• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMPETENSI DALAM MANAJEMEN SDM

Dalam dokumen Kementerian Pekerjaan Umum (Halaman 61-69)

SINERGITAS PENGAWASAN ANTARA ITJEN DENGAN BPKP & ITWILPROV

4. Karakteristik pribadi

2.7.2. KOMPETENSI DALAM MANAJEMEN SDM

Di dalam perkembangan manajemen SDM, saat ini sedang ramai dibicarakan mengenai bagaimana mengelola SDM berbasis kompetensi. Hal ini didasarkan pada kompetensi yang merupakan konsep penting dan telah mendapat perhatian serius tidak saja di sektor bisnis tetapi juga pada scktor publik (administrasi negara).

Penggunaan kompetensi sebagai dasar dalam manajemen SDM

(competency-based human resource management) yang telah berkembang di sektor bisnis juga telah diadopsi, diadaptasikan dan akan terus dikembangkan di sektor publik. Hal tersebut tercermin dalam kebijakan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) yang antara lain menegaskan bahwa kompetensi merupakan pertimbangan penting dalam penataan PNS (Kompas, 21 Januari 2003). Manajemen SDM aparatur negara berbasis kompetensi mencakup semua aspek dalam manajemen SDM yang meliputi antara lain rekruitmen, seleksi,

pengangkatan/ penempatan, pelatihan dan pengembangan (training and

development -T&D).

Berbeda dari kompetensi di sektor bisnis dimana di dalamnya mencakup dua

lingkup (level of analysis) yaitu individu dan organisasi, konsep kompetensi pada

sektor publik sementara lebih mengarah kompetensi untuk jabatan struktural, jabatan fungsional, maupun staf pelaksana.

Dalam hubungan itu selanjutnya Spencer & Spencer (1993:9) mendefinisikan

kompetensi sebagai: "...an underlying characteristic of an individual that is causally

related to criterion referenced effective and/or superior performance in a job or situation". Kompetensi, dengan demikian merupakan bagian dari kepribadian seseorang yang cukup dalam dan bersifat permanen. Kompetensi bukanlah kepemilikan kemampuan yang bersifat sementara, oleh karenanya selain merupakan suatu penyebab, ia juga dapat digunakan untuk memprediksi perilaku

seseorang dalam berbagai situasi dan tugas kerja. Demikian pula kompetensi secara aktual dapat memprediksikan kinerja seseorang, dapat menunjukkan siapa

yang bekerja lebih baik dari pada yang lain berdasarkan specific criterion atau suatu

standard tertentu.

Berdasarkan uraian diatas, pada dasarnya kompetensi itu terdiri dari tiga

unsur utama yaitu pengetahuan (cognitive domain), keahlian dan keterampilan

(psychomotor domain) dan perilaku dan sikap (affective domain). Ketiga unsur ini

secara langsung mempengaruhi perilaku (behavior) pegawai dalam melaksanakan

tugasnya.

Khusus di lingkungan birokrasi pemerintah, profesionalisme yang dituntut, harus memiliki karakteristik: (1) menguasai penuh bidang pekerjaannya atau ahli

(expertise), (2)mampu mandiri (independent) dalam pengertian memiliki jiwa inovasi dan kreativitas yang tinggi sehingga tidak tergantung kepada atasannya dalam melakukan pekerjaannya, (3) memiliki kesungguhan dan tanggungjawab terhadap

pekerjaannya (commitment to the work), (4) mampu menunjukkan kinerja yang

unggul sebagai profesional, dan (5) memegang teguh etika profesi (ethics).

Fungsi kompetensi kepemimpinan sangat beragam dan kompleks, dalam kondisi tertentu kadar penerapannya dipengaruhi oleh jenjang dalam jabatan struktural, jenis pekerjaan, ataupun wilayah kerja. Akan tetapi secara umum, fungsi-fungsi tersebut dilaksanakan oleh semua orang yang menempati posisi jabatan manajer dalam birokrasi. Berkaitan dengan fungsi kepemimpinan ini, Zwell (2000:88) menyebutkan bahwa sekurang-kurangnya ada 15 fungsi yang umum dilaksanakan

oleh manajer, meliputi: (1) Modeling the corporate culture; (2) Developing the

corporate philosophy; (3) Establishing and maintaining standards; (4) Understanding the business; (5) Determining strategic direction; (6) Managing change; (7) Being a good follower: aligning with superior; (8) Inspiring and motivating; (9) Establishing alignment; (10) Establishing focus; (11) Holding ultimate responsibility; (12) Dealing with authority issues; (13) Determining successors; (14) Managing ambiguity; (15)

Optimizing organizational structure and process.

