PERAN AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN
WILAYAH PROVINSI LAMPUNG:
ANALISIS KETERKAITAN ANTARSEKTOR DAN
AGLOMERASI INDUSTRI
DISERTASI
MUHAMMAD IRFAN AFFANDI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala penyataan dalam
disertasi saya yang berjudul :
“PERAN AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN WILAYAH PROVINSI LAMPUNG: ANALISIS KETERKAITAN ANTARSEKTOR
DAN AGLOMERASI INDUSTRI”
merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan
Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi
ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di
perguruan tinggi lain. Seluruh sumber data dan informasi yang digunakan telah
dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Februari 2009
Muhammad Irfan Affandi NRP. A161020051
MUHAMMAD IRFAN AFFANDI. The Roles of Agroindustry in the Regional Economy of Lampung Province: Analysis of Intersectoral Linkages and Agglomeration of Industries. (D.S. PRIYARSONO as Chairman, MANGARA TAMBUNAN and BONAR M. SINAGA as Members of Advisory Committee).
The objectives of this study are to analyze intersectoral linkages among agroindustry in the regional economy of Lampung Province, to identify the existence of spatial concentration and agglomeration of agroindustry, to analyze agglomeration economies in the agroindustrial sectors, and to analyze some policies that are potentially improve the roles of agroindustry in the regional economy.
This study used data of provincial Input-Output Table of 2000 and 2005 aggregated into 26 sectors (12 agroindustrial sectors and 14 non agroindustrial sectors) and results of Medium and Large Industrial Survey 1998-2005. In addition, it used indices to measure the size of agglomeration. It utilized also Cobb-Douglas production function to measure the agglomeration economies. Some policy simulations were analyzed to identify the effects of changes of final demand on sectoral outputs, income, and labor.
The results show that in terms of linkages and multipliers of sectoral output, income, and labor, agroindustrial sectors have the biggest roles in the regional economy. The sectors also boost the other sectors’ growth. They have strong backward as well as forward linkages that are greater than those of other sectors.
Most agroindustrial sectors are concentrated in one or few districts/municipalities. These concentrations significantly effect the production outputs. Most economies of localization and urbanization exist in the agroindustrial sectors.
The combined policies of increasing government expenditure, investment, and export that are proportionally allocated to all of the agglomerated agroindustrial sectors result in the greatest positive change of sectoral output, households’ income, and labors absorption. The impact of economic policy on the agglomerated agroindustrial sectors are greater than that of similar policy that are applied to non agglomerated agroindustrial sectors.
MUHAMMAD IRFAN AFFANDI. Peran Agroindustri dalam Perekonomian Wilayah Provinsi Lampung: Analisis Keterkaitan Antarsektor dan Aglomerasi Industri. (D.S. PRIYARSONO sebagai Ketua, MANGARA TAMBUNAN dan BONAR M. SINAGA sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi potensial untuk
pengembangan agroindustri di luar Jawa. Berdasarkan Tabel Input-Output
Provinsi Lampung Tahun 2005, peringkat terbesar dalam kontribusi output
sektoral adalah sektor agroindustri. Sektor agroindustri menyumbang sekitar 28%
output daerah atau senilai Rp 22 156 435 juta, memiliki kontribusi sekitar 12%
dari total PDRB Provinsi Lampung dalam kurun waktu tahun 2001-2004,dan
menyerap sekitar 77% tenaga kerja yang bekerja di lapangan usaha industri dalam
kurun waktu tahun 2000-2005. Berdasarkan kontribusi output dan penyerapan
tenaga kerja, agroindustri berperan sebagai leading sector sehingga pengembangan agroindustri di Provinsi Lampung memiliki arti yang sangat
strategis.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterkaitan sektor agroindustri
dalam perekonomian wilayah, mengidentifikasi terjadinya konsentrasi spasial dan
aglomerasi pada sektor agroindustri, menganalisis penghematan aglomerasi sektor
agroindustri, dan menganalisis dampak kebijakan ekonomi yang berpotensi
meningkatkan peran agroindustri dalam perekonomian wilayah.
Analisis data menggunakan Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun
2000 dan 2005 yang diagregasi ke dalam 26 sektor (12 sektor agroindustri dan 14
sektor non agroindustri) dan hasil Survei Industri Sedang dan Besar Tahun 1988-
2005. Selain itu, analisis data menggunakan indeks-indeks untuk mengetahui
kekuatan aglomerasi dan analisis fungsi produksi Cobb-Douglas untuk
mengetahui besarnya agglomeration economies. Simulasi kebijakan di sektor agroindustri dilanjutkan untuk mengetahui dampak perubahan permintaan akhir
terhadap output sektoral, pendapatan dan tenaga kerja.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditinjau dari nilai keterkaitan dan
pengganda output sektoral, pendapatan dan tenaga kerja sektor agroindustri
belakang dan ke depan lebih besar dibandingkan sektor non agroindustri.
Sebagian besar agroindustri berkonsentrasi pada satu atau beberapa
kabupaten/kota yang berdekatan. Ada pengaruh nyata dari subsektor-subsektor
agroindustri yang beraglomerasi terhadap output produksi. Penghematan akibat
lokalisasi (localization economies) dan penghematan akibat urbanisasi (urbanization economies) pada setiap subsektor agroindustri sebagian besar memberikan pengaruh positif terhadap output produksi.
Kebijakan ekonomi sektor agroindustri di Provinsi Lampung yang
mempunyai dampak paling besar terhadap perubahan output sektoral, pendapatan
rumah tangga, dan penyerapan tenaga kerja adalah kebijakan gabungan
peningkatan pengeluaran pemerintah, investasi, dan ekspor yang dialokasikan
pada semua sektor agroindustri yang beraglomerasi secara proporsional. Dampak
kebijakan ekonomi terhadap sektor-sektor agroindustri yang beraglomerasi lebih
besar daripada dampak kebijakan ekonomi sektor-sektor agroindustri yang tidak
beraglomerasi.
Pengembangan agroindustri disarankan untuk memperhatikan konsentrasi
dan spesialisasi industri, daya dorong yang menyebabkan terjadinya aglomerasi,
dan promosi pengembangan ekonomi daerah melalui aglomerasi industri.
Pengembangan agroindustri yang beraglomerasi hendaknya didukung oleh
kebijaksanaan fiskal guna pengembangan produktivitas dan pembangunan
infrastruktur (penataan ruang kawasan industri, sarana transportasi, pengendalian
pencemaran dan lainnya). Infrastruktur yang diperlukan untuk peningkatan
ekspor adalah sarana transportasi, komunikasi dan pelabuhan ekspor yang
memadai bagi transportasi komoditas agroindustri.
Penelitian lanjutan disarankan untuk menganalisis keterkaitan antar
industri antar wilayah dengan membangun Tabel Input-Output Interregional antar
kabupaten/kota atau antar provinsi, dan penelitian tentang aglomerasi dengan
model simultan yang menggambarkan hubungan antar produksi industri yang
beraglomerasi, pendapatan regional, pengeluaran pemerintah, investasi dan
ekspor.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisankarya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah
WILAYAH PROVINSI LAMPUNG:
ANALISIS KETERKAITAN ANTARSEKTOR DAN
AGLOMERASI INDUSTRI
Oleh:
MUHAMMAD
IRFAN
AFFANDI
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Muhammad Firdaus, M.Si
WILAYAH PROVINSI LAMPUNG: ANALISIS KETERKAITAN ANTARSEKTOR DAN
AGLOMERASI
INDUSTRI
Nama Mahasiswa : Muhammad Irfan Affandi
Nomor Pokok : A161020051
Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS Ketua
Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Anggota Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah,
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga disertasi yang berjudul "Peran Agroindustri
dalam Perekonomian Wilayah Provinsi Lampung: Analisis Keterkaitan
Antarsektor dan Aglomerasi Industri" dapat diselesaikan. Tulisan ini merupakan
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu
Ekonomi Pertanian (EPN), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis secara tulus mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada Dr. Ir. D.S.
Priyarsono, MS, Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc., dan Prof. Dr. Ir. Bonar
M. Sinaga, MA. selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing, yang telah
memberikan arahan dan bimbingan terutama mengenai pemodelan, pengolahan
data, penyajian dan konsistensi dalam penyusunan disertasi, serta dorongan
semangat untuk mempercepat penyelesaian studi. Terima kasih pula kepada
Dr. Muhammad Firdaus, M.Si. selaku Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup, serta
Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, M.Sc. dan Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. selaku
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka atas saran dan masukan yang telah diberikan.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ketua Program Studi Ilmu
Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta para
Dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, khususnya
pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, atas arahan, bimbingan dan ilmu
yang diberikan kepada penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada Rektor Universitas Lampung, Dekan Fakultas Pertanian dan Ketua
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung yang
telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti Program Doktor di
Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ditjen Pendidikan Tinggi
Depdiknas, melalui BPPS, yang telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk
mengikuti Program Doktor di IPB, serta Lembaga Penelitian Universitas
Lampung dan Yayasan Dana Mandiri yang telah memberikan bantuan fasilitasi
kolega dosen Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas
Lampung, serta pihak-pihak yang tidak dapat disebut satu persatu.
Terutama untuk kedua orang tuaku Bapak M. Hasyim (almarhum) dan Ibu
Hj. Akmaliyah, kedua mertuaku Bapak Abd Rachman (almarhum) dan Ibu Hj.
Subaidijah, serta kakak-kakak dan adik-adik atas perhatian dan dorongan
semangat. Rasa terimakasih yang tulus penulis sampaikan kepada istri tercinta
Dr. Ir. Sussi Astuti, M.Si, ananda Muhammad Riza Darmawan, Safira Nuril Izzah,
dan Muhammad Rafi Naufal, yang telah setia dan sabar mendampingi dengan
penuh pengertian dan pengorbanan selama penulis mengikuti program doktor ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amin.
Bogor, Februari 2009
Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 24 Juli 1964 sebagai anak
kelima dari pasangan M. Hasyim dan Hj. Akmaliyah. Pendidikan sarjana
ditempuh di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas
Brawijaya Malang, lulus pada tahun 1987. Pada tahun 1991, penulis melanjutkan
studi di Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
(PWD) Program Pascasarjana IPB dan menyelesaikannya pada tahun 1994. Pada
tahun 2002, dengan beasiswa BPPS Departemen Pendidikan Nasional, penulis
mendapat kesempatan melanjutkan studi program Doktor pada Program Studi
Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB.
Sejak tahun 1989 penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Sosial
Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung sampai sekarang.
Penulis pernah menjadi Sekretaris Pusat Pengembangan Wilayah LPM
Universitas Lampung Tahun 1998-2003 dan Ketua Program Studi Agribisnis
Fakultas Pertanian Universitas Lampung Tahun 2001-2002, serta aktif dalam
kegiatan perencanaan tata ruang wilayah. Sebagian hasil penelitian disertasi
penulis diseminarkan pada :
1. Seminar The IRSA 1st International Institute di ITB Bandung
The Impacts of Agro Industry Development on The Regional Economic Growth And Employment In Province of Lampung
2. Seminar Internasional IRSA 2008 di Univertsitas Sriwijaya Palembang
Improving Regional Economic Development Through Promoting Agglomeration Economies: The Case of Agroindustry in Lampung, Sumatra
Dua artikel jurnal dari sebagian disertasi yang sudah diterbitkan yaitu :
1. Peranan Agroindustri Dalam Perekonomian Provinsi Lampung: Analisis
dengan Pendekatan Tabel Input-Output
Jurnal Media Ekonomi Universitas Trisakti Volume 13 Nomor 2 Agustus
2007.
2. Aglomerasi dan Pengembangan Klaster Industri Guna Meningkatkan Daya
Saing Jurnal Ekonomi Universitas Tarumanegara Tahun XIII No.2 Juli Tahun
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………... iv
DAFTAR GAMBAR ……….…… vi
DAFTAR LAMPIRAN ………... vii
I. PENDAHULUAN ………... 1
1.1. Latar Belakang ……….. 1
1.2. Perumusan Masalah ……….. 3
1.3. Tujuan Penelitian ………... 7
1.4. Kegunaan Penelitian ………... 8
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan ………... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ……… 11
2.1. Aglomerasi ………... 11
2.2. Keterkaitan Antarsektor ………...……….. 19
2.3. Agroindustri, Peran dan Kebijakan ……….. 23
2.4. Klaster Industri dan Kebijakan Pengembangannya ……… 26
2.5. Geografi dan Lokasi Industri ……….. 30
2.6. Teori Lokasi, Kutub Pertumbuhan dan Pengembangan Wilayah ... 33
2.7. Skala Pengembalian ……….………...… 38
2.8. Tinjauan Studi Terdahulu Model I-O dalam Analisis Perekonomian 40 2.9. Tinjauan Studi Terdahulu Aglomerasi Industri …...………... 41
III. KERANGKA TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 46 3.1. Kerangka Teori ………... 46
3.1.1. Tabel Input-Output, Perekonomian dan Industri …………... 46
3.1.2. Konsentrasi Spasial dan Kekuatan Aglomerasi ………….…. 55
3.1.3. Keterkaitan Model Input-Output dan Ekonometrika ………… 63
3.2. Kerangka Pemikiran ………... 65
3.2.1. Peran Agroindustri dalam Perekonomian Wilayah Lampung 65 3.2.2. Konsentrasi Spasial, Klaster dan Kekuatan Aglomerasi ……. 66
ii
3.2.4. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap
Perekonomian Wilayah ……… 68
3.3. Hipotesis ………. 71
IV. METODE PENELITIAN ……….……. 72
4.1. Lokasi Penelitian ……….. 72
4.2. Jenis, Sumber dan Pengolahan Data ……….. 72
4.3. Analisis Input-Output ………. 73
4.4. Analisis Konsentrasi Spasial dan Kekuatan Aglomerasi …………... 77
4.5. Analisis Penghematan Aglomerasi ……… 81
4.6. Konstruksi Keterkaitan Input-Output Ekonometrika ………. 83
4.7. Analisis Simulasi ……….... 85
V. KETERKAITAN AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN WILAYAH PROPINSI LAMPUNG ……….……. 90
5.1. Kontribusi Agroindustri dalam Perekonomian di Provinsi Lampung 90 5.1.1. Struktur Output ……….……..….. 90
5.1.2. Struktur Nilai Tambah Bruto ……… 91
5.2. Keterkaitan Antarsektor Agroindustri dengan Sektor Ekonomi Lainnya ……….……….. 92
5.2.1. Keterkaitan Antarsektor ke Belakang ………...….……. 92
5.2.2. Keterkaitan Antarsektor ke Depan ……….………. 95
5.2.3. Kombinasi Keterkaitan Antarsektor ……….….. 99
5.2.4. Penelusuran Keterkaitan ke Depan dan ke Belakang ….….... 101
5.3. Pengganda Sektor Agroindustri ………..…………... 103
5.3.1. Pengganda Output ………..……... 103
5.3.2. Pengganda Pendapatan Rumah Tangga ……….. 107
5.3.3. Pengganda Tenaga Kerja ………...………... 109
VI. KONSENTRASI SPASIAL DAN PENGHEMATAN AGLOMERASI AGROINDUSTRI ………. 114
6.1. Konsentrasi Spasial ………...……… 114
6.2. Kekuatan Aglomerasi ……… ... 118
6.3. Sumber-sumber Aglomerasi ………….……… 125
iii
Provinsi Lampung ……… 129
6.4.1. Hasil Pengujian Statistik Model ……… 129
6.4.2. Produktivitas Agroindustri di Provinsi Lampung …………. 131
6.4.3. Penghematan Akibat Aglomerasi Agoindustri ………. 133
VII. DAMPAK KEBIJAKAN DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI LAMPUNG ……….….. 144
7.1. Output Sektoral ……… 144
7.2. Pendapatan Rumah Tangga ……….. 150
7.3. Kesempatan Kerja ………. 154
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ……….….. 159
8.1. Kesimpulan ……….………... 159
8.2. Impikasi Kebijakan ……….………... 161
8.3. Saran Penelitian Lanjutan ……….…….……….. 162
DAFTAR PUSTAKA ………...……….………... 164
iv
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Implikasi Aglomerasi Berkat Skala dan Keanekaragaman …...….… 15
2. Contoh Penelitian Aglomerasi yang Menggunakan Ekonometrika/OLS 42
3. Contoh Penelitian Aglomerasi yang Menggunakan Tabel Input-Output 44
4. Contoh Penelitian Aglomerasi yang Menggunakan Indeks …………. 45
5. Model dasar Tabel Input-Output ……….………… 48
6. Nama dan Kode Sektor berdasarkan Agregasi Sektor Tabel Input-Output
Provinsi Lampung ……….……….……. 75
7. Klasifikasi Subyek Agroindustri berdasarkan Tabel I-O dan KBLI …… 84
8. Output Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan
Tahun 2005 ……….………...…….……… 91
9. Keterkaitan ke Belakang Agroindustri dengan Sektor Lain di Provinsi
Lampung Tahun 2000 dan Tahun 2005 ………...…….………. 94
10. Keterkaitan ke depan Agroindustri dengan Sektor Lain di Provinsi
Lampung Tahun 2000 dan Tahun 2005 ………...…….………. 96
11. Kombinasi Keterkaitan Antarsektor Ekonomi di Provinsi Lampung
Tahun 2005 ………...……...…….……….. 99
12. Penelusuran Keterkaitan ke Belakang Sektor Agroindustri Provinsi
Lampung Tahun 2005 …...….…….. 102
13. Penelusuran Keterkaitan ke Depan Sektor Agroindustri Provinsi
Lampung Tahun 2005 ...….…...….... 103
14. Pengganda Output Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung Tahun
2000 dan Tahun 2005 ……….…...…….……… 105
15. Pengganda Pendapatan Tahun 2000 dan Tahun 2005 ………... 108
16. Pengganda Tenaga Kerja Sektor Agroindustri ………...………... 110
v
18. Indeks Gini Lokasional Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung …. 115
19. Indeks Spesialisasi Krugman (KSpec) Sektor Agroindustri di Provinsi
Lampung ……….………....………... 116
20. Indeks Ellison-Glaeser (γEG) Sektor Agroindustri Provinsi Lampung 118
21. Penetapan Klaster Agroindustri di Provinsi Lampung ……...……….. 124
22. Sumber-sumber Aglomerasi Sektor Agroindustri di Provinsi
Lampung ……….……….…… 126
23. Koefisien Produksi pada Agroindustri di Provinsi Lampung ... 132
24. Koefisien Akibat Aglomerasi pada Agroindustri di Provinsi Lampung 134
25. Dampak Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri
Provinsi Lampung terhadap Output Sektoral Tahun 2005 ……….…… 146
26. Dampak Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri
Provinsi Lampung terhadap Output Sektoral Tahun 2005 ……….…… 151
27. Dampak Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Pendapatan Rumah Tangga Sektoral
Tahun 2005 ……….……….……….……... 152
28. Dampak Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Pendapatan Rumah Tangga Sektoral
Tahun 2005 ……….……….……….……. 155
29. Dampak Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri
Provinsi Lampung terhadap Kesempatan Kerja Sektoral Tahun 2005 156
30. Dampak Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri
vi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Perkembangan Pemikiran tentang Aglomerasi …….……....….….……. 12
2. Pertumbuhan Jalur Seimbang dan Tidak Seimbang …....…….…….…... 22
3. Skala Pengembalian ………….………….…...……...… 40
4. Strategi Model Integrasi I-O dan Ekonometrika …….…...….……....… 64
5. Kerangka Pemikiran Penelitian ……….……….…….……....…... 70
6. Kerangka Operasional Penelitian ……….……….…..……....….. 87
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2000 ……….……….… 171
2. Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2005 ……….……….… 176
3. Kontribusi Output Sektor Ekonomi Provinsi Lampung Tahun 2000
dan 2005 …...…….……….………….……….………….... 182
4. Lokasi Pengembangan Klaster Industri Agro …...…….… 183
5. Kontribusi Industri Pengolahan dalam PDRB Propinsi Lampung Atas
Dasar Harga yang Berlaku …...…….……….………….……….….... 184
6. Perkembangan Ekspor Industri di Provinsi Lampung Tahun 2001-2005 185
7. Perkembangan Indikator Makro Ekonomi Provinsi Lampung Tahun
2000-2005 ……….……….………….……….…………....…….….... 186
8. Peta Penyebaran Industri Provinsi Lampung….…………... 187
9. Metode Pembaharuan Data …….……….……….…………. 188
10. Keterkaitan ke Belakang Sektor Agroindustri dengan Sektor Lain
di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005 ….…………....……... 191
11. Keterkaitan ke Depan Sektor Agroindustri dengan Sektor Lain
di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005 ….…………....……... 192
12. Pangsa Keterkaitan ke Belakang Sektor Agroindustri di Provinsi
Lampung Tahun 2005 ……….………….……….…………....…….… 193
13. Pangsa Keterkaitan ke Depan Sektor Agroindustri di Provinsi
Lampung Tahun 2005 ……….………….……….…………....…….… 194
14. Daya Sebar dan Derajat Kepekaan Sektor Ekonomi di Provinsi
Lampung Tahun 2005 ….……….……….……….…... 196
15. Pengganda Output Sektor Ekonomi di Provinsi Lampung Tahun 2000
dan 2005 ……….………….……….…………....…….…….………… 197
16. Pengganda Pendapatan Sektor Ekonomi di Provinsi Lampung Tahun
2000 dan 2005 ….……….……….……….…………... 198
17. Pengganda Kesempatan Kerja Sektor Ekonomi di Provinsi Lampung
viii
18. Rekapitulasi Peringkat Keterkaitan dan Pengganda Sektor Ekonomi
Tahun 2000 ….……….……….……….…………... 200
19. Rekapitulasi Peringkat Keterkaitan dan Pengganda Sektor Ekonomi
Tahun 2005 ….……….……….……….…………... 201
20. PDRB Sektor Agroindustri Provinsi Lampung Tahun 2000 (jutaan
rupiah) ……….……….………….……….…………....…….…... 202
21. PDRB Sektor Agroindustri Provinsi Lampung Tahun 2005 (jutaan
rupiah) ……….……….………….……….…………....…….…... 203
22. Nilai LQ Sektor Agroindustri Kabupaten/ Kota di Provinsi Lampung
Tahun 2000 ……….……….………….……….…………....…….…... 204
23. Nilai LQ Sektor Agroindustri Kabupaten/ Kota di Provinsi Lampung
Tahun 2005 ……….……….………….……….…………....…….….... 205
24. Peta Rencana Sistem Pelayanan Perkotaan Provinsi Lampung... 206
25. Direktori Industri Sedang dan Besar Provinsi Lampung Tahun 2005 207
26. Tingkat Pendidikan Pekerja Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung
Tahun 1997 ….……….……….……….…………... 215
27. Hasil Estimasi Model dan Statistik t Tabel .……….………….... 216
28. Alternatif Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri
Provinsi Lampung terhadap Output Sektoral Tahun 2005 .…………. 221
29. Alternatif Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri
Provinsi Lampung terhadap Pendapatan Rumah Tangga Tahun 2005 223
30. Alternatif Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri
Provinsi Lampung terhadap Kesempatan Kerja Tahun 2005 .………. 225
31. Alternatif Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri
Provinsi Lampung terhadap Output Sektoral Tahun 2005 .…………. 227
32. Alternatif Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Pendapatan Rumah Tangga Sektoral
Tahun 2005 ……….……….……….…………... 229
33. Alternatif Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri
1.1. Latar Belakang
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009
di Sektor Industri Manufaktur, Pemerintah Pusat memprioritaskan pengembangan
agroindustri. Prioritas tersebut bertujuan untuk meningkatkan perekonomian
wilayah, khususnya di luar Jawa. Rencana tersebut beralasan karena agroindustri
merupakan subsektor industri yang selama ini memberikan kontribusi besar dalam
penyerapan tenaga kerja dan ekspor non migas. Pengembangan agroindustri pada
dasarnya ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah sektor pertanian.
Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 telah memberikan
pengaruh yang besar terhadap perekonomian Indonesia pada tahun 1998. Krisis
ekonomi yang diawali oleh turunnya nilai rupiah terhadap US dollar menyebabkan
semakin mahalnya harga barang-barang impor. Hal ini pada gilirannya
menyebabkan semakin meningkatnya biaya produksi yang harus ditanggung oleh
produsen dalam negeri, yang banyak menggantungkan produksi melalui
ketersediaan bahan baku impor. Krisis ekonomi yang berkepanjangan tersebut
menyebabkan output menjadi berkurang sehingga mengakibatkan penurunan produk
domestik bruto (PDB) Indonesia pada tahun 1998. Pertumbuhan ekonomi Indonesia
pada tahun tersebut mengalami kontraksi sekitar -13.1%, yang mengakibatkan
banyak sektor ekonomi terpuruk, terutama industri dan konstruksi.
Menurut Departemen Perindustrian (2005), perekonomian Indonesia mulai
mengarah pada pemulihan krisis ekonomi yang tercermin dari membaiknya kondisi
ekonomi makro dengan indikator terkendalinya inflasi, stabilnya nilai tukar terhadap
nilai mata uang asing khususnya dolar Amerika Serikat, rendahnya suku bunga bank
perbaikan kinerja, baik dalam hal pertumbuhan, kontribusi, maupun peranannya.
Meskipun ada perbaikan yang cukup berarti, harus diakui bahwa peran sektor
industri dalam ekonomi nasional, serta sektor riil lainnya masih lebih rendah
dibandingkan dengan kondisi sebelum krisis.
