• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kementerian Pekerjaan Umum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kementerian Pekerjaan Umum"

Copied!
259
0
0

Teks penuh

(1)

Satuan Kerja Pusat Kajian Strategis

L

L

L

A

A

A

P

P

P

O

O

O

R

R

R

A

A

A

N

N

N

A

A

A

K

K

K

H

H

H

I

I

I

R

R

R

P

P

P

e

e

e

n

n

n

i

i

i

n

n

n

g

g

g

k

k

k

a

a

a

t

t

t

a

a

a

n

n

n

E

E

E

t

t

t

o

o

o

s

s

s

K

K

K

e

e

e

r

r

r

j

j

j

a

a

a

S

S

S

u

u

u

m

m

m

b

b

b

e

e

e

r

r

r

D

D

D

a

a

a

y

y

y

a

a

a

M

M

M

a

a

a

n

n

n

u

u

u

s

s

s

i

i

i

a

a

a

P

P

P

U

U

U

S

S

S

T

T

T

R

R

R

A

A

A

T

T

T

a

a

a

h

h

h

u

u

u

n

n

n

2

2

2

0

0

0

1

1

1

0

0

0

PT. DDC CONSULTANTS

(2)

Laporan Akhir

Peningkatan Etos Kerja

Sumber Daya Manusia

PUSTRA

Kementerian Pekerjaan Umum

(3)
(4)

HALAMAN JUDUL ……… i

KATA PENGANTAR ……….………… ii

DAFTAR ISI ……… iii

DAFTAR TABEL ………. vi

DAFTAR GAMBAR ……… vii

DAFTAR LAMPIRAN ………. ix

BAB 1 PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Permasalahan……… 1 - 1

2. Tujuan Pembahasan ……… 1 - 7

3. Sasaran ………... 1 - 7

4. Lingkup Kegiatan ………. 1 - 7

5. Manfaat Pembahasan ………. 1 - 8

6. Sistematika Pembahasan ……….. 1 - 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TINJAUAN PENERAPAN

1. Tinjauan Yuridis Implementasi reformasi Birokrasi... 2 - 1 2. Tinjauan Yuridis Implementasi Tata Kelola

Pemerintahan Yang Baik Di Lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum ……… 2 - 7 3. Tinjauan Yuridis Terkait Budaya Kerja Organisasi

Pada Kementerian Pekerjaan Umum……….. 2 - 16 4. Tinjauan Teoritis Terkait Etos Kerja ……… 2 - 17

5. Tinjauan Teoritis Terkait Reformasi Birokrasi …….. 2 - 24

6. Tinjauan Teoritis Terkait Budaya Organisasi …….. 2 – 34

7. Tinjauan Teoritis Terkait Kompetensi ……….. 2 – 34

(5)

Organisasi Pada Ditjen Pajak Kement. Keuangan 2 – 96

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

1. Kegiatan Pendahuluan ……… 3 - 11 2. Pengumpulan Data ………. 3 - 14 3. Analisis Data ……… 3 - 17 4. Analisis Permasalahan ……….. 3 - 18

5. Analisis Program yang Mendukung ………. 3 - 21

Good Governance

6. Perumusan Konsep Kebijakan Etos Kerja ………… 3 - 28 7. Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan ……….. 3 - 31 8. Perumusan Konsep Rekomendasi ……… 3 - 32

BAB 4 GAMBARAN UMUM PUSTRA PU

1. Visi, Misi dan Peran Strategis ……… 4 - 1 2. Struktur Organisasi ……… 4 - 5

3. Kondisi SDM & Infrastruktur ……….. 4 - 8

4. Program dan Kegiatan ……… 4 - 15

BAB 5 PEMETAAN ETOS KERJA

1. Penyusunan kamus Etos Kerja ……….. 5 - 2

2. Gambaran Responden ………. 5 - 6

3. Model Ethos Kerja ……… 5 - 11

(6)

1. Analisa Hambatan Diklat & Non Diklat ………. 6 - 1

2. Analisa Kebutuhan Pelatihan Ethos Kerja ……….. 6 - 5

BAB 7 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1. Kesimpulan ……….. 7 - 1

2. Rekomendasi ……….. 7 - 3

(7)

Hal

Tabel 2.1 Sasaran Reformasi Birokrasi ……….. 2 - 3

Tabel 2.2 Membangun Pemahaman untuk Etos dan ……… 2 - 22

Kesempurnaan Kerja

Tabel 2.3 Etos Orang Bekerja ……….. 2 - 23

Tabel 2.4 Etos Kerja Negara Maju dan Produktif ………… 2 - 24

Tabel 2.5 Uraian Jabatan ……….……… 2 - 83

Tabel 2.6 Informasi Jabatan ………. 2 - 84

Tabel 2.7 Penyempurnaan Informasi Jabatan ……….. 2 - 85

Tabel 2.8 Struktur Peringkat Jabatan ………. 2 - 94

Tabel 2.9 Rincian Struktur Peringkat Jabatan Kemenkeu … 2 - 95

Tabel 5.1 Dimensi Etos Kerja ………. .. 5 - 2

Tabel 5.2 Rumusan-rumusan Etos Kerja ……….. 5 - 3

Tabel 5.3 Rumusan Etos Kerja SDM PUSTRA ……… 5 - 4

Tabel 5.4 Nomor Distribusi Indikator Etos Kerja …………. .. 5 - 11

Tabel 6.1 Hambatan Dalam Pelaksanaan Tugas ………….. 6 - 2

Tabel 6.2 Hambatan Bukan Diklat ……… 6 - 3

Tabel 6.3 Hambatan Diklat ……… 6 - 4

Tabel 6.4 Pelatihan Yang di Butuhkan……… 6 – 8

Tabel 6.5 Pengetahuan Yang Dibutuhkan……… 6 - 10

Tabel 6.6 Ketrampilan Yang Dibutuhkan……… 6 - 11

Tabel 6.7 Sikap Mental Yang Dibutuhkan..……… 6 - 12

Tabel 6.8 Hambatan Yang Sering Terjadi.……… 6 - 13

(8)

Gambar 2.1 Reformasi Pengaturan Bidang Pekerjaan Umum Gambar 2.2 Reorganisasi Kementerian PU

Gambar 2.3 Peningkatan Transparansi dan Pembangunan Sistem Informasi

Gambar 2.4 Pendekatan Pembangunan Infrastruktur Kem. PU Gambar 2.5 Sistem Pengawasan yang Efektif dan Efisien Gambar 2.6 Proses Membangun Etos Kerja

Gambar 2.7 Model Iceberg

Gambar 2.8 Keterampilan Dasar dalam Tingkatan Manajemen

Gambar 2.9 Perbedaan Tingkatan Kompetensi Jabatan Struktural 73 Gambar 2.10 Proses Manajemen SDM dalam Organisasi

Gambar 2.11 Kesenjangan Kebutuhan Gambar 2.12 Training Need Assessment

Gambar 2.13 Proses Training need Assessment Gambar 2.14 Diagram Kebutuhan Pelatihan Gambar 2.15 Penyempurnaan Proses Bisnis Gambar 2.16 Analisis dan Evaluasi Jabatan Gambar 2.17 Contoh Kedudukan Jabatan

Gambar 2.18 Faktor dalam Pemeringkatan Jabatan Gambar 3.1 Tahapan Pekerjaan

Gambar 3.2 Tahapan Penelitian Utama Gambar 3.3 Pemetaan Etos Kerja Gambar 3.4 Training Need Assessment Gambar 3.5 Bagan Alir Pendekatan Kegiatan

Gambar 3.6 Pilar Good Governance

Gambar 3.7 Konsep Tata Kelola Pemerintahan yang Baik Gambar 3.8 Pola Pikir Tata Kelola Pemerintahan yang Baik

(9)

Gambar 4.4 Task Force Organisasi PUSTRA Gambar 4.5 Lingkup Tugas Organisasi PUSTRA Gambar 5.1 Tingkat Pentingnya Dimensi Etos Kerja

Gambar 5.2 Urutan Tingkat Kepentingan Dimensi Etos Kerja Gambar 5.3 Peta Etos Kerja SDM PUSTRA

(10)

Lampiran 1 Lampiran 2

Usulan Perubahan Tupoksi PUSTRA Kuesioner Pemetaan Etos Kerja

(11)

Bab

1

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

Tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam rangka mencapai tujuan nasional tersebut, seluruh bangsa Indonesia, termasuk Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur utama sumber daya manusia aparatur negara mempunyai peran yang sangat strategis dalam mengemban tugas pemerintahan dan pembangunan.

Pegawai Negeri Sipil yang diharapkan dalam upaya mencapai tujuan nasional adalah Pegawai Negeri Sipil yang memiliki kompetensi penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, profesional, berbudi pekerti luhur, berdaya guna, berhasil guna, sadar akan tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur negara, abdi masyarakat dan abdi negara di dalam negara hukum yang demokratis.

