• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV: Identitas P olitik “ Gereja S uku” : Dari Gerakan Ekonomi Ke Gerakan Politik

4.3. Artikulasi Identitas Politik “G ereja S uku” (GKPS) dan Representasinya Oleh

4.3.4. Identitas Politik dan Representasinya

4.3.4.1. Menciptakan Modal Bersama: Siasat Melawan Rentenir

Sudah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa dalam formasi hegemonik komunitas CUM “Talenta” tuntutan “kesulitan mengakses modal usaha” telah dijadikan sebagai penanda dari keseluruhan rantai tuntutan dari beragam kekuatan sosial yang antagonistik dalam konteks GKPS. Karena itu, sejak terbentuknya kesatuan sosial komunitas CUM

“Talenta” tersebut upaya yang dilakukan oleh merespon “kesulitan mengakses modal

usaha” itu pertama-tama dilakukan dengan cara menciptakan modal bersama melalui Aktivitas simpan-pinjam uang yang bentuknya antara lain: simpanan pokok, simpanan wajib, simpanan sukarela. Dalam perkembangan selanjutnya bentuk-bentuk simpanan yang terdapat dalam kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” kemudian diperluas dengan membuka bentuk simpanan yang mirip dengan “deposito” yang dikenal dalam dunia perbankan. Komunitas CUM “Talenta” menyebutnya dengan istilah “simpanan diakonia”. Dalam perkembangan selanjutnya, komunitas CUM “Talenta” juga tampak mengadakan dana Perlindungan Jiwa (LINWA) dan dana Perlindungan Kesehatan (LINKES). Linwa dan Linkes adalah semacam “asuransi” untuk kematian dan kesehatan anggota. Telah secara lugas dipaparkan besarnya uang yang harus dibayarkan anggota untuk setiap bentuk simpanan diputuskan oleh anggota melalui Rapat Anggota Tahunan (RAT).

Di era globalisasi kapitalisme neoliberal yang sedang berlangsung dewasa ini,

utama dalam relasi sosial di masyarakat. Lalu, masih adakah kemungkinannya untuk mengubah (mentransformasikan) makna uang menjadi sesuatu yang lain sehingga uang bisa memiliki makna sosial? Uang tampak tidak lagi semata-mata sebagai alat tukar tetapi sudah merupakan tujuan. Tetapi, dengan pembentukan formasi sosial komunitas

CUM “Talenta” ini tampaknya ada semacam cita-cita untuk menegaskan kembali konsepsi yang paling elementer dari pemikiran Marx bahwa uang merupakan produk relasi sosial dan bukan sebaliknya uang yang menciptakan relasi sosial. Kalau logika sistem ekonomi neoliberal yang mempertuankan “kebebasan pasar” (unfettered market) itu dicirikan oleh penghancuran terhadap segala bentuk struktur kolektif dari unitnya yang terkecil (keluarga) sampai terbesar (negara) maka formasi sosial komunitas CUM

“Talenta” dengan seluruh kegiatan dan usaha-usaha bersama yang mereka lakukan sedang menunjukkan perlawanannya. Tidak hanya itu, kesatuan sosial komunitas CUM

“Talenta” juga tampak sedang mengajukan sebentuk jenis masyarakat baru yang cirinya adalah adanya semangat berbagi (bertolong-tolongan menanggung beban).

4.3.4.2. Memaknai (ulang) Haroan Bolon di Simalungun: Siasat Melawan Individualisme

Mencari pekerja upahanlah yang susah sekarang ini pak Pendeta? Kalau soal, modal usaha sudah bisa diatasi lewat komunitas CUM “Talenta” ini!. Demikian ungkapan salah seorang anggota komunitas CUM “Talenta” kepada saya ketika penelitan ini dilakukan.