Herjanto (2003) menyebutkan bahwa sebelum terjadi krisis ekonomi pada
pertengahan tahun 1997, perkembangan jumlah unit usaha, tenaga kerja, nilai
produksi, nilai investasi dan nilai ekspor agroindustri menunjukkan peningkatan
yang cukup menggembirakan. Dari jumlah unit usaha, pada tahun 1995 tercatat
sebanyak 2 068 unit usaha sedangkan pada tahun 1997 telah mencapai 2 416 unit
usaha atau naik rata-rata 8.41% pertahun. Penyerapan tenaga kerja juga mengalami
peningkatan, apabila pada tahun 1995 sebesar 817 466 orang, pada tahun 1997 telah
mencapai 971 896 orang. Perkembangan ekspor juga menunjukkan peningkatan
yang tajam. Pada tahun 1995 nilai ekspor tercatat sebesar US$ 1.65 milyar, pada
tahun 1997 telah mencapai US$ 2.39 milyar atau mengalami pertumbuhan rata-rata
20.5% pertahun.
Saat awal krisis ekonomi pada tahun 1997, agroindustri masih bertahan. Hal
ini ditunjukkan dengan tingkat utilitas rata-rata sekitar 75.3%. Setelah krisis
melanda Indonesia, terjadi penurunan tingkat utilitas menjadi sekitar 6.9% pada
tahun 1998. Nilai ekspor juga mengalami penurunan, di mana pada tahun 1997 nilai
ekspor mencapai US$ 2.39 milyar sedangkan tahun 1998 menjadi US$ 1.96 milyar
(turun -17.8%). Meskipun demikian, kontribusi sektor agroindustri terhadap
perekonomian masih tetap tinggi. Pada tahun 1998, saat pertumbuhan ekonomi
negatif, sektor agroindustri menyumbang Rp 39.87 trilyun pada PDB ekonomi atau
sebesar 17.56% dari kontribusi sektor industri pengolahan non-migas.
Pada tahun 2000 sumbangan sektor agroindustri terhadap PDB ekonomi
menengah besar) berjumlah 2 190 unit usaha dengan nilai investasi sebesar Rp 27
trilyun. Nilai produksi mencapai Rp 39.1 trilyun dan total ekspor mencapai US$ 3
milyar. Sedangkan untuk skala kecil menengah berjumlah lebih dari 545 000 unit
usaha dengan nilai produksi mencapai Rp 12.5 trilyun dan nilai investasi sebesar Rp
2.97 trilyun, serta total ekspor sebesar US$ 112.5 juta.
Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi potensial untuk
pengembangan agroindustri di luar Jawa. Besarnya potensi tersebut dapat dilihat dari
kontribusi agroindustri terhadap output sektoral dalam perekonomian wilayah
Lampung. Berdasarkan Lampiran 1, 2 dan 3 yang merupakan data Tabel
Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005, peringkat terbesar dalam
kontribusi output sektoral adalah sektor-sektor dalam kelompok agroindustri.
Sektor-sektor agroindustri tersebut menyumbang sekitar 28% output daerah, dimana
persentase ini lebih besar dibandingkan sektor pertanian.
Jika dibandingkan dengan sektor produksi primer (perkebunan, padi,
perikanan, peternakan dan kehutanan), perolehan output dan nilai tambah pada
sektor agroindustri tersebut sangat besar. Sektor agroindustri memberikan
sumbangan sekitar 50% terhadap ekspor non migas Provinsi Lampung selama tahun
2001-2005 (lihat Lampiran 6 dan 7). Pada tahun 2001 nilai ekspor industri hasil
pertanian mencapai US $ 245 812.64 ribu. Nilai ekspor komoditas ini terus bergerak
naik hingga mencapai US $ 586 216.46 ribu pada tahun 2005.
1.2. Perumusan Masalah
Kebijakan dalam pembangunan industri manufaktur diarahkan untuk
menjawab tantangan globalisasi ekonomi dunia serta mampu mengantisipasi
perkembangan perubahan lingkungan yang cepat. Persaingan internasional
pembangunan industri di masa depan adalah membangun daya saing industri
manufaktur yang berkelanjutan di pasar internasional.
Untuk membangun daya saing yang berkelanjutan, upaya pemanfaatan
seluruh potensi sumber daya yang dimiliki bangsa serta kemampuan untuk
memanfaatkan peluang-peluang yang ada di luar maupun di dalam negeri harus
dilakukan secara optimal. Oleh karena itu, daya saing yang berkelanjutan tersebut
terletak pada upaya menggerakkan dan mengorganisasikan seluruh potensi sumber
daya produktif untuk menghasilkan produk inovatif yang lebih murah, lebih baik,
dan lebih mudah diperoleh dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan permintaan
pasar.
Menurut Pandjaitan (2000), dalam rangka untuk meningkatkan daya saing
industri, diperlukan pengelompokan industri yang saling berhubungan secara
intensif, dan merupakan aglomerasi perusahaan-perusahaan yang membentuk
kemitraan. Pentingnya perhatian tentang aglomerasi, berkait dengan sejumlah
argumen bahwa aglomerasi muncul karena pelaku ekonomi berupaya mendapatkan
penghematan aglomerasi baik karena lokasi perusahaan (localization economies),
maupun urbanisasi (urbanization economies) (Kuncoro, 2000). Hal ini sejalan
dengan pemikiran O’Sullivan (2000) bahwa kedua macam penghematan ekonomi
tersebut merupakan konsentrasi ekonomi secara spasial. Kedua macam
penghematan ini, yang sering disebut agglomeration economies, secara implisit
memperlihatkan hubungan antara industrialisasi dan urbanisasi dalam proses
pembangunan. Penghematan akibat lokalisasi terjadi apabila biaya produksi
perusahaan pada suatu industri menurun ketika produksi total dari industri tersebut
meningkat. Dengan berlokasi di dekat perusahaan lain dalam industri yang sama,
suatu perusahaan dapat menikmati beberapa manfaat. Tiga tipe agglomeration
economies (O’Sullivan, 2000; Capello, 2007). Fujita et al. (1999) menyatakan terjadinya aglomerasi didasari oleh pentingnya hasil yang meningkat akibat skala
ekonomi, biaya transportasi, serta keterkaitan ke belakang dan ke depan yang besar.
Penghematan lokalisasi yang berkaitan dengan perusahaan-perusahaan yang
memiliki aktifitas dan berhubungan satu sama lain, telah memunculkan fenomena
klaster industri, atau sering disebut industrial clusters atau industrial districts.
Klaster industri pada dasarnya merupakan kelompok aktivitas produksi yang amat
terkonsentrasi secara spasial dan biasanya berspesialisasi pada hanya satu atau dua
industri. Menurut Markusen (1996), aglomerasi industri merupakan kumpulan
klaster-klaster industri.
Keterkaitan aglomerasi industri dengan kebijaksanaan industri nasional
adalah kebijakan persebaran lokasi industri melalui penguatan klaster industri.
Kebijakan klaster industri secara formal tercantum dalam Undang-undang No. 25
Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), dinyatakan bahwa
dalam rangka konsolidasi pembangunan sektor primer, sekunder dan tersier,
termasuk persebaran pembangunan sektor-sektor tersebut dapat ditempuh melalui
klaster industri. Klaster industri merupakan bentukan organisasi yang paling sesuai
guna menjawab tantangan globalisasi. Kebijakan ini dilanjutkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) Tahun 2004-2009 yang berkaitan
dengan sektor industri (Bappenas, 2005).
Dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) Tahun 2004-2009, disebutkan
bahwa peningkatan daya saing industri manufaktur dilakukan melalui penguatan
klaster. Klaster-klaster tersebut tersebut adalah (1) industri makanan dan minuman,
(2) industri pengolahan hasil laut, (3) industri tekstil dan produk tekstil, (4) industri
bambu), (7) industri karet dan barang karet, (8) industri pulp dan kertas, (9) industri
mesin listrik dan peralatan listrik, serta (10) industri petrokimia. Kriteria penentuan
klaster adalah berdasarkan peranan industri terhadap (1) penyerapan tenaga kerja,
(2) pemenuhan kebutuhan dasar dalam negeri, (3) pengolahan hasil pertanian dan
sumberdaya alam, (4) potensi pengembangan ekspor, serta (5) terkait dengan
industri masa depan.
Menurut Departemen Perindustrian (2005), industri masa depan adalah
industri-industri yang mempunyai daya saing tinggi, didasarkan pada besarnya
potensi sumberdaya alam, kemampuan atau daya kreasi dan ketrampilan, serta
profesionalisme sumberdaya manusia. Industri masa depan sebagai industri yang
pengembangannya diprioritaskan pada masa yang akan datang, meliputi: (1) industri
berbasis agro, (2) industri alat angkut, serta (3) industri teknologi informasi dan
peralatan telekomunikasi (telematika). Pengembangan industri berbasis agro
(agroindustri) dilakukan melalui pendekatan klaster. Lokasi pengembangan klaster
agroindustri dapat dilihat pada Lampiran 4.
Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi potensial untuk
pengembangan agroindustri di luar Jawa dan lokasi utama klaster agroindustri.
Berdasarkan Lampiran 5 diketahui bahwa agroindustri di Provinsi Lampung
memiliki kontribusi yang besar dalam PDRB dan penyerapan tenaga kerja. Dari
lampiran tersebut terlihat bahwa agroindustri menyumbang sekitar 12% dari total
PDRB Provinsi Lampung dalam kurun waktu tahun 2000-2004 dan menyerap
sekitar 75% dari tenaga kerja yang bekerja di lapangan usaha industri dalam kurun
waktu tahun 2000-2005. Berdasarkan kontribusi output dan penyerapan tenaga
kerja, agroindustri berperan sebagai leading sector sehingga pengembangan
agroindustri di Provinsi Lampung memiliki arti yang sangat strategis. Salah satu
keterkaitan antara pertanian dan industri yang tangguh. Dengan demikian, penelitian
keterkaitan antarsektor agroindustri di Provinsi Lampung diperlukan untuk melihat
peran agroindustri sebagai leading sector menuju tercapainya transformasi struktural
dari pertanian ke industri.
Aglomerasi agroindustri di Provinsi Lampung terjadi karena posisi Provinsi
Lampung dekat dengan kawasan Jabotabek sebagai daerah pemasaran, dan dekat
dengan sumber bahan baku (lihat Lampiran 8). Oleh karena itu, diperlukan
penelitian tentang aglomerasi industri dan peranannya dalam perekonomian Provinsi
Lampung. Analisis peranan agroindustri dalam perekonomian wilayah dilakukan
agar target agroindustri dalam meningkatkan output, pendapatan dan penyerapan
tenaga kerja wilayah memberikan kontribusi yang besar.
Dari latar belakang dan gambaran kondisi agroindustri di Provinsi Lampung,
maka ada beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana keterkaitan antarsektor agroindustri terhadap sektor-sektor lain
dalam perekonomian wilayah?
2. Apakah terjadi konsentrasi spasial dan aglomerasi pada sektor-sektor
agroindustri di Provinsi Lampung?
3. Apakah aglomerasi menimbulkan penghematan (agglomeration economies)
dalam produksi sektor agroindustri?
4. Kebijakan ekonomi apakah yang berpotensi meningkatkan peran sektor
agroindustri dalam perekonomian wilayah?
1.3. Tujuan Penelitian
Secara lebih spesifik, tujuan penelitian adalah :
1. Menganalisis keterkaitan sektor agroindustri dalam perekonomian wilayah.
2. Mengidentifikasi terjadinya konsentrasi spasial dan aglomerasi pada sektor
3. Menganalisis penghematan aglomerasi (agglomeration economies) dalam sektor
agroindustri.
4. Menganalisis dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri dalam
perekonomian wilayah.
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat :
1. Memberikan kontribusi bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam
pengambilan keputusan guna mengoptimalkan peranan agroindustri dalam
perekonomian Provinsi Lampung melalui pendekatan aglomerasi, keterkaitan
dan kontribusi agroindustri dalam output, pendapatan, dan tenaga kerja.
2. Memperkaya khasanah pengetahuan tentang ekonomi pembangunan, ekonomi
pertanian, geografi ekonomi, ekonomi regional, ekonomi publik, dan
perencanaan wilayah.
3. Sebagai bahan referensi bagi penelitian lanjutan yang lebih mendalam.
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan
Penelitian ini mengkaji dampak eksternalitas aglomerasi dan peran
agroindustri dalam perekonomian wilayah Provinsi Lampung dengan ruang lingkup
dan keterbatasan sebagai berikut :
1. Penelitian ini meliputi langkah-langkah berikut: (1) pengkajian struktur ekonomi
wilayah, (2) pembaharuan data (updating) Tabel Input-Output Tahun 2000 ke
Tahun 2005, (3) pengkajian keterkaitan ke belakang dan ke depan, serta dampak
pengganda agroindustri, (4) pengkajian besarnya konsentrasi spasial dan
kekuatan aglomerasi, (5) pengkajian faktor-faktor penentu penyebab tumbuhnya
penghematan akibat aglomerasi agroindustri (agglomeration economies), (6)
2. Lingkup wilayah penelitian dibatasi pada tingkat makro wilayah Provinsi
Lampung dan tidak menganalisis keterkaitan antar wilayah (inter region). Salah
satu alat analisis data yang dipergunakan adalah Model Input-Ouput (I-O)
sehingga berlaku asumsi-asumsi yang dipergunakan dalam model tersebut.
Asumsi-asumsi tersebut adalah : (1) keseluruhan kegiatan ekonomi dibagi habis
menurut klasifikasi tertentu ke dalam sektor dan institusi, (2) jumlah penerimaan
dan jumlah pengeluaran dari masing-masing sektor/institusi berimbang (adanya
prinsip keseimbangan umum), dan (3) distribusi koefisien antar sektor/berlaku
konstan.
3. Asumsi yang digunakan dalam analisis input-output yaitu: (1) keseragaman
(homogeneity), yang mensyaratkan bahwa tiap sektor memproduksi suatu output
tunggal dengan struktur input tunggal dan tidak ada substitusi otomatis terhadap
input dari output sektor yang berbeda-beda, (2) kesebandingan (proportionality),
yang menyatakan hubungan antara input dan output di dalam tiap sektor
merupakan fungsi liniar, yaitu jumlah tiap jenis input yang diserap oleh sektor
tertentu naik atau turun sebanding dengan kenaikan atau penurunan output dari
sektor-sektor tersebut, (3) penjumlahan (additivity), yang berarti bahwa efek
total dari kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan efek masing-masing
kegiatan, dan (4) ekses kapasitas atau kapasitas sumberdaya berlebih. Artinya
sisi penawaran selalu dapat merespon perubahan sisi permintaan dan penawaran
tidak pernah menimbulkan kesenjangan antara keduanya. Konsekuensinya
harga-harga tidak pernah berubah atau harga tetap (fixed price) dan bersifat
eksogen.
4. Tidak membangun Tabel Input-Output Interregional antar kabupaten/kota
5. Analisis pengaruh penghematan akibat aglomerasi (agglomeration economies)
agroindustri dibatasi pada maanfaatnya bagi produksi atau output industri besar
dan sedang karena berhubungan dengan konfigurasi spasial dan keterbatasan
data.
6. Analisis konsentrasi spasial dan kekuatan aglomerasi sektor agroindustri dibatasi
pada unit spasial kabupaten atau kabupaten yang berdekatan (co-location).
7. Analisis knowledge spillovers dibatasi pada tingkat pendidikan pekerja,
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Aglomerasi
Montgomery (1988) mendefinisikan aglomerasi sebagai konsentrasi spasial
dari aktivitas ekonomi di kawasan perkotaan karena penghematan akibat lokasi yang
berdekatan (economies of proximity), yang diasosasikan dengan klaster spasial dari
perusahaan, para pekerja, dan konsumen. Markusen (1996) menyatakan bahwa
aglomerasi merupakan suatu lokasi yang "tidak mudah berubah" akibat adanya
penghematan eksternal yang terbuka bagi semua perusahaan yang letaknya
berdekatan dengan perusahaan lain dan penyedia jasa-jasa, dan bukan akibat
kalkulasi perusahaan atau para pekerja secara individual. Aglomerasi merupakan
kumpulan klaster-klaster industri. Namun suatu klaster, atau superklaster di Brazil,
atau bahkan kumpulan klaster tidak dapat diidentikkan dengan suatu kota.
Nama-nama populer seperti Silicon Valley di AS atau Sinos Valley di Brazil menunjukkan
bentuk-bentuk geografis yang berbeda. Negara Bagian Minnesota juga merupakan
aglomerasi industri dari masing-masing bagian wilayah yang berspesialisasi yaitu
Twin Cities untuk industri jasa, Southeast Minnesota untuk industri mesin,
Southwest Minnesota untuk industri peralatan pertanian, Northwest Minnesota
untuk industri pengolahan hasil pertanian, dan Northeast Minnesota untukindustri
hasil hutan dan rekreasi(Munnich, 2005).
Perkembangan konsep dan pemikiran tentang aglomerasi dapat dirangkum
dalam Gambar 1. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa setiap studi atau teori
mengenai aglomerasi dapat digolongkan dalam perspektif klasik atau moderen.
