• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sekilas Perang Panjang t

Dalam dokumen Fakta Bicara (Halaman 30-41)

PENDAHULUAN

Penandatanganan kesepakatan damai, 15 Agustus 2005 antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka adalah titik akhir dari sebuah kisah perang di Aceh yang telah berlangsung lama. Konflik itu adalah episode terakhir dalam lintas sejarah Aceh yang telah lelah hidup dalam suasana perang.

Babakan sebelumnya teramat panjang dan telah menimbulkan ribuan korban. Sejak kolonial Belanda memproklamirkan perang dengan Aceh pada 1873, konflik tak berhenti di bumi serambi. Dari perang melawan penjajah sampai perang memperjuangkan keadilan melawan pemerintah. Berikut adalah sekilas catatan perang.

Aceh telah lama ada. Dalam kisah Babad Cina pada abad ke-6 Masehi, dituliskan telah ada sebuah kerajaan di bagian ujung utara Pulau Sumatra yang mereka kenali sebagai Po-Li. Kemudian naskah Arab dan India dalam kurun abad ke-9 Masehi juga mengatakan hal yang sama.

Berbanding dengan kawasan-kawasan Indonesia yang lain, Aceh merupakan daerah pertama yang mempunyai hubungan langsung dengan dunia luar. Aceh memiliki sebuah sejarah yang lama. Aceh memainkan peranan penting dalam tranformasi yang dijalani sejak pertumbuhannya.

Marco Polo, pada tahun 1292, pernah berkisah. Saat dalam pelayaran ke Parsi dari China, dia sempat singgah di Sumatra. Dia melaporkan terdapat enam pelabuhan yang sibuk di bagian utara pulau tersebut. Termasuk diantaranya

pelabuhan Perlak (Peurelak, Aceh Timur), Samudera (Samudera Pasai, Aceh Utara) dan Lambri. Kerajaan Islam yang pertama kali tumbuh di Aceh adalah Kerajaan Perlak pada tahun 804, sekitar 100 tahun setelah pengaruh Islam di Nusantara.

Babakan perang dimulai dengan Portugis. Saat itu, negara-negara di Eropa sedang melirik wilayah perdagangan baru di Asia, mencari lada dan rempah-rempah dan membuka wilayah jajahan baru. Tahun 1511, Portugis menguasai pelabuhan Melaka, Malaysia. Aceh terdekat dengan wilayah itu, sebagai kerajaan yang sedang tumbuh besar, perlu melindungi pedagang yang umumnya muslim dari Gujarat dan Arab. Akibatnya, Aceh perlu perang untuk mengusir Portugis dari semenanjung Malaya.

Perang itu berlangsung dalam beberapa tahap. Kerajaan Demak di Pulau Jawa pernah membantu Aceh untuk mengusir Portugis. Pangeran Pati Unus memimpin bala bantuan secara langsung pada 1513. Portugis tak bergeming, bahkan tambah meraja-lela mengepakkan sayap ke seantero Nusantara. Wilayah Aceh sejauh itu memang tak terusik, masih terlalu kuat untuk ditaklukkan.

Hal ini menyebabkan, para pedagang Arab dan India memindahkan perdagangan mereka ke Aceh, yang telah menjadi kerajaan yang makmur. Aceh pun mendominasi perdagangan dan politik di utara Sumatra khususnya dan Nusantara pada umumnya.

Keadaan ini terus berlangsung, sampai Aceh mencapai puncak kejayaan kemakmuran pada tahun 1610 sampai 1640, masa Sultan Iskandar Muda dan beberapa sultan sesudahnya. Aceh aman di dalam negeri dan bahkan menjadi penjamin keamanan beberapa wilayah lain di nusantara, kekuasaannya bertambah luas.

Aceh mengalami kemunduran sejak kemangkatan Sultan Iskandar Thani pada 1641. Saat Belanda dan Inggris yang mengantikan posisi Portugis di Melaka dan Nusantara. Dengan berbagai taktik mereka mencoba memperluas wilayah

koloni perdagangannya. Pelan-pelan, dominasi perdagangan oleh Inggris dan Belanda bertambah besar. Mereka berlomba menguasai sebanyak mungkin kawasan di Nusantara. Aceh diambang perang lagi.

Sebuah kesepakatan antara Inggris dan Belanda pada 1824 telah memberi kuasa kepada Belanda, guna menguasai segala kawasan Inggris di Sumatra. Sementara Belanda akan menyerahkan segala kuasa perdagangan mereka di India dan juga berjanji tidak akan menandingi Inggris untuk menguasai Singapura.

Saat itu, Aceh masih dijamin oleh Inggris sebagai negara berdaulat dan Belanda harus mengakuinya. Sejauh itu, Belanda masih belum bisa menjamah Aceh. Mereka terus berusaha mencoba menguasai, sampai kemudian Perjanjian Sumatera tahun 1871 membatalkan jaminan Inggris itu.

Belanda leluasa dan perang pun dimaklumatkan dengan Aceh, pada Maret 1873. Pecahlah Perang Aceh yang berlangsung dari tahun 1873 ke 1942, tidak secara terus menerus. Perang paling lama yang dihadapi Belanda, merengut nyawa lebih 10.000 tentera mereka.

Dalam sejarah, Belanda tidak pernah menguasai Aceh secara penuh. Walaupun mereka mampu menguasai Kesultanan Aceh, tapi perlawanan terus dilakukan Masyarakat Aceh di bawah pemimpin mereka yang silih berganti, antara lain, Tgk Chik Di Tiro, Panglima Polem, T. Umar, Cut Meutia, Cut Nyak Dhien.

Berakhirnya kekuasaan Belanda di Aceh ditandai dengan pecahnya perang dunia II dan masuknya Jepang ke Aceh pada 12 Maret 1942. Prajurit Jepang bergerak cepat sampai ke daerah Gayo, Aceh Tengah. Rakyat pun menggila, melucuti senjata kesatuan-kesatuan Belanda. 28 Maret 1942, Belanda menyerah kalah di Aceh, tiga minggu setelah Batavia menyatakan takluk kepada Jepang.

Belanda hengkang. Aceh kemudian berada dalam kekuasaan Jepang. Ratusan pemuda Aceh dilatih ketentaraan. Mereka umumnya adalah angkatan muda Persatuan Ulama

Seluruh Aceh (PUSA), yang kemudian mengambil banyak kedudukan Ulee balang (turunan bangsawan, pemimpin pemerintahan) di Aceh. Kekuasaan para Uleebalang pun semakin berkurang.

14 Agustus 1945, Jepang menyerah kalah dari sekutu. 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Dua bulan kemudian beberapa perwira Belanda hadir ke Aceh untuk mengadakan penyelidikan. Aceh dijumpai dalam keadaan kacau balau, Belanda berpendapat perlu diadakan pendudukan sekutu untuk mencegah timbulnya pemberontakan.

Pendudukan itu tidak pernah terjadi, sampai Jepang meninggalkan Aceh pada Desember 1945. Sekutu masih sibuk mengurus Jawa. Sumatera dan Aceh mengambil jalannya sendiri. Sebuah pemerintahan republik didirikan dengan Gubernur pertama, Mr. Teuku Moehammad Hasan. Belanda tidak pernah lagi menembus Aceh, hingga membuat Aceh daerah yang benar-benar nyata kemerdekaannya, saat itu.

Mengawal kemerdekaan Indonesia, Aceh tercatat sebagai penyumbang dua pesawat yang menjadi cikal-bakal lahirnya Garuda Indonesia Airways. Tahun 1948, kala sekutu berhasil menguasai pemerintahan Indonesia di Pulau Jawa, Aceh menjadi daerah penyelamat. Melalui Radio Rimba Raya di Aceh Tengah, dengung kemerdekaan Indonesia masih dipancarkan dari sana.

***

Sejarah kembali tercatat, saat Gubernur Aceh Daud Beureueh menjabat. Dia merasa Jakarta mengkhianati perjuangan Aceh, dengan melakukan beberapa tindakan politik. Antaranya, membubarkan Divisi X TNI di Aceh yang terkenal itu. Lalu, pada 23 Januari 1951, status Provinsi Aceh dicabut oleh Kabinet Natsir. Aceh dipaksa lebur dalam Provinsi Sumatera Utara.

saat itu, menyala. Daud Beureueh masih sempat menghadap Soekarno, tapi patah arang. Sebagai pemimpin, Beureueh pun memukul genderang pemberontakan, 21 September 1953, setelah kongres ulama di Titeue, satu kecamatan di Pidie. Di sana dia menyatakan Aceh menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia (NII), mengikuti jejak Kartosoewirjo di Jawa Barat. Perlawanan bersenjata dimulai. Bersama Beureueh, sejumlah pasukan TNI pun bergabung menjadi Tentara Islam Indonesia (TII). Sehari setelah proklamasi itu, mereka menguasai sebagian besar daerah Pidie, dan bertahan di Garot.

Pertempuran demi pertempuran terjadi. Kesepakatan gencatan senjata diambil dalam sebuah perjanjian, Ikrar Lamteh, 8 April 1957. Isinya, ada kesepakatan antara pemerintah lokal dan pemberontak untuk mengutamakan kepentingan rakyat dan daerah Aceh di atas kepentingan kelompok. Gencatan senjata ini sempat berjalan sampai 1959. Dan momentum itu pun menjadi titik balik pemberontakan.

Di masa itulah Perdana Menteri Djuanda mengunjungi Aceh. Dia sempat bertemu dengan Hasan Saleh, Panglima DI/TII. Bersama Hasan Saleh, hadir juga Hasan Ali, Perdana Menteri Negara Bagian Aceh, NII. Hasan Saleh menuntut kepada Djuanda agar Aceh dijadikan Negara Bagian di bawah Republik Indonesia. Tuntutan itu ditolak oleh Djuanda. Alasannya, Indonesia telah berbentuk kesatuan. Meski begitu, Hasan Saleh setuju untuk mencari jalan damai.

Daud Beureueh lalu meminta Hasan Ali membatalkan gencatan senjata dan memulai lagi serangan gerilya besar-besaran. Beureueh letih bergerilya, setelah satu persatu karibnya meninggalkannya di tengah jalan. Di ujung masa pemberontakannya, Beureueh bergabung dengan Republik Persatuan Indonesia, bersama PRRI dan Permesta. Bersama itu pula sejak 1961 nama Negara Bagian Aceh/NII diubah menjadi Republik Islam Aceh (RIA).

Pemerintahan Aceh belum kuat. Saat Sjamaun Gaharu digantikan Kolonel Mohammad Jasin menjadi Komandan Daerah Militer Aceh. Jasin berhasil mendekati Daud Beureueh

dengan rasa hormat, dan terus-menerus menyerukan agar pemimpin pemberontak itu mau turun gunung. Sejak 1961, surat-menyurat keduanya terus berlangsung. Bahkan Jasin berani bertemu langsung dengan Beureueh, untuk berdialog empat mata.

Dengan berbagai bujukan dan jalan panjang Jasin, akhirnya Beureueh luluh. Dia bersedia turun gunung, pada 9 Mei 1962, beserta pasukan setianya yang dipimpin oleh Teungku Ilyas Leube. Daerah Aceh kembali seperti semula, bahkan berstatus Istimewa. Kendati demikian, kondisi kemakmuran rakyat masih morat-marit, meski sumber minyak dan gas melimpah ruah di Aceh, setelah ditemukan pada tahun 1970.

Alasan itulah yang membuat Aceh kembali bergolak. Empat belas tahun setelah Beureueh turun gunung, Hasan Tiro memimpin pemberontakan melalui Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diproklamirkan pada tahun 4 Desember 1976 di Tiro, Pidie.

Seterusnya, terus-menerus kekacauan terjadi di Aceh. Hasan Tiro kabur ke Swedia, memimpim pemberontakan dari sana. Berbagai operasi digelar TNI di Aceh, untuk menumpas GAM. Pemberontakan tak kunjung padam.

Tahun 1989, Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), dengan operasi jaring merah-nya. Berlangsung selama 10 tahun, operasi itu tercatat banyak makan korban. Pasca kejatuhan Presiden Soeharto, suara rakyat menuntut peradilan hak asasi manusia makin gencar dilakukan. 7 Agustus 1998, operasi itu dicabut.