Ungkapan tersebut bagaimanapun juga menunjukkan bahwa tuntutan-tuntutan dari beragam kekuatan sosial yang antagonistik yang membentuk kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” itu cukup beragam. Tuntutan “kemudahan mengakses modal usaha” hanyalah salah satu dari beragam tuntutan dari kekuatan sosial yang membentuk

komunitas CUM “Talenta” tersebut. Sudah dijelaskan juga bahwa untuk mengatasi persoalan kesulitan mengakses modal usaha tersebut sudah mereka upayakan dengan mengadakan atau menciptakan modal bersama. Dari sisi ekonom, upaya itu tampak cukup berhasil. Tetapi, kalau kita melihat pengakuan dari salah seorang anggota komunitas CUM “Talenta”tersebut jelas bahwa uang tidak dapat dapat menjawab segala persoalan.

Sadar bahwa uang bukan merupakan jawaban dari segala persoalan, kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” menjawab persoalan kesulitan mengolah lahan pertanian dari masing-masing anggota dengan cara mereartikulasi kembali tradisi haroan bolon yang ada dalam budaya masyarakat Simalungun. Kali ini haroan bolon tersebut tidak lagi dilakukan secara bergilir sebagaimana dipraktikkan pada masa lalu. Dalam konteks komunitas CUM “Talenta”,haroan bolonitu tidak hanya diartikulasikan dengan mengadakan atau menciptakan modal bersama tetapi juga membentuk semacam

“usaha pertanian bersama” (berkelompok). Sejauh ini ada dua kelompok basis (unit) komunitas CUM “Talenta” yang mempraktikkan kerja haroan bolon tersebut. Yang pertama adalah kelompok haroan bolon di unit (basis) komunitas CUM “Talenta” di desa Huta Saing dan desa Bandar Purba di Kabupaten Simalungun.

Modal usaha kelompok haroan bolon ini merupakan pinjaman kelompok yang berasal dari komunitas CUM “Talenta”. Lahan yang mereka gunakan adalah lahan milik salah seorang anggota komunitas yang dipinjam-pakaikan untuk unit komunitas CUM

“Talenta”. Usaha pertanian bersama yang dilakukan oleh kelompok haroan bolon unit komunitas CUM “Talenta” di Huta Saing, yang dilakukan tampaknya cukup berhasil sehingga mereka bisa mengembalikan pinjaman kelompok mereka kepada komunitas (Lihat: pembahasan pada bab III: hlm. 133). Sementara itu, kelompok “haroan bolon

Talenta” di desa Bandar Purba yang dibentuk tahun 2011 meskipun dari sisi ekonomi, usaha pertanian bersama ini tidak beruntung namun mereka menemukan makna sosial dari marharoan tersebut sebab di sela-sela kerja bersama tersebut mereka bisa berbagi informasi dan pengalaman tidak hanya terkait dengan dunia pertanian tetapi juga terkait dengan pendidikan anak-anak mereka. (bab III:133).

4.3.4.3. Menolak Rayuan Agen Neolib (Rabo Bank)

Salah satu kesulitan yang dihadapi oleh kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” yang terbilang cukup pelik adalah ihwal kecukupan dana pinjaman yang harus diberikan kepada anggota komunitas. Memang, ketika didirikan komunitas ini telah menyandarkan usaha bersama yang ingin mereka lakukan untuk mengatasi berbagai bentuk krisis sosial ekonomi yang mereka hadapi adalah dengan cara mengartikulasi bahasa “diakonia gereja” sebagai cara untuk mengartikulasi “bahasa” bertolong- tolongan menanggung beban tersebut. Namun, dalam perjalanannya kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” ini tidak mampu mengatasi kebutuhan ataupun tuntutan pinjaman modal usaha tersebut.