Reformasi birokrasi merupakan upaya untuk melakukan

pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan, terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan/organisasi,

ketatalaksanaan (business process) serta sumber daya manusia aparatur

negara, dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good

governance). Reformasi Birokrasi sebagai amanah Undang-Undang No. 17

Tahun 2007 tentang RPJP Nasional 1005 – 2025, Lampiran, Bab IV, butir

(12)

dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang bersih, baik di pusat maupun di daerah, agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang-bidang

lainnya”.

Sasaran reformasi birokrasi adalah mengubah pola pikir (mind set)

dan budaya kerja (culture set), khususnya menyangkut:

(i) Kelembagaan/organisasi: organisasi yang tepat fungsi dan

tepat ukuran (right sizing);

(ii) Budaya organisasi : birokrasi dengan integritas dan kinerja

tinggi;

(iii) Ketatalaksanaan : sistem, proses dan prosedur kerja yang

jelas, efektif, efisien, terukur dan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance;

(iv) Regulasi dan deregulasi birokrasi : regulasi yang lebih tertib,

tidak tumpang tindih dan kondusif;

(v) Sumber daya manusia : SDM yang berintegritas, kompeten,

profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera.

BAPPENAS menyatakan ada empat belas karakteristik dalam

wacana good governance. Salahsatunya adalah professional dan

kompeten, yaitu bahwa di dalam pemberian pelayanan publik dan

pembangunan dibutuhkan aparatur pemerintah yang memiliki kualifikasi dan kemampuan tertentu dengan profesionalisme yang sesuai. Lebih jauh hal ini membutuhkan upaya untuk menempatkan aparat secara tepat, dengan memperhatikan kecocokan antara tuntutan pekerjaan dengan kualifikasi kemampuan dan profesionalisme (BAPPENAS:2005)

Agar aparat pemerintahan dapat berperan, berfungsi dan mampu kompetitif, maka kompetensi SDM merupakan prasyarat yang tidak dapat diabaikan. Karena melalui kompetensi yang berkualitas diharapkan dapat

(13)

Laporan Akhir :

Peningkatan Etos Kerja Sumber Daya Manusia PUSTRA Bab 1 - 3

Menurut Badan Kepegawaian Negara (BKN) 2001, kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang pemangku jabatan berupa pengetahuan, keahlian dan sikap perilaku yang diperlukan dalam melaksanakan tugas jabatannya.

Dalam upaya mewujudkan Good Governance di lingkup

Kementerian PU, semua elemen Kementerian diharapkan dapat mulai menerapkannya di unit masing-masing, dengan tetap berbasiskan Visi PU

2025 yaitu “Menjamin Ketersediaan Infrastruktur Bidang Pekerjaan Umum

yang Handal untuk Kehidupan yang Nyaman, Produktif dan Berkelanjutan”, maupun visi turunan pada masing-masing unit. Visi

PUSTRA adalah menjadi center for innovative development strategy bagi

Kementerian Pekerjaan Umum. Visi ini juga menantang PUSTRA untuk senantiasa mengembangkan dirinya sehingga dapat menjadi agen

perubahan (agent of change) yang membawa pembaruan dan pencerahan

bagi lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum, khususnya dalam hal-hal yang bersifat strategis.

Pusat Kajian Strategis Kementerian Pekerjaan Umum (selanjutnya ditulis dengan PUSTRA) sebagai salah satu bagian dari kelembagaan Kementerian Pekerjaan Umum, sebagai penyelenggara negara merupakan organisasi formal, tetapi dinamis terhadap suatu perubahan. Sebagai

suatu kelembagaan yang mempunyai tugas dan fungsi “merumuskan

strategi pembangunan, pengkajian peraturan perundang-undangan, fasilitasi pengembangan investasi dan pengkajian lingkungan strategis dan pengkajian kinerja strategi pembangunan bidang pekerjaan umum” perlu didukung kemampuan SDM yang memiliki etos kerja yang semakin baik.

Pada sebuah institusi atau organisasi yang menempatkan sumber

daya manusianya sebagai asset terpenting, maka peningkatan

kemampuan sumber daya manusianya merupakan hal yang mutlak dilakukan agar institusi atau organisasi dapat berumur panjang dan terus memberikan manfaatnya. Berangkat dari hal ini maka tak mengherankan jika dalam dekade terakhir ini berbagai kegiatan peningkatan kemampuan sumber daya manusia dengan cepat telah tumbuh menjadi kegiatan

(14)

besar-besaran dimana-mana. Maraknya kegiatan ini di berbagai institusi dan organisasi ini tentu saja merupakan hal yang menggembirakan karena berarti semakin disadari pentingnya peran sumber daya manusia dan pengembangan potensinya dalam pencapaian tujuan institusi atau organisasi.

Pelatihan adalah salah satu upaya untuk meningkatkan

kemampuan & ethos kerja SDM PUSTRA dalam menjalankan tugasnya. Pelatihan merupakan salah satu dari tujuh aktivitas dasar yang harus dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kondisi organisasi agar selalu mendapat orang yang tepat di posisi yang tepat, pada saat dibutuhkan (Stoner, 2002).

Dalam lingkup Pegawai Negeri Sipil Republik Indonesia pendidikan & pelatihan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Dalam Pegawai Negeri Sipil. Menurut Soebagio Atmowirio (2005:36) pendidikan dan pelatihan adalah proses penyelenggaraan belajar mengajar dalam rangka meningkatkan kemampuan pegawai negeri sipil dalam melaksanakan tugasnya.

Adapun mengenai peningkatan kemampuan teknis Pegawai Negeri Sipil Republik Indonesia telah diatur dalam peraturan pemerintah Nomor 101 Tahun 2000. Sebagaimana dikatakan Soebagio Atmowirio ( 2005:39), dalam peraturan pemerintah tersebut terdapat satu jenis Diklat yang disebut: Pendidikan dan Pelatihan Teknis (Diklat Teknis). Diklat teknis didefinisikan sebagai pelatihan yang diselenggarakan untuk memberikan keterampilan atau penguasaan pengetahuan bidang teknis tertentu kepada pegawai negeri sipil sehingga mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diberikan sebaik-baiknya.

Sumber daya manusia sebagai salah satu sasaran reformasi birokrasi diharapkan tercipta sumber daya manusia yang berintergritas, kompeten, profresional, berkinerja tinggi dan sejahtera atau dapat

dikatakan mempunyai etos kerja yang tinggi. Tasmara (2002)

mendefinisikan bahwa etos kerja merupakan suatu totalitas kepribadian dari individu serta cara individu mengekspresikan, memandang, meyakini

(15)

dan memberikan makna terhadap suatu yang mendorong individu untuk

bertindak dan meraih hasil yang optimal (high Performance).

Etos kerja dapat terbentuk apabila keinginan untuk dapat melakukan suatu pekerjaan dengan hasil pekerjaan yang maksimal. Adapun beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terbentuknya etos kerja yang baik antara lain adalah hubungan yang terjalin dengan baik

antar karyawan (human relation), situasi dan kondisi fisik dari lingkungan

kerja itu sendiri dan, faktor kepemimpinan organisasi. (Manullang,1990). Agar pelatihan tidak menjadi sesuatu yang rutinitas tanpa hasil yang jelas, maka sebelum pelatihan dilaksanakan, perlu langkah-langkah pemetaan kompetensi yang dibutuhkan oleh peserta latih, lalu dilanjutkan dengan upaya analisis kebutuhan pelatihan atau yang biasa disebut

dengan Training Need Assessment (TNA).

Melalui pemetaan kompetensi, akan diketahui seberapa besar kesenjangan yang terjadi antara kompetensi yang tersedia pada organisasi saat ini (kompetensi aktual) dan kompetensi yang diperlukan oleh organisasi (kompetensi ideal). Melalui pemetaan kompetensi ini dapat diketahui pula titik kesenjangan mana yang dapat ditingkatkan kompetensinya melalui pelatihan, dan pada bagian mana peningkatan kompetensi dilakukan melalui upaya lain di luar pelatihan. Sebab harus disadari bahwa pelatihan bukanlah merupakan satu-satunya upaya untuk mengatasi semua persoalan pada setiap jabatan di dalam organisasi.

Identifikasi kompetensi mempunyai makna yang signifikan guna menentukan program pelatihan yang akan dilaksanakan agar benar-benar sesuai dengan kebutuhan organisasi baik secara mikro maupun makro. Ini berarti upaya pelatihan haruslah terkait dengan tuntutan jabatan, pekerjaan dan tuntutan organisasi. Hal ini berarti semua upaya peningkatan kompetensi pejabat struktural melalui program pelatihan, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah pemetaan kompetensi kemudian dilanjutkan dengan membuat penilaian kebutuhan pelatihan. TNA ini diperuntukkan bagi setiap eselon dalam jabatan struktural sesuai dengan kompetensi

(16)

Assessment ini sangat penting karena pelatihan pada dasarnya hanya salah satu jalan, bukan satu-satunya jalan dalam peningkatan kompetensi SDM.

