• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV: Identitas P olitik “ Gereja S uku” : Dari Gerakan Ekonomi Ke Gerakan Politik

4.3. Artikulasi Identitas Politik “G ereja S uku” (GKPS) dan Representasinya Oleh

4.3.1. Tuntutannya (demands)

Pada pembahasan di bab sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa GKPS pertama sekali mengenal wacana CUM itu melalui seorang Pendetanya (LG) yang diutus mengikuti Pendidikan dan Pelatihan calon pengelola (manajer) CUM yang diselenggarakan MPA. Dan sejak itulah, wacana CUM itu mulai“diterima”226 sebagai unsur baru dalam bahasa diakonia GKPS. “Penerimaan” atas wacana CUM tersebut ditandai dengan

226

Istilah “diterima” diberi tanda kutip sebab hingga penelitian ini dilakukan keberadaan komunitas CUM “Talenta” yang mengklaim dirinya sebagai “bidang pelayanan GKPS” tampak tidak didukung oleh sebuah dokumen yang memiliki kekuatan yuridis yang dikeluarkan oleh GKPS. Hal ini, terjadi sebab Komunitas CUM “Talenta” tidak lahir dari “rahim” GKPS secara legal-formal.

pembentukan kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta”, yang dideklarasikan pada tahun 2007 oleh para Pendeta (muda) GKPS yang ketika itu melayani di Distrik III. Inilah momen atau saat di mana kesatuan sosial Komunitas CUM “Talenta” mulai mengenal “bahasa” diakonia gereja. Deklarasi berdirinya komunitas CUM “Talenta” disandarkan pada keinginan untuk “bertolong-tolongan menanggung beban” sebagaimana perintah Firman Tuhan yang tertulis dalam Galatia 6:2.

Adapun yang menjadi semacam angan-angan politik (political imaginary) dari Komunitas CUM “Talenta” ini dijelaskan sebagai berikut:

Kesejahteraan adalah hak asasi setiap manusia.Untuk mencapai kesejahteraan itu kami sepakat membentuk komunitas kooperatif untuk menunjang usaha bersama, dan sebagai tempat belajar bersama dan komunitas ini sebut Credit Union Modifikasi (CUM). Dalam mencapai kesejahteraan tersebut secara bersama-sama kami membuat kesepakatan yang harus dijalankan oleh setiap anggota CUM”.227

Bertolak dari deklarasi komunitas CUM “Talenta” tersebut di atas, ada dua hal yang dapat dijelaskan, pertama, dasar pembentukan kesatuan sosial komunitas CUM

“Talenta”. Cukup jelas, dasar pembentukan kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” yakni dibentuk atas dasar keinginan untuk mewujudkan kesejahteraan yang merupakan hak asasi setiap manusia. Hal itu dilakukan sekaligus sebagai ikhtiar untuk berperan dalam melakukan perubahan (transformasi) kehidupan jemaat dan masyarakat agar lebih baik. Dasarpembentukan komunitas CUM “Talenta” ini tentulahharus kita lihat sebagai hasil dari proses bercermin yang dilakukan oleh Pendeta (muda) GKPSpada “yang lain” (the other). yakni “jemaat dan masyarakat sekitar” yang sedang mengalami krisis secara sosial dan ekonomidalam berbagai bentuk yang berbeda-beda. Dalam proses

“bercermin” (menatap kondisi krisis yang dialami jemaat dan masyarakat marjinal di

227

Selanjutnya lihat : “Pembukaan” Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga komunitas CUM tahun 2009

Simalungun), LG sebagai Pendeta GKPS yang pertama menerima wacana CUM kemudian mempersepsikan dirinya sesuai dengan krisis tersebut. Ada sebentuk imperatif di situ: “para Pendeta (gereja) perlu berperan!”. Inilah yang menjadi dasar identifikasi ‘diri’ komunitas CUM “Talenta”pertama sekali.

Kalau kita mengacu pada data yang sudah dipaparkan pada bab sebelumnya terlihat dengan jelas bahwa ada beberapa faktor yang mendorong para Pendeta (muda) GKPS berinsiatif mendirikan kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta”. Fenomena menurunnya tingkat kehadiran dan partisipasi warga jemaat GKPS mengikuti ibadah (kebaktian Minggu) dan juga persekutuan doa keluarga menjadi keprihatinan tersendiri bagi para Pendeta (muda) GKPS yang berada di daerah pelayanan GKPS di distrik III. Berdasarkan Laporan Pertanggungjawaban Pimpinan Pusat GKPS kepada Sinode Bolon GKPS pada tahun 2005 disebutkan bahwa jumlah jemaat mengikuti kedua kegiatan gereja tersebut hanya sekitar 33% dari sekitar 200 ribu jiwa lebih jumlah anggota jemaat GKPS”.228

Fenomena menurunnya jumlah anggota jemaat GKPS mengikuti kebaktian Minggu dan berbagai aktivitas gereja lainnya juga dipicu oleh terjadinya konflik di antara sesama anggota majelis jemaat (pengurus gereja) yang menurut bapak Damanik diakibatkan oleh ketiadaan transparansi dalam hal pengelolaan keuangan jemaat yang tidak jarang berujung pada terjadinya konflik antara sesama anggota majelis jemaat.

Turunnya jumlah jemaat mengikuti kebaktian Minggu dan kegiatan lainnya disebabkan karena menipisnya kasih dan solidaritas. Ada pengurus gereja yang memakai uang gereja (baca:“korupsi”:ms) untuk kepentingan dirinya atau keluarganya. Pengurus gereja tidak transparan, tidak jujur dalam hal pengelolaan keuangan jemaat. Akibatnya, terjadi konflik di antara sesama majelis. Situasi konflik inilah yang membuat orang malas ke gereja”.229

228

Selanjutnya lihat: Risalah Sinode Bolon GKPS tahun 2005

229

Wawancara dengan bapak Damanik dilakukan di Nagori (desa) Bandar Purba pada tanggal 5 Maret 2012 (diterjemahkan secara bebas:ms)

Selain itu, karena ketiadaan transparansi dalam hal pengelolaan keuangan jemaat yang kemudian berakibat pada terjadinya konflik diantara sesama pengurus gereja, fenomena menurunnya tingkat kehadiran dan partisipasi jemaat dalam mengikuti kebaktian Minggu dan kegiatan gereja lainnya di GKPS menurut Damanik juga disebabkan karena menipisnya kasih dan solidaritas sosial. Gambaran tentang melorotnya solidaritas sosial warga jemaat GKPS di desanya diungkapkan bapak Damanik sebagai berikut:

Dulu di kampung ini, semua dikerjakan bersama; ada haroan marlajar dan ada haroan bolon. Sekarang ini, semua dikerjakan sendiri-sendiