VI. KONSENTRASI SPASIAL DAN PENGHEMATAN AKIBAT AGLOMERAS
6.1. Konsentrasi Spasial
Menurut Fujita et al. (1999) konsentrasi spasial merupakan pengelompokan setiap industri dan aktivitas ekonomi yang secara spasial berlokasi pada suatu
wilayah tertentu. Aiginger and Hansberg (2003) menyatakan bahwa konsentrasi
spasial dapat didefinisikan sebagai pangsa output regional yang menunjukkaan
distribusi lokasional dari suatu industri.
Komposisi dan besaran produk domestik regional bruto (PDRB) sektor
agroindustri berdasarkan sebaran sektor dan kabupaten/ kota tahun 2000 dan 2005
dapat dilihat pada Lampiran 20 dan 21. Berdasarkan lampiran tersebut, urutan
besarnya PDRB Provinsi Lampung adalah industri gula sebesar Rp 992 872 juta
atau 20.86%, industri pengolahan ikan dan udang sebesar Rp 646 442 juta atau
14.39%, industri tapioka dan tepung lain sebesar Rp 627 400 juta atau 13.18%,
industri makanan lainnya Rp 465 961 juta atau 9.79%, industri pengolahan karet
Rp 378 668 juta atau 7.96%, industri pakan ternak Rp 312 024 juta atau 6.55%,
industri kopi Rp 285 965 juta atau 6.00%, industri padi Rp 262 152 juta atau 5.50%,
industri buah dan sayur Rp 256 626 juta atau 5.39%, industri minyak/lemak Rp 124
188 juta atau 2.60%, industri kopra/kelapa Rp 97 094 juta atau 2.04%, dan industri
minuman Rp 43 266 juta atau 0.90%. Besaran PDRB per sektor agroindustri dari
urutan pertama hingga urutan dua belas di Provinsi Lampung menunjukkan
ketidakseimbangan kontribusi antara beberapa agroindustri tersebut.
Apabila ditinjau dari kontribusi kabupaten/kota terhadap PDRB sektor
agroindustri di Provinsi Lampung, kabupaten yang memberikan kontribusi output
terbesar pada tahun 2005 adalah Kabupaten Tulang Bawang sebesar Rp 1 207 738
19.38%, dan Kota Bandar Lampung Rp 836 951 juta atau 18.63%. Ketiga
kabupaten/kota tersebut merupakan sentra produksi utama agroindustri di Provinsi
Lampung (lihat Lampiran 20, 21, 22 dan 23).
Kontribusi kabupaten/kota lainnya dalam PDRB sektor agroindustri Provonsi
Lampung adalah Kabupaten Lampung Selatan sebesar Rp 571 285 juta atau 12.72%,
Kabupaten Lampung Utara Rp 414 662 juta atau 9.23%, Kabupaten Lampung
Timur Rp 264 840 juta atau 5.89%, Kabupaten Tanggamus Rp 202 177 juta atau
4.50%, Kabupaten Way Kanan Rp 77 971 juta atau 1.74%, Kabupaten Lampung
Barat Rp 29 621 juta atau 0.66%, dan Kota Metro Rp 16 572 juta atau 0.37%.
Besaran PDRB Sektor Agroindustri per kabupaten/ kota di Provinsi Lampung
menunjukkan ketidakmerataan kontribusi antara beberapa kabupaten/kota.
Indeks Gini Lokasional (gEG) merupakan tingkat spesialisasi suatu sektor
dan konsentrasi spasial antara beberapa wilayah. Nilai Gini Lokasional Sektor
Agroindustri di Provinsi Lampung atau indeks ketidakmerataan lokasi disajikan
pada Tabel 18.
Tabel 18. Indeks Gini Lokasional Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung
2000 2005
No. Sektor Agroindustri
gEG Klasifikasi gEG Klasifikasi 1 Industri Buah dan Sayur 0.2712 Terkonsentrasi 0.2739 Terkonsentrasi 2 Industri Ikan, Daging & Udang 0.1469 Terkonsentrasi 0.2511 Terkonsentrasi 3 Industri Tapioka & Tepung Lain 0.2702 Terkonsentrasi 0.2738 Terkonsentrasi 4 Industri Kopra/ Kelapa 0.0249 Menyebar 0.0252 Menyebar
5 Industri Minyak/ Lemak 0.0158 Menyebar 0.0156 Menyebar
6 Industri Padi 0.1351 Terkonsentrasi 0.1364 Terkonsentrasi
7 Industri Gula 0.4517 Terkonsentrasi 0.4181 Terkonsentrasi
8 Industri Kopi 0.0695 Menyebar 0.0695 Menyebar
9 Industri Pakan Ternak 0.1039 Terkonsentrasi 0.1004 Terkonsentrasi 10 Industri Makanan Lainnya 0.6143 Terkonsentrasi 0.6295 Terkonsentrasi
11 Industri Minuman 0.0215 Menyebar 0.0218 Menyebar
Pada Tabel 18, terlihat bahwa sebagian besar sektor agroindustri di Provinsi
Lampung pada tahun 2005 terkonsentrasi secara spasial. Nilai Gini Lokasional
sektor agroindustri terbesar adalah industri makanan lainnya sebesar 0.6295, diikuti
industri gula sebesar 0.4181, industri buah sayur sebesar 0.2739, industri tapioka
dan tepung lain sebesar 0.2738, serta industri ikan, daging dan udang sebesar
0.2511. Hasil nilai Gini Lokasional menunjukkan ketidakmerataan lokasi
agroindustri di Provinsi Lampung.
