• Tidak ada hasil yang ditemukan

Operasi Sadar Rencong I, II, dan III

Dalam dokumen Fakta Bicara (Halaman 70-79)

t

Operasi Sadar Rencong I, II, III dimulai awal Mei 1999 hingga 18 Februari 2000. Menurut Kapolda Aceh pada waktu itu, Brigjen Polisi Bachrumsyah Kasman, operasi ini lebih mengedepankan pendekatan manusiawi, pendekatan budaya, dan pendekatan agama. Kenyataan yang terjadi sebaliknya, lagi-lagi masyarakat yang menjadi pihak paling menderita dan paling dirugikan.

Setelah Menhankam Pangab TNI Jenderal Wiranto mengirimkan pasukan PPRM dari Jakarta ke Aceh dengan menggunakan alat tempur yang lengkap. Setiap perubahan nama sandi operasi pemegang komando operasi juga berubah, Komandan Satgas Penerangan Operasi Sadar Rencong II adalah Letkol Sayed Husaeny.2

Pada tanggal 2 Februari 2000 di Banda Aceh, Kapolda Aceh Bachrumsyah Kasman mengumumkan akan memberlakukan operasi dengan sandi Operasi Sadar Rencong III sebagai pemegang komando dalam Operasi Sadar Rencong III adalah Kolonel (Pol) Drs. Yusuf Muharram dan sebagai Kasubsatgas Penerangan OSR III, Kolonel (Pol) Drs. Syafri DM, SH.

Operasi ini masih diwarnai berbagai bentuk kekerasan dan tidak ada perubahan sama sekali dari operasi sebelumnya. Ada sedikit perbedaan dalam hal kekerasan

yang target sasarannya adalah gedung-gedung sekolah yang dibakar, selain itu terdapat kasus pembunuhan massal serta munculnya Petrus (penembakan misterius) yang tidak pernah terungkap.3 Operasi ini juga diwarnai berbagai tragedi, di antaranya adalah;

Tragedi Alue Nireh

Tragedi ini terjadi di kawasan Peurelak, Aceh Timur pada 12 Juni 1999. Telah terjadi pemberondongan senjata ke arah masa tanpa alasan yang jelas oleh anggota TNI satuan PPRM yang menggunakan truk militer Unimag Yonif 111/ Karma Bakti, Tualang Cut.

Kejadian berawal saat masyarakat sedang melakukan aktivitasnya dan berlalu-lalang di jalan Medan–Banda Aceh. Saat truk militer melintas di depan Keude Alue Nireh, tiba-tiba ban truk sebelah kanan meletus. Kemudian seorang anggota TNI yang ada dalam truk tersebut melepaskan tembakan yang diikuti tembakan secara membabi buta ke arah masyarakat dari anggota TNI lainnya yang telah turun ke badan jalan.

Tembakan tersebut kembali disusul oleh tentara yang ada di Pos Alue Nireh Peureulak. Sebelum tembakan meletus, tidak terdengar tembakan dari pihak lain. Korban tewas satu orang perempuan dan dua laki-laki diangkut truk militer dibawa ke Makodim 0104 Aceh Timur di Langsa, dua korban yang masih anak-anak dibawa ke rumah sakit Peureulak. 4 Tragedi Kluet Utara

Penembakan terhadap massa yang melakukan demonstrasi ke Mapolsek Aceh Selatan. Sabtu, 11 september 1999 massa yang sebagian besar berasal dari Kluet Utara tiba di Mapolres sekitar pukul 14.30 WIB dengan menumpang belasan truk. Warga mendatangi Mapolres Aceh Selatan di Tapak Tuan.

3_Ibid, 90

Mereka menuntut agar Raja Faisal, warga Jambo Manyang Kecamatan Kluet Utara yang ditangkap jumat 10 Oktober 1999 dibebaskan. Menurut warga, korban ditangkap saat sedang tidur di meunasah setempat.

Pada awalnya massa datang dengan damai, lautan massa yang berada di luar pagar Mapolres memenuhi badan jalan sehingga memacetkan arus lalu lintas. Situasi semakin tegang, tawaran dialog dari pihak kepolisian ditolak massa. Namun beberapa saat kemudian massa menerima tawaran dialog dengan mengirim enam orang utusan ke Mapolres. Utusan tersebut diterima oleh Wakapolres Mayor Pol Drs Edi Rianto, karena pada saat itu Kapolres Letkol Pol Drs. Gatot Subroto sedang melakukan kunjungan kerja ke jajaran Mapolsek di sejumlah kecamatan.