Ditinjau dari perspektif klasik, aglomerasi merupakan suatu bentuk spasial dan
diasosiasikan dengan konsep "penghematan akibat aglomerasi" (economies of
meletakkan dasar-dasar model mikro mengenai eksternalitas akibat skala ekonomis
(Kuncoro, 2000).
Sumber: Kuncoro (2000)
Gambar 1. Perkembangan Pemikiran tentang Aglomerasi
Jalur pemikiran tersebut dikembangkan dengan berbagai studi empiris yang
mencoba menganalisis dan mengestimasi besarnya skala ekonomis. Sementara itu,
para ahli ekonomi regional mendefinisikan kota sebagai hasil dari produksi
aglomerasi secara spasial. Hal ini pada gilirannya mendorong tumbuhnya literatur
mengenai formasi kota.
Menurut Hoover (1985), penghematan aglomerasi adalah penghematan yang
terjadi akibat terkonsentrasinya aktivitas ekonomi secara spasial. Penghematan
tersebut dapat terjadi dalam industri yang sama atau beberapa industri yang berbeda. KLASIK Penghematan Eksternal Formasi Perkotaan Eksterna-litas Dinamis Pertumbuhan Kota Biaya Transaksi Lokalisasi vs Urbanisasi Marshall- Arrow Romer
Jacobs Central Place
vs Network System Increasing return (Penghematan akibat skala)
Hoover (1985) menyatakan bahwa ada 2 macam penghematan akibat aglomerasi,
yaitu penghematan lokalisasi dan penghematan urbanisasi. Penghematan lokalisasi
terjadi karena konsentrasi spasial dalam industri yang sama, meliputi penghematan
transfer yang terjadi pada keseluruhan perusahaan dalam industri dan saling terkait
satu sama lain. Hal ini menyebabkan penurunan biaya produksi perusahaan pada
suatu industri ketika produksi total dari industri tersebut meningkat (economies of
scale). Penghematan urbanisasi terjadi apabila industri-industri pada suatu wilayah terasosiasi dan terakumulasi dalam berbagai tingkatan aktivitas ekonomi secara
keseluruhan. Penghematan urbanisasi mendorong terciptanya pendukung dari
aktivitas ekonomi secara keseluruhan dan menciptakan keuntungan secara kumulatif
bagi seluruh industri.
Berdasarkan Pemikiran Hoover tentang localization economies dan
urbanization economies, Glaeser et al. (1992) mengklasifikasikan dua macam
knowledge spillovers, yaitu intraindustry spillovers dan interindustry spillovers.
Intraindustry spillovers adalah knowledge spillovers yang terjadi pada suatu industri
yang dikembangkan berdasarkan pemikiran Romer. Sedangkan interindustry
spillovers, yang dikembangkan oleh Jacob, merupakan knowledge spillovers yang terjadi antar industri yang berkaitan dalam suatu lokasi.
Jacob (1969) mengembangkan pemikiran Hoover tentang penghematan
urbanisasi. Jacob menyatakan bahwa terjadi ekternalitas positif antar industri berupa
interindustry spillovers yang biasa disebut sebagai Jacobs externalities sebagai dampak terkonsentrasinya dan terasosiasinya industri-industri pada suatu wilayah.
Henderson (1994) melengkapi pemikiran Jacob dan menyatakan bahwa penelitian
dan pengembangan (R&D) berpengaruh positif terhadap Jacobs externalities.
Perspektif moderen menunjukkan beberapa kritik terhadap teori Klasik
Pertama, teori-teori baru mengenai eksternalitas dinamis (dynamic externalities).
Kedua, mahzab pertumbuhan perkotaan. Ketiga, paradigma berbasis biaya transaksi.
Dalam kaitannya dengan aglomerasi, sebagian besar ekonom mendefinisikan
kota sebagai hasil dari proses produksi aglomerasi secara spasial. Quigley (1998)
mengidentifikasi empat macam pemikiran studi aglomerasi dan yang diidentifikasi
menjadi empat periode evolusi pemikiran. Periode pertama, yaitu beberapa
dasawarsa setelah Perang Dunia I, fokus analisis adalah pada faktor-faktor yang
mempengaruhi lokasi perusahaan dan rumah tangga dalam suatu kota. Pada periode
kedua, yang dimulai pada pertengahan dasawarsa 1960-an, kebanyakan studi
mencoba menjelaskan daya tarik lokasi kawasan perkotaan. Periode ketiga muncul
dari analisis yang intensif mengenai kota-kota utama di AS dan memperkenalkan
konsep eksternalitas, yang muncul akibat skala ekonomis.
Menurut Quigley (1998), saat ini kita berada dalam pertengahan periode
keempat dalam mencoba memahami perekonomian kota. Pada periode ini, kota
digunakan untuk menganalisis hakikat dan sebab-sebab pertumbuhan ekonomi.
Kebanyakan analisis aglomerasi secara implisit mengasumsikan bahwa formasi dan
perkembangan kota dapat dipahami bila mekanisme konsentrasi produksi secara
spasial telah dimengerti dengan benar.
Kuncoro (2000) menyatakan bahwa aglomerasi tidak selalu memunculkan
suatu kota. Perbedaan antara aglomerasi dan kota terutama terletak pada perbedaan
antara kesederhanaan (simplicity) dan kompleksitas. Teori klasik mengenai
aglomerasi berargumen bahwa aglomerasi muncul karena para pelaku ekonomi
berupaya mendapatkan penghematan akibat aglomerasi (agglomeration economies),
baik karena penghematan akibat lokasi maupun penghematan akibat urbanisasi,
dengan mengambil lokasi yang saling berdekatan satu sama lain. Aglomerasi ini
antar perusahaan dalam industri yang sama, antar perusahaan dalam industri yang
berbeda, ataupun antar individu, perusahaan dan rumah tangga. Di lain pihak, kota
adalah suatu daerah keanekagaman yang menawarkan manfaat kedekatan lokasi
konsumen maupun produsen. Beberapa faktor kunci yang memiliki implikasi
terhadap skala dan keberagaman kota disajikan pada Tabel 1. Faktor-faktor ini
meliputi skala ekonomis, penghematan akibat berbagi input baik dalam proses
produksi maupun konsumsi, penurunan biaya transaksi, dan penurunan variabilitas
akibat keanekaragaman aktivitas ekonomi.
Tabel 1. Implikasi Aglomerasi Berkat Skala dan Keanekaragaman
Faktor Contoh Argumen Teori
1. Penghematan skala
(Scale economies)
Dalam produksi, di dalam perusahaan Dalam konsumsi
Skala pabrik yang lebih besar Barang publik: taman, stadion olah raga
Mills, Dixit
Arnott & Stiglizt
2. Berbagi bahan baku
(Shared inputs)
Dalam produksi Dalam konsumsi
Perbaikan, akuntansi, hukum, iklan Teater, restoran, kultur tinggi/rendah
Krugman Rivera-Batiz
3. Biaya transaksi
(Transaction cost)
Dalam produksi
Dalam konsumsi
Kesesuaian pasar tenaga kerja
Kawasan perbelanjaan
Heisley & Strange, Acemoglu,
Artle
4. Penghematan statistik (Statistical economies) Dalam produksi Dalam konsumsi
Asuransi bagi penganggur Penjualan kembali aset Barang-barang substitusi
David & Rosenbloom Heisley & Strange
Sumber: Quigley (1998)
Pendekatan lain adalah mengaitkan aglomerasi sebagai suatu bentuk spasial
dengan konsep "penghematan akibat aglomerasi" melalui konsep eksternalitas. Scott
and Storper (1992) membedakan konsep eksternalitas antara: (1) penghematan
penghematan akibat skala dan cakupan (economies of scale dan economies of
scope).
Penghematan internal adalah suatu pengurangan biaya secara internal di
dalam suatu perusahaan atau pabrik. Seberapa jauh pengurangan biaya dapat dicapai
pada suatu perusahaan tergantung apakah efisiensi dapat ditingkatkan atau
dipertahankan. Beberapa faktor yang berperan dalam pengurangan biaya secara
internal meliputi: pembagian kerja (spesialisasi), digantinya tenaga manusia dengan
mesin, melakukan subkontrak beberapa aktivitas proses produksi kepada perusahaan
lain, dan menjaga titik optimal operasi yang meminimalkan biaya.