Indeks Spesialisasi Krugman (KSpec) menunjukkan perbedaan struktur
industri pada suatu wilayah dengan struktur industri pada suatu wilayah lain maupun
seluruh wilayah, yang akan mempengaruhi daya saing wilayah yang menjadi
standar. Hasil penilaian menunjukkan tingkat spealisasi wilayah yang dianalisis.
Indeks Spesialisasi Krugman pada tahun 2000 dan 2005 disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19. Indeks Spesialisasi Krugman (KSpec) Sektor Agroindustri di Provinsi
Lampung
2000 2005 No. Sektor Agroindustri
Kspec Klasifikasi Kspec Klasifikasi
1 Industri Buah dan Sayur 1.041829 Terspesialisasi 1.004104 Terspesialisasi 2 Industri Ikan, Daging & Udang 1.164160 Terspesialisasi 1.507187 Terspesialisas 3 Industri Tapioka & Tepung Lain 1.375592 Terspesialisasi 1.390984 Terspesialisas
4 Industri Kopra/ Kelapa 0.355566 Kurang
terspesialisasi
0.353130 Kurang terspesialisasi 5 Industri Minyak/ Lemak 0.327284 Kurang
terspesialisasi
0.312591 Kurang terspesialisasi
6 Industri Padi 0.681447 Kurang
terspesialisasi
0.689609 Kurang terspesialisasi
7 Industri Gula 2.111491 Terspesialisasi 2.034469 Terspesialisasi
8 Industri Kopi 0.774254 Kurang
terspesialisasi
0.766481 Kurang terspesialisasi
9 Industri Pakan Ternak 0.835137 Kurang
terspesialisasi
0.786864 Kurang terspesialisasi 10 Industri Makanan Lainnya 1.752682 Terspesialisasi 1.688222 Terspesialisasi
11 Industri Minuman 0.301427 Kurang
terspesialisasi
0.299717 Kurang terspesialisasi 12 Industri Pengolahan Karet 0.718105 Kurang
terspesialisasi
0.828129 Kurang terspesialisasi
Hasil analisis menunjukkan bahwa industri gula mempunyai nilai Indeks
Spesialisasi Krugman terbesar, yang berarti bahwa Provinsi Lampung mempunyai
tingkat spesialisasi yang tinggi pada industri gula. Urutan selanjutnya terhadap nilai
Indeks Spesialisasi Krugman adalah industri makanan lainnya, industri pengolahan
ikan dan udang, industri tapioka dan tepung lain, serta industri buah dan sayur.
Menurut Marshal (1920) dalam McCann (1991), ketersediaan tenaga kerja
spesialis akan menguntungkan perusahaan yang terspesialisasi di wilayah tersebut.
Sedangkan Porter (1990) menyatakan bahwa tenaga kerja yang terspesialisasi
merupakan bagian dan faktor determinan dalam keunggulan ekonomi suatu wilayah.
Adanya tenaga kerja yang terspesialisasi akan mendorong perusahaan yang
terspesialisasi untuk terkonsentrasi pada wilayah tersebut (Lafourcade and Mion,
2003). Graham (2007) melihat perlunya penggunaan kedekatan lokasi (co-location) untuk mengidentifikasi industri yang teraglomerasi dan berklaster. Oleh karena itu,
klaster agroindustri yang berbasis bahan baku layak dikembangkan di Kabupaten
Lampung Tengah dan Kabupaten Tulang Bawang karena Kabupaten Lampung
Tengah dan Kabupaten Tulang Bawang merupakan wilayah yang lokasinya
berdekatan. Industri berorientasi ekspor-impor cocok untuk dikembangkan di Kota
Bandar Lampung karena kedekatannya dengan pelabuhan ekspor-impor.
Pada sisi lain, konsentrasi spasial pada agroindustri di Kota Bandar Lampung
terjadi akibat adanya aglomerasi yang disebabkan oleh upaya mengurangi biaya
transportasi. Kondisi tersebut sejalan dengan pendapat Krugman (1991) yang
menyatakan bahwa aglomerasi yang disebabkan oleh upaya mengurangi biaya
transportasi berlokasi di sekitar local demand yang besar serta upaya memperoleh akses pasar yang luas. Industri-industri yang mengalami konsentrasi spasial tersebut
adalah industri pengolahan kopi, industri minyak/ lemak, dan industri minuman.
potensial bagi output industri tersebut. Selain itu, pelabuhan Panjang di Kota Bandar
Lampung mempermudah akses menuju pasar ekspor-impor bagi industri pakan ternak,
pengolahan karet, dan industri-industri lain.