• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I: PENDAHULUAN

2.2. Gereja di Era Globalisasi Kapitalisme Neoliberal: Urgensi Menghadirkan

2.2.1. Konteks Oikumenis

Sudah menjadi kenyataan yang tak terbantahkan bahwa cengkeraman hegemoni sistem ekonomi konglomerasi yang diasuh oleh ideologi kapitalisme neoliberal tampak semakin kokoh dan tak tergoyahkan. Meskipun begitu, masyarakat dunia tidak lantas menerima begitu saja kenyataan hegemonik hegemonik tersebut. Di berbagai belahan dunia tampak telah terjadi berbagai aksi protes (demonstrasi) untuk menolak hegemonisasi yang diciptakan sistem ekonomi kapitalisme neoliberal tersebut. Bahkan masyarakat agama juga telah berkali-kali menyuarakan bahaya yang diakibatkan oleh sistem ekonomi neoliberal tersebut.

Dalam konteks oikumenis (global), perbincangan mengenai urgensi keterlibatan Gereja untuk menghadirkan sistem ekonomi (mikro) alternatif yang lebih adil dan

manusiawi sesungguhnya sudah menjadi diskursus oikumenis yang cukup serius yang dipergumulkan Dewan Gereja Dunia (DGD) sejak Sidang Raya-nya di Harare- Zimbabwe pada tahun 1998. Pada saat itu, mengemuka sebuah pertanyaan reflektif:

“Bagaimanakah kita menghayati iman kita dalam konteks globalisasi?”. Tentu saja, pertanyaan reflektif ini menuntut tanggapan etis, pastoral, teologis dan spiritual dari gereja-gereja baik pada aras global, regional, nasional maupun lokal. Logika globalisasi perlu ditantang dengan suatu cara hidup alternatif bermasyarakat dalam keberagaman”.65 Menurut Duchrow dan Hinkelammert tuntutan agar gereja-gereja di seluruh dunia memberikan respon etis tersebut, karenaproperty-based capitalism is not just an economic or political phenomenon but a religious one […], On the other, the

Churches can be forceful actors in civil society once they work together with social movements”.66

Apa yang dikatakan Duchrow dan Hinkelammert di atas mengindikasikan bahwa globalisasi sistem ekonomi kapitalisme neoliberal sekaligus telah menyodorkan tantangan yang lebih besar tidak hanya bagi gereja-gereja tetapi juga bagi seluruh masyarakat dunia di muka bumi ini. Kebutuhan untuk menghadirkan dan mengembangkan sistem ekonomi (mikro) alternatif semakin mendesak sebab sistem ekonomi kapitalisme neoliberal itu hanya memupuk kesenjangan sosial (kemiskinan) ekonomi masyarakat global yang semakin subur dan melebar. Itulah sebabnya, pada Sidang Raya-nya tahun 2006 di Porto Allegre, Dewan Gereja Dunia (DGD) mengajak semua gereja-gereja di semua aras serta masyarakat oikumenis lainnya untuk tidak hanya bersikap kritis terhadap globalisasi kapitalisme neoliberal tetapi juga didesak

65

Tim Keadilan, Perdamaian Dan CIptaan Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD),(2006) Globalisasi Alternatif Mengutamakan Rakyat Dan Bumi: Sebuah dokumen Latar Belakang,terj, Jakarta, PMK-HKBP, hlm, 1-2

66

Ulrich Duchrow dan Franz J. Hinkelammert (2004)Property for People Not for Profit ; Alternatives to the global tyranny of capital, London-New York, Zed Books, hlm, 205

agarmampu menghadirkan sistem ekonomi yang dapat menjadi alternatifnya. Dalam perspektif keprihatinan dan urgensi permasalahan seperti itulah sehingga DGD merumuskan tema Sidang Raya-nya di Porto Allegre itu: “Tuhan, dalam RahmatMu, Ubahlah Dunia”.67

Upaya untuk menghadirkan tatanan kehidupan sosial, ekonomi, politik masyarakat dunia yang lebih adil dan manusiawi, tidak cukup kalau hanya dilakukan dengan mempraktikkan “cara hidup alternatif”. Gereja-gereja dan masyarakat oikumenis dunia harus didorong untuk mengajukan “sistem ekonomi (mikro) alternatif”. Hal itu mendesak sebab sistem ekonomi kapitalisme neoliberal dipandang tidak mungkin dapat mengubah kesenjangan sosial ekonomi masyarakat dunia dewasa ini menjadi lebih adil dan manusiawi. Bagaimanapun juga, sistem kapitalisme neoliberal akan selalu membuat relasi manusia-manusia maupun relasi manusia-alam, kokoh dalam relasi penghisapan dan penaklukan tiada henti. Tidak hanya itu, “kompetisi” pun telah dipancang sebagai satu-satunya etos dominan untuk meraih martabat kemanusiaan (human dignity). Di situ manusia telah disituasikan menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). Persoalannya kemudian menjadi semakin pelik sebab di sana uangjuga tampak telah kokoh sebagai struktur makna yang utama dalam relasi sosial, budaya, ekonomi dan politik di masyarakat. Pendek kata, uang adalah segalanya.

