• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kisah Rumoh Geudong t

Dalam dokumen Fakta Bicara (Halaman 126-143)

Menjelang Magrib, 17 Juli 1997, tentara membawa Mr dan suaminya, Tgk. Hf dari rumahnya di Tangse menuju Rumoh Geudong di Desa Bilie Aron, Geulumpang Tiga, Pidie. Sesampainya di sana, mereka diperiksa secara bergiliran, dan ditahan. Keesokan harinya, sekitar pukul 10.00 WIB, Hf kembali diperiksa dengan cara disetrum, dipukuli. Mereka berdua ditelanjangi. Kabel hitam dijepitkan pada kemaluan dan kabel merah di payudara.

Kemudian mereka diperiksa secara terpisah, pelaku ingin mengetahui jawaban dari mereka dari pasangan suami istri tersebut. Aparat TNI bertanya kepada Mr dan Hf tentang Abdullah Syafi’I (Panglima Angkatan Gerakan Aceh Merdeka – saat itu), dan orang-orang yang membantu Panglima GAM yang akrab dengan panggilah Tengku Lah tersebut.

“Ku peugah kuturi Abdullah syafi’I dan kuturi ureng yang bantu Tengku Lah (saya katakan pada mereka, saya kenal Abdullah Syafi’I serta orang yang membantunya),” ujar Mr.

Mendengar jawaban tersebut, Kopassus dibantu oleh beberapa cuak (tenaga pembantu operasi) Aceh mengancam akan menembak Hf. Tapi kemudian niat tersebut diurungkan, Mr dan Hf kembali disiksa dengan cara disetrum dan ditelanjangi.

Mr mencoba melawan, ia melarang Kopassus dan cuak menyiksa sang suami, namun perbuatannya membuat mereka marah dan balik menyiksa Mr. “Han ku bi kontak lako lon, dikontak lon (saya melarang mereka menyetrum suami,

malah saya yang disetrum),” kisahnya.

“Sekarang saya rela mati daripada disiksa,” ujarnya waktu itu.

Hf dan Mr duduk berdampingan dalam keadaan telanjang. Aparat mulai menggerakkan senjata ke arah pasangan suami istri tersebut. Namun mereka berhenti, membatalkan niatnya untuk menembak mereka.

Jam 09:00 WIB di Rumoh Geudong, anak mereka juga ikut dibawa ke Rumoh Geudong. Bayi yang masih berumur 18 bulan itu digantung di atas Rumoh Geudong. Lalu Kopassus dibantu oleh cuak melempari seurabee (sejenis tawon) ke arah bayi tersebut. “Itu yang membuat saya paling sedih, saya teriak-teriak mohon anak saya tidak diperlakukan seperti itu, aneuk lon dikab le seurabee reuhung bak ming dan bak dada ji. (anak saya digigit tawon di pipi dan dada),” ujar Mr mulai terisak.

Di Rumoh Geudong Mr tiga hari sekali diperiksa, setiap pemeriksaan pasti disiksa. Seringkali ia disetrum, alat setrum diletakkan di hidung dan di kemaluan, perlakuan yang sama juga dialami sang suami, karena saat itu Mr sedang hamil enam bulan, ia pindahkan alat setrum ke pahanya, sampai sekarang bekasnya masih bisa dilihat.

“Karena hamil, jaroe lon hana diikat jadi lon peuse alat kontaknya, karena lon teungoh meume. (karena hamil, tangan saya tidak diikat, saya pindah kan alat setrumnya ke paha),” ceritanya.

“Nyoe mate aneuk lon, kah tanggong jaweb beuh, (Kalau anak saya mati, kamu yang tanggung jawab ya!),” ujarnya kepada Saifuddin, salah satu cuak di Rumoh Geudong itu).

“Hana peurele tupue lon, lon dari Aceh Timu (saya enggak perlu tahu, saya dari Aceh Timur),” Mr menirukan ucapan Saifuddin waktu itu.

“Pu awak Aceh Timur, adoe kah GAM cit di gampong lon dimeuwet-wet, hana pue ceuek-ceuk kah. (apanya orang Aceh Timur, saudara kamu GAM, di kampung saya. Enggak usah banyak gaya),“ jawab Mr marah, ia sering menyebut cuak di

rumah gedung dengan sebutan anak haram.