Dalam kenyataan seperti itu, sebuah bank umum nasional yakni Rabo Bank datang menawarkan “kerjasama” dengan kesediaan mengucurkan dana pinjaman sebesar Rp.2 milyar. Sebagaimana sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, kerjasama ini nyaris ditandatangani dengan melibatkan Pimpinan Pusat GKPS sebagai “saksinya”. Namun, pada detik akhir menjelang penanda tanganan kerjasama tersebut, perjanjian dibatalkan sebab dianggap bertentangan dengan prinsip “keswadayaan” yang telah dipancang oleh komunitas ini dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga komunitas. Ketika ditanyakan kepada manajer maupun pengurus komunitas CUM

oleh komunitas CUM, baik manajer maupun pengurusnya tidak bersedia memberikan jawabannya. Satu hal yang dapat dipastikan adalah bahwa salah seorang dari pegawai Rabo Bank tersebut diketahui merupakan warga jemaat GKPS di daerah perkotaan Jakarta. Bahkan, ketika penulis menanyakan mengapa Rabo Bank bersedia mengucurkan dana pinjaman sebesar itu padahal komunitas ini adalah sebuah komunitas yang tidak (belum) berbadan hukum, maka jawaban dari salah seorang manajer CUM tersebut mengatakan karena ada semacam jaminan dari Pimpinan Pusat GKPS bahwa

komunitas CUM “Talenta” merupakan unit (lembaga) pelayanan yang berada di bawah naungan GKPS, meskipun dalam kenyataannya sebagaimana sudah dijelaskan pada bab sebelumnya kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” tidak lahir dari rahim institutsi GKPS.

Kesadaran bahwa kesatuan sosial telah memijakkan prinsipnya pada

“keswadayaan” menyadarkan manajer dan juga pengurus komunitas bahwa

ketidakcukupan dana pinjaman itu sesungguhnya menunjukkan bahwa “penanda kosong” (empty signifier) yang juga merupakan “penanda utama” (master signifier) tidak mampu berfungsi sebagaimana mestinya. Dengan kata lain, bahasa “bertolong-

tolongan menanggung beban” yang dijadikan sebagai bahasa bersama untuk mengatasi

berebagai bentuk krisis sosial ekonomi yang dihadapi tidak dapat menjadi ikatan pemersatu yang sempurna sebab telah mengakibatkan sejumlah orang anggota komunitas CUM “Talenta” menyatakan diri keluar karena need-nya tidak terpenuhi. Kenyataan seperti ini, tentu mengingatkan kita pada apa yang disebut LM bahwa dalam suatu formasi hegemonik selalu ada momen-momen yang menjadi unsur baru hegemoni yang mesti direartikulasikan secara terus menerus.

4.3.4.4. Mendirikan Perusahaan (CV. Talenta): Memotong Jalur Pemasaran Kopi Tanaman kopi adalah salah satu produk pertanian andalan masyarakat Simalungun bagian atas (Barat) di samping produk sayur mayur dan buah-buahan. Masyarakat lokal Simalungun menyebut jenis (varietas) kopi mereka dengan sebutan kopi “sigarar utang” (kopi untuk bayar hutang). Sebagai daerah penghasil kopi, tidak heran kalau daerah ini diserbu oleh para pembeli kopi untuk kemudian dipasarkan kembali ke perusahaan- perusahaan pengolah biji kopi. Di era teknologi informasi saat ini tidaklah sulit untuk mengetahui disparitas harga kopi di berbagai daerah. Apa yang ditemukan oleh komunitas CUM “Talenta” adalah adanya disparitas harga yang cukup mencolok di tingkat petani dengan harga kopi di tingkat perusahaan. Rendahnya harga kopi masyarakat di Simalungun ini diperparah lagi oleh kenyataan di mana para pembeli kopi juga masih harus membayar sejumlah uang kepada “preman” di daerah ini yang bahkan bisa mencapai Rp.500 per kilogram.