Penghematan eksternal merupakan pengurangan biaya yang terjadi akibat
aktivitas di luar lingkup perusahaan atau pabrik. Sebagaimana halnya suatu
perusahaan dapat mencapai penghematan biaya secara internal dengan memperluas
produksi atau meningkatkan efisiensi, suatu atau beberapa industri dapat meraih
penghematan eksternal dengan beraglomerasi secara spasial. Penghematan biaya
terjadi akibat perusahaan-perusahaan dalam industri yang sama bersaing satu sama
lain dalam memperoleh pasar atau konsumen. Penghematan juga terjadi karena
adanya tenaga terampil dan bahan baku pada daerah tersebut yang menopang
jalannya usaha perusahaan. Manfaat aglomerasi industri diperkuat oleh sarana dan
prasarana seperti pendidikan, air, transportasi, dan hiburan, yang memungkinkan
adanya penghematan biaya.
Penghematan akibat skala muncul karena perusahaan menambah produksi
dengan cara memperbesar pabrik (skala). Penghematan biaya terjadi dengan
meningkatkan skala pabrik sehingga biaya produksi per unit dapat ditekan. Ini
berbeda dengan penghematan akibat cakupan yang terjadi karena sejumlah aktivitas
atau sub-unit usaha secara internal maupun eksternal dapat dilakukan pada saat yang
penghematan skala ekonomis dan cakupan secara khusus berkaitan dengan proses
aglomerasi. Penghematan akibat aglomerasi merupakan fungsi dari sejumlah
barang-barang konsumsi, variabilitas input antara, dan angkatan kerja (Kuncoro, 2000).
Dewasa ini teori-teori klasik yang dianggap standar ditantang dan
disempurnakan oleh tiga jalur paradigma: (1) teori-teori baru mengenai eksternalitas
dinamis yang menekankan peranan transfer informasi dan inovasi, (2) paradigma
pertumbuhan perkotaan, dan (3) paradigma yang berbasis biaya transaksi.
Teori-teori baru mengenai eskternalitas dinamis percaya bahwa akumulasi
informasi pada suatu lokasi tertentu akan meningkatkan produktivitas dan
kesempatan kerja. Pendekatan ini menjelaskan secara simultan bagaimana kota-kota
terbentuk dan mengapa mereka tumbuh. Berbeda dengan eksternalitas statis,
Menurut Henderson et al. (1995) eksternalitas dinamis menekankan pada pentingnya
transfer pengetahuan (knowledge spillovers) antar perusahaan dalam suatu industri,
yang diperoleh lewat komunikasi yang terus berlangsung antar perusahaan lokal
dalam industri yang sama. Porter (1990) membuat argumen yang serupa bahwa
pertumbuhan didorong oleh transfer pengetahuan pada industri yang berspesialisasi
pada produk tertentu dan terkonsentrasi secara spasial.
Pertumbuhan kota-kota ternyata meliputi berbagai faktor yang lebih
kompleks daripada sekedar penghematan akibat aglomerasi. Teori skala kota yang
optimal (theories of optimum city size), yang dikaji ulang oleh Fujita and Thisse
(2002) menggambarkan ekuilibrium konfigurasi spasial dari aktivitas ekonomi
sebagai hasil yang menarik antara kekuatan sentripetal dan sentrifugal. Kekuatan
sentripetal (centripetal forces), yang ditunjukkan oleh penghematan aglomerasi,
adalah semua kekuatan menarik aktifitas ekonomi ke daerah perkotaan. Kekuatan
Ronald Coase (Pemenang Hadiah Nobel dalam llmu Ekonomi tahun 1991)
merupakan ekonom yang mengembangkan analisis biaya transaksi (ABT). Menurut
Coase (1992), untuk melakukan suatu transaksi pasar diperlukan identifikasi dengan
siapa seseorang bertransaksi, menginformasikan kepada masyarakat bahwa
seseorang ingin berurusan beserta persyaratannya, melakukan negosiasi hingga
penawaran, menulis kontrak, melakukan pemeriksaan yang diperlukan untuk
meyakinkan bahwa syarat-syarat kontrak telah diikuti, dan seterusnya. Biaya
transaksi tidak hanya mempengaruhi penyusunan kontrak tetapi juga mempengaruhi
barang dan jasa yang diproduksi. Adanya biaya transaksi akan mendorong
munculnya perusahaan.
Sumber-sumber aglomerasi ekonomi terdiri dari spillovers (rembesan)
informasi, input lokal tidak diperdagangkan, dan sumber tenaga kerja lokal terlatih
(Mccann, 2001; Capello, 2007). Jika beberapa perusahaan pada industri yang sama
terkumpul pada lokasi yang sama, ini berimplikasi bahwa pemilik perusahaan relatif
mudah dalam mengakses tenaga kerja dari perusahaan lokal lainnya. Tenaga kerja
yang berkumpul pada lokasi yang sama memudahkan rembesan (spillovers)
informasi melalui kontak langsung atau tidak langsung (Cohen, 2005). Pada situasi
di mana beberapa perusahaan ada di lokasi yang sama, ada kemungkinan terdapat
input lokal tidak diperdagangkan seperti infrastruktur tersebut, dengan cara yang
lebih efisien dibandingkan jika perusahaan terdispersi/menyebar. Konsentrasi
spasial menurunkan biaya transaksi informasi. Konsentrasi spasial meningkatkan
kemungkinan informasi yang tepat akan ditransmisikan, dan ketersediaan tenaga
kerja terlatih pada lokasi tersebut relatif lebih banyak dari pada tenaga kerja yang
2.2. Keterkaitan Antarsektor
Debat ahli ekonomi mengenai pertumbuhan seimbang (balanced growth)
dan tidak seimbang (unbalanced growth) telah memberikan sumbangan bagi studi
kuantitatif pola-pola pembangunan. Pendukung pertumbuhan seimbang seperti
Nurkse (1953) atau Rosenstein-Rodan (1963) mengargumentasikan bahwa negara
harus membanguan berbagai industri secara simultan jika ingin mencapai
pertumbuhan berkelanjutan. Tipe pembangunan ini sering disebut sebagai
pertumbuhan seimbang pada sisi permintaan, karena pembangunan industri
ditentukan oleh permintaan atau pola pengeluaran dari konsumen dan investor.
Pertumbuhan seimbang pada sisi penawaran menunjukkan kebutuhan untuk
membangun beberapa industri secara bersamaan untuk mencegah kemacetan
penawaran.
Salah satu masalah terkait dengan argumen pertumbuhan seimbang
berkaitan dengan nasehat suatu negara miskin dengan sedikit atau tanpa industri
disarankan untuk membangun beberapa industri secara bersamaan atau terus
mengalami stagnasi. Program ini terkadang disebut sebagai big push atau critical
minimum effort. Saran tersebut tidak mendorong negara miskin yang memiliki beban sumberdaya manajerial dan finansial yang membatasinya untuk mendirikan
beberapa pabrik baru.
Dalam pembahasan mengenai pola pembangunan industri, ditunjukkan
bahwa sedikit bukti yang menunjukkan bahwa semua negara mengikuti pola
tertentu. Beberapa negara memberikan penekanan pada satu industri tertentu,
sedangkan negara lain terkonsentrasi pada set industri yang berbeda. Pendukung
pola pertumbuhan tidak seimbang (unbalanced growth), khususnya Hirschman
pola pembangunan industrial yang berbeda. Suatu negara dapat mengkonsentrasikan
energinya hanya pada beberapa sektor pada tahap awal pembangunannya.
Menurut Perkins (2001), pertumbuhan tidak seimbang yang diusulkan oleh
Hirschman, tidak berisi cara melepaskan diri dari dilema pertumbuhan seimbang.
Hirschman membangun ide pertumbuhan tidak seimbang tertuju bagaimana
seharusnya pembangunan berjalan. Konsep sentral dari teori Hirschman (1958)
adalah keterkaitan. Industri dikaitkan dengan industri lain dengan cara-cara yang
dapat diperhitungkan dalam memutuskan suatu strategi pembangunan. Industri
dengan backward linkages menggunakan input dari industri lain. Keterkaitan ke
depan terjadi dalam industri yang memproduksi barang yang menjadi input industri
lain.
Keterkaitan ke depan dan ke belakang menghasilkan tekanan yang
mengawali penciptaan industri baru yang pada gilirannya menciptakan tekanan
tambahan dan seterusnya. Tekanan ini dapat berbentuk peluang profit baru bagi
pengusaha swasta atau tekanan yang dibangun melalui proses politik agar
pemerintah mengambil kebijakan. Investor swasta misalnya memutuskan
membangun pabrik tanpa memberikan fasilitas perumahan bagi pekerjanya.
Pemerintah mengambil kebijakan untuk membangun infrastruktur dan jalan.