Perlakuan lainnya, ketika Mr turun dari Rumoh Geudong, ia sering dilempari batu dari belakang, padahal ia sendiri dalam keadaan sangat lemah. Dia sering diturunkan pukul 09:00 WIB dan baru dinaikkan kembali ke Rumoh Geudong sekitar jam 01:00 WIB dini hari.

Salah satu penyebab ia berada di Rumoh Geudong adalah tuduhan membantu GAM. Memang ia membantu gerilyawan dengan menyimpan sembilan senjata dan memberi 12 pasang baju. Anggota GAM pernah memberi Mr uang Rp 10 juta untuk belanja keperluan mereka di dalam hutan. Berapapun sisa uang yang diberikan, pasti dikembalikan oleh Mr. Setelah membeli keperluan berupa ikan teri, kue, obat-obatan dan kebutuhan lainnya. Ia juga membeli plastik kaca dalam jumlah yang banyak, seringkali ia berpapasan dengan tentara ketika hendak mengantarkan bekal tersebut.

“Untuk apa kak, banyak sekali plastiknya, apa untuk GAM?,” tanya tentara suatu hari.

“Bukan, untuk tutup pinang dan kandang lembu, kalo enggak percaya lihat di rumah,” ujarnya beralasan.

Mr juga sering memasak nasi untuk GAM, nasi dimasukkan dalam timba dan diantarnya ke pinggir hutan, ketika berjumpa dengan tentara, ia beralasan mau mencuci, karena sumur memang jauh dari rumahnya.

Sewaktu tentara melakukan penyisiran, mereka menemukan roti sebanyak dua karung di dalam hutan, tentara mulai curiga masyarakat sering mengantar makanan dan membantu GAM.

Ia teringat, pasukan Kopassus dan cuak seringkali makan mie atau makanan lainnya di bawah Rumoh Geudong yang berbentuk panggung, wanginya tercium sampai ke kamar para tawanan. Mr merasa sedih, aroma makanan yang terbawa angin membuat liurnya menetes. Padahal ia juga sedang ingin makan nasi gurih, nasi goreng, roti dan mie. Ia sering menghayalkan makanan yang ia ingikan. Namun kenyataanya untuk makan saja, Mr harus berlomba-lomba

dengan tikus. Seringkali ia menjemur nasi tanpa lauk yang diberikan sehari sekali. Kalau sedang tidak sanggup makan ia menjemur nasi di atas kertas, kebetulan banyak majalah berserak di lantai.

Pertama dibawa ke Rumoh Geudong, ia masih ditempatkan di dalam ruangan besar, kemudian dibuat kamar kecil bersekat dalam satu kamar lima sampai sebelas orang. Dalam satu hari Mr melihat dua atau tiga tawanan dibawa keluar menggunakan mobil. Mata ditutup dengan kain hitam, sampai dalam mobil tawanan dimasukkan dalam karung, dengan keadaan seperti itu korban dipaksa untuk duduk. Lalu dililit dengan tali kabel. Kemudian dibawa kesuatu tempat.

Menurut Mr, korban di Rumoh Geudong sangat banyak jumlahnya. Bahkan menurut cerita suaminya, ada tawanan bernama Abu Nie dikubur hidup-hidup dalam posisi duduk di pekarangan Rumoh Geudong.

Ada juga korban yang meninggal ketika digantung. Karena Mr hamil, ia tidak terlalu dikurung. Jadi ia sering keluar dan melihat perlakuan yang dialami tawanan di Rumoh Geudong.

Selain disiksa, sepeda motornya juga diambil tentara dan satu ekor lembunya ditembak. Mr pernah minta keluar dari Rumoh Geudong, karena anaknya sakit, kepalanya luka. Karena permintaannnya, Mr ditendang di perut, padahal waktu itu ia sedang hamil, ia ditendang berkali-kali.

Empat bulan kemudian ia melahirkan di Rumoh Geudong, dibantu seorang bidan bernama Cut. Ia melahirkan bayi kembar, bayi perempuanya lahir sebesar botol kaca, bayi laki-lakinya lebih kecil lagi, dua hari tidak bersuara dan tidak minum ASI. Nashrun, salah seorang tentara yang menjaga Mr, memberikan nama untuk bayinya. Namun ia punya nama lain.

