• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Kompetensi Guru

2.1.1.4 Kompetensi Kepribadian

Pekerjaan seorang guru adalah pekerjaan profesional yang harus memiliki sepereangkat kompetensi dalam menjalankan profesinya sebagai tenaga pendidik.

Kompetensi yang perlu dikuasi guru selanjutnya adalah kompetensi kepribadian,

selain kompetensi pedagogik, kompetensi professional, dan kompetensi sosial.

Kepribadian menyatu dalam diri seseorang dan sikap keseharian. Untuk itu dibutuhkan keterampilan untuk mengelola kepribadian menjadi lebih menarik, bermanfaat, dan mempesona (Janawi, 2012: 126). Hal ini berarti kepribadian tidaklah bersifat genetis semata, akan tetapi didasarkan pada pengalaman hidup dan berbagai unsur mental dan pengalaman hidup. Kepribadian seseorang dapat terbentuk melalui proses panjang.

Kompetensi kepribadian guru adalah kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, menjadi teladan bagi siswa, dan berakhlak mulia (Arisman et al., 2018; Suprihatiningrum, 2014). Dengan demikian dapat diartikan seorang guru harus memilki kemampuan seperti akal cerdas, berkepribadian stabil, dewasa, berwibawa, dan cakap dalam mendidik peserta didik.

Menurut Permendiknas No.16/2007 Kemampuan dalam standar kompetensi ini mencakup lima kompetensi utama yakni: a) Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum,

sosial dan kebudayaan nasional Indonesia. b) Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat. c) Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa.

d) Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi serta bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri. e) Menjunjung tinggi kode etik profesi guru. Adapun subkompetensi profesional yang harus dipahami lebih dalam oleh seorang guru, yakni kepribadian yang mantap stabil, kepribadian yang dewasa, kepribadian yang arif, dapat menjadi teladan, dan kepribadian yang berwibawa.

Supaya dapat melaksanakan tugas dengan baik, guru perlu memiliki kepribadian yang stabil dan mantap. Hal ini perlu diperhatikan secara mendalam karena banyak masalah pendidikan yang disebabkan oleh faktor kepribadian guru yang kurang mantap dan kurang stabil. Kepribadian yang mantap dan stabil ini menekankan pada tiga hal yang menjadi landasan kepribadiannya, yakni: kebenaran, tanggung jawab, dan kehormatan (Arisman et al., 2018). Seorang guru harus dapat mengontrol emosi dan dapat menyelesaikan dengan tenang. Kedewasaan guru dapat tercermin dalam kemampuannya mengendalikan emosi. Ketidak mampuan guru dalam mengendalikan emosi dapat mempengaruhi rasa takut peserta didik.

Ketakutan yang dirasakan oleh peserta didik dapat berakibat hilangnya minat untuk mengikuti proses pembelajaran.

Tugas seorang guru tidak hanya terbatas pada mengajar di dalam kelas saja, melainkan senantiasa mengawasi perilaku peserta didik supaya tidak terjadi penyimpangan perilaku atau tindakan yang tidak semestinya. Oleh karena kepentingan tersebut, guru harus mampu menjadi pembimbing, suri tauladan, pengawas, dan pengendali seluruh perilaku peserta didik (Susanna, 2014). Menjadi teladan merupakan bagian integral dari seorang guru. Keteladanan yang diberikan seorang guru akan berpengaruh besar pada masyarakat, teman sejawat, dan peserta didik. Dengan demikian akan muncul rasa segan dan hormat terhadap guru.

Kepribadian guru sangat kuat pengaruhnya terhadap tugasnya sebagai pendidik. Kewibawaan guru ada dalam kepribadiannya. Sulit bagi guru mendidik peserta didik untuk disiplin kalau guru yang bersangkutan tidak disiplin. Peserta didik akan menggugu dan meniru gurunya sehingga apa yang dikatakan oleh guru seharusnya sama dengan tindakannya. Guru yang jujur dan tulus dalam menjalankan

tugasnya sebagai pendidik berbeda dengan guru yang mengajar karena tidak ada pekerjaan lain. Peserta didik dengan mudah membaca karakteristik guru tersebut.

