• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I: PENDAHULUAN

1.6. Kerangka Teori

1.6.1. Identitas Politik: Hegemoni, Antagonisme, dan Pembentukan Subjek

1.6.1.4. Pengertian “Gereja Suku” dan “Ruang Publik”

Sebelum memperbincangkan lebih jauh tentang ruang publik tersebut, maka perlu mendefenisikan apa yang dimaksud dengan“gereja suku”. Secara etimologi, istilah

“gereja” berasal dari Bahasa Portugis igreja. Istilah ini dipakai untuk menerjemahkan

56

Ignasius Jaques Juru, Radikalisasi Pluralisme Sebagai Usaha Pengarusutamaan Politik Agonisme (dalam) JurnalIlmu Sosial dan Ilmu Politik(JSP), Volume 14 No.2 Novemberi 2010, hlm, 189

kataekklêsia(bahasa Yunani) yang berarti dipanggil keluar (ek=keluar; klesia dari kata kaleo=memanggil). Ekklesiaatau gereja (igreja) berarti kumpulan orang-orang yang dipanggil ke luar. Setidaknya ada tiga komponen yang terkandung dalam pengertian gereja tersebut yakni kumpulan orang-orang (lembaga/komunitas), ada subjek yang memanggil (Tuhan) dan transformasi atas kondisi orang-orang yang dipanggil atau dikumpulkan. “Gereja Suku” diartikan suatu komunitas orang kristen yang secara historis terbentuk sebagai buah dari pekerjaan penginjilan (zending) yang dilakukan terhadap etnis tertentu. Keanggotaaan komunitas kristen “gereja suku” merupakan jaringan yang saling mengenal dan merupakan bagian dari satu keluarga (etnis) tertentu.Etnis atau etnisitas, seperti kata Daniel Perret adalah “perasaan menjadi bagian dari” yang dibawa seolah-olah sejak lahir dan yang mendasari sebuah identitas budaya ”primordial”.57

Dalam statusnya yang seperti itu, subjek “gereja suku” adalah subjek “yang lokal” atau “yang partikular”. Sebagai sebuah komunitas agama, komunitas kristen ”gereja suku” bagaimanapun juga memiliki apa yang disebut Habermas dengan tradisi

“dunia-kehidupan” (labenswelt), good life (konsep solidaritas warga demi keadilan) serta intuisi-moral (weltanschuung). Sebagai komunitas agama, yang didirikan pada alas etnisitas maka dalam derajat tertentu ihwal labenswelt, good life dan weltanschuung yang ada di dalam dirinya, tentulah dihayati bersamaan dengan penghayatan pada nilai- nilai atau tradisi kebudayaan etnisnya.

Persis dalam kerangka pemikiran seperti itulah keberadaan subjek komunitas

“gereja suku” memiliki keterkaitan dengan pemikiran LM yang mana mereka

memperkenalkan pertanyaan-pertanyaan seputar moralitas dan keadilan ke dalam politik

57

Daniel Perret ( 2010) Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu Sumatera Utara, Jakarta, Kepustakaan Popular Gramedia, hlm,4-6

untuk melawan konsepsi demokrasi yang disandarkan pada ekonomi dan partisipasi politik yang bersifat skeptis. Mereka mencari makna-makna baru dari gagasan demokrasi tradisional seperti otonomi, kedaulatan rakyat dan kesetaraan yang tujuannya tidak lain adalah untuk merumuskan ulang gagasan klasik mengenai ruang publik dan menjadikannya sebagai pusat proyek politik. Selengkapnya, Chantal Mouffe mengatakan:

Against interest-based conception of democracy, inspired by economicsand skeptical about the virtues of political participation, they wantto introduce questions of morality and justice into politics. Theyare looking for new meanings of traditional democratic notionslike autonomy, popular sovereignty, and equality'. Their aim is toreformulate the classical idea of the public sphere, giving it a central place in the democratic project”.58

Apa yang dikemukakan Mouffe tersebut di atas memperlihatkan adanya pergeseran politik-demokrasi dari model ekonomi ke moral. Dalam perspektif seperti itulah LM mengembangkan konsepsi politik demokrasi deliberatif-nya (deliberative democracy) di mana konsep ruang publik akan dielaborasi secara penuh. Dengan begitu, maka cukup jelas sebagaimana Habermas tidak hanya memahami ruang publik sebagai locus artikulasi politik tetapi sekaligus juga merupakan tempat menicptakan ruang politis (political space) demi terwujudnya demokrasi radikal kewarganegaraan (radical democratic citizenship).