“Yang laki-laki enggak bersuara, dadanya terlihat dalam, hanya kulit berbalut tulang, tangannya sebesar jari kita, seperti tidak ada harapan hidup,” kenangnya dengan suara bergetar, air mata mulai menggenangi sudut matanya.

Sekarang anak pertamanya duduk di kelas dua Sekolah Menengah Pertama (SMP) sedangkan anak kembarnya duduk di kelas satu SMP.

Tiga hari setelah melahirkan, Mr keluar dari Rumoh Geudong, lalu ia mengobati anak sulungnya yang ikut terluka karena sering kena pukul di Rumoh Geudong. Tiga bulan kemudian, suaminya pulang bersama anggota Koppasus dan Cuak dari Rumoh Geudong. Suaminya membawa pulang uang sebesar Rp60.000. Ternyata suaminya pulang karena aparat meminta Mr membuat alat panah sekaligus mengecek apakah anggota GAM masih berkunjung ke tempat Mr.

Mr menulis surat yang isinya GAM sudah tidak ada lagi di kampungnya, ia tidak bisa datang ke Rumoh Geudong karena anaknya sakit dan ia tidak bisa membuat alat panah. Surat itu ia titip pada suaminya, karena suaminya kembali dibawa ke Rumoh Geudong.

Setelah bayinya berumur tujuh bulan, Hf kembali pulang bersama cuak dari Rumoh Geudong, kepulangan Hf disambut dengan gembira, Ayah Mr membelikan durian dan membakar lemang, sejenis makanan khas berupa beras ketan yang dimasukkan dalam bambu yang telah dilapisi daun pisang dan dibakar.

***

Setelah damai, menurut pengakuannya Mr belum pernah menerima bantuan apapun, padahal ia sering membuat proposal bantuan. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, ia menjadi kuli upahan di sawah orang lain. Sedangkan suaminya menjadi tukang RBT (Ojek), sekaligus menjual minyak eceran di rumahnya.

Menurut Mr, pemerintah seharusnya lebih adil dan jeli melihat korban, karena selama ini yang tidak merasakan siksaan semasa konflik diberikan bantuan, bahkan hingga beberapa kali, sedangkan orang seperti dirinya tidak mendapatkan apa-apa.

Keinginan terbesarnya adalah pelaku diadili dan dihukum. Karena Mr masih ingat semua pelaku di Rumoh Geudong. Menurut Mr, cuak yang membantu tentara berjumlah tiga orang. Sedangkan tentara bernama Partono (komandan), Sasmito (wakil komandan), Pak Kumis, Heri, Makmur, Udin, Budi, Prapat dan satu lagi yang menamai diri sendiri Algojo dan sering menakut-nakuti tawanan kalau ia suka minum darah.

Dari nama tersebut, ada beberapa yang menurut Mr tidak menyiksa tawanan, yaitu Sasmito, Makmur dan Udin. “Kalau bisa, ingin saya minum darah mereka, saya tahu semua pelaku,” ujar Mr lantang.

Mr sangat berharap diberi modal usaha karena seringkali ia meminta bantuan tapi tidak pernah diberi. Saat Koalisi NGO HAM meminta keterangannya, ia mengaku hanya punya Rp20.000, dan bersedia datang memenuhi undangan karena mengharapkan bantuan. Lagipula ia sudah tidak dapat bekerja berat, karena siksaan di Rumoh Geudong membuatnya sakit-sakitan, mata rabun kepala sering berdenyut. Kalau kerja berat ia sering jatuh dan pingsan.

Mr sering membuat proposal untuk mendapatkan dana, tapi sampai sekarang belum ada yang cair. Ia juga sering ke kantor camat dan Badan Reintegrasi Aceh (BRA) untuk menanyakan nasib proposal rumah yang diajukan, baginya anggota BRA adalah saudara dan teman. Namun kenyataannnya berbeda, bantuan yang ia harapkan tak kunjung datang.

“Hari ini semua GAM telah mati, yang tertinggal hanya orang Indonesia, seandainya masih ada GAM, mereka pasti kenal saya. Satu Kecamatan Sakti dan Pidie kenal kami yang dibawa ke Rumoh Geudong, mungkin tujuan mereka sekarang memang memberi uang untuk orang kaya.”

“Bagaimana caranya, saya minta kepada kalian (koalisi) untuk membantu kami, supaya mendapat keadilan, yang kaya tidak usah dibantu lagi.”