Semuanya itu tentu akan dibebankan kepada petani. Akibatnya, petani sebagai produsen kopi justru hanya mendapatkan keuntungan yang sedikit dibanding dengan para pembeli yang datang dari luar daerah sebab merekalah yang langsung menjual kopi tersebut ke perusahaan. Kesadaran akan adanya disparitas marjin harga komoditas kopi yang cukup mencolok itulah yang mendorong kesatuan sosial komunitas CUM

“Talenta” membuat sebuah keputusan melalui rapat anggota tahunan pada tahun 2012 di mana hampir Rp. 400 jutaan Sisa Hasil Usaha (SHU) yang seharusnya dibagikan kepada anggota kemudian diputuskan secara bersama untuk tidak dibagi tetapi dialokasikan sebagai dana awal untuk mendirikan sebuah perusahaan milik anggota komunitas CUM

“Talenta” secara kolektif. Pendirian perusahaan (CV.Talenta) ini termasuk unik sebab kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” sendiri adalah sebuah komunitas yang tidak

berbadan hukum namun harus mendirikan sebuah perusahaan yang mempersyaratkan adanya badan hukum. Untuk mengatasi persoalan tersebut komunitas ini tampak menggunakan celah yuridis di mana perusahaan tersebut didirikan oleh representasi

komunitas CUM “Talenta” dan dengan perjanjian yang ditandatangani dihadapan notaris bahwa CV.Talenta tersebut adalah milik anggota komunitas CUM “Talenta”.

Melalui CV. Talenta inilah, komunitas CUM “Talenta” mulai mengumpulkan sendiri kopi anggota untuk dipasarkan secara langsung ke tingkat perusahaan. Dari sini komunitas CUM “Talenta” kemudian mengenal beberapa perusahan pengolah biji kopi seperti PT.Volkopi Indonesia dan dengan Tiga Raja International Coffee sebuah perusahaan pengolah biji kopi dari Australia yang memiliki perwakilan di daerah Silimakuta Saribudolok (Lisa and Leo’s organic coffee):

We are buying coffee from a farmer group who are all members of one grower’s co-operative called Talenta. It has over 10,000 members; 7,000 members are coffee farmers and 5,000 of those members are attached to the Saribu Dolok office which covers the sub-regions of Silimakuta, Dolok Silau and Pematang Purba. These are the three regions from whom we will be buying our coffee.Talenta is a highly organised group. They have a total of 117 active ‘komisaris’. Komisaris are members who live in the villages and are employed to collect parchment coffee from the local member farmers”.238

Kerjasama yang dilakukan komunitas CUM “Talenta” dengan perusahaan dari Australia ini memang dapat mendongkrak harga kopi di tingkat petani. Terobosan yang dilakukan oleh komunitas CUM “Talenta” ini sempat membuat “preman desa” yang selama ini mendapatkan keuntungan dari “upeti” yang diberikan pembeli menjadi berang bahkan sempat mengancam Pendeta (manajer) dan pegawai komunitas CUM

238

(http://www.fivesenses.com.au/blog/2014/02/05/its-all-systems-go-at-tiga-raja-mill: (diakses: 12 Maret 2015).

“Talenta”. Menurut salah seorang manajer CUM “Talenta”, “preman desa” tidak dapat menerima, Pendeta mengelola bisnis. Meskipun, begitu seiring berjalannya waktu dan dengan mengadakan pendidikan dan penyadaran lewat Aktivitas kegerejaan yakni persekutuan doa antar keluarga dan khotbah-khotbah kebaktian Minggu, seklompok masyarakat yang tadinya merasa terganggu dengan kehadiran komunitas CUM

“Talenta” lambat laun kini dapat memahaminya sebagai bagian dari tugas gereja. 4.3.4.5. Mengubah Tanda Pengenal Diri: Dari Komunitas“Credit” keKomunitas

“Credo” :Siasat Melawan Intervensi Pemerintah

Sejak awal berdiri, hingga penelitian ini dilakukan komunitas CUM “Talenta” bukanlah sebuah komunitas yang memiliki badan hukum. Dari sejarah pembentukkannya juga cukup jelas diketahui bahwa pembentukan kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” ini bertolak dari kesulitan institusi GKPS untuk memberi respons etis terhadap berbagai bentuk krisis sosial ekonomi yang dihadapi jemaatnya. Itulah sebabnya sejak awal komunitas CUM “Talenta” ini mengklaim dirinya sebagai bagian dari pelayanan (diakonia) gereja GKPS meskipun hal ini jelas merupakan klaim sepihak. Sudah dijelaskan pada bab sebelumnya komunitas CUM “Talenta” tidak lahir dari rahim institusi GKPS secara legal formal.