TNA sendiri pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk menganalisis kebutuhan organisasi yaitu kebutuhan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensinya masing-masing. Kegunaan utama dari TNA adalah sebagai upaya mendiagnosis masalah yang dihadapi oleh organisasi pada saat ini dan tantangan masa depannya. Dengan adanya TNA berdasarkan kompetensi yang jelas dengan standarnya maka dapat disusun suatu program pelatihan yang benar-benar sesuai dengan

kebutuhan organisasi (demand-driven), dan inefisiensi dalam bentuk

apapun dapat dieliminasi seminimal mungkin.

Pemetaan dan pengembangan kompetensi merupakan suatu hal yang harus dilakukan secara kontinyu dan terencana dalam suatu organisasi, artinya bahwa setiap pengembangan kompetensi SDM harus di dasarkan pada hasil analisis jabatan, sehingga pengembangan tersebut tepat orang, tepat kebutuhan sasaran dan tepat jumlah. Dengan demikian tidak ada pengembangan kompetensi SDM yang menjadi beban atau

inefisiensi dalam organisasi, akan tetapi pengembangan kompetensi SDM merupakan alat yang sangat strategis untuk meningkatkan kinerja masing-masing individu dan kinerja organisasi.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka upaya pemetaan kompetensi SDM PUSTRA serta melakukan penilaian kebutuhan pelatihan untuk meningkatkan ethos kerja sesuai dengan tuntutan kompetensi

adalah sangat relevan dan diperlukan. Berdasarkan gambaran

permasalahan yang riil diatas, maka tema utama dalam pembahasan ini adalah “PEMETAAN ETHOS KERJA DAN ANALISIS KEBUTUHAN PELATIHAN BAGI SDM PUSTRA PADA KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM”.

(17)

1.2. TUJUAN PEMBAHASAN

Tujuan pembahasan ini adalah sebagai berikut:

1. Memberikan gambaran tentang kesenjangan ethos kerja yang

terjadi antara ethos kerja yang diperlukan dan ethos kerja yang tersedia pada SDM PUSTRA Kementerian PU saat ini.

2. Memberikan gambaran tentang kebijakan dan pelatihan yang

diperlukan untuk mengatasi kesenjangan ethos kerja pada SDM PUSTRA Kementerian PU saat ini.

1.3. SASARAN

Tersusunnya program peningkatan etos kerja SDM yang dapat dijadikan acuan dalam penerapan reformasi birokrasi dan Tata kelola pemerintahan

yang baik (good governace) di lingkungan PUSTRA. yang mendukung

organisasi kelembagaan PUSTRA secara sinergis dan efisien serta peningkatan kinerja kelembagaan PUSTRA.

1.4. LINGKUP KEGIATAN

Untuk mencapai tujuan dan sasaran yang akan dicapai seperti yang

diuraikan di atas, maka ruang lingkup kegiatan pelaksanaan pekerjaan ini akan meliputi kegiatan :

1. Mengidentifikasikan dasar kebijakan dan Peraturan Perundang-undanganan terkait Etos kerja SDM terkait dengan reformasi birokrasi dan good governance.

2. Melakukan kajian literatur terhadap teori ethos kerja, reformasi

birokrasi, goor governance, dan pemetaan kebutuhan pelatihan.

3. Melakukan survey sekunder ke beberapa institusi sebagai studi banding kepada kelembagaan yang menerapkan etos kerja SDM selaras reformasi birokrasi.

4. Menselaraskan rumusan Etos kerja SDM PUSTRA sesuai dengan

nilai-nilai organisasi Kementerian PU dan prinsip-prinsip Tata kelola

pemerintahan yang baik (good governance) serta selaras dengan nilai-nilai organisasi Kementerian PU.

(18)

5. Melakukan Pemetaan etos kerja SDM PUSTRA yang dikaitkan dengan nilai-nilai organisasi Kementerian PU.

6. Melakukan Analisis Kebutuhan Pelatihan Ethos Kerja SDM dilingkungan PUSTRA

7. Memberikan program peningkatan etos kerja SDM PUSTRA melalui pelatihan-pelatihan terkait tugas SDM sesuai dengan Analisa Kebutuhan Pelatihan yang dilakukan.

8. Menyampaikan rekomendasi hasil evaluasi, analisis dan fasilitasi terkait program peningkatan etos kerja SDM PUSTRA.

1.5. MANFAAT PEMBAHASAN

Setelah pembahasan ini dilaksanakan dan mendapatkan hasil, maka manfaat pembahasan ini adalah :

1. Memberikan masukan bagi jajaran Pimpinan PUSTRA Kementerian

PU dalam penyusunan kebijakan kedepannya pada bidang peningkatan

kualitas SDM di PUSTRA.

2. Bagi seluruh SDM PUSTRA pembahasan ini bermanfaat untuk

memberikan gambaran mengenai kesenjangan ethos kerja mereka dan jenis kebutuhan pelatihan yang mereka butuhkan.

3. Memberikan masukan bagi perencana dan pelaksana program

pelatihan di PUSTRA dalam menyusun program pelatihan yang

berdasarkan pemetaan ethos kerja dan identifikasi kebutuhan pelatihan.

1.6. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN

Bab ini membahas mengenai materi yang menjadi latar belakang pekerjaan, tujuan, sasaran, ruang lingkup, manfaat dan keluaran.

BAB 2 GAMBARAN TEORI DAN KEBIJAKAN SERTA PENERAPAN ETOS

(19)

Bab ini membahas mengenai berbagai teori dan kebijakan terkait dengan etos kerja serta penerapan etos kerja berbasis budaya kerja pada instansi kementerian keuangan.

BAB 3 PENDEKATAN DAN METODOLOGI

Bab ini membahas mengenai pendekatan dan metodologi yang akan dilakukan dalam pelaksanaan pekerjaan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang diinginkan.

BAB 4 GAMBARAN UMUM PUSTRA PU

Bab ini membahas gambaran umum PUSTRA seperti Visi, Misi dan Peran Strategis PUSTRA, Struktur Organisasi, Kondisi SDM & Infrastruktur serta Program dan Kegiatan di PUSTRA.

BAB 5 PEMETAAN ETOS KERJA BERBASIS KOMPETENSI & NILAI ORGANISASI

Bab ini membahas rangkaian pekerjaan terkait proses pemetaan etos kerja seperti Penyusunan kamus dan model Ethos Kerja, Analisis Ethos Kerja serta Pemetaan Ethos Kerja.

BAB 6 ANALISIS KEBUTUHAN KEBIJAKAN DAN KEBUTUHAN DIKLAT

Bab ini membahas proses analisa kebutuhan Diklat yang meliputi Analisa Hambatan Diklat & Non Diklat dan Analisa Kebutuhan Pelatihan Ethos Kerja.

BAB 7 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Bab ini membahas Kesimpulan dan Rekomendasi dari rangkaian pekerjaan ini.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(20)

Bab

2

TINJAUAN PUSTAKA DAN

TINJAUAN PENERAPAN

2.1. TINJAUAN YURIDIS IMPLEMENTASI REFORMASI BIROKRASI

Reformasi birokrasi merupakan konsistensi kebijakan pemerintah terhadap implementasi dari UU no 17 tahun 2007 tantang RPJPN 2005 - 2025. Dengan birokrasi yang transparan, bersih dan profesional, maka visi Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur akan dapat terwujud. Kesuksesan PRJPN juga membutuhkan komitmen dari kepemimpinan disetiap level organisasi pemerintah.

Reformasi birokrasi pada hakekatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek berikut :

• Kelembagaan (organisasi)

• Ketatalaksanaan (business process) • Sumber daya manusia aparatur (SDM)

Adapun acuan rinci tentang Visi, Misi, Tujuan, Sasaran dan Program Reformasi Birokrasi adalah sebagai berikut :

2.1.1. VISI DAN MISI

Adapun Visi dan Misi Reformasi Birokrasi adalah sebagai berikut :

Visi Reformasi Birokrasi

(21)

Misi Reformasi Birokrasi

1. Membentuk dan atau menyempurnakan peraturan perundang-undangan

sebagai landasan hukum tata kelola pemerintahan yang baik;

2. Memodernisasi birokrasi pemerintahan dengan optimalisasi pemakaian teknologi informasi dan komunikasi;

3. Mengembangkan budaya, nilai-nilai kerja dan perilaku yang positif; 4. Mengadakan restrukturisasi organisasi (kelembagaan) pemerintahan; 5. Mengadakan relokasi dan meningkatkan kualitas SDM termasuk

perbaikan sistem remunerasi;

6. Menyederhanakan sistem kerja, prosedur dan mekanisme kerja; 7. Mengembangkan mekanisme kontrol yang efektif

2.1.2. TUJUAN Tujuan Umum

Membangun profil dan perilaku aparatur negara yang berintegritas tinggi, produktif, dan mampu memberikan pelayanan yang prima kepada publik/masyarakat

Tujuan Khusus

Membangun birokrasi yang bersih, efektif, efisien, transparan dan akuntabel dalam melayani dan memberdayakan masyarakat

2.1.3. SASARAN

Secara umum, sasaran reformasi birokrasi adalah mengubah pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) serta sistem manajemen pemerintahan. Secara khusus mencakup hal-hal berikut :

(22)

Tabel 2.1 Sasaran Reformasi Birokrasi

No AREA PERUBAHAN HASIL YANG INGIN DICAPAI 1 Kelembagaan

(organisasi)

organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran (rights sizing)

2 Budaya Organisasi Birokrasi dengan integritas dan kinerja yang tinggi 3 Ketatalaksanaan Sistem, proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efi

sien, terstruktur dan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance

4 Regulasi – Deregulasi Birokrasi

Regulasi yang lebih tertib, tidak tumpang tindih dan kondusif

5 Sumber Daya Manusia

SDM yang berintegritas, kompeten, profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera.