Sama seperti Mr, salah seorang korban Rumoh Geudong lainnya juga kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah, namanya Ui, ia berasal dari desa Lancang Timur, Kecamatan Kembang Tanjong. Dari kota Sigli ke Kembang Tanjong berjarak sekitar 15 km.

Ui hanya pernah mendapatbantuan Rp10 juta dari BRA. “Ada diberi bantuan sepuluh juta. Apa cukup dengan uang itu? Mereka (mantan kombatan) berapa ratus juta, proyek ini dan itu. Ketika lebaran kan enggak ada salahnya diberi kain sarung dan sirup. Lihatlah nanti akan kena bencana lagi. Sebenarnya kita enggak perlu meminta, tapi saya coba minta daging sekilo, enggak ada. Katanya ia juga sama seperti saya. Saya sakit hati dengan mereka.”

Menurut Ui, mantan kombatan sekarang banyak yang telah melupakannya.

Rumahnya pernah dibakar tahun 1990. Ia sudah melapor ke kantor BRA, rumah batuan tersebut belum diberikan kepada Ui. Setelah tsunami 2004 lalu, ia mendapatkan bantuan rumah untuk korban tsunami, bukan sebagai korban konflik.

Menurutnya, mantan kombatan sekarang berbeda dengan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) atau Aceh Merdeka (AM), sebutan untuk angkatan awal dari GAM. Ui menilai anggota AM dulu lebih peduli pada masyarakat.

“Mana ada lagi mereka (AM) sekarang, sudah habis semua kena peluru. Sebagian di luar negeri. Mana mau mereka pulang, keadaannya begini. Kalau GAM, kita ini enggak ada arti. Orang yang dulu pegang senjata sekarang kerja di sawah,” tuturnya.

Ui kelahiran 1945, namun ia masih tampak bugar dan tetap bersemangat menceritakan kisah yang telah dilaluinya. Sejak DOM ditetapkna pada tahun 1989, ia mulai membantu gerakan yang pada awalnya disebut AM atau GPK.

Tahun 1990-an Ia mulai menerima GAM di rumahnya, kemudian ia ikut dengan Abdullah Syafi’i, karena Tgk Lah melihat Ui di dalam hutan, di Cot Pedoman, pedalaman Jeunib,

Kabupaten Bireuen sekarang. Waktu itu Ui dan anggota GAM lainnya dikejar-kejar oleh tentara. Ia seringkali kelaparan di hutan. Ia ikut Abdullah Syafi’i bergerilya mengelilingi hutan Aceh, sampai ke Tapak Tuan, Aceh Selatan hingga hutan Meulaboh Aceh Barat.

“Saya ditangkap karena terima GPK di rumah, bukan GAM. GPK itu baik, GAM itu bagi saya hanya orang yang sekedar melihat-lihat atau sekedar lewat saja. Bukan orang yang ikut berperang. Enggak usah tanya sejarah perang sama mereka, tanya sama saya, semua tersimpan dalam kepala ini. Sekarang, kalau ada perang lagi saya masih mau ikut.”

Ia juga pernah membantu mereka yang terluka dan kelaparan dalam hutan, bahkan ia masih mengingat beberapa nama yang ia tolong, seperti Robert, Jaman Burak dan Arjuna.

Selain menerima kombatan, Ui juga seringkali berkeliling Aceh untuk mencari gadis-gadis muda yang berasal dari pedalaman Aceh untuk dinikahkan dengan petinggi-petinggi AM di luar negeri. Para petinggi tersebut memberikan kriteria calon istri yang harus dicari oleh Ummi. Yaitu harus Asli Aceh, santri pesantren dan miskin. Sendirian ia mengantarkan calon istri anggota AM dari Aceh, dibawa ke Medan Sumatera Utara, sampai ke Tanjung Bale, Malaysia.

“Tujuh kali saya ke Malaysia melalui jalan laut, hebatnya kami, selalu mengarungi laut membawa istri untuk mereka, syaratnya mereka mau lapar, karena perang,” ujarnya.

Selain mencari istri untuk anggota AM, Ui juga berjumpa Malek Mahmud di Singapura dan pernah ke luar negeri membelikan senjata untuk AM.