Perlu ditambahkan bahwa persoalan atau tuntutan akan badan hukum komunitas CUM “Talenta” baru mengemuka sejak komunitas ini mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang cukup pesat baik dari sisi finansial maupun jumlah anggotanya. Tidak sedikit anggota komunitas CUM “Talenta” sejak ia menyatakan masuk sebagai anggota sudah mengetahui ihwal ketiadaan badan hukum komunitas ini tetapi mereka masih tetap bertahan menjadi anggota. Salah satu alasannya adalah kehadiran para Pendeta sebagai manajer ataupun pengurus komunitas yang dianggap bisa

menghadirkan kepercayaan (trust) kepada anggotanya. Bapak Sianturi dan ibu Saragih (lihat: bab III) misalnya mempertanyakan ihwal badan hukum komunitas ini tetapi ia tetap tidak menyatakan diri keluar sebab trust dalam komunitas masih terjaga, mungkin karena manajer dan pengurusnya para Pendeta, demikian pak Sianturi mengatakannya. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan moral-spiritual yang dijalankan oleh pemimpin agama (Pendeta) dapat mengatasi budaya formalisme yang semakin merebak di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Selain itu, ketiadaan badan hukum komunitas CUM “Talenta”, lambat laun mulai dipersoalkan oleh “mereka” yang di luar komunitas termasuk institusi-institusi keuangan yang menjadi kompetitor komunitas ini termasuk petugas pajak. Tanda pengenal kedirian komunitas CUM “Talenta” sebagai “komunitas credit” telah mengundang aparatus pemerintah lokal untuk meminta pajak. Alasannya, karena komunitas ini adalah komunitas kredit. Tetapi, alasan bahwa komunitas CUM “Talenta” adalah komunitas yang berada dibawah naungan gereja membuat petugas pajak undur diri. Kehadiran petugas pajak membuat komunitas CUM”Talenta” ini akhirnya mengubah tanda pengenal kediriannya dari “Komunitas Credit” menjadi “Komunitas Credo” Union Modifikasi. Hal itu dilakukan sebagai strategi eskapis ataupun siasat untuk menghindari pungutan pajak yang dilakukan oleh oknum pegawai pemerintah.

BAB V

KESIMPULAN DAN REFLEKSI

5.1. Kesimpulan

Studi tentang identitas politik “gereja suku” di ruang publik yang direpresentasikan oleh komunitas CUM “Talenta”, bertolak dari pengamatan dan keprihatinan subjektif penulis atas kondisi kegamangan bahkan “kebuntuan” yang dialami oleh gereja-gereja di Indonesia dalam merepresentasikan dirinya (identitasnya) di tengah-tengah konteks sosialnya yang lebih luas. Kegamangan gereja-gereja di Indonesia sebagaimana dilansir oleh para peneliti-peneliti sebelumnya (telah telah diungkapkan pada bab pendahuluan) telah membuat gereja-gereja di Indonesia cenderung menjadi introvert dan reaktif di mana ia tampak hanya mampu memperlihatkan sisi “defensif” dari identitasnya sementara sisi “ofensif” tampak menjadi mangkir.

Bertolak dari keprihatinan seperti itulah studi terhadap komunitas CUM

“Talenta” menarik untuk dilakukan. Berdasarkan data-data dan analisis yang sudah dilakukan terlihat dengan jelas bagaimana komunitas CUM “Talenta” mencoba menghadirkan dirinya sebagai representasi gereja tidak hanya bagi warga GKPS sendiri tetapi juga meluas melibatkan warga gereja denominasi yang lain. Tidak hanya itu, komunitas CUM “Talenta” juga tampak bisa menjadi rumah bersama bagi masyarakat beragama yang lain (muslim). Tidak ada sekat-sekat yang dibangun. Pengelolaan dan pengembangan komunitas dilakukan dengan prinsip demokrasi di mana keputusan yang diambil melibatkan partisipasi dari seluruh anggota. Kalaupun, pengelola ataupun manajer komunitas CUM “Talenta” sepertinya diplot hanya Pendeta namun hal itu tidak dimaksudkan dalam rangka mendominasi. Kesediaan anggota masyarakat dengan