2.1.4. OUTPUT: GOOD GOVERNANCE

Indikator output Reformasi Birokrasi adalah : • Bebas dari KKN

• Pelayanan yang prima • Peningkatan investasi • Peningkatan APBN

• Tidak ada keluhan masyarakat.

2.1.5. OUTCOME: PENINGKATAN KESEJAHTERAAN UMUM

Indikator outcome Reformasi Birokrasi adalah : • Angka kemiskinan dan pengangguran berkurang. • Aparatur Negara yang profesional & bermoral.

Untuk mendapatkan hasil tersebut di atas, maka setiap Kementerian Pekerjaan Umum harus membuat perencanaan strategik, manajemen strategik dan

(23)

manajemen kinerja.

Kriteria instansi pemerintah yang memiliki kinerja tinggi (High Performing

Government) :

• Memiliki visi dan misi organisasi yang jelas

• Memiliki perencanaan secara sistematis dan aspiratif serta berdasarkan kinerja

• Memiliki manajemen dan prosedur kerja yang jelas

• Adanya konsistensi antara perencanaan dengan pelaksanaan • Berorientasi pada hasil kegiatan dan manfaat kegiatan

• Menjalankan Tupoksi secara konsissten

• Memiliki disiplin, loyalitas dan etos kerja yang tinggi • Memiliki kinerja pelayanan publik yang optimal

2.1.6. NILAI DASAR BUDAYA KERJA APARATUR

Budaya pedoman aparatur pemerintah ditetapkan dengan Keputusan Menpan no. 25/Kep/M.Pan/4/2002 tentang Pedoman Budaya Kerja Aparatur. Dalam Modul 4 Pengembangan Budaya Kerja Aparatur disebutkan “Dalam konteks aparatur negara, nilai budaya dasar kerja terdiri atas 34 unsur nilai atau 17 pasang nilai yang diharapkan dapat dikembangkan oleh setiap aparatur negara, sehingga antara nilai yang diyakini dan kerja sebagai bentuk aktualisasi keyakinan tersebut, akan menumbuhkan motivasi dan tanggung jawab terhadap peningkatan produktivitas kinerja.

Nilai-nilai dasar dimaksud adalah sebagai berikut” : Tujuh belas Pasang Nilai– nilai Dasar Budaya Kerja Aparatur Negara sebagai pedoman dalam bersikap dan berperilaku meliputi :

1. Komitmen dan Konsisten; (terhadap visi,misi dan tujuan organisasi) 2. Wewenang dan Tanggung-Jawab; (yang jelas, tegas dan seimbang)

3. Keikhlasan dan Kejujuran; (yang menumbuhkan kepercayaan masyarakat dan kewibawaan pemerintah)

(24)

4. Integritas dan Profesionalisme; (yang konsisten dalam kata dan perbuatan serta ahli dalam bidangnya)

5. Kreativitas dan Kepekaan; (yang dinamis mendorong kearah efisiensi dan

efektivitas)

6. Kepemimpinan dan Keteladanan; (yang mampu mendayagunakan kemampuan potensi bawahan secara optimal)

7. Kebersamaan dan Dinamika Kelompok; (yang mendorong agar cara kerjanya tidak bersifast individual dan pusat kekuasaan tidak pada satu tangan)

8. Ketepatan dan Kecepatan; (adanya kepastian waktu, kuantitas, kualitas dan finasial yang dibutuhkan)

9. Rasionalitas dan Kecerdasan Emosi; (keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan emosional)

10. Keteguhan dan Ketegasan; (yang tidak mudah terpengaruh oleh pihak yang merugikan diri dan negaranya)

11. Disiplin dan Keteraturan Kerja; (yang mengacu kepada standar operasional prosedur)

12. Kebersamaan dan Kearifan; (yang dihasilkan dari adanya pendelegasian wewenang)

13. Dedikasi dan Loyalitas; (terhadap tugas yang bersumber pada visi,misi dan tujuan organisasi)

14. Semangat dan Motivasi; (yang didorong oleh keinginan memperbaiki keadaan secara perorangan maupun organisasional)

15. Ketekunan dan Kesabaran; (yang didasarkan kepada tanggung jawab terhadap tugas yang diamanahkan)

16. Keadilan dan Keterbukaan; (sesuai dengan keinginan masyarakat)

17. Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; (sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin maju

(25)

2.1.7. PENILAIAN KINERJA APARATUR PEMERINTAH

Selama ini penilaian kinerja PNS mengacu pada PP No 10 TAHUN 1979 tentang PENILAIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN PEGAWAI NEGERI SIPIL. Pada PP tersebut disebutan pada BAB II Pasal 4 ayat 2 tentang Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) dengan unsur-unsur yang dinilai adalah :

a. kesetiaan; b. prestasi kerja; c. tanggung jawab; d. ketaatan; e. kejujuran; f. kerjasama; g. prakarsa; dan h. kepemimpinan.

Sejalan dengan implementasi Reformasi Birokrasi, Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara akan segera mengajukan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), pengganti PP 10 tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai negeri Sipil yang sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan sekarang. Sekretaris Kementerian Negara PAN Tasdik Kinanto, mengemukakan RPP yang akan diterbitkan guna penilaian kinerja PNS lebih objektif, terukur, akuntabel, partisipasif dan transparan, sehingga terwujudnya pembinaan PNS berdasarkan prestasi kerja dan sistem karier.

Penilaian ini bertujuan untuk lebih mendorong karier PNS, karena instrumen penilaian berupa sasaran kinerja Individu, yang melibatkan seorang PNS mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan output suatu pekerjaan yang dibebankan kepada PNS yang bersangkutan.

Penilaian kinerja PNS menurut PP No 10 TAHUN 1979 tidak berhubungan dengan pencapaian tujuan, visi, dan misi organisasi sehingga pegawai tidak mengetahui apa yang diharapkan organisasi dan bagaimana cara memenuhi

(26)

harapan tersebut. Penilaian ini tidak menghasilkan informasi untuk pengembangan Pegawai Negeri Sipil dan unit kerja.

Perubahan yang mendasar didalam penilaian, adanya unsur Sasaran Kerja Individu (SKI) yang mewajibkan setiap Pegawai Negeri Sipil harus menyusun SKI berdasarkan Rencana Kerja Tahunan. SKI disetujui dan ditetapkan oleh pejabat penilai yang memuat kegiatan tugas pokok jabatan, bobot kegiatan, sasaran kerja dan target yang harus dicapai. SKI bersifat nyata dan dapat diukur. Nilai bobot kegiatan didasarkan pada tingkat kesulitan dan prioritas dengan jumlah bobot keseluruhan 100 yang ditetapkan setiap tahun pada bulan Januari.

Penilaian prestasi kerja terdiri dari SKI dan Perilaku Kerja, dengan bobot nilai unsur SKI sebesar 60% dan unsur Perilaku Kerja sebesar 40%. Penilaian SKI meliputi aspek :

• kuantitas • waktu • kualitas • biaya

Sedangkan penilaian perilaku kerja meliputi : • orientasi pelayanan, kerjasama,

integritas, kepemimpinan,

komitmen, kejujuran,

disiplin, kreatifitas. (Sumber: http://www.menpan.go.id)

2.2. TINJAUAN YURIDIS IMPLEMENTASI TATA KELOLA PEMERINTAHAN

YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE) DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN

PEKERJAAN UMUM

a. TAP MPR No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN.

(27)

 Memfungsikan secara proporsional Lembaga-Lembaga Negara Legislatif – Eksekutif – Yudikatif.

 Partisipasi masyarakat/berkembangnya kontrol sosial dalam semua

aspek kehidupan nasional yang berkeadilan.

 Penyelenggara Negara yang jujur, adil, terbuka, terpercaya, bebas KKN.

b. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN

o Tujuh asas umum Penyelenggaraan Negara

 Kepastian hukum

 Tertib Penyelenggara Negara

 Kepentingan Umum

 Keterbukaan

 Proporsionalitas

 Profesionalitas

 Akuntabilitas

o Penyelenggara Negara tidak melakukan KKN.

o Peran serta masyarakat mewujudkan Penyelenggara Negara yang

bersih dan bebas KKN.

c. Peraturan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2005 tentang RPJM Nasional Tahun 2004 - 2009

Bab 14 : Penciptaan Tata Pemerintahan Yang Bersih dan Berwibawa

Sasaran Umum

 Terciptanya tata pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa,

profesional dan yang bertanggung jawab

 Sosok dan perilaku birokrasi yang efisien dan efektif serta dapat

(28)

Sasaran Khusus

 Berkurangnya praktek KKN

 Sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintahan yang

bersih, efisien, efektif, transparan, professional dan akuntabel.