Perkins (2001) menyatakan bahwa meskipun di permukaan pola
pembangunan seimbang dan tidak seimbang nampak tidak konsisten satu sama lain,
namun dapat dipandang sebagai sisi yang berlawanan dari koin yang sama. Tidak
ada pola tunggal dalam industrialisasi yang harus diikuti semua negara. Di sisi lain,
analisis kuantitatif menunjukkan bahwa beberapa pola sangat mirip antar kelompok
negara. Meskipun negara dengan jumlah perdagangan luar negeri yang besar dapat
mengandalkan industri yang diinginkannya dan selanjutnya terfokus pada industri
tersebut di seluruh tahap pembangunan negara tersebut.
Konsep keterkaitan menunjukkan bahwa ketidakseimbangan yang kaku akan
menghasilkan tekanan yang memaksa suatu negara kembali ke jalur pertumbuhan
seimbang. Jadi, tujuan mendesaknya adalah derajat keseimbangan dalam program
pembangunan. Tetapi perencana memiliki pilihan antara berusaha menjaga
keseimbangan melalui proses pembangunan atau terlebih dulu menciptakan
ketidakseimbangan dengan pemahaman bahwa tekanan keterkaitan akan
memaksanya kembali ke keseimbangan. Pilihan-pilihan tersebut adalah mengikuti
jalur pertumbuhan seimbang yang ditunjukkan oleh garis lurus atau pertumbuhan
tidak seimbang diperlihatkan ditunjukkan oeh garis kurva, yang dilustrasikan pada
Gambar 2.
Saling ketergantungan antar sektor dapat dirumuskan dalam tiga jenis efek
keterkaitan, yaitu: (1) efek keterkaitan antar industri (interindustry linkage effect),
mengukur efek peningkatan satu unit permintaan akhir (final demand) terhadap
tingkat produksi dalam setiap sektor, (2) efek keterkaitan ketenagakerjaan
(employment linkage effect), mengukur penggunaan total tenaga kerja dalam satu sektor sebagai akibat perubahan satu unit permintaan akhir, dan (3) efek keterkaitan
penciptaan pendapatan (income generation linkage effect) mengukur efek perubahan
salah satu variabel eksogen dalam permintaan akhir terhadap peningkatan
pendapatan (Chenery and Clark, 1959).
Peningkatan satu unit permintaan akhir pada variabel eksogen dapat
meningkatkan produksi dalam setiap sektor melalui efek keterkaitan antar industri
dan tingkat penyerapan tenaga kerja melalui efek keterkaitan ketenagakerjaan.
Peningkatan output dan ketenagakerjaan timbul dari keterkaitan ini, juga
pendapatan mendorong peningkatan permintaan barang-barang konsumsi,
menginduksi lebih banyak output dan kesempatan kerja.
Gambar 2. Jalur Pertumbuhan Seimbang dan Tidak Seimbang
Menurut Meier (1995), dua mekanisme yang bekerja dalam sektor aktivitas
produksi secara langsung adalah pertama, penyediaan input yang menghasilkan
permintaan atau backward linkage effects, yaitu setiap aktivitas ekonomi non primer
akan mempengaruhi upaya untuk mensuplai melalui produksi domestik input yang
diperlukan oleh aktivitas tersebut. Kedua, pemanfaatan output atau forward linkage
effects, yaitu setiap aktivitas yang menurut sifatnya tidak menjadi barang akhir, akan mempengaruhi usaha untuk memanfaatkan output sebagai input pada aktivitas baru.
Pengembangan agroindustri di satu pihak meningkatkan permintaan input
antara (intermediate input) seperti bahan baku tanaman pangan, tanaman
perkebunan, perikanan dan lain-lain yang dipasok oleh sektor pertanian. Hal ini
Output sektor B
Out
p
ut sektor A
Jalur pertumbuhan
tidak seimbang
Jalur pertumbuhan
seimbang
a
disebut keterkaitan ke belakang (backward linkage). Di pihak lain, sektor
agroindustri meningkatkan penawaran output untuk sektor-sektor lain seperti
perdagangan dan industri lainnya, di samping ada yang digunakan sendiri oleh
agroindustri. Hal ini disebut keterkaitan ke depan (forward linkage). Jadi, kedua
aspek ini yang dikenal sebagai efek keterkaitan antar industri (interindustry linkage
effect), yang mengarah ke belakang dan ke depan.
Selain itu, pengembangan sektor agroindustri akan meningkatkan penyediaan
kesempatan kerja dan pendapatan rumah tangga, yang selanjutnya meningkatkan
permintaan terhadap barang-barang konsumsi yang dihasilkan sektor lain. Keinginan
untuk mengkonsumsi barang-bararig tersebut merupakan dorongan untuk
meningkatkan produktivitas dan akhirnya meningkatkan tabungan di sektor
agroindustri. Hubungan ini dikenal sebagai efek keterkaitan ketenagakerjaan
(employment linkage effect) dari efek keterkaitan penciptaan pendapatan (income
generation linkage effect).
2.3. Agroindustri, Peran dan Kebijakan
Istilah agroindustri tidak dapat dipisahkan dari istilah agribisnis. Keduanya
memang menyangkut unsur yang sama, yaitu agro, tetapi memiliki ruang lingkup
yang berbeda. Berikut beberapa kutipan yang dapat membedakan keduanya.
Davis dan Golberg dari Harvard University, yang dikenal sebagai pencetus
istilah agribisnis, mendefinisikan agribisnis sebagai jumlah total dari semua operasi
yang terlibat dalam manufaktur dan distribusi suplai usahatani; aktivasi produksi
pada usahatani; dan penyimpanan atau pengolahan dan distribusi komoditas
usahatani dan barang-barang dagangan yang dihasilkannya (Herjanto, 2003).
Sedangkan, Downey and Erickson (1987) dalam memberikan pengertian tentang
yang memberikan input untuk sektor usahatani, menghasilkan produk usahatani, dan/atau
pemrosesan, transport, pembiayaan, penanganan atau pemasaran produk usahatani.
Austin (1992) memberikan definisi agroindustri sebagai suatu usaha yang
mengolah bahan-bahan yang berasal dari tanaman dan hewan. Pengolahannya
mencakup transformasi dan preservasi melalui perubahan secara fisik dan kimiawi,
penyimpanan, pengemasan dan distribusi. Karakteristik pengolahan dan derajat
transformasi dapat sangat beragam, mulai dari pembersihan, grading dan
pengemasan, pemasakan, pencampuran dan perubahan kimiawi yang menciptakan
makanan sayur-sayuran yang berserat.
Hubungan antara sektor pertanian dengan sektor industri dalam agribisnis
menurut Sinaga (1998) adalah agribisnis mencakup seluruh kegiatan di sektor
pertanian dan sebagian dari sektor industri. Subsektor industri tersebut menghasilkan
sarana produksi pertanian dan mengolah hasil-hasil pertanian dan dikenal sebagai
agroindustri.
Dari beberapa definisi di atas jelas bahwa agroindustri mempunyai ruang
lingkup yang lebih kecil dibandingkan agribisnis. Agroindustri terbatas pada
kegiatan pengolahan produk yang berbasiskan pertanian, sedangkan agribisnis
mencakup semua kegiatan sejak menyediakan input, membudidayakan, mengolah,
menyediakan dana, memasarkan, dan mendistribusikan produk-produk berbasiskan
pertanian.
Agroindustri dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu agroindustri hulu
(upstream agrobusiness) yaitu subsektor industri yang menghasilkan sarana
produksi pertanian, dan agroindustri hilir (downstream agrobusiness) yaitu
subsektor industri yang mengolah hasil-hasil pertanian (Sinaga, 1998).
Dalam konsep pembangunan ekonomi, suatu sektor disebut sebagai sektor
sebagai berikut: (1) memiliki pangsa yang besar dalam perekonomian secara
keseluruhan, (2) memiliki pertumbuhan dan nilai tambah yang relatif tinggi, serta (3)
memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward linkages)
yang cukup besar. Kondisi tersebut umumnya dicirikan oleh tingginya elastisitas
harga untuk permintaan dan penawaran, elastisitas pendapatan untuk permintaan
yang relatif besar, multiplier pendapatan dan kesempatan kerja yang relatif besar,
kemampuan menyerap bahan baku dan kemampuan memberikan sumbangan input
yang besar, serta memiliki keterkaitan erat dengan sektor ekonomi lain yang juga
memiliki pangsa yang relatif besar dalam struktur ekonomi. Berdasarkan pemikiran
di atas dan menelaah kondisi yang terjadi di Indonesia, Saragih (1992) melihat
bahwa agroindustri dapat berperan sebagai sektor yang memimpin.
Dengan menggunakan pendekatan input-output, Saragih (1996) melakukan
kajian peran sektor agroindustri dalam perekonomian Indonesia. Selama periode
1971-1995, pangsa agroindustri terhadap ekspor industri nonmigas mengalami
pertumbuhan, demikian pula pangsa terhadap impor juga mengalami peningkatan.