beragam pluralitas identitasnya masuk menjadi anggota komunitas CUM Talenta ini justru karena kepemimpinan moral-spiritual yang dijalankan oleh Pendeta GKPS tersebut mampu menghadirkan apa yang justru dicari masyarakat luas dewasa ini yakni kepercayaan (trust) dan keterbukaan (transparancy). Aktualisasi kepercayaan dan transparansi dari para Pendeta GKPS itu tampak mampu mengatasi formalisme ataupun legalisme yang sering dipersyaratkan oleh demokrasi prosedural-liberal. Nilai-nilai etik

kristiani yang diusung oleh komunitas CUM “Talenta” secara mantap telah diterjemahkan demi menghadirkanthe common goodsbagi anggotanya.

Memang keberhasilannya tampak masih menunjukkan keberhasilan dari sisi ekonomi uang (finansial) tetapi berbagai upaya untuk melakukan gerakan pemberdayaan ke arah yang lebih politis juga terlihat telah dilakukan walau masih belum diartikulasikan secara serius dalam arti terstruktur dan berkesinambungan. Berbagai perjuangan-perjuangan demokratik baru untuk mengatasi hubungan-hubungan eksploitatif, subordinatif dan opresif yang dialami oleh anggota komunitas CUM

“Talenta” dalam konteks partikularitasnya masing-masing tampak cukup berhasil dilakukan. Meskipun begitu tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada momen-momen atau unsur-unsur baru yang masih perlu diartikulasikan. Dan hal itu tampak dari fenomena adanya anggota komunitas CUM “Talenta” yang menyatakan diri keluar sebagai anggota, meskipun jumlahnya tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan jumlah anggota yang masuk. Fenomena seperti justru mengingatkan kita pada apa yang disebut LM bahwa di era globalisasi kapitalisme neoliberal bentuk-bentuk subordinasi, eksploitasi dan opresif juga berkembang dan tidak dapat diprediksi. Selain itu, fenomena itu juga sekaligus menunjukkan bahwa masyarakat atau pembentukan

masyarakat itu tidak pernah mencapai totalitas struktural yang sempurna. Karena itulah LM mengatakan bahwa masyarakat itu adalah hasil dari praktik artikulasi terus menerus.

Kehadiran kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” yang mengklaim dirinya sebagai bidang pelayanan (diakonia) gereja telah membuat terjadinya relasi konfliktual dengan GKPS sebagai institusi gereja yang menaunginya. Hal itu terjadi karena memang kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” tidak lahir dari “rahim” institusi GKPS. Meskipun begitu, GKPS sendiri juga tampak memberi pengakuan terhadap eksistensi komunitas CUM “Talenta”. Hal itu terlihat dari kebersediaan GKPS mengutus tenaga pelayannya (Pendeta) ditempatkan sebagai manajer di komunitas CUM “Talenta”. Penempatan Pendeta menjadi manajer di komunitas CUM “Talenta” tampaknya cukup efektif untuk memainkan fungsinya sebagai semacam “pusat hegemonik” sebab keberhasilan kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” ini jelas karena kepemimpinan (leadership) dijalankan dengan cukup baik di mana trust dan transparansi menjadi indikator utama yang menjadi pegangan bagi anggota-anggotanya di tengah-tengah konteks tidak adanya badan hukum komunitas ini

5.2. Refleksi

Sebagaimana sudah dijelaskan pada bagian kesimpulan di atas, secara umum konsentrasi atau poros utama aktivitas kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” tampak masih berpusat pada ekonomi-uang. Agar komunitas CUM “Talenta” dalam gerakan pemberdayaannya bisa bergerak ke arah yang lebih luas atau politis maka penelitian ini memberikan beberapa saran untuk dipertimbangkan:

1. Perihal badan hukum komunitas CUM “Talenta” dapat dipertimbangkan untuk diadakan, khususnya terkait dengan aktivitas mengumpulkan dana dari masyarakat.