Dengan fungsi-fungsi kepemimpinan tersebut, manajer dalam posisi apapun dituntut untuk memiliki kompetensi yang memungkinkan mereka dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Adapun jenis atau macam kompetensi yang

diperlukan atau harus dimiliki oleh para manajer, telah disebutkan oleh banyak pakar. Mereka menguraikan kompetensi yang relatif berbeda dari yang lain. Akan tetapi, secara substansial fokus mereka sama yakni karakteristik individu yang penting dimiliki oleh para manajer dalam rangka mencapai tujuan organisasi.

Hal tersebut di atas sejalan dengan pendapat dari Armstrong (1999:9) yang mengemukakan bahwa penerapan kompetensi dalam Manajemen SDM dilakukan

dalam proses rekruitmen dan seleksi, assessment centers, manajemen kinerja,

pengembangan SDM, dan manajemen imbal jasa.

Lebih lanjut Armstrong dan Murlis (1999:10) membedakan Kompetensi menjadi dua model yaitu:

a) Work based atau hard competencies yang mengarah pada harapan terhadap

kinerja kerja, atau standar dan output yang harus dipenuhi seseorang melalui

peranan-peranan tertentu. Karena itu hard competencies lebih mengacu pada

dampak dari pada usaha, atau pada pengaruh daripada input.

b) Behavioral atau soft competencies mengarah pada karakteristik seseorang yang

terlihat pada saat melakukan pekerjaan termasuk di dalamnya: teamworking,

orientasi pencapaian tujuan, kepemimpinan dan perspektif stratejik.

Rothwell (LAN, 2000:39) mengidentifikasi bahwa ada empat kompetensi yang dibutuhkan oleh organisasi yaitu :

c) Technical competence (kompetensi teknik) dalam prakteknya kompetensi ini dapat digolongkan ke dalam tiga kompetensi teknik yang bersifat keterampilan (umum), kompetensi teknik yang memerlukan pendidikan formal (khusus) tertentu untuk menguasainya, dan kompetensi teknik khusus-umum, yaitu kompetensi khusus yang juga diperlukan secara umum oleh jabatan-jabatan manajer. Jenis kompetensi teknik pertama pada dasarnya berkaitan

dengan tugas-tugas teknikal seperti penguasaan software-software komputer

yang siap pakai, penggunaan mesin ketik dan sebagainya. Untuk menguasai kompetensi teknik ini hanya diperlukan kursus-kursus atau Diklat singkat,

bahkan dapat pula dilakukan dengan on the job training. Jenis kompetensi

teknis kedua selalu didukung oleh latar belakang pendidikan tertentu seperti dokter gigi, dokter umum, insinyur listrik, akuntan, sarjana manajemen SDM,

dan sebagainya. Sedangkan kompetensi jenis ketiga, yaitu kompetensi yang untuk menguasainya diperlukan pendidikan formal tertentu, terdapat pada jabatan-jabatan tertentu yang memerlukan kompetensi ini. Sebagai contoh setiap manajer dituntut untuk menguasai manajemen SDM.

d) Managerial competence (kompetensi managerial). Kompetensi ini berkaitan erat dengan kemampuan manajerial seperti: kemampuan dalam hal perencanaan, pengorganisasian, penggerakkan, dan pengawasan, yakni kemampuan yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen. e) Interpersonal competence (kompetensi interpersonal) atau

social/communication competence (kompetensi sosial/komunikasi) adalah kemampuan seseorang dalam berinteraksi dengan pihak lain.

f) Intellectual competence (kompetensi intelektual) atau strategic competence

adalah kemampuan melihat jauh ke depan sehingga dapat merumuskan berbagai kebijakan strategis.

Dalam pembahasan SDM aparatur atau PNS, Antjok (LAN, 2000:8)

menambahkan satu kompetensi lagi yaitu Ethical competence. Kompetensi etika

adalah kemampuan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan pertimbangan etika atau norma yang telah ditetapkan oleh organisasi ataupun lingkungan eksternal, baik secara nasional maupun internasional. PNS memerlukan kemampuan etika ini karena sifat pekerjaan dari PNS yang merupakan pelayan masyarakat, dan dalam upaya memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat, dia perlu mengetahui norma, aturan, dan etika yang berlaku di masyarakat.