Memang, ada begitu banyak versi dari demokrasi deliberatif tersebut. Namun, Chantal Mouffe mencatat bahwa salah satu gagasan teoritik yang dirumuskan Habermas adalah salah satu yang paling jitu. Demokrasi deliberatif itu bertolak dari tesis yang berlaku umum tentang fungsi hukum sebagai mediator integrasi sosial. Sumber legitimasi hukum sebagai produk politik diperoleh dengan menjadikannya

58

Chantal Mouffe, Deliberative Democracy or Agonistic Pluralisme (dalam) Jurnal Social Research, Vol.66, No.33 (fall1999).

terlebih dahulu sebagai diskursus publik. Di Indonesia, wujud material model demokrasi deliberatif ini dikenal sebagai demokrasi permusyawaratan di mana sumber legitimasinya tidak lagi disandarkan pada kumpulan kehendak individu atau “kehendak umum” rakyat tetapi melalui proses pencapaian keputusan-keputusan politik yang berlangsung secara diskursif, argumentatif dan deliberatif”.59 Dengan kata lain, legitimasi hukum sebagai produk politik (yang berfungsi sebagai mediator integrasi sosial) dipahami tidak lagi sebagai sarana yang terpisah dari warga negara itu sendiri sebab diskursus hukum itu sendiri lahir melalui proses seleksi publik secara rasional. Singkat kata, demokrasi deliberatif itu sudahmengandaikan adanya ruang publik”.60

Menurut Habermas, istilah “ruang publik” (public sphere) hadir untuk membedakan dirinya dengan ruang privat. Dalam perspektif kekuasaan Habermas membagi ruang publik tersebut menjadi dua bagian:

Pertama, ruang publik yang tidak dikooptasi kekuasaan yaitu ruang publik yang tumbuh dari dunia-kehidupan dan kedua adalah ruang publik yang dikooptasi oleh kekuasaan. Masing-masing ruang publik ini dikuasai oleh aktor-aktor tertentu. Aktor dalam ruang publik yang tidak dikooptasi oleh kekuasaan adalah para pribumi, karena mereka berasal dari publik itu sendiri dan memiliki akar yang mendalam pada dunia-kehidupan (labenswelt). Sementara aktor yang ada di dalam ruang publik yang dikooptasi oleh kekuasaan didominasi oleh aktor pemakai, yaitu aktor-aktor yang tidak tumbuh dalam publik melainkan hadir di depan publik dan menduduki ruang publik di mana mereka memanfaatkan medium uang serta kuasa untuk memperalat publik. Mereka biasanya memiliki identitas sosial yang mapan dan diakui dalam masyarakat Pemikiran Habermas mengenai ruang publik tersebut menyiratkan bahwa sifat dari ruang publik adalah eksklusif. Ia menempati posisi yang tunggal (singular), yaitu borjuis”.61

Berbeda dengan pemikirannya yang pertama, Habermas dalam bukunyaBetween Facts and Norms(1996) menempatkan ruang publik sebagai ruang yang plural.

59

Istilah Deliberatif berasal dari bahasa Latin deliberatio yang berarti menimbang-nimbang secara rasional, berkonsultasi, atau bermusyawarah secara terbuka. Selanjutnya lihat: Gusti A.B. Menoh (2015)

Agama Dalam Ruang Publik, Yogyakarta, Kanisius,hlm,81

60

Ibid, hlm, 84

61

Obed Bima Wicandra, Merebut Kuasa Atas Ruang Publik: Pertarungan Ruang Komunitas Mural di Suarabaya, Program Studi Desain Komunikasi Visual, Universitas Kristen Petra Surbaya,hlm,2

Setiap komunitas dan kelompok masyarakat dapat membentuk ruang publiknya sendiri. Pemikiran ini sebagai reaksi atas kritik kaum posmodernisme yang melihat pemikiran ruang publik pertama (borjuis) sebagai ruang yang cenderung eksklusif. Sedangkan formula inti dari pemikiran ruang publik yang kedua ini adalah varian dari demokrasi yang memfokuskan dirinya pada isu legitimasi politik. Keputusan bisa bersifat legitim apabila keputusan tersebut memperoleh persetujuan rasional melalui partisipasi di dalam pertimbangan mendalam (deliberation) yang otentik oleh semua pihak yang berkepentingan terhadap keputusan tersebut. Menurut Habermas, arena untuk berpartisipasi dalam deliberasi tersebut adalah ruang publik”.62