Dengan watak dasar seperti itu, sistem ekonomi kapitalisme neoliberal akan selalu menghancurkan segala bentuk struktur kolektif yang ada di masyarakat, mulai dari unit yang terkecil (keluarga) sampai dengan unit yang terbesar yakni Negara. Haryatmoko, bahkan menggambarkan budaya masyarakat yang diciptakan oleh sistem ekonomi kapitalisme neoliberal itu sebagai berikut:

67

Neoliberal telah mengubah tatanan dunia menjadi hanya berpusat pada ekonomi- uang. Masyarakat yang menekankan pada ekonomi merupakan masyarakat yang hanya mengenal satu pola hubungan yaitu bertarung dalam persaingan. Masyarakat seperti ini menjadi arena di mana kelompok-kelompok dan individu- individu bertarung tanpa ada yang menengahi. Hanya prestasi dan kompetensilah yang menentukan. Pragmatisme lalu menjadi ideologi pokok dari masyarakat seperti itu. Dalam sistem kapitalisme neoliberal, logika ekonomi dipisahkan dari logika sosial. Logika ekonomi didasarkan pada persaingan sebagai pendorong efektifitas. Logika ini dipisahkan dari logika sosial yang sangat menekankan aturan keadilan. Logika ekonomi tertutup terhadap wacana lain, padahal wacana lain sering memberi pemecahan atas suatu permasalahan ekonomi meskipun

dalam skala yang kecil”.68

Perlu ditambahkan bahwa sistem ekonomi kapitalisme neoliberalisme itu pada dasarnya mau mengubah manusia menjadi komoditi dan mereduksi peran pemerintah- pemerintah nasional dalam menjaga pembangunan sosial yang harmonis dan lestari. Neoliberalisme memberi perhatian maksimum pada modal swasta dan apa yang dinamakan dengan “pasar tak terkekang” (unfettered market) untuk mengalokasikan sumber daya untuk menaikkan pertumbuhan”.69 Neoliberalisme telah menjadi selubung ideologis bagi proyek globalisasi ekonomi yang memperluas kekuasaan dan dominasinya melalui jalinan jaringan institusi internasional, kebijakan nasional, praktik perusahaan dan investor serta perilaku individual. Akibatnya, neoliberalisme menghapuskan fungsi negara sebagai penyelenggara kesejahteraan sosial”,70 bagi warganya. Albert Nolan mendefenisikan sistem ekonomi neoliberal ini sebagai sebuah cara pandang yang sepenuhnya materialistik yang didasarkan pada prinsip kemenangan bagi mereka yang kuat, sebuah budaya yang menghancurkan kebudayaan lain,

68

Haryatmoko, “Peran Gereja di Indonesia Ketika Neo-liberalisme Semakin Mendikte” (dalam) Jeffrie A.A.Lempas, eds (2006),Format Rekonstruksi Kekristenan:“Menggagas TeologiMisiologi, dan Ekklesiologi Kontekstual di Indonesia”,Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, hlm, 112.

69

Tim Keadilan, Perdamaian Dan CIptaan Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD),(2006) Op.cit,hlm, 3-4

70

menghancurkan kebijaksanaan-kebijaksanaan asli dan menjadikan yang kaya makin

kaya dan yang miskin makin miskin”.71

Dalam keprihatinan seperti itulah, gereja diajak untuk memperjuangkan suatu tatanan kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat global, yang lebih adil dan manusiawi. Dalam perspektif gereja, perjuangan itu dapat dilakukan lewat diakonia gereja baik dalam skala lokal, nasional, regional maupun global. Dalam hal ini, gereja harus mengingat apa yang pernah dikemukakan Leonardus Samosir bahwa:

Gereja tidak pernah lepas dari lingkungan di mana ia hidup. Gereja bukan sebuah instansi abstrak-universal yang tidak tersentuh oleh pertanyaan dan jawaban lokal.[...] Gereja dibentuk di dalam partikularitas dan kelokalan. Gereja adalah bagian dari masyarakat di mana Gereja berada. Karena itu, masyarakat adalah “milik” Gereja; sebaliknya Gereja adalah “milik” masyarakat. Segala keprihatinan masyarakat adalah keprihatinan Gereja. Oleh karena itu, mau tidak mau Gereja harus tampil dalam panggung masyarakat; masuk ke dalam wilayah publik”.72