Karakteristik yang berkaitan dengan keberhasilan pendidik dlam menggeluti profesinya meliputi fleksibilitas kognitif dan keterbukaan psikologis (Febriana, 2019: 13). Fleksibilitas kognitif atau keluwesan ranah cipta merupakan kemampuan guru dalam berpikir yang diimbangi dengan tindakan secara silmutan dan memadai dalam situasi tertentu. Seorang yang fleksibel akan lebih terbuka terhadap pemikiran atau teori-teori baru dan mudah untuk beradaptasi. Terbuka terhadap pemikiran baru dapat menunjang guru dalam memutakhirkan teori. Dengan demikian, teori dan contoh yang diperoleh oleh peserta didik tidak tertinggal zaman.

2.1.2 Penilaian

Dunia pendidikan tentu tak lepas dari aktivitas penilaian. Penilaian merupakan kegiatan seseorang yang dilakukan dengan cara mengamati, mencatat, dan mendokumentasikan yang dilakukan secara sistematis untuk mengumpulkan serta mengolah informasi dalam rangka mengambil suatu keputusan mengenai perkembangan seseorang (Maryani, 2020; Wahyudi et al., 2020). Penilaian dapat diartikan sebuah aktivitas pengumpulan dan pengolahan informasi yang dilaksanakan secara sistematis untuk pengambilan keputusan. Penilaian dilakukan secara sistematis yang dilakukan selama kurun waktu tertentu tergantung pelaksanaan dari lembaga (Maryani, 2020). Seperti halnya penilaian yang dilakukan terhadap guru.

Penilain guru dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu guna meninjau kemampuan guru. Penilaian yang dilaksanakan juga melalui beberapa tahapan, yakni

uji kompetensi awal, uji kompetensi guru, penilaian kinerja guru, dan pengembangan keprofesian berkelanjutan (Mulyasa, 2013). Dengan demikian, seorang guru harus melalui berbagai tahapan dalam penilaian. Kusaeri & Suprananto (2012) berpendapat bahwa tujuan penilaian diarahkan untuk penulusuran (keeping track), pengecekan (checking-up), pencarian (finding-out), dan penyimpulan (summing-up). Penilaian dilakukan guna menelusuri kemampuan guru dalam mengimplementasikan empat komptensi inti sesuai dengan ketentuan yang ada. Setelah melakukan penelusuran, akan dilakukan pengecekan kelemahan yang dialami guru dalam melaksanakan tugasnya. Selanjutnya mencari hal-hal yang menyebabkan kurang optimalnya kinerja guru dan menyimpulkan apakah guru tersebut telah menguasai komponen yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Permendikbud Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pembelajaran pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah menyatakan bahwa pengembangan instrumen tes perlu memperhatikan prinsip-prinsip antara lain sahih, objektif, adil, terpadu, transparan, holistik, sistematis, akuntabel, dan edukatif. Agar penilaian sahih (valid, yaitu mengukur apa yang ingin diukur) harus dilakukan berdasar pada data yang mencerminkan kemampuan yang diukur. Untuk memperoleh data yang dapat mencerminkan kemampuan yang diukur harus digunakan instrumen yang sahih.

Instrumen yang disusun harus objektif yang memiliki artian bahwa penilaian berbasis pada standar dan tidak dipengaruhi faktor subjektivitas penilai. Oleh karena itu, instrumen penilaian harus bersifat terpadu atau terencana, efisien, dapat dipertanggungjawabkan, dan edukatif atau memotivasi.

Terdapat beberapa yang menganggap bahwa penilaian dan evaluasi merupakan kegiatan yang sama. Evaluasi merupakan suatu proses menyediakan informasi yang

dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk menentukan desain, implementasi, dan dampak untuk membantu membuat keputusan, membantu pertanggungjawaban, dan meningkatkan pemahaman terhadap fenomena (Widoyoko, 2014:3). Dengan kata lain bahwa evaluasi merupakan suatu penilaian yang sistematis untuk mengetahui tingkat keberhasilan sebagai dasar menentukan keputusan. Pengambilan keputusan berdasarkan pada hasil penilaian dan dilakukan sebagai pengendalian kegiatan saat program sedang berlangsung dan penyempurnaan untuk pelaksanaan berikutnya.

Widoyoko (2014: 4) menyebutkan bahwa penilaian dan evalusai bersifat hierarki.

Dapat dikatakan bahwa evaluasi didahului oleh penilaian.