• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I: PENDAHULUAN

1.5. Tinjauan Pustaka

Sebelum melakukan penelitian ini lebih jauh, rasanya perlu untuk memaparkan penelitian-penelitian sebelumnya dengan tema yang (hampir) sama sehingga posisi dan

perbedaan pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini dapat terlihat dengan jelas. Sejauh ini, ada beberapa penelitian dengan tema yang hampir sama,dapat disebutkan antara lain:pertama, penelitian yang dilakukan oleh Saut Sirait (2001),

Politik Kristen di Indonesia: Suatu Tinjauan etis”, yang diterbitkan oleh BPK-Gunung Mulia Jakarta. Kedua, Leonardus Samosir (2010), Agama dengan Dua Wajah, “

Refleksi Teologis atas Tradisi dalam Konteks, diterbitkan oleh Obor-Jakarta. Ketiga, Martin Lukito Sinaga (2004), Identitas Poskolonial “gereja suku” dalam Masyarakat

Sipil, Studi tentang Jaulung wismar Saragih dan komunitas Kristen Simalungun, diterbitkan oleh LKiS-Yogyakarta.

1.5.1. Politik Kristen di Indonesia: Suatu Tinjauan Etis

Penelitian ini semula merupakan tesis penulis (Saut Sirait) yang diajukan pada program studi Magister Teologi di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta tahun 1999 dengan judul: Menuju Kota yang Setia. Penelitian ini merupakan kajian teologi dengan pendekatan analisis kritis-praktis berdasarkan kritik-historis; biblika-etika. Studi yang dilakukan Saut Sirait, menyimpulkan bahwa perhatian gereja-gereja di Indonesia terhadap realitas sosial tampak begitu tipis, kecuali pada hal-hal yang bersifat karitatif, insidental dan sporadis. Saut Sirait mengatakan bahwa model perhatian gereja terhadap realitas sosial masih berorientasi kepada latreia yakni yang berkaitan dengan “pelayanan Allah”,

“ibadah Allah” dan belum dalam arti diakonia yakni yang berhubungan dengan pelayanan kepada sesama manusia. Dengan kata lain, Saut melihat bahwa praksis hidup menggereja masih berkutatpada aspek kultisatau latreiasemata dan kurang menyentuh dunia etis atau diakonia”. Hal ini menurut Saut Sirait telah membuat ekspresi politik Kristen di Indonesia cenderung berorientasi kepada kekuasaan (“istana sentris”) seperti tampak dalam sikapnya ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi pada tahun 1997 di

mana saat itu pemimpin gereja di Indonesia (PGI) justru pergi ke istana Negara membawa emas sebagai tanda solidaritas dan keprihatinan komunitas kristen di Indonesia atas krisis ekonomi yang sedang terjadi.

Catatan penting lainnya yang diangkat Saut Sirait adalah pengalaman empiris gereja-gereja di Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga runtuhnya rezim Orde Baru, dianggap belum mampu memberikan pencerahan dan pengaruh nilai-nilai etis-kristiani dalam dunia perpolitikan Indonesia. Keterlibatan masyarakat agama dalam dunia politik telah secara jelas dirumuskan dalam ketetapan MPR tahun 1993, bahwa fungsi agama untuk memberikan sumbangan etis, moral dan spiritual dalam pembangunan nasional merupakan hak dan kewajiban konstitusional agama-agama di Indonesia.

1.5.2. Agama dengan Dua Wajah: Refleksi Teologis atas Tradisi Dalam Konteks Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari penulisnya (Leonardus Samosir) di mana terdapat satu bab yang khusus membahas tentang identitas kristianitas, tepatnya

“Identitas Kristiani: Tegangan antara Tradisi dan Relevansi”.Dengan melacak mundur

ke belakang, Leonardus Samosir menemukan apa yang menjadi “biang kerok” yang menjadi penyebab terjadinya “privatisasi iman” dalam kehidupan bergereja. Leonardus Samosir menyimpulkan bahwa sikap bertahan hanya pada wilayah privat gereja dan menolak masuk ke wilayah publik merupakan dampak dari masih begitu bertenaganya

“subjek pencerahan” yang membanjiri kehidupan spiritual komunitas Kristen dengan kata “aku” (me). Hal itu telah membuat adanya penolakan terhadap “gerak di luar” diri dan persentuhan dengan “yang lain” (the other). Keadaan seperti ini membuat gereja menjadi terdesak ke pinggir dan akhirnya menjadi sektarian.

Bagaimanapun juga, gereja adalah bagian dari masyarakat demikian pula sebaliknya, masyarakat adalah bagian dari gereja. Meskipun begitu, Leonardus Samosir

mengingatkan bahwa pertemuan gereja dengan lingkungan jangan menyerap pesan Kristiani menjadi jawaban atas kebutuhan sosiologis. Sebaliknya, memegang tradisi tidak boleh pula menjadi hambatan untuk bertemu dengan realitas sosial yang aktual. Posisi seimbang hanya mungkin kalau identitas kristianitas tidak dilihat secara statis demikian pula halnya dengan tradisi agar tidak dilihat sebagai sesuatu yang statis.