Tuntutan kemerdekaan Aceh yang disuarakan GAM kian bergema. Selain itu, muncul juga tuntutan referendum sebagai akumulasi kekecewaan rakyat Aceh pada pemerintah. Tuntutan itu dimobilisir oleh para intelektual Aceh yang terhimpun dalam Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA), yang didirikan di Banda Aceh pada 4 Februari 1999.

Sejarah mencatat, aksi kolosal yang dibuat SIRA di Banda Aceh pada 8 November 1999 dihadiri kurang dari sejutaan

rakyat Aceh (sebagian sumber menyebutnya dua jutaan) dari berbagai kabupaten. SIRA yang dipimpin Muhammad Nazar berhasil memobilisasi perjuangan rakyat Aceh, untuk mendapatkan hak-haknya sebagai sebagai sebuah bangsa.

Keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri semakin bergema dengan kelahiran berbagai organisasi perlawanan rakyat, seperti KARMA, Farmidia, SMUR, FPDRA, SPURA, PERAK, dan HANTAM, yang lahir dengan mengusung berbagai macam isu. HANTAM misalnya, mengusung isu antimiliterisme berhasil membuat sebuah aksi yang spektakuler pada tahun 2002. Aksi yang dinilai paling fenomenal itu menuntut cease-fire (gencatan senjata) antara RI dan GAM. Selain itu HANTAM dalam aksinya mengusung empat bendera, seperti bendera GAM, RI, Referendum dan Bendera PBB.

Aksi yang berlangsung pada 6 Mei 2002 itu berakhir dengan penangkapan semua peserta aksi HANTAM. Aksi itu memberikan makna khusus bahwa intervensi PBB untuk memediasi konflik Aceh tak dapat ditolak.

Situasi yang relatif aman tercipta setelah pihak GAM dan pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian damai, 9 Desember 2002 di Jenewa. Kendati bentrok terus berlanjut, tapi kuantitasnya tidak seperti dulu. Komite Keamanan Bersama (KKB), yang terdiri dari tiga pihak, Indonesia, GAM, dan Henry Dunant Centre (HDC) sebagai penengah pun dibentuk. Komite itu terkenal dengan nama Joint Security Committee (JSC). Komite itu diketuai oleh Thanongsuk Tuvinum, perwira tinggi asal Thailand.

9 Februari 2003, perjanjian damai itu memasuki tahap penting dan kritis. Kedua pihak telah sepakat sejak hingga lima bulan ke depan, melucuti senjata masing-masing. Pelucutan senjata akan diawasi oleh komite bersama itu. Masalahnya, proses perundingan kemudian gagal.

Pada Mei 2003, masa CoHA itu dinyatakan gagal dan tidak dilanjutkan. Para juru runding GAM, ditangkap dan dipenjara. Darurat Militer (DM) digelar pada 19 Mei

2003. Ribuan personil TNI/Polri dikirim kembali ke Aceh, untuk menumpas GAM. Satu tahun DM, TNI mengklaim telah menewaskan 2.439 GAM, 2.003 ditangkap dan 1.559 menyerah. Sementara di pihak TNI, 147 orang tewas dan 422 luka-luka.

Dalam darurat itu, puluhan aktivis yang kritis ditangkap, tak sedikit pula yang harus hengkang ke luar Aceh. Salah satu yang ditangkap ketika itu, Muhammad Nazar dari SIRA.

Usai DM, status Aceh berganti menjadi Darurat Sipil (DS) pada 19 Mei 2004. Kondisi Aceh hampir tak jauh berbeda dengan masa DM. Aceh tertutup bagi dunia luar. Ratusan korban muncul, terbanyak di pihak sipil. Pemerintah tak pernah mengumumkan secara pasti, berapa jumlah korban dari sipil. Namun Dinas Penerangan Umum Mabes TNI mengakui, sejak masa darurat diberlakukan sampai September 2004, sekitar 662 warga sipil tewas, 140 luka berat dan 227 luka ringan.