Saat dialog berlangsung 15 menit, ada seorang yang memulai melakukan pelemparan batu berasal dari belakang kelompok pengunjuk rasa. Massa kembali berteriak agar jangan ada yang membuat rusuh dengan melempar batu. Akhirnya suasana menjadi gaduh hingga terjadi penyerangan.

Untuk membubarkan massa, aparat melepaskan tembakan ke udara hingga massa terlihat kocar-kacir dan berusaha menyelamatkan diri dengan lari, tiarap ataupun masuk ke parit-parit. Saksi mata mengatakan, pada saat massa membubarkan diri, aparat keamanan yang terdiri dari Brimob, Polisi, Gegana dan pasukan BKO TNI dari Batalyon 131 itu masih tetap melepaskan tembakan, tidak hanya ke atas namun ke massa. Bahkan aparat terus melakukan pengejaran terhadap para pengunjuk rasa yang telah membubarkan diri tersebut.

Aparat tampak beringas dalam menghadapi massa dan mengejar warga sipil tersebut sampai ke belakang rumah penduduk, baik ke arah gunung maupun ke arah laut bahkan sebagian di antara aparat melakukan pemeriksaan ke rumah-rumah penduduk. Dalam pengejaran tersebut, selain menembak aparat juga melakukan pemukulan terhadap

massa. Peristiwa itu juga merusak mobil pengangkut massa yang diparkir sepanjang jalan, aparat juga menembak dan memecahkan kaca mobil.

Dalam peristiwa tersebut, korban tewas sebanyak tiga orang, luka parah akibat tertembus peluru sebanyak 13 orang dan korban yang menderita luka ringan sebanyak 229 orang.5

Tragedi Peudada

Selasa 25 mei 1999 terjadi bentrokan antara aparat keamanan dengan kelompok sipil bersenjata, di kawasan Cot Trieng Kecamatan Peudada Kabupaten Aceh Utara. Kejadian berawal dari laporan Kepala Desa Alue Kuta ke Mapolsek dan Makoramil Peudada, ada dua orang korban penembakan misterius di desanya yang berjarak 2 kilometer dari Peudada.

Kapolsek Peudada Pelda Naharuddin mengontak Komando Sektor PPRM yang ada di Bireuen, Lettu Pol Hendrik Budi P, meminta dukungan dan bantuan PPRM untuk pengamanan identifikasi mayat korban dan penelitian di TKP. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Kapolres juga meminta bantuan tim medis dari Pusat kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Dr. Fauziah dan empat petugas medis lainnya turun lapangan melakukan visum. Tim medis akan berangkat menggunakan ambulan, namun pihak Polsek Peudada meminta tim medis berangkat dengan menggunakan truk PPRM.

Pukul 09:30 WIB rombongan menuju lokasi kejadian, mereka terdiri dari personil PPRM, Polsek, Koramil serta tim medis total berjumlah 18 orang. Sampai di Cot Kruet, secara mendadak rombongan diberondong sekelompok orang bersenjata dari atas bukit.

Dari keterangan lain, saat diserang truk sedang mogok setelah sempat tersendat-sendat karena tanjakan. Karena truk berhenti, beberapa penumpang turun saat itulah

penyerangan dari arah semak belukar. Akibat serangat tersebut, empat orang tewas, 12 luka-luka dan dua lainnya berhasil selamat. Korban tewas termasuk Dokter Fauziah yang sedang hamil tiga bulan. 6

Salah satu tragedi yang paling besar dan terkenal Pada masa operasi ini adalah tragedi Tengku Bantaqiah di Beutong Ateuh, pada saat itu masih masuk dalam wilayah Aceh Barat sebelum pemekaran pada 2002 menjadi Kabupaten Nagan Raya.

Sebanyak 215 orang pasukan TNI yang berasal dari beberapa kesatuan, seperti Kopassus, Yonif Linud 328/ Dirgahayu Kostrad, Linud 100/Prajurit Setra, Yonif 113/ Jaya Sakti, serta pasukan dari Korem 011/Lilawangsa pada tanggal 20 Juli 1999 sudah mulai bergerak menuju kawasan Beutong Ateuh Aceh Barat guna melaksanakan Surat Telegram Rahasia (STR) Danrem 012/Teuku Umar Kolonel Syafnil Armen, bernomor STR/232/VII/1999 tentang perintah penangkapan Tgk. Bantaqiah.7

Pada tanggal 23 Juli 1999, tepatnya pukul 11.30 WIB, pasukan tersebut sampai di tempat Tgk. Bantaqiah. Bantaqiah serta para santrinya yang laki–laki dikumpulkan di halaman pesantren tersebut, mulailah para tentara yang dipimpin oleh Letkol Sudjono menembak Tgk. Bantaqiah beserta para santrinya.