 Terhapusnya aturan dan praktek diskriminatif pada warganegara,

kelompok dan golongan masyarakat.

 Partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik.

 Konsistensi peraturan pusat dan daerah dengan peraturan

perundang-undangan diatasnya.

D. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara RI Nomor PER/15.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi

Peraturan ini digunakan sebagai sumber referensi dan acuan bagi Kementerian/ Lembaga/ Pemerintah Daerah untuk menyusun dan melaksanakan program reformasi birokrasi di lingkungan masing-masing.

E. Peraturan Perundang-undangan Bidang Pekerjaan Umum

Reformasi terhadap peraturan perundang-undangan bidang Pekerjaan Umum telah dilakukan dengan merubah sistem penyelenggaraan pembangunan, yang telah ditetapkan dalam Renstra Kementerian Pekerjaan Umum, yang secara jelas disajikan pada Gambar 2.5

(29)

Gambar 2.1 : Reformasi Pengaturan Bidang Pekerjaan Umum

F. Penataan Organisasi Kementerian Pekerjaan Umum

1. Penataan kembali organisasi Kementerian Pekerjaan Umum yang berbasis kompetensi dan desentralisasi ditengarai dengan adanya beberapa tantangan yang memerlukan perhatian seperti :

a) Tuntutan reformasi Birokrasi;

b) Penanggung jawab penyelenggaraan infrastruktur nasional;

c) Lingkungan dan sistem kerja yang kurang mendorong untuk berprestasi;

d) Isu pasar bebas industri jasa konstruksi, perkembangan teknologi informasi dan rendahnya pelayanan publik;

Di samping itu ada beberapa isu nasional yang berdampak terhadap penataan organisasi dan SDM PU kedepan, antara lain :

a) Terhadap Organisasi

 Berlandaskan kepada visi dan misi organisasi yang jelas

 Pembagian tugas,dan fungsi, wewenang dan tanggung jawab

harus jelas dan lugas;

 Ramping dan sesuai kebutuhan;

P PEENNGGAATTUURRAANNBBIIDDAANNGGKKEE--PPUU--AANN Y YAANNGGTTEELLAAHH//AAKKAANNDDIISSEESSUUAAIIKKAANN _ _____________________________________________________________

UUUUnnoo..1188ttaahhuunn11999999tteennttaannggJJaassaaKKoonnssttrruukkssii;;

UUUU nnoo.. 88 ttaahhuunn 22000022 tteennttaanngg BBaanngguunnaann G Geedduunngg;;

UUUUnnoo..77ttaahhuunn22000044tteennttaannggSSDDAA((PPeennggggaannttii U UUUnnoo..1111ttaahhuunn7744tteennttaannggPPeennggaaiirraann))

UUUUnnoo..3388ttaahhuunn22000044tteennttaannggJJaallaann((PPeennggggaannttii U UUUnnoo..1133ttaahhuunn8800tteennttaannggJJaallaann))

UUUU NNoo.. 2266 ttaahhuunn 22000099 tteennttaanngg PPeennaattaaaann R Ruuaanngg ((PPeennggggaannttii UUUU NNoo.. 2244 ttaahhuunn 11999922 t teennttaannggPPeennaattaaaannRRuuaanngg))

RRuummuussaann aakkhhiirr rreevviissii UUUU NNoo.. 44 ttaahhuunn 11999922 t teennttaannggPPeerruummaahhaannddaannPPeerrmmuukkiimmaann:: PENYEMPURNAAN SISTEM PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN

SNI Bidang PU

Tata cara pengadaan jasa konstruksi

Tata cara pengendalian pekerjaan konstruksi

Tata cara pengelolaan dan pendayagunaan aset

Tata cara pemeriksaan menyeluruh meliputi aspek keuangan dan keteknikan

Penataan SDM Aparatur

TELAH DITETAPKAN DALAM RENSTRA DEP. PU 2005 – 2009

(30)

 Mempunyai jejaring (network Organization);

 Merupakan pembelajaran (learning Organization);

 Jabatan strukturan dan fungsional setara;

 Berorientasi pada output, outcome dan impact;

b) Terhadap SDM

 Komitmen pimpinan;

 Profesionalisme;

 Budaya team works;

 Pemanfaatan teknologi informasi;

 Desentralisasi.

2. Tujuan penataan kembali organisasi Kementerian Pekerjaan Umum adalah :

a) Mengantisipasi masyarakat dan stakeholder (orientasi pada

pelayanan);

b) Mendukung sektor-sektor lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas lingkungan melalui penyediaan infrastruktur PU yang andal;

(31)

Gambar 2.2 : Pengorganisasian Kembali Kementerian PU Berbasis Kompetensi

NORMA/ LANDASAN HUKUM

KEBIJAKAN NASIONAL

PRINSIP TATA KELOLA PEME RINTAHAN YANG BAIK TANGGUNG JAWAB PENYEDIAAN DAN PENGELOLAAN INFRASTRUKTUR PU

PERAN PUSAT - Penetap Kebijakan - Penyusunan rencana secara makro

- Regulator dan Fasilitator

PERAN DAERAH - Perencana - Pelaksana - Pengelola TUGAS PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR YANG DITANGANI PUSAT

LINTAS NEGARA

LINTAS PROVINSI

STRATEGIS NASIONAL

ORGANISASI PU BERBASIS KOMPETENSI

REKRUTMEN PEJABAT SECARA obyektif, kompetensi, integritas dan sosiometri

(32)

Gambar 2.3 : Peningkatan Transparasi dan Pembangunan Sistem Informasi Sejak tahun 2001 PENYEBARAN INFORMASI Kepada masyarakat melalui pemanfaatan “TEKNOLOGI INFORMATIKA” Saat ini PENGEMBANGAN DATA & INFORMASI INFRASTRUKTUR PU

Informasi Kegiatan Pembangunan

Sistem Pemantauan Pelaksanaan Kegiatan

Pengembangan peta dan statistik

Sistem semi e-Procurement

Saran dan pengaduan masyarakat Rencana ke depan Pengembangan sistem e-Procurement

Pengadaan Barang dan Jasa secara penuh jika payung hukum

keabsahan transaksi elektronik telah diatur dalam UU

(33)

Gambar 2.4 : Pendekatan Pembangunan Infrastruktur Kementerian PU COMMUNITY BASED KOLEKTIF LEMBAGA SWADAYA MASYARA KAT INDIVIDU PER ORANGAN PEMERINTAH (ENABLER) APARATUR PEMERINTAH: -PUSAT- DAERAH MASYARAKAT & DUNIA USAHA PROVIDER PUBLIC SERVICES DINAS PEMERINTAH CORPORATE SERVICES BADAN USAHA:

-

PEMERINTAH

-

SWASTA Dibangun dengan Pemulihan tak lang sung (Sistem Perpa Jakan) Dibangun dengan Pemulihan langsung Oleh Beneficiaries (Charging) Dibangun dengan Swadaya masya- rakat (dengan/tanpa Dukungan Pemerintah)

(34)

INPRES RI NO. 5 THN 2004

PERCEPATAN PEMBERANTASAN KORUPSI

RENCANA AKSI NASIONAL PEMBERANTASAN KORUPSI 2004 - 2009 PEMERIKSAAN MENYELURUH PEMERIKSAAN KHUSUS TEMUAN PEMERIKSA AN PENINDAKAN LANJUTAN • PELIMPAHAN PENA GIHAN KERUGIAN NEGARA PADA DITJEN PLN – DEP. KEU • PELIMPAHAN KASUS KEPADA APARAT HUKUM • POLISI • KEJAKSAAN KEGIATAN : PENTING: • PENGADAAN BARANG/JASA TRANSPARAN, KOMPETITIF, ADIL, AKUNTABEL

• TERTIB DAN EFISIENSI PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA DI 5 SEKTOR TERBESAR (TERMASUK PU)

• PENCAPAIAN KINERJA INSTANSI BERUPA HASIL DAN MANFAAT • PENINGKATAN PELAYANAN PUBLIK • PENINGKATAN AKSES UNTUK PENGADUAN MASYARAKAT FOKUS : • AUDIT PROSES PENGADAAN • POST AUDIT PENGADAAN TERTENTU • AUDIT MUTU • AUDIT ASET • PENILAIAN MANFAAT • PENILAIAN KINERJA ES 1 • AUDIT BINTEK/WASTEK PELAYANAN PUBLIK • TL WASMAS PEMBOROS-AN & KERUGIAN KEUANGAN NEGARA TERUTAMA: PENINDAKAN AWAL • MASUKAN PEMBINAAN • NEGATIVE LIST APARAT TUR PEMERINTAH • BLACK LIST REKANAN • TP / TGR

SINERGITAS PENGAWASAN ANTARA ITJEN

DENGAN BPKP & ITWILPROV

(35)

2.3. TINJAUAN YURIDIS TERKAIT BUDAYA KERJA ORGANISASI PADA KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM

2.3.1. ACUAN NORMATIF

Pengembangan Nilai Organisasi & Budaya Kerja Kementerian Pekerjaan Umum berlandaskan pada :

• UU no 17 Tahun 2007 tantang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005 – 2025.