Untuk lebih memperjelas kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap pegawai tersebut, dapat dilihat pula dari tingkatan manajemen dalam suatu organisasi. Menurut Winardi (1990:10), ada tiga tingkatan manajemen yaitu tingkat

operasi (the operational level), tingkat manajerial (the managerial level), dan

tingkatan stratejik (the strategic level). Menurut Winardi (1990:11) terdapat tiga buah

a) Keterampilan teknikal (technical skills), merupakan kemampuan untuk menggunakan alat-alat, prosedur-prosedur, atau teknik-teknik bidang khusus yang terspesialisasi.

b) Keterampilan kemanusiaan (human skills), merupakan kemampuan untuk

berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain.

c) Keterampilan konseptual (conceptual skills), merupakan kemampuan

untuk memahami dan merangkum semua aktivitas dan kepentingan-kepentingan organisasi.

Keterampilan yang harus dimiliki pegawai tersebut berubah sesuai dengan tingkat organisatoris, sebagaimana gambar berikut ini.

Gambar 2.8 : Keterampilan Dasar dalam Tingkatan Manajemen

Tingkat Organisatoris

Konseptual/ Manajer

Sosial/Manusia

Teknis

Keterampilan yang diperlukan

Sumber : Winardi, Azas-Azas Manajemen, Bandung: Mandar Maju, 1990, hal. 11

Dalam hubungan itu, Katz (Bittel, 1985:621) menjelaskan hubungan ketiga keterampilan dasar tersebut ditinjau dari segi jenjang jabatan dalam organisasi, dimana terdapat tiga jenjang jabatan yaitu manajer puncak, manajer madya, dan

manajer pertama. Untuk membedakan ketiga jenjang jabatan tersebut dapat didekati dari sudut pandang pola hubungan antar jabatan dalam organisasi, yang dapat dilihat dalam gambar 2.9 berikut :

Gambar 2.9 : Perbedaan Tingkatan Kompetensi Jabatan Struktural

Konseptual Sosial Teknikal

80% - 90% 20% - 10%

70% - 80% 30% - 40%

20% - 10% 80% - 90%

Kemampuan Manajemen

Sumber : Ramsey Bittel, Handbook Professional Managers, New York: Mc Graw Hill Book Company, 1985 hal. 621

Dari gambar 2.13 di atas, kemampuan sosial atau kemanusiaan merupakan kemampuan dasar yang perlu dimiliki oleh setiap manajer karena terkait dengan masalah karakteristik, bakat, motif, motivasi, dan sikap perilakunya, yang prosentasenya seimbang untuk keseluruhan jenjang. Kemampuan konseptual dan manajerial merupakan kemampuan setiap pegawai yang menduduki jabatan pimpinan, meliputi kemampuan perencanaan, pengorganisasian, koordinasi, motivasi, pengendalian, pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan. Sedangkan kemampuan teknikal merupakan kemampuan teknis di lingkup bidang tugasnya yang perlu dimiliki oleh setiap pegawai.

Manajer Puncak

Manajer Madya

Angka Prosentase dalam gambar 2.13 tersebut menunjukkan bahwa pada tingkatan manajer puncak kemampuan konseptual termasuk didalamnya manajerial mendapat porsi antara 90%-80% dan teknikal hanya 10%-20%, tingkatan manajer menengah kualitas kemampuan kepemimpinan memiliki porsi 70%-60%, dan kemampuan teknikal 30%-40%, dan untuk tingkatan manajer pertama 10%-20% kemampuan manajerial dan 90%-80% lebih dituntut kemampuan teknikalnya. Hal ini bermakna bahwa makin tinggi kedudukan seseorang dalam jabatan, pada lingkup organisasi ia dituntut lebih berfikir strategis, berwawasan luas, peduli terhadap lingkungan, komunikasi, dan hubungan manusiawi, namun memiliki porsi fokus yang kecil pada kemampuan teknikal.

Apabila kompetensi-kompetensi tersebut telah dimiliki oleh SDM aparatur secara proporsional sesuai dengan tuntutan tugas, fungsi dan kewajibannya masing-masing, maka diharapkan kualitas kemampuan pejabat struktural akan menjadi handal dan mampu menyelesaikan atau melaksanakan tugas, fungsi dan tanggung jawab organisasi secara efektif dan efisien.

Deskripsi mengenai pemetaan kompetensi didasarkan pada alat ukur yang berasal dari pernyataan-pernyataan yang diajukan kepada responden, yang nantinya dari hasil tanggapan tersebut dibuat tingkatan-tingkatan penguasaan.