Korban tewas termasuk Tgk. Bantaqiyah berjumlah 57 orang, sebagian meninggal di komplek pesantren, sebagian lagi ditemukan di Kilometer 7, serta tiga orang hilang ditambah tiga rumah warga yang dibakar TNI. 8

Tragedi Simpang KKA.

Jumat malam sekitar pukul 20.30 Wib masyarakat Desa Cot Murong, Kecamatan Dewantara, mengadakan rapat akbar untuk memperingati 1Muharram yang bertepatan dengan 30 April 1999. Oleh pihak keamanan, peringatan 1 Muharram yang biasa diselenggarakan masyarakat Islam di manapun

6_Data dan Dokumentasi Koalisi NGO HAM, 1999

7_Matinya Bantaqiah,Menguak Tragedi Beutong Ateuh “Dyah Rahmany P,Cordova

di seluruh Propinsi Aceh, disebut sebagai ceramah Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Lalu muncul kabar bahwa seorang anggota TNI dari kesatuan Den Rudal 001/Pulo Rungkom berpangkat Sersan, bernama Adityawarman, hilang saat melakukan penyusupan di tengah kegiatan ceramah (Keterangan Kapuspen TNI, nama anggotanya yang hilang itu adalah Sersan Kepala Edi, dari Den Rudal 001/Pulo Rungkom, Aceh Utara).

Tidak jelas apakah anggota TNI itu benar hilang atau terjadi berbagai kemungkinan lainnya, tetapi yang pasti tidak satupun dari penduduk yang mengetahui keberadaannya. Dan yang pasti lagi, malam itu tidak terjadi apa-apa yang berarti di Desa Cot Murong.

Sabtu malam, 1 Mei 1999. Sebuah truk militer dari kesatuan Den Rudal 001/Pulo Rungkom berputar-putar dikawasan Desa Cot Murong dengan aktivitas yang tidak jelas, tetapi hari itu tidak terjadi apa-apa. Esok harinya, Minggu pagi, 2 Mei 1999, mulai pukul 05.00 WIB pasukan Den Rudal 001/Pulo Rungkom mulai melakukan operasi di kawasan Desa Cot Murong. Pada minggu pagi itu masyarakat sedang melakukan persiapan pelaksanaan kenduri untuk anak-anak yatim sehubungan dengan peringatan 1 Muharram yang dilaksanakan sejak Jumat malam sebelumnya. Masyarakat memotong empat ekor lembu di halaman Masjid Al-Abrar, Cot Murong.

Pada saaat itulah, sekitar jam 11.00 WIB datang pasukan Den Rudal ke tempat kenduri dan dengan dalih menanyakan anggotanya yang hilang sehari sebelumnya mulai memuli warga setempat. Dilaporkan, waktu itu ada tidak kurang 20 orang yang dianiaya oleh anggota TNI tersebut. Praktek kekerasan dan penganiayaan dengan bertindak kasar, menampar dan memukuli hingga cedera, telah terjadi.

Ketika sedang melancarkan aksinya, penduduk sempat mencatat kata-kata yang dikeluarkan para anggota TNI yaitu “akan kami tembak semua orang Aceh apabila seorang anggota kami tidak ditemukan”.

Menyadari kondisi yang mulai mencemaskan tersebut kemudian para warga dari Desa Murong dan desa-desa tentangga seperti Desa Lancang Barat, Kecamatan Nisam dan Paloh Lada, yang terdiri dari pemuda, perempuan, orang tua serta anak-anak berkumpul untuk mencegah kemungkinan penganiayaan lebih lanjut, apalagi aparat militer telah mengeluarkan ancaman yang cukup menakutkan.