• PP No 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil.

• PP No 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil.

• Kepmen PAN No. 25/ KEP/M.PAN/4/2002 Tentang Pedoman

Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara.

• Permen PAN No. PER/ 15/M.PAN/ 7/ 2008 Tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi beserta lampirannya.

• Kepmen PU. No. 150/A/KPTS/1966 Tanggal 10 Nopember 1966 tentang Lambang Departemen Pekerjaan Umum.

• Kepmen PU No. 426/ KPTS/ 1986 tanggal 16 September 1986 tentang Mars PU.

• Permen PU Nomor: 03 /PRT/M/2007 Perubahan Atas Permen DU No 51/PRT/2005 tentang Rencana Strategis Departemen Pekerjaan Umum tahun 2005 – 2009 beserta lampirannya.

• Permen PU No 04/PRT/M/2009 Tentang Sistem Manajemen Mutu (SMM) Departemen Pekerjaan Umum.

(36)

2.4. TINJAUAN TEORITIS TERKAIT ETOS KERJA

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesa, etos didefinisikan sebagai pandangan hidup yg khas dari suatu golongan sosial. Sedangkan etos kerja diartikan sebagai semangat kerja yg menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok. Etos berasal dari bahasa Yunani (etos) yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat.

Menurut Taliziduhu Ndraha (2003) nilai itu bersifat abstrak. Ia baru dapat

diamati atau dirasakan jika terekam atau termuat pada suatu wahana atau vehicle

(V), persis seperti suara pada pita, program pada disket, gambar pada film, atau

muatan pada gerobak. Vehicles itulah budaya. Jadi antara nilai dan budaya tidak

dapat dipisahkan, dan antara keduanya harus ada keselarasan (searah dan setujuan). Nilai kerja sering diartikan sebagai etos kerja.

Secara terminologis kata etos, yang mengalami perubahan makna yang meluas. Digunakan dalam tiga pengertian yang berbeda yaitu:

 Suatu aturan umum atau cara hidup;

 Suatu tatanan aturan perilaku.atau penyelidikan tentang jalan hidup

 Seperangkat aturan tingkah laku.

Dalam pengertian lain, etos dapat diartikan sebagai thumuhat yang

berkehendak atau berkemauan yang disertai semangat yang tinggi dalam rangka mencapai cita-cita yang positif. Sedangkan akhlak atau etos menurut Ahmad Amin adalah membiasakan kehendak. Etos adalah sikap yang tetap dan mendasar yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dalam pola hubungan antara manusia dengan dirinya dan diluar dirinya.

Proses pembelajaran pada individu dan organisasi akan menghasilkan pengetahuan. Kumpulan pengalaman selama kurun waktu dan peristiwa akan semakin mengkokohkan pengetahuan yang dapat mempengaruhi dalam proses pengambilan keputusan untuk bertindak dan memandang masa depan. Beberapa pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang dan organisasi akhirnya berubah menjadi prinsip, nilai dan keyakinan. Asumsinya jika mereka menerapkan atau

(37)

mempraktekkan prinsip, nilai dan keyakinan yang dimilikinya, maka akan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2.4.1. PENGERTIAN ETOS KERJA PROFESIONAL

Etos kerja akan menjadi kunci di dalam keberhasilan jalannya suatu organisasi atau lembaga, indikatornya dapat dilihat dalam bentuk tampilan perilaku dan budaya kerja anggota atau warganya.

Etos kerja memiliki peranan yang sangat penting mengingat sumberdaya manusia sebagai aset yang sangat penting dalam sebuah instusi dan menjadi aset yang paling utama (primer) untuk dikembangkan. Sedangkan aset-aset lainnya bersifat sekunder.

Menurut J.H Sinamo, 2005 dalam Buku 8 Etos Kerja Profesional: etos kerja adalah elemen sukses paling primer. Ibarat pohon, etos kerja adalah akarnya, pengetahuan adalah batangnya, keterampilan organisasional adalah daun dan rantingnya, sedangkan uang dan barang-barang material adalah buahnya.

Akan tetapi jika sebuah institusi menginginkan sebuah keberhasilan yang optimal tidak hanya cukup dengan etos kerja saja. Disamping etos kerja, untuk kesuksesan atau keberhasilan sebuah institusi juga harus mengembangkan pengetahuan dan keterampilan organisasional berkembang secara proporsional. Selain itu, etos kerja yang baik harus pula diimbangi dengan pengetahuan ekonomi dan keterampilan manajerial.

2.4.2. URGENSI ETOS KERJA PROFESIONAL

Apa yang dibayangkan jika gedung berlantai 8 dengan struktur pondasi hanya dengan 3 lantai. Tentunya akan roboh. Apa yang terjadi, jika perusahaan mematok kinerja dan target produksi dengan sangat tinggi, sementara pondasi moral dan etos kerja tidak dibangun dengan kuat. Mereka akan bekerja dengan baik selama ada supervisi, kecukupan gaji dan pujian.

Kerja sangat dipengaruhi oleh mental dan faktor eksternalitas. Namun untuk sukses jangka panjang, hakiki dan diri sendiri mengandalkan struktur pondasi yang kuat. Pondasi itu adalah keyakinan, prinsip dan tanggung jawab.

(38)

Jika kita memiliki pekerjaan yang berat, dan harus diselesaikan dengan memakan waktu yang lama, maka etos kerja sangat dibutuhkan. Jika karya besar ingin selesai, jika pekerjaan yang berkualitas akan selalu menghasilkan produk yang memenuhi standar, jika kita ingin mendapatkan suasana kerja tanpa supervisi, jika orang bekerja tidak melihat lagi imbalan sebagai alat motivatsi utama, maka kita semakin membutuhkan kekuatan etos kerja yang bersumber dari akhlak mulia.

Pada prinsipnya orang akan senang menolong orang yang kesusahan. Sebaliknya, karena kesusahan dan ujian bukan pilihan dan keinginan, siapapun orangnya akan senang jika ada yang menolong. Bekerja untuk kebutuhan diri maupun karena orang lain sangat dipengaruhi oleh suasana emosi, nilai dan keyakinan seseorang. Itulah etos yang sangat dibutuhkan dalam bekerja agar lebih konsisten.

2.4.3. LANGKAH-LANGKAH DALAM MEMBANGUN ETOS KERJA

Suatu individu atau kelompok agar memiliki etos kerja yang baik dimulai dari cara pandangnya terhadap kerja itu sendiri. Cara pandang yang positif terhadap kerja adalah langkah awal dalam membentuk etos kerja yang baik. Berikut adalah beberapa cara pandang positif terhadap kerja:

1. Mempunyai penilaian yang positif terhadap hasil kerja manusia

2. Menempatkan kerja sebagai suatu hal yang amat luhur bagi eksistensi manusia 3. Merasakan kerja sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan manusia 4. Menghayati kerja sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan dan

sekaligus saran yang penting dalam mewujudkan cita-cita. 5. Melakukan kerja sebagai bentuk ibadah.

Seseorang bersikap yang baik terhadap kerja dan hasilnya akan bergairah dalam menjalankan tugasnya dan memudahkannya untuk membangun keyakinan bahwa kerja itu adalah bagian dari ibadahnya.

Etos kerja yang baik harus sesuai dengan jati diri seseorang. Jangan pernah berpikir dapat meniru seratus persen etos kerja orang lain. Seseorang secara tulus harus menilai dirinya serta menggali potensi dan nilai-nilai positif yang ada dalam dirinya. Etos kerja pribadi harus berdiri tegak di atas keyakinan yang kuat pada nilai-nilai yang ada diri seseorang, kemudian ditumbuh kembangkan dengan cara

(39)

berpikir, bertindak, kebiasaan dan lingkungan yang kondusif. Jangan pernah sekalipun bekerja karena terpaksa, sebab etos kerja yang baik tidak mungkin lahir dari keterpaksaan. Etos kerja yang baik justru akan lahir dari pribadi-pribadi yang menilai dirinya unik, spesial dan memiliki kualitas tinggi.

Membangun etos kerja juga membutuhkan ketulusan dari lubuk hati dalam membiasakan diri dengan cara berpikir dan bertindak yang positif untuk memberikan kerja terbaik bagi semua pihak tanpa terkecuali. Semua pihak seyogjanya merasa aman, nyaman dan bahagia dengan kerja yang diberikan. Untuk itu diperlukan stimulus yang terus menerus, baik berupa teladan dari pihak lain, mengikuti pelatihan yang relevan maupun pencarian wawasan dan pengetahuan, agar benih-benih etos kerja yang ada semakin berkembang. Langkah selanjutnya adalah membiasakan diri untuk berperilaku positif secara terus menerus.