Demi membantu AM, Ui bolak-balik Malaysia-Aceh dengan mempertaruhkan nyawa. Di Malaysia, ia kerap melalui pemeriksaan polisi wanita, beruntung pemeriksaan tidak sampai ke bagian paling pribadi, karena ia sering menyembunyikan uang di kemaluannya. Baik untuk membeli senjata atau membawakan istri untuk para petinggi AM.

Selama satu bulan kelaparan. Ia nekat ke simpang Aneuk Galong, Aceh Besar sekitar 20 kilometer dari Banda Aceh. Ia bertemu dengan Kopassus. Mereka bertanya banyak hal pada Ui, namun ia pintar berkelit dan tentara tersebut percaya.

“Dari mana bu,”tanya tantara pada Ui waktu itu. “Mau ke Darussalam, anak saya kuliah disana.”

“Kami sedang cari seseorang, dia membantu Abdullah Syafi’i, Daud Paneuk dan Wali Nanggroe.”

“Pokok jih meupu ditanyoeng, meupu lon jaweub.” Ia ingat saat Hasan Tiro meminta salah satu anak lelakinya dibawa dan dilatih ke Libya, Ui sedih harus berpisah dengan anaknya, namun ia rela karena anaknya akan mendapatkan pendidikan di tempat barunya. Sekarang anaknya berada di Denmark.

“Seandainya bisa, sejarah itu jangan diceritakan lagi, terlalu menyakitkan. Makanya ketika saya tahu dari orang dari HAM (Koaisi NGO HAM), saya bilang sama cucu, untuk membawa saya wawancara dengan orang HAM, mungkin bisa dapat beras satu bambu,” ujar Ui ketika ia tahu Koalisi NGO HAM akan mewawancarainya.

Ui adalah korban Rumoh Geudong, karena ada cuak yang melapor bahwa Ui membantu GAM. Ia mendekam empat bulan kurang lima hari di sana.

Saat diperiksa, ia ditanyai tentang Wali Nanggroe, Daod Paneuk, dan Abdullah Syafi’i. Setelah beberapa hari di Rumoh Geudong, Empat tawanan dibawa keluar dari Rumoh Geudong, termasuk Ui. Ada yang dibawa ke arah Tiro dan Ui sendiri dibawa ke Rancong, Aceh Utara.

Setelah 15 hari mendapat siksaan di Rancong, sebuah lubang disediakan untuk Ui, ia dipaksa masuk ke dalam lubang tersebut. Ketika ia hendak ditembak, tiba-tiba tentara membawa Ui kembali ke Rumoh Geudong.

Di Rumoh Geudong dan Rancong, ia diperlakukan tidak manusiawi, bekas luka ketika digantung, disilet dengan pisau, dipukul dengan balok dan diestrum masih dapat dilihat sampai sekarang.

Di rumoh Geudong, ia tidak mandi sehingga rambutnya mengembang dan tinggi, tiga minggu sekali ia diturunkan dari rumah gedung, untuk membersihkan halaman atau hal lain yang diperintahkan, ia pernah diturunkan sekalian dengan Pocut Sari, istri (Alm) Tgk Usman Lampoh Awe (mantan petinggi GAM).

Di dalam kamar berukuran 3x3 meter ia disekap. Di situ Ui tetap berusaha shalat, wudhunya dengan tayamum. Kalau ingin buang air besar ia teriak minta diturunkan dan dibawa ke kamar mandi. Terkadang tentara dan cuak terlambat menurunkannya, pernah suatu kali ia buang air kecil di atas kepala mereka.

Terkadang, saat ia diturunkan untuk membersihkan halaman atau hal lain yang diperintahkan, tawanan laki-laki sering berbisik pada Ui untuk menaikkan sisa puntung rokok.

Berbagai penyiksaan dialaminya; diikat, ditelanjangi, dipukul dan disetrum. Ia dituduh berkomplot, melindungi dan menyembunyikan Daud Paneuk, Abdullah Syafi’i, Adam Malik dan Wali Nanggroe.

Menurutnya, jumlah tawanan di Rumoh geudong sangat banyak, karena ia pernah melihat satu truk berisi laki-laki dari Desa Cot Murong Ujong Rimba, dibawa ke Rumoh Geudong karena dituduh menyimpan senjata. Namun untuk jumlah pastinya ia tidak dapat menyebutkan karena mereka dipisah dalam kamar yang berbeda dan sangat jarang melihat tawanan lain, hanya suara rintihan dan tangisan yang sering ia dengar. Di rumoh Geudong menurut Ui, banyak sekali korban yang ditanam di pekarangaan rumah.