Tiba-tiba, pada pukul 13.00 WIB datang lagi pasukan tambahan yang terdiri dari tujuh truk anggota TNI ke lokasi kenduri. Melihat itu, masyarakat yang telah berkumpul dari berbagai penjuru Kecamatan mencoba menghadang. Tepat pukul 14.00 WIB terjadi negosiasi (membuat perjanjian) antara masyarakat Kecamatan Dewantara dengan Danramil Kecamatan Dewantara yang diketahui pihak MUI kecamatan, yang isinya: “TNI tidak akan datang lagi ke Desa Cot Murong dengan alasan apapun”.

Minggu malam, 2 Mei 1999. Masyarakat desa mengetahui adanya penyusupan anggota TNI antara jam 20:00 WIB sampai dinihari ke Desa Cot Murong dan Desa Lancang Barat. Bahkan penduduk pun mengetahui adanya sebuah boat yang diperkirakan milik militer berupaya untuk melakukan pendaratan di pantai Desa Cot Murong, namun batal karena terlanjur diketahui oleh warga setempat. Sampai waktu itu tidak terjadi apa-apa, namun kecemasan penduduk semakin memuncak, dan sejak saat itu mereka semua mulai berkumpul sampai Senin pagi.

Senin pagi, 3 mei 1999. Tepat pukul 09:00 WIB, empat truk pasukan TNI datang lagi memasuki Desa Lancang Barat, Desa Tentangga Cot Murong. Massa rakyat yang berkumpul merasa cemas dan mulai mempersenjatai diri dengan kayu dan parang (tanpa senjata api). Lalu datang Camat Dewantara, Drs. Marzuki Amin ke Simpang KKA dan mulai melakukan negosiasi dengan aparat TNI. Aparat berkeras dan negosiasi mentok. Camat tetap berpegang kepada perjanjian terdahulu yang telah disepakati oleh masyarakat dengan Koramil Dewantara yang intinya pihak TNI tidak lagi

melakukan kegiatan operasi di daerah mereka. Negosiasi itu berlangsung cukup lama. Waktu sudah menunjukkan hampir jam 12.00 WIB.

Untuk menunjukkan kesungguhan hati dan permohonan yang sangat besar agar pasukan segera ditarik dan pihak TNI menghormati perjanjian yang telah dibuat, Camat Marzuki Amin sempat mencopot tanda jabatan dari dadanya. Tetapi malah sang Camat kemudian dipukuli oleh tentara.

Pada saat itu tiba-tiba satu truk milik TNI bergerak dan sambil berlalu, dari atas truk para tentara melempari batu ke arah masyarakat, dan masyarakat yang terpancing balas melempari batu ke atas truk. Pada saat yang hampir bersamaan juga seorang anggota tentara berlari kearah semak-semak dan masyarakat yang terpancing mengejarnya. Tiba-tiba dari arah semak itu terdengar satu letusan senjata. Letusan senjata itulah yang seperti sebuah “komando” disusul oleh rentetan serangan. Pembantaian segera dimulai. Tepat jam 12.30 WIB.

Suara gemuruh dan teriakan manusia memenuhi Simpang KKA. Ribuan orang berlarian menghindari serangan dari TNI. Dua wartawan RCTI (Umar HN dan Ali Raban) yang kebetulan sudah berada di tempat itu sempat merekam moment-moment penting yang terjadi baik dengan foto atau video. Dapat dikatakan, hasil rekamannya itu menjadi salah-satu bukti yang paling akurat dan tidak mungkin dapat dipungkiri tentang bagaimana peristiwa yang sebenarnya.

Selain melakukan tembakan kearah masa, TNI juga mengarahkan tembakan ke rumah-rumah penduduk, sehingga banyak warga yang sedang di dalam rumah juga menjadi korban. Bahkan mereka mengejar dan memasuki rumah-rumah penduduk dan melakukan pembantaian di sana.

Korban tewas dalam tragedi simpang KKA berjumlah 46 orang, korban luka tembak 156 orang dan korban hilang berjumlah 10 orang.

keamanan semakin tidak stabil. Kontak senjata antara kedua kekuatan militer pihak yang bertikai (TNI/Polri dan GAM) sering terjadi, penembakan misterius dan orang hilang menjadi berita media massa. Akibatnya, banyak masyarakat yang keluar dari desanya mengungsi di mesjid-mesjid, sekolah-sekolah ataupun tempat umum lainnya. Jumlah pengungsi sepanjang pemberlakuan Operasi Sadar Rencong tahun 1999 mencapai 309.982 jiwa.9

Jeda Kemanusiaan

Dalam dokumen Fakta Bicara (Halaman 70-79)