Beberapa perilaku positif yang berkaitan dengan kerja diantaranya adalah:

Pertama, bekerja dengan cara yang terbaik atau tidak asal-asalan. Selalu berupaya

memberikan yang terbaik dan menganggap serius setiap pekerjaan.

Kedua, melakukan manajemen kerja secara baik. Semua pekerjaan diawali dengan

perencanaan yang baik dan jelas tahapannya, serta implementasi yang selalu fokus pada targetnya.

Ketiga, memanfaatkan setiap peluang yang ada. Peluang tidak pernah datang dua

kali, karenanya setiap peluang yang ada harus dapat digunakan sebaik mungkin. Peluang yang terlewat umumnya jarang sekali muncul kembali.

Keempat, tidak pernah menunda pekerjaan. Pekerjaan yang tertunda akan

menumpuk dan pada akhirnya akan mengganggu pekerjaan yang lain, bahkan menggagalkan pencapaian tujuan yang lebih besar. Pekerjaan seharusnya dikerjakan sampai tuntas dan berkualitas.

Kelima, siap bekerja sama dengan orang lain. Kesuksesan itu tidak mungkin dicapai

sendirian tanpa melibatkan orang lain. Hakikat kesukesesan adalah kesuksesan bersama, bukan yang kesuksesan satu orang yang mendatangkan kerugian dan kesengsaraan pada orang lain.

(40)

Keenam, mensyukuri apa yang dihasilkan dari pekerjaan. Syukur tidak sama dengan berpuas diri. Syukur berarti berbesar hati menerima hasil dengan tidak mengurangi evaluasi yang obyektif atas hasil yang dicapai, serta menjadikan hasil yang dicapai tersebut sebagai pendorong untuk bekerja lebih tepat agar memperoleh hasil yang lebih baik.

2.4.4. HAMBATAN DAN SOLUSINYA

Mochtar Lubis dalam bukunya Manusia Indonesia, mengungkapkan adanya

karakteristik negatif tertentu yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Karateristik negatif tersebut dapat menjadi penghambat dalam membangun etos kerja yang baik, yaitu:

munafik, tidak bertanggung jawab, feodal, percaya pada takhyul dan lemah wataknya. Hal senada juga banyak diungkapkan oleh para pemikir tentang karateristik negatif tersebut, misalnya bangsa Indonesia dianggap senang dengan

budaya instant dan loyo.

Penulis yang lain berpendapat beberapa ciri yang dapat menjadi penghambat bagi bangsa Indonesia untuk memiliki etos kerja yang baik adalah: mudah percaya

pada takhyul, alon-alon asal kelakon yang menjurus pada kemalasan, kelambanan

dan tidak gigih, sikap gampangan dan menganggap enteng permasalahan, nrimo

yang tidak pada tempatnya dan akhirnya menjadi fatalis, serta beranggapan bahwa kerja kasar itu adalah pekerjaan yang hina.

Solusi terhadap hal ini adalah suatu usaha perubahan secara menyeluruh terhadap ciri-ciri tersebut. Usaha yang paling efektif adalah melalui jalan pembentukan iman dan takwa sesuai agama masing-masing. Setiap agama pasti mengajarkan dan menuntut setiap pemeluknya untuk memiliki etos kerja yang positif.

Selain hal tersebut, juga diperlukan teladan yang baik dari para pemimpin, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, organisasi maupun sampai kepada tingkat negara. Keteladanan yang baik akan memberikan dampak yang sangat besar bagi anggota masyarakat. Keteladanan jauh lebih besar pengaruhnya ketimbang berbagai pidato, instruksi, anjuran atau perintah. Setiap anggota masyarakat atau

(41)

organisasi tidak akan merasa sia-sia dalam melaksanakan etos kerja positif, bila pimpinannya selalu mencontohkan hal seperti itu.

Terakhir adalah kondisi yang kondusif yang mendorong setiap anggota masyarakat atau organisasi untuk terbiasa memiliki etos kerja yang baik. Semakin baik etos kerjanya, akan semakin besar pula penghargaan yang akan diterima. Kondisi dimana kerja atau tidak kerja penghargaan atau penghasilan sama saja tentu akan kontra produktif dengan upaya pembentukan etos kerja yang baik.

2.4.5. MEMBANGUN ETOS KERJA : BEKERJA SEMPURNA

Membangun pemahaman untuk merubah keyakinan dan prinsip akan menguatkan nilai-nilai bekerja. Membangun nilai-nilai atau etos dalam bekerja akan membuat kekokohan seseorang dalam bekerja. Kebersamaan dalam bekerja dapat membangun semangat bekerja. Lihat alur tersebut dalam kegiatan yang lebih operasional dalam tabel berikut :

Tabel 2.2 : Membangun Pemahaman Untuk Etos Dan Kesempurnaan Kerja

Pemahaman Kerja

Keyakinan, Prinsip dan Nilai Kerja

Etos Kerja Bekerja Sempurna

Banyak membaca dan belajar yang berhubungan dengan pekerjaan. Menemukan jawaban “mengapa pekerjaan yang dilakukan penting?”.

Mulai mencari tahu bagaimana untung ruginya dan cara-cara meningkatkan kualitas pekerjaan.

Dengan bertambahnya wawasan dan mendalamnya

pemahaman, maka akan menguatkan keyakinan dan menumbuhkan nilai-nilai kerja yang kita lakukan.

Banyak merenung, apa hubungannya kerja yang dilakukan dengan perintah Tuhan Allah SWT, kemanfaatan diri, masyarakat dan.

Mencari tahu hakekat kerja, modus kerja, alasan kerja.

Renungkan keuntungan

melakukan kerja dan kebaikan-kebaikan dari efek bekerja.

Buatlah perencanaan kerja dan target kerja Temukan & penuhi kebutuhan pelanggan dalam bekerja.

Buatlah sistem sosial dalam bekerja: saling menasihati,

mengingatkan dan membantu.

(42)

Gambar 2.7 : Proses Membangun Etos Kerja

2.4.6. BEBERAPA ETOS ORANG BEKERJA

Jika rumah membutuhkan pondasi, maka kerja membutuhkan etos. Berikut ini delapan alasan orang bekerja menurut Sinamo (2005) :

Tabel 2.3. Etos Orang Bekerja

No ETOS KERJA PERFORMANCE KINERJA

1 Kerja adalah rahmat, Penuh syukur

2 Kerja adalah amanah Penuh tanggung jawab 3 Kerja adalah panggilan Penuh integritas 4 Kerja adalah aktualisasi Penuh semangat 5 Kerja adalah ibadah Penuh kecintaan 6 Kerja adalah seni Penuh kreativitas 7 Kerja adalah kehormatan Penuh keunggulan 8 Kerja adalah pelayanan Kerendahan hati

(43)

2.4.7. BENCHMARKING: ETOS KERJA NEGARA LAIN

Kualitas kerja pribadi dipengaruhi oleh nilai-nilai pribadi. Semakin besar jumlah orang yang akan diubah, maka semakin besar kekuatan yang dibutuhkan. Berikut ini kajian etos kerja dari beberapa negara yang dipersepsikan banyak orang sebagai negara produktif dan maju dengan karya-karyanya.

Tabel 2.4. Etos Kerja Negara Negara Maju Dan Produktif

Korea Selatan Jerman Jepang

 Kerja keras  Disiplin  Berhemat  Menabung  Mengutamakan pendidikan  Bertindak Rasional  Berdisiplin Tinggi  Bekerja Keras  Berorientasi Sukses Material  Tidak Mengumbar Kesenangan

 Hemat dan Bersahaja  Menabung dan

Berinvestasi

 Bersikap Benar dan Bertanggungjawab  Berani dan Kesatria  Murah Hati dan Mencintai  Bersikap Santun dan

Hormat

 Bersikap Tulus dan Sungguh-sungguh  Menjaga Martabat dan

Kehormatan

 Mengabdi dan Loyal

Diolah dari berbagai sumber

2.5. TINJAUAN TEORITIS TERKAIT REFORMASI BIROKRASI

Mengapa harus dilakukan reformasi pada birokrasi? Pertanyaan ini menjadi teramat penting untuk dilontarkan, karena pada mulanya implementasi konsep birokrasi yang diperkenalkan Max Weber pada organisasi yang memiliki rentang kendali luas dan rumit, adalah sebuah jawaban yang tepat. Dikatakan demikian, karena teori ini dibangun untuk menghasilkan tingkat efisiensi dan efektifitas terbaik bagi organisasi. Hal ini dikukuhkan dengan penilaian Silverman dalam bukunya, “The Theory of Organizations” yang menyatakan bahwa birokrasi merupakan tipe

organisasi paling efisien. Bahkan, Joyce Warham dalam “An Open Case

(44)

seperti tipe ideal profesionalisme. Weber mendeskripsikan sejumlah karakteristik birokrasi seperti berikut :

1. Terdapat pembagian kerja yang jelas dan terperinci.

2. Berpedoman pada prinsip hierarki, yang dapat diartikan bahwa jabatan yang lebih rendah berada dalam kontrol dan pengawasan jabatan yang lebih tinggi. 3. Menjalankan sebuah sistem yang konsisten dan terdiri atas aturan-aturan. 4. Setiap pegawai, melaksanakan tugasnya dalam semangat dan hubungan

yang formal-impersonal.

