sepeda motor yang terus melaju ke arah orang bersenjata itu, melihat SP akan melarikan diri, beberapa orang bersenjata itu lantas melepaskan rentetan senjata.

Dor..dor..dor.. di bawah berondongan senjata, SP balik arah, berlari sekuat tenaga. Setelah berlari sekitar 50 meter, SP langsung melompat ke jurang. Beruntung ia, langsung jatuh ke dalam air. Tapi tubuhnya luka-luka, tersayat ranting pepohonan. Pelaku tidak melakukan penyisiran.

“Orang itu kalau udah masuk ke jurang, ke semak-semak, nggak di sisir lagi, paling berapa jam setelah itu, mereka enggak berani langsung mencari. Masa itu, yang namanya perang lawan pun punya senjata, jadi mereka nggak berani mencari.”32

SP selamat. Dengan tubuh yang luka-luka, ia berlari seorang diri di dalam hutan, menuju ke Truseb. Setiba di sana, ia mendapat pertolongan dari warga. SP menceritakan apa yang baru saja dialaminya itu. Ia tak bisa memastikan siapa pelaku yang menembaknya itu. Menurutnya yang pasti mereka itu bukan GAM.

Di Trusep, SP mencari tahu keberadaan adik angkatnya. Setelah ditunggu-tunggu, sang adik tak muncul, juga tak ada kabar tentang dirinya. Satu pekan berada di Trusep, SP memutuskan untuk melihat ke Pepedang. SP ditemani beberapa warga Trusep lainnya. Setiba di Pepedang, mereka

menemukan mayat-mayat bergeletakan. Jumlahnya puluhan, SP menyebut di atas 20 orang.

Bau busuk menyengat hidung, kondisinya sangat memprihatinkan. Mayat-mayat itu, ada yang digigit anjing dan biawak. Wajah dan perut jasad itu sudah menggembung, ada yang kepala terpisah dari badan. Hampir semua tak lagi menggunakan pakaian, hanya celana dalam. SP tak mengenali yang mana jasad adik sepupunya. Ia yakin, di antara mayat-mayat itu, termasuk adik sepupunya.

Setelah bermufakat dengan beberapa warga Trusep lainnya, mayat-mayat itu dikuburkan, rencananya secara massal. Mereka kemudian menggali lubang, tapi kemudian penggalian tak tuntas dikerjakan. Mereka khawatir, kalau-kalau pelaku datang dan mendapati mereka di tempat itu. Warga kembali ke Trusep, sedangkan SP menuju ke kampung untuk memberitahukan perihal yang menimpa adik angkatnya kepada keluarga.

Menurut kabar yang di dengar SP, beberapa hari kemudian, mayat-mayat di Pepedang dievakuasi oleh Palang Merah Indonesia (PMI) Aceh Tengah.

Mustawalad, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) asal Bener Meriah menyebutkan bahwa kejadian di Pepedang merupakan pembantaian besar33 yang pernah terjadi di Bener Meriah pada masa konflik. Namun sayangnya belum ada satu pihak pun yang menulis secara detail kisah tersebut.

Lelaki asli Bener Meriah ini mengaku telah mengupayakan pengumpulan informasi tentang kejadian Pepedang. Ia mengaku telah pernah bertemu salah seorang keluarga korban di Takengon yang mengaku kehilangan empat orang anggota keluarga saat peristiwa Pepedang terjadi.

Dari hasil investigasi sementara, Mustawalad menyebutkan, memang ada banyak sekali korban yang berjatuhan di Pepedang. Koordinator K2HAU itu baru bisa memastikan jumlah korban sebanyak 27 oang. Ada yang dikuburkan secara massal, sebagian lainnya dibawa pulang

oleh keluarga masing-masing. Korban kebanyakan bersuku Aceh dan Gayo, ada juga suku Jawa. Menurutnya, Peristiwa Pepedang memiliki keterkaitan dengan peristiwa-peristiwa pembantaian lain yang terjadi sebelumnya di Bener Meriah dan Aceh Tengah. Pepedang merupakan puncaknya.

Menurut Mustawalad, sebagian korban dicegat dan dibunuh saat melintasi jalur tersebut, sebagian lainnya memang dibawa dari tempat lain dan mayatnya dibuang di tempat itu. Misalnya ia menyebut nama salah seorang korban, yaitu Keuchik Sabil, warga Weh Tenang Uken. Menurut informasi yang diterimanya, Keuchik Sabil diculik dari kampung dan mayatnya ditemukan di Pepedang. Identifikasi terhadap jasad Keuchik Sabil diketahui dari luka ditubuhnya yang berbentuk tulisan “Sabil.”

Nama lain adalah Mak Den. Dalam catatan Kontras, Mak Den merupakan korban orang hilang, namun ada yang mengaku bahwa melihat mayat Mak Den ditemukan di Pepedang. Mak Den adalah Ketua Pemuda Pancasila Aceh Tengah.

Informasi tentang kondisi mayat yang cukup mengerikan juga didapat oleh Mustawalad. Kondisi manyat sudah rusak karena dimakan biawak. “Ini indikasinya bahwa memang kejadian itu sudah lama,” kata Mustawalad.34

Dari pengalaman Mustawalad bertemu dengan beberapa saksi dan menelesuri informasi mengenai peristwa Pepedang, pada umumnya keluarga korban mengaku sangat trauma dengan kejadian itu. Karena memang kondisi mayat-mayatnya sangat mengerikan, sadis. Harapan keluarga korban, dalam istilah Gayo disebut dengan ngeh simungeh, ageh simengeh, yang artinya kira-kita “cukup sudah, jangan terulang lagi.“

“Jika berbicara proses hukum, mereka juga ingin ada kejelasan hukumnya. Tegaknya hukum, kepastian hukum, dan siapa pelakunya? Kenapa mereka dikorbankan. Tapi walau bagaimanapun jangan terulang lagi kejadian itu. Bagaimana ini jangan terulang lagi, pemerintah yang harus menjamin hal

ini. Ngeh genap, cukup sudah.” 35

Begitu juga dengan SP, ia mengaku tak sanggup membayangkan jika konflik harus terulang lagi. Apalagi saat ini ia harus membiaya kebutuhan hidup keluarga dan pendidikan anaknya. Di masa damai, sebagai korban konflik, SP mengaku tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Padahal, selain kehilangan keluarga, pada masa konflik ia juga banyak kehilangan harta benda; dua sepeda motornya hilang akibat konflik. []

Perang Koboy di Pondok Kresek

Dalam dokumen Fakta Bicara (Halaman 172-177)