Sementara itu, HannahArendt, (sebagaimana diungkapkan Eddie S. Riyadi Langgut Tere)mendefenisikan “ruang publik” (public sphere) sebagai berikut:

Sebagai “ruang penampakan” dan sebagai “ruang bersama”.Ruang publik sebagai “ruang penampakan” berarti ruang di mana saya sebagai manusia dikenali sebagai manusia oleh yang lain karena saya “berada di antara manusia” (inter homines esse). Ruang publik sebagai ruang penampakan akan memisahkan apa-apa yang tidak relevan dengan kehidupan bersama itu sebagai “masalah privat”, dan karena itu “cahaya kepublikan”, itulah yang menyinari apa yang privat,tetapi bukan sebaliknya”.Sedangkan, ruang publik dalam pengertiannya sebagai “ruang bersama” adalah “dunia bersama” (common world), dunia dalam arti dunia yang kita pahami bersama, hidupi bersama, adalah dunia “yang adalah

umum atau sama bagi kita semua, yang berbeda dari tempat kita yang privat di dalamnya. Dunia tidaklah sama dengan bumi atau alam. Kalau bumi atau alam adalah ruang bagi seluruh makhluk hidup, maka dunia adalah sebuah kategori khas bagi manusia. Dunia menghubungkan dan sekaligus memisahkan manusia pada waktu yang sama.Ruang publik sebagai dunia bersama menyatukan kita bersama dan mencegah kita untuk saling menelikung. Ruang publik sebagai

dunia bersama adalah ruang “di antara” (in-between). Dunia bersama

memungkinkan manusia untuk hidup bersama dalam arti bahwa “pada esensinya

adalah sebuah dunia yang berada di antara mereka yang memilikinya sebagai milik bersama, sebagaimana halnya sebuah meja yang ditempatkan di antara mereka yang duduk mengitarinya. Jika meja itu hilang, maka hilanglah kebersamaan itu”.63

Menurut Habermas, ruang publik merupakan arena diskursif yang berbeda dan terpisah dari ekonomi dan negara. Di sanalah para warga negara berpartisipasi dalam politik dengan bertindak melalui dialog dan debat. Habermas juga menambahkan bahwa

62

Ibid

63

Eddie S.Riyadi Langgut Tere, (makalah) Manusia Politis Menurut Hannah ArendtPertautan antara Tindakan dan Ruang Publik, Kebebasan dan Pluralitas, dan Upaya Memanusiawikan Kekuasaan”. Disampaikan pada Kuliah Umum Filsafat Salihara, Totalitarianisme Menurut Hannah Arendt, 20 April 2011. Komunitas Salihara Jakarta, hlm, 5

ruang publik merupakan ruang otonom yang berbeda dari negara dan pasar. Ia otonom karena tidak hidup dari kekuasaan administratif maupun ekonomi kapitalis melainkan dari labensweltataucivil society”.64

Di ruang publik itu, tidak ada satu tradisi atau budaya (agama) apapun yang boleh mengklaim komitmen etisnya sendiri sebagai satu-satunya norma bagi semua pihak. Yang dimungkinkan adalah masing-masing tradisiatau dunia-kehidupan (labenswelt) sebuah komunitas agama diperkenankan masuk ke sana dan diskursus labesnwelt-nya bisa hanya bisa diterima menjadi diskursus publik kalau diskursus keagamaan yang hendak diajukan itu memiliki argumentasi rasional-universal, mengandung good life dan intuisi moral (weltanschuung) yang bisa mendorong tumbuhnya solidaritas sosial diantara beragam elemen masyarakat sipil yang ada di dalamya. Tumbuhnya solidaritas sosial di ruang publik yang diekspresikan lewat perjuangan-perjuangan demokratik baru (new democratic strugles) merupakan momen penciptaan“ruang politis” (political space) atau pembentukan masyarakat. Pemahaman ruang publik ini, menjadi dasar untuk mendeskripsikan bagaimana subjek komunitas kristen “gereja suku” – GKPS - (yang direpresentasikan oleh Komunitas CUM

“Talenta”) membentuk suatu masyarakat di ruang publiknya di pedesaan Simalungun. Adapun “ruang publik” (public sphere) yang dimaksud dalam konteks penelitian ini adalah ruang publik yang informal yakni dunia kehidupan masyarakat sipil yang tidak dikooptasi negara ataupun pasar.

64

1.7. Metode Penelitian