5. Rekrutmen pegawai didasarkan pada kualifikasi teknis, yang kemudian diberi remunerasi berdasarkan tingkatan kepangkatan, kemampuan serta keahlian. Secara teori, birokrasi memang diarahkan untuk membentuk sebuah proses rutinitas less-dinamis (administrasi khususnya), namun proses yang dibentuk dalam sebuah birokrasi bukan semata rutinitas buta belaka. Seperti telah disebutkan diatas, birokrasi disokong oleh nilai-nilai profesionalisme, spesialisasi, produktifitas, kontrol yang ketat melalui sistem yang baku dan hierarkis serta mendukung semangat impersonality.

Kini, pengertian birokrasi lebih bernada negatif, seperti terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ―http://www.pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi― (Des. 2008), yang didefinisikan sebagai :

1. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan.

2. Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya. Serupa dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Merriam-Webster ―http://www.merriam-webster.com― (Des. 2008), mendefinisikan birokrasi, sebagai :

1. a : a body of non-elective government officials.

(45)

2. government characterized by specialization of functions, adherence to fixed rules, and a hierarchy of authority.

3. a system of administration marked by officialism, red tape (official routine or procedure marked by excessive complexity which results in delay or inaction), and proliferation.

Merujuk kedua referensi di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian birokrasi disini bersumber dari interpretasi teori dan premis general implementasi riilnya. Artinya bahwa, kesalahan umum selama ini dari birokrasi telah terjadi sejak tahap interpretasi dan implementasi konsep Weber yang bersifat parsial,

irresponsif-pasif terhadap perubahan (stiff-inward looking), process oriented/minded namun

terbuka bagi interfensi politik.

Sebenarnya, kegagalan konsep birokrasi ini telah diantisipasi oleh Weber sendiri, apabila hal-hal berikut kurang mendapatkan perhatian yang semestinya, yaitu :

1. Wewenang hierarki vertikal terlalu dominan dan tidak sesuai aturan yang

ditetapkan, sehingga mengabaikan fungsi kewenangan sub-ordinat

dibawahnya. Hal ini dapat memicu ”conflict of competence”, apalagi bila

terdapat keputusan yang dipaksakan untuk ditetapkan, sehingga terkesan lebih penting daripada manfaatnya.

2. Spesialisasi tidak didukung dengan kompetensi yang memadai serta tidak didahului dengan analisa jabatan dan beban kerja yang tepat, apalagi tidak dilakukan evaluasi pada keduanya secara berkala.

3. Adanya tempat bagi interfensi politis, nepotisme, korupsi maupun kondisi lainnya yang bertentangan dengan prinsip ”impersonal” sehingga menyebabkan terganggunya sistem baik secara partial maupun holistik.

4. Last but not least, terdapat birokrat penentu kebijakan yang resistan terhadap

prinsip profesionalisme, sehingga menghindari prinsip

transparansi-akuntabilitas.

Apapun bentuk dan implementasinya, birokrasi dapat diartikan secara bebas sebagai suatu konsep organisasi yang diadopsi negara dalam menjalankan roda

(46)

pemerintahannya. Birokrasi sendiri adalah sebuah bentuk organisasi yang memerlukan partisipasi aktif segenap stakeholder, bukan one man show.

Sedangkan organisasi baik besar maupun kecil merupakan seperangkat interdependensi yang saling erat terkait dan dibatasi sekat-sekat imajiner bertitel fungsi, tugas, wewenang dan tanggung jawab. Secara dinamis, tiap sub-organisasi dan tiap individu dalam organisasi berinteraksi dan menumbuhkan interrelasi, yang saling mempengaruhi, baik nilai, sikap maupun perilaku, yang membentuk pulau-pulau budaya. Karenanya, implementasi teori Weber akan menyesuaikan kondisi internal negara dan masyarakatnya serta nilai-nilai budaya yang dijunjungnya. Sudah barang tentu, interpretasi dan implementasi akan birokrasi itu sendiri akan berbeda-beda pada tiap negara. Namun satu hal yang pasti, birokrasi yang dibentuk

selalu mengacu pada sebuah backbone nilai/aturan dan cita-cita yang disepakati

bersama oleh para founding fathers.

Para Weberian umumnya sepaham bahwa implementasi birokrasi terbaik

adalah birokrasi yang dibangun dari backbone tersebut yang kemudian disarikan

dalam suatu cita-cita serta visi-misi. Mengacu pada visi-misi itulah, sebuah peta strategi holistik berikut sasarannya yang lebih spesifik dibentuk. Profesionalitas dari sebuah organisasi dapat dilihat dari peta strategi dan sasaran yang dibuat,

umumnya mengadopsi kriteria SMART (Specific, Measureable,

Attainable/Achievable, Realistic/ Reasonable and Timely/Time Related). Oleh

karenanya, penting bagi sebuah organisasi, terutama birokrasi, untuk memiliki Key

Performance Indicator (KPI) sebagai tolok ukur pencapaian sasaran yang telah

dibuat selain dari Standard Operational Procedures (SOP) sebagai rambu/pedoman

berkegiatan dan Standar Pelayanan Minimum (SPM) sebagai output/outcome standar yang mesti dipenuhi.

Bila kita flashback sejenak, teori birokrasi Weber dibangun untuk

mengupayakan nilai tertinggi efisiensi dan efektifitas sebuah organisasi. Oleh karena

itu, sebuah birokrasi seharusnya berorientasi pada hasil daripada proses (result

oriented rather than process minded) dengan mengadopsi sistem manajemen berbasis kinerja terkait dengan visi-misi yang disepakati secara holistik. Adapun

Gambar

Tabel 2.1 Sasaran Reformasi Birokrasi
Gambar 2.3 : Peningkatan Transparasi dan Pembangunan                       Sistem Informasi  Sejak tahun 2001  PENYEBARAN  INFORMASI  Kepada  masyarakat melalui  pemanfaatan  “TEKNOLOGI  INFORMATIKA”  Saat ini  PENGEMBANGAN   DATA & INFORMASI  INFRASTRUKTUR PU   Informasi Kegiatan Pembangunan    Sistem Pemantauan     Pelaksanaan  Kegiatan    Pengembangan
Gambar 2.4 : Pendekatan Pembangunan Infrastruktur Kementerian  PU  COMMUNITY BASED  KOLEKTIF  LEMBAGA  SWADAYA  MASYARA  KAT  INDIVIDU PER  ORANGAN PEMERINTAH (ENABLER) APARATUR PEMERINTAH: -PUSAT- DAERAH MASYARAKAT &  DUNIA USAHA PROVIDER PUBLIC SERVICES DINAS PEMERINTAH CORPORATE SERVICES BADAN USAHA: - PEMERINTAH - SWASTA  Dibangun dengan  Pemulihan tak lang  sung (Sistem Perpa  Jakan)    Dibangun dengan  Pemulihan langsung  Oleh Beneficiaries  (Charging)   Dibangun dengan Swadaya masya-  rakat (dengan/tanpa  Dukungan Pemerintah)
Tabel 2.2 : Membangun Pemahaman Untuk Etos Dan Kesempurnaan Kerja
+7

Referensi

Dokumen terkait

Biaya produksi berbanding lurus sebagai variabel yang mempengaruhi pendapatan, semakin efesien biaya yang dikeluarkan, maka pendapatan bersih yang diterima semakin

c MOHAMAD ZAHIR BIN MAHAMAD RIDZUAN c SUHAIMI BIN ZAINUDIN c MOHAMAD AMEERUDDIN BIN ROSLI c NOR HANAPI BIN MOHAMAD JULI c MUHAMMMAD RAMADHAN BIN MAT SEMAN c MUHAMAD

Maksud disusunnya rencana strategis Kecamatan Dau ini adalah memberikan arah penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kehidupan kemasyarakatan serta pelaksanaan

Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi.. Dan Hatta juga tahu, betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan

Adapun ajaran puasa dalam agama Budha termasuk dalam bagian atthasila yang jumlahnya ada delapan yaitu: Menghindari pembunuhan makhluk hidup, menghindari perbuatan

PLN (Persero) Bantuan prasarana peningkatan swadaya masyarakat / Pergerakan pemuda suku asli.

Dalam penelitian ini yang dikategorikan adalah Kepatuhan Wajib Pajak Dalam Membayar Pajak Penghasilan Pasal 21 di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surabaya Krembangan yang

LAINNYA PEMER INTAH SWASTA JUMLAH NO JUMLAH PEMERIN TAH SWASTA PRAKTIK DOKTER PRAKTIK BIDAN LAINNYA PEMER INTAH SWASTA PRAKTIK DOKTER PRAKTIK BIDAN JUMLAH PRAKTIK DOKTER