Banyak kalangan meyakini, korban lebih banyak dari itu. Tak ada instansi yang punya referensi pasti berapa jumlah korban sebenarnya dalam konflik Aceh. Buktinya, ada banyak warga yang masih melaporkan saudaranya hilang, setelah perang-perang itu berkobar.

***

Perang belum usai, saat tsunami membuat sejarah baru. Bencana dahsyat tsunami membelalakkan mata warga dunia, pada jumlah korban dan kerusakan yang ditimbulkan. Hampir seluruh negara besar di dunia menyatakan berkabung selama seminggu. Bahkan penjara milik Amerika Serikat di Guantanamo, Kuba juga mengibarkan bendera setengah tiang.

Tercatat, sekitar 129.775 orang tewas, 36.786 orang hilang dan 174.000 orang hidup di tenda-tenda pengungsian.

800 kilometer jalan dan 2.260 jembatan rusak atau musnah, 693 fasilitas kesehatan (RS, Puskesmas, Pos Imunisasi, dan klinik) rusak atau hancur dan 2.224 sekolah rusak atau hancur. Kerugiannya, sekitar U$ 4,5 milyar.

Bencana itu, membuka pintu Aceh bagi siapa saja. Status DS tenggelam dengan sendirinya. Ratusan NGO asing masuk, berlomba-lomba memberikan bantuan. Pelan-pelan Aceh mulai membangun kembali kehidupannya. Darurat Sipil diganti dengan Tertib Sipil pada 19 Mei 2005, disaat Aceh sedang membangun pasca tsunami. Kontak senjata masih terjadi di daerah-daerah, kendati dalam jumlah yang sudah minim.

Mustahil membangun Aceh kembali tanpa damai. Kondisi inilah yang membuat petinggi Indonesia dan GAM memikirkan kembali persoalan damai, agar tak banyak lagi warga Aceh mati sia-sia. Damai pun disenandungkan.

Pembahasan mencari damai di Aceh dipikirkan keras. Kali ini Presiden RI Bambang Susilo Yodhoyono lebih serius. Difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) perundingan antara GAM dan RI pun digelar di Helsinki, Filandia. CMI diketuai oleh bekas Presiden Finlandia Martti Ahtisaari.

Setelah dialog lima babak di Helsinki, perundingan mencapai kesepakatan. Perunding RI diketuai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin dan perunding GAM diketuai Perdana Menteri-nya Malik Mahmud. Ditandatangani pada 15 Agustus 2005, kesepakatan itu dikenal dengan MoU Helsinki. Awal masa damai di Aceh.

Poin-poin MoU mendukung sepenuhnya rekontruksi Aceh pasca tsunami. Tim Pemantau Uni Eropa dan ASEAN, Aceh Monitoring Mission (AMM) dibentuk. Mereka bertugas sejak 15 September 2005, setelah sebelumnya sebuah tim persiapan memonitor keadaan sejak damai dicetuskan. Tim itu diketuai oleh Pieter Feith asal Belanda.

Tugas utama AMM, melucuti senjata GAM dan memantau penarikan pasukan TNI di Aceh. Sesuai dengan MoU, GAM

harus menyerahkan 840 pucuk senjatanya. Sementara TNI/ Polri hanya boleh menyisakan 14.700 personil TNI dan 9.100 personil Polri di Aceh.

Perlahan-lahan, damai mulai tampak setelah 29 tahun lebih konflik RI–GAM. Proses penyerahan senjata dan penarikan pasukan berakhir sampai 26 Desember 2005. Bersamaan dengan setahun tsunami di Aceh.

Perang memang selalu menimbulkan korban. Buku ini tak hendak menulis data dan fakta sepanjang perang di Aceh. Buku ini hanya mencoba merekam fakta kekerasan dan pelanggaran HAM yang tercecer sepanjang pemberlakuan status DOM di Aceh sampai perdamaian diraih.

Fakta banyaknya korban yang belum merasakan keadilan adalah pemicu menyusun laporan ini. Sesungguhnya slogan pencari keadilan masih terus mengiang. “Perdamaian tidak berarti apa-apa, tanpa keadilan buat korban.”

FAKTA KEKERASAN

Dalam dokumen Fakta Bicara (Halaman 30-41)