Kalau memang demikian halnya, maka diakonia gereja tidak cukup dijalankan hanya secara karitatif saja. Gereja dipanggil untuk memulihkan kegiatan diakonia menjadi pelayanan konkret yang mencerminkan kesetiakawanan manusia”,73 sehingga mampu mentransformasi kehidupan sosial, ekonomi, politik dan religiusitas warga gereja dan masyarakat menjadi lebih otentik. Diakonia gereja seharusnya dijalankan untuk mentransformasi tidak hanya dimensi kultural-personal tetapi juga harus menohok ke dimensi struktural (politik). Meskipun begitu, ikhtiar Gereja untuk melakukan perubahan atau mentransformasi kehidupan sosial ekonomi masyarakat sehingga menjadi lebih adil, tidak boleh membuat gereja larut kepada sistem yang justru hendak ditentangnya”.74

71

Albert Nolan (2009)Jesus Today : “Spiritualitas Kebebasan Radikal”,Yogyakarta, Kanisius, hlm, 60

72

Leonardus Samosir,(2010), Op.cit, hlm, 83

73

Ulrich Duchrow dan Franz J. Hinkelammert (2004) Op.cit, hlm, 8-9

74

Apa yang dikemukakan Leonardus tersebut di atas, menjadi penting untuk dicatat sebab Gereja pernah terjerembab lantaran keliru dalam mengambil posisi (taking position) di tengah-tengah kondisi krisis sosial ekonomi dan politik yang dialami masyarakat di mana ia berada. Hal itu terlihat misalnya dari catatan kritis yang dibuat oleh Ulrich Duchrow yang mengkritik cara gereja (Barat) memosisikan (taking position) dirinya di tengah-tengah sistem kekuasaan yang bersifat totaliter di Eropa di masa lalu:

Bercermin dari akibat nyata sejarah gereja Barat, kami juga bisa menyimpulkan bahwa tidaklah cukup hanya dengan upaya melemahkan sistem-sistem kekuasaan. Gereja-gereja dengan struktur kekuasaan politik dan ekonomi, yang mula-mula muncul sebagai gereja-gereja imperialis, kemudian sebagai gereja- gereja nasional atau regional, dan juga keuskupan gereja besar, telah gagal dalam berbagai usaha untuk melemahkan struktur-struktur kekuasaan dan uang dengan mempertegas suara kenabian mereka. Sistem-sistem kekuasaan telah muncul penuh kemenangan dan celakanya, gereja telah menyesuaikan diri dengan

kapitalis atau teologi negara, atau telah mengikuti “teologi gereja” sehingga gereja berada dalam situasi kekuasaan asimetris, mengkompromikan diri mereka dengan Injil agar tidak membahayakan lembaga mereka sendiri”.75

Salah satu contoh kekeliruan gereja-gereja di Indonesia dalam mengambil posisi di tengah-tengah konteks krisis sosial ekonomi dan politik yang terjadi pada tahun 1997/1998 adalah ketika sekelompok elite gereja yang memiliki kekuasaan ekonomis dan politis, bersama-sama dengan Ketua umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) masa bakti 1994-1999, pergi ke istana untuk mempersembahkan uang dan emas. Pada hal saat itu masyarakat luas, khususnya mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan gerakan-gerakan pro-demokrasi telah melakukan perlawanan dan menyatakan: tidak pada Suharto”.76

Tidak heran kalau Emanuel Gerrith Singgih (sebagaimana dikutip Martin Lukito Sinaga) kemudian mengatakan bahwa hal tersebut merupakan ketidakmampuan gereja-

75

Ulrich Duchrow, (1999),Mengubah Kapitalisme Dunia“Tinjauan Sejarah-Alkitabiah bagi Aksi Politis”, Jakarta, BKP Gunung Mulia, hlm, 323

76

Saut Sirait, (2001),Politik Kristen di Indonesia “Suatu Tinjauan etis”, Jakarta, BPK- Gunung Mulia, hlm, 242

gereja di Indonesia melihat bahwa momen tahun 1998 itu sebagai kairos, yakni momen

tindakan ilahi yang kreatif”.77 Dunia, adalah tempat dimana gereja dan masyarakat lainnya berada bersama sehingga semuanya merupakan satu keluarga di dalam “rumah tangga Allah”. Oleh karena itu, Gereja memiliki tanggung jawab untuk mengatur dan menata “rumah tangga Allah” tersebut. Gereja ditantang untuk bergabung dalam perjuangan melawan ketidakadilan dan kekuatan yang merusak dengan berkarya untuk membangun suatu masyarakat AGAPE (Alternative Globalization Addressing Peoples and Earth), lintas iman, budaya dan gerakan-gerakan sosial, apakah itu perjuangan lokal, regional, kontinental atau global”.78