Tingkat penguasaan ini oleh Entegrys Incorporated.

(http://www.Entegrys.com/SampleAbe.pdf) digolongkan ke dalam empat klasifikasi kompetensi yaitu :

a. Introductory, nilai antara 0 - 3,9, yang mencerminkan individu hanya memiliki pemahaman yang dangkal mengenai perilaku ini, merasa tidak perlu terlibat dalam perilaku ini, atau memutuskan untuk mulai terlibat dalam perilaku ini. b. Exploratory, nilai antara 4 - 6, yang berarti bahwa individu masih berusaha untuk

memahami perilaku ini, merasakan sedikit kebutuhan untuk terlibat dalam perilaku ini, tetapi memilih untuk tidak terlibat di dalamnya secara tetap.

c. Comfort, nilai antara 6,1 - 8, yang menunjukkan bahwa individu memahami dengan baik perilaku ini, seringkali melakukan kegiatan ini, tetapi belum bisa melaksanakannya secara efektif.

d. Mastery, nilai antara 8,1 - 10, yang menunjukkan kemampuan pegawai untuk memahami perilaku ini, memiliki keyakinan untuk melaksanakannya dengan

efektif, dan memutuskan untuk terlibat di dalamnya secara tetap.

Selain tingkatan kompetensi yang diperkenankan oleh Entegrys Incorporated

(http://www.Entegrys.com/SampleAbe.pdf) diatas, kompetensi juga dikelompokkan berdasarkan kriteria kinerja oleh Spencer dan Spencer sebagai berikut:

a. Threshold competencies, merupakan kompetensi karakteristik- karakteristik utama (biasanya pengetahuan atau keterampilan dasar, seperti kemampuan membaca) yang dibutuhkan oleh setiap perilaku pekerjaan agar ia dapat bekerja

dengan efektif. Threshold competencies merupakan kompetensi dasar yang

musti ada, baik itu pada kinerja yang superior maupun kinerja yang biasa-biasa

saja. Contohnya, Threshold competencies dari seseorang tenaga penjualan

adalah pengetahuan tentang produk yang dijual dan kemampuan mengisi faktor penjualan.

b. Differentiating competencies. Berbeda dengan threshold competencies, differentiating competencies membedakan antara kinerja pekerja superior

dengan kinerja pekerja biasa. Contohnya, Differentiating competencies dari

seorang tenaga penjualan adalah kemampuannya mencapai target penjualan.

2.8. TINJAUAN TEORITIS TERKAIT TRAINING NEED ASSESSMENT

Training Needs Assessment merupakan tahap yang paling penting dalam proses pelatihan (Goldstein,1993). Apabila suatu organisasi tidak akurat menentukan kebutuhannya, maka proses pelatihan akan diarahkan secara tidak tepat. Tahap penilaian tersebut berfungsi sebagai pondasi bagi keseluruhan upaya pelatihan, sehingga apabila tahap penilaian tidak dilaksanakan dengan tepat, maka program pelatihan secara keseluruhan akan memiliki imbas kecil dalam mencapai tujuannya

Mengenai kebutuhan belajar atau pelatihan, hal ini dapat muncul pada seseorang atau masyarakat tertentu ketika disadarinya ada kesenjangan antara tingkat kemampuan yang diharapkan dengan tingkat kemampuan yang dimilikinya saat ini. Dengan belajar atau pelatihan maka diharapkannya akan diperoleh pengetahuan dan keterampilan tambahan dari apa yang dipelajari, ini kelak dapat dimanfaatkan dalam kesehariannya. Orang dewasa mau belajar bila apa yang akan

dipelajari itu dapat memberi nilai tambah baginya dan berguna dalam kehidupan kesehariannya.

Selain dari hal yang disebutkan diatas, pengetahuan, keahlian dan keterampilan serta sikap pegawai dalam suatu organisasi perlu terus ditingkatkan melalui pelatihan, sehingga pegawai mempunyai kemampuan atau kompetensi yang memadai sesuai yang diinginkan oleh organisasi, dengan harapan dapat meningkatkan motivasi pegawai dalam menjalankan tugasnya untuk mencapai tujuan organisasi. Melalui pelaksanaan pelatihan itu pula dapat dipetik suatu manfaat yang cukup besar bagi organisasi dan sekaligus bagi individu pegawai atau peserta pelatihan yang bersangkutan.

Dalam dokumen Kementerian Pekerjaan Umum (Halaman 61-69)