1.5.3. Identitas Poskolonial “Gereja Suku” Dalam Masyarakat Sipil: Studi Tentang Jaulung Wismar Saragih Dan Komunitas Kristen Simalungun Penelitian ini merupakan penelitian yang dianggap “lebih dekat” atau bahkan dapat dikatakan merupakan titik tolak dari penelitian yang hendak saya dilakukan. Penelitian ini mengambil tema “identitas poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat Sipil” Sebagaimana tampak dari judulnya, penelitian ini menggunakan tafsir poskolonial sebagai alat analisis atas hidup seorang perintis kekristenan di Simalungun bernama Jaulung Wismar Saragih (selanjutnya disingkat JWS). Sementara unit analisisnya adalah: 1). Teks-teks teologis dan 2). Gerakan-gerakan sosial alternatif yang diajukan JWS dalam menghadapi penetrasi wacana dan institusi modern misi/zending yakni Rheische Missions Gessellschaft(RMG) dan pengecer lokalnya orang Toba lewat institusinya “Huria Kristen Batak Protestan” (selanjutnya disingkat: HKBP).Secara lugas Martin Lukito Sinaga menyingkap bagaimana seorang JWS sebagai representasi dari liyan “yang lokal” dan juga sebagai representasi dari komunitas orang Kristen Simalungun yang subaltern (tersubordinasi) berhasil menjadi subjek politik baru di mana JWS berhasil menegosiasikan identitas kelokalannya.

Proses negosiasi itu ditempuh JWS dengan pertama-tama melakukan retakan (rupture) terhadap (1). wacana (teks) kekristenan yang diterimanya sudah dalam ritme pietisme. Pietisme adalah corak rohani yang menekankan kesalehan pribadi dan

penghayatan iman dan sebagai segi-segi iman Kristen disamping ajaran yang benar. Upaya melakukan retakan (rupture) itu dilakukan JWS dengan membawa setiap hal baru yang diterimanya ke dalam konteks pergulatan suku dan konteks manfaatnya bagi kehidupan etnik dan dirinya sendiri. Setiap penerimaan keyakinan baru akan dihadapkan pada tuntutan nyata dalam persoalan sehari-hari dalam lokasi sosial kulturalnya”.

Dengan basis kedirian seperti itulah JWS juga melakukan retakan (rupture) terhadap (2) “sosial agency” yang melakukan hegemonisasi dan dominasi struktural dan kultural atas dirinya dan komunitasnya (orang Kristen Simalungun) yakni RMG dan HKBP. Hal itu ditempuhnya dengan pertama-tama menerjemahkan “Allah” dalam Alkitab setara dengan “Naibata” dalam konsep (bahasa) orang Simalungun. Dengan cara seperti itu, JWS sekaligus menegaskan bahwa konsep “Naibata” berbeda dengan konsep “Debata” yang dikenal dalam istilah orang Toba. Perjuangan yang dilakukan JWS dengan menggunakan “politik bahasa” (menerjemahkan Alkitab) ke dalam bahasa ibunya itulah yang membuat ia dan komunitasnya, orang kristen Simalungun berhasil meraih identitas poskolonial “gereja suku”-nya yang mewujud dalam bentuknya sebagai Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS).

Selanjutnya (di Bab III) Martin Lukito Sinaga memperbincangkan tentang sosok baru identitas poskolonial “gereja suku” sebagai hasil perjumpaannya dengan problematika yang dihadapi oleh masyarakat sipil. Maksudnya,“ruang publik” merupakan konteks baru identitas poskolonial ”gereja suku”. Kalau komunitas kristen

“gereja suku” berniat meluaskan (makna) identitas poskolonialnya ke dalam konteks barunya di ruang publik tersebut maka jalur atau mekanisme yang paling tepat yang harus digunakannya adalah dengan bertransformasi menjadi sebentuk komunitas etis (moral community) sebagaimana sudah disinggung sebelumnya. Selanjutnya, di sana ia

juga harus meluaskan identitasnya tersebut secara radikal dengan hadir membela publiknya melalui mekanisme masyarakat sipil lainnya yakni lewat gerakan-gerakan sosial baru. Dengan peralihan identitas poskolonial “gereja suku” menjadi sebentuk komunitas etis dan memanfaatkan mekanisme masyarakat sipil sebagai carauntuk membela publiknya maka hal itu akan membuat komunitas kristen “gereja suku” memperoleh sebentuk identitas baru dalam kategori politik.

Bagaimanakahkomunitas kristen “gereja suku” (GKPS) hasil bentukan JWS itu kemudian menghadirkan dirinya di tengah-tengah konteks barunya di ruang publik? Ke arah itulah penelitian ini saya kerjakan. Dengan kata lain, penelitian yang hendak saya lakukan ini merupakan kelanjutan dari penelitian yang sudah dilakukan Martin Lukito Sinaga. Perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan Martin Lukito Sinaga tidak hanya terletak pada kerangka teori atau alat analisis yang digunakan tetapi juga pada jenis data dan unit analisisnya. Martin Lukito Sinaga menggunakan tafsir poskolonial sebagai alat analisis untuk membaca dua unit analisis yang diajukannya yakni: teks-teks teologis dan gerakan-gerakan sosial alternatif yang diajukannya untuk menghadapi penetrasi wacana dan institusi modern misi/zending sebagaimana terdapat dalam biografi Jaulung Wismar Saragih. Sedangkan penelitian ini, menggunakan teori politik hegemoni sebagaimanadikembangkan Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe,dengan tiga konsep lain yang mengiringinya yakni:artikulasi, antagonisme dan subjek politik.Teori hegemoni sebagaimana yang dikembangkan LM tersebut akan digunakan untuk membaca tiga unit analisis dalam penelitian ini yakni:1). Teks atau dokumen yang bisa menggambarkan latar belakang sosio historis dan politis yang mendasari munculnya wacana Credit Union Modifikasi sebagai sebuah sistem pemberdayaan ekonomi kerakyatan alternatif versi kristiani, 2). Bentuk-bentuk pengartikulasian identitas politik

GKPS di ruang publik sebagaimana direpresentasikan olehKomunitas CUM “Talenta”, 3).Perjuangan-perjuangan demokratik baru yang dilakukankomunitas CUM “Talenta”di ruang publik pedesaan di Simalungun.