Lalu, “sistem ekonomi alternatif” yang seperti apa yang dapat menjadi alternatifnya? Tentu jawababan yang dapat dipastikan adalah tidak ada satu alternatif yang tunggal. Sistem ekonomi alternatif itu dapat muncul sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan dalam konteks partikularitas masing-masing. Penting untuk mengingat apa dikatakan Ulrich Duchrow bahwa sistem “ekonomi mikro alternatif” yang hendak diajukan semestinya adalah sistem ekonomi mikro yang berorientasi kepada: 1). Kehidupan semua orang zaman sekarang, yaitu harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok mereka, 2). Kehidupan semua makhluk dunia lainnya, 3). Kehidupan generasi- generasi yang akan datang. Duchrow juga menambahkan bahwa ciri dari “sistem ekonomi alternatif” itu adalah “ekonomi dari bawah” yang berlawanan dengan ekonomi penimbunan”.79Duchrow menambahkan bahwa “ekonomi mikro alternatif”itu beranjak dari “komunitas ragi” di tingkat komunitas lokal dan daerah skala kecil”.80

77

Martin Lukito Sinaga, “Kata Pengantar”, (dalam) Albert Nolan, (2011),Harapan di Tengah Kesesakan Masa Kini “Mewujudkan Injil Pembebasan”, terj, Jakarta, BPK-Gunung Mulia, hlm, ix

78

Tim Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan DGD,(2006) Op.cit, hlm, 8-9

79

Ulrich Duchrow (1999) Op.cit, hlm, 280

80

Dalam perspektif Dewan Gereja Dunia (DGD), sistem “ekonomi alternatif” itu merupakan sebentuk “ekonomi kehidupan” atau “ekonomi Allah” (divine economy) yang rincian ciri-cirinya dirumuskan sebagai berikut:

- Rahmat ekonomi Allah yang ramah (oikonomia tou theou) membawa dan melestarikan kelimpahan bagi semua

- Ekonomi Allah yang ramah menuntut kita agar mengelola kelimpahan hidup dengan cara yang adil, partisipatif dan bersifat melestarikan;

- Ekonomi Allah adalah suatu ekonomi kehidupan yang mengedepankan semangat saling berbagi, solidaritas yang mengglobal, martabat manusia, cinta kasih dan pemeliharaan keutuhan ciptaan;

- Ekonomi Allah adalah suatu ekonomi untuk keseluruhan ekumene- keseluruhan komunitas bumi;

- Keadilan Allah dan keberpihakan-Nya pada kaum miskin adalah tanda dari

“ekonomi Allah”.81

Berdirinya Grameen Bank (GB) di Bangladesh, yang digagas oleh Muhammad Yunus (1976), merupakan salah satu contoh hadirnya gagasan atau sistem ekonomi alternatif lebih dari Sekadar logika ekonomi. Dalam mekanisme di Grameen Bank, kelompok miskin yang tidak mempunyai jaminan menjadi bisa memiliki akses ke modal berkat pemikiran yang memperhitungkan aspek budaya”.82 Selain itu, model Accion Intrnational di Amerika Latin danSelf-employed Women Association Bank (SEWA) di India83 atau Ecobank yang berkantor di Frankfurt dan Ecumenical Development Cooperative Society(EDCS) yang berkantor di Amersfoot yang memiliki kantor cabang di beberapa negara adalah contoh lain dari bagaimana menghadirkan sistem ekonomi

81

Tim Keadilan, Perdamaian Dan CIptaan Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD),(2006) Op.cit, hlm, 5-6

82

Dalam mekanismeGrameen Bank, peminjam harus membentuk kelompok terdiri dari lima orang. Pada tahap pertama, hanya dua orang mendapat pinjaman. Bila dalam waktu lima minggu mereka mampu mengembalikan pijaman maka tiga orang lain akan diberi pinjaman. Selanjutnya lihat: Haryatmoko,”Peran Gereja di Indonesia ketika Neoliberalisme semakin mendikte”, (dalam) Jeffrie A.A.Lempas, dkk, eds (2006) Op.cit, hlm, 112. Penjelasan lebih lanjut tentang Grameen Bank, lihat juga, Ulrich Duchrow (1999), Op.cit, khususnya, hlm, 302

83

Bagus Aryo (2012) Tenggelam Dalam Neoliberalisme: Penetrasi Ideologi Pasar Dalam Penanganan Kemsiskinan, Depok-Jawa Barat, Kepik, hlm, 15

alternatif yang berbasis pada masyarakat setempat”.84 Dalam konteks Indonesia, sistem ekonomi alternatif yang berbasis pada masyarakat setempat itu telah dihadirkan oleh Bina Swadaya di Jawa dan Pancur Kasih di Kalimantan.

2.2.2. Sejarah Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Indonesia: Pengertian,