Hal ini terutama mengingat adanya undang-undang lembaga keuangan mikro (LKM) dan undang-undang Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

2. Kerjasama antar Komunitas CUM mendesak untuk dilakukan agar eksistensi wacana CUM sebagai sebuah diskursus sistem pemberdayaan ekonomi kerakyatan alternatif versi kristiani bisa memperoleh pengakuan dari Negara.

3. Pendidikan dan pelatihan yang dilakukan kepada anggota dan komisaris agar tidak semata-mata diarahkan pada aspek manajemen-keuangan tetapi bisa diarahkan menjadi lebih meluas meliputi aspek ideologis dan advokasi agar kesadaran politis anggotanya menjadi bertumbuh. Bagaimanapun juga kalau Komunitas CUM

“Talenta” ingin mempertahankan proyek hegemoninya maka gerakan diakonia

ekonomi kerakyatan versi kristiani yang dijadikan sebagia master signifier-nya tersebut harus bergerak ke arah yang lebih politis sehingga tampak bedanya dengan komunitas atau kelompok yang diidentifikasi sebagai kelompok penindas.

Daftar Pustaka

Referensi Buku:

Aryo, Bagus (2012),Tenggelam dalam Neoliberalisme? “Penetrasi Ideologi Pasar DalamPenanganan Kemiskinan”,Depok-Jawa Barat, Kepik,

Atmadja, Nengah Bawa (2010)Ajeg Bali:“Gerakan,Identitas Kulturaldan Globalisasi”, Yogyakarta, LKiS.

Baswir, Revrisond (2010)Manifesto Ekonomi Kerakyatan,Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Budisusila, Antonius ed (2009), Rakyat, Pendidikan dan Ekonomi:Menuju Pendidikan

Ekonomi Kerakyatan, Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Duchrow,Ulrich,(1999),Mengubah Kapitalisme Dunia“Tinjauan Sejarah-Alkitabiah

Bagi Aksi Politis”, terj,Jakarta, BKP Gunung Mulia

Eko Prabowo, T.Handono (2010)Pengembangan Kekuatan-Kekuatan Tranformasi Untuk Kedaulatan Sosial Ekonomi“Sebuah Refleksi Sosial Ekonomi”, Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma

Ginting, E.P dan MP.Ambarita (2001), PT. Bank Perkreditan Rakyat Pijer Podi Kekelengen Desa Simalem, Jakarta, BPK-Gunung Mulia.

Hardiman, F.Budi ed, (2010) Ruang Publik: Melacak “partisipasiDemokrastis” dari

Polis sampai Cyberspace, Yogyakarta, Kanisius

Hargens, Boni (2006) Demokrasi Radikal: Memahami Paradoks Demokrasi Modern dalam Perspektif Postmarxis-Postmodernis ErnestoLaclau dan Chantal Mouffe, Jakarta, Parhesia.

Hikam, Muhammad A.S.(1996)Demokrasi dan Civil Society, Jakarta, LP3ES

Hinkelammert Franz J dan Duchrow, Ulrich dan (2004) Property for People, Not for Profit Alternatives to the global tyranny of capital, London-New York, Zed Books

Jorgensen, Marianne W dan Louise J. Phillips (2007) Analisis Wacana: Teori dan Metode, terj, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Laclau, Ernesto (2005)On Populist Reason, London - New York, Verso.

_____________, dan Chantal Mouffe, (1985)Hegemony& Socialist Strategy; Towards a Radical Democratic Politics, London-New York, Verso.

Lempas, Jeffrie A.A. eds (2006), Format RekonstruksiKekristenan:“Menggagas TeologiMisiologi, dan Ekklesiologi Kontekstual di Indonesia”,Jakarta, Pustaka Sinar Harapan

Manullang, Martunas, (2010) Menuju HKBP Inklusif dan Misioner: Ekkelsiologi di