Ketika diperiksa, Ui menjawab semua yang ditanyakan, bahkan menantang mereka untuk ke Swedia mencari Hasan Tiro atau ke hutan mencari Abdullah Syafi’i dan petinggi GAM lainnya. Tapi Ui berpesan, mereka harus berani, dia yang akan memberikan alamatnya.

Semua korban yang dibawa ke Rumoh Geudong mendapat tuduhan serupa, yaitu membantu GAM atau dituduh terlibat GAM. Sama halnya dengan RU dan RK.

Suatu ketika, RU bekerja di kebun. Menjelang magrib, Kepala Desa datang ke kebunnya dan mengajaknya pulang. Di rumahnya, ia ganti baju lalu mereka bersama menuju rumah keuchik.

Di halaman rumah keuchik terparkir mobil Rocky putih, di dalam mobil ada Algojo yang bertanya pada RU rumah RK. RU mengatakan ia tidak tahu karena RK sudah tidak tinggal di Tiro tapi pindah ke Tu Geudeng.

“Jadi siapa yang tahu rumah RK?”

“MK pak,” jawab Sh. Salah seorang yang juga berada di rumah keuchik waktu itu.

Kemudian mereka naik mobil dan dibawa ke rumah MK. Karena MK tahu rumah RK, ia juga ikut naik mobil menuju ke Tu Geudeng. Sesampainya ke rumah RK, ia dibawa dengan mobil Rocky putih tersebut.

RU dan RK duduk berdekatan di dalam mobil, mereka saling bertanya kenapa mereka dibawa dan akan dibawa ke mana. Mendengar mereka bicara, cuak yang membawa mereka marah dan memisahkan tempat duduk mereka.

Usai Magrib, RU dan RK dibawa ke Rumoh Geudong, mereka duduk di seuramoe, bagian depan rumoh Geudong. Sekitar dua jam mereka duduk, mereka dibawa ke belakang halaman belakang. Di situ mereka lihat orang-orang yang baru disiksa, kulit punggung mereka terkelupas. Pukul 23:00 WIB mereka mulai disiksa, pada awalnya RU dijadikan penonton, ia duduk di kursi bulat yang terdapat di Rumoh Geudong, RK dikontak empat kali.

“Coba lihat tu, kawan kamu sebelum sampai giliran kamu,” ujar aparat saat itu.

RU melihat RK sudah tidak bergerak. Ia juga melihat seorang tawanan meninggal akibat disetrum, namanya Pahang. Setelah RK , kemudian RU dipukul dan disetrum. Ia dituduh menyembunyikan GAM dan memberi izin Gani

Ahmad (anggota GAM) tidur di rumahnya.

“Saya nggak pernah nginapkan Gani Ahmad di rumah, jangankan menginapkan Gani Ahmad, untuk tempat tidur anak saya saja enggak ada, kalao enggak percaya boleh bapak cek kerumah,” bantahnya.

Mereka tidak percaya ucapan RU, tentara dan cuak terus memukuli RU. setelah seluruh tubuh berlumuran darah, sekitar pukul 01:00 WIB, RU dan RK di lempar keluar Rumoh Geudong. Di luar sedang hujan, petir menyambar-nyambar, angin kencang. Tentara memerintahkan mereka tengkurap kemudian terlentang, mereka masih dalam keadaan telanjang, kesempatan itu mereka gunakan untuk minum air hujan.

Kemudian tentara mengancam akan membunuh mereka berdua. “Sekarang titik terakhir, mau jawab silakan, nggak mau jawab silakan, berapa malam kamu nginapkan Gani Ahmad, berapa pucuk senjata si Gani Ahmad, berapa kawan Gani Ahmad,” tanya tentara.

Gani Ahmad adalah mantan AM yang sampai sekarang masih hidup. Ia pejuang tahun 1976, sekarang di Tiro hanya tinggal Gani Ahmad dan Tgk Ishak yang masih hidup.

RU dan RK tetap menjawab tidak tahu, jawaban

Dalam dokumen Fakta Bicara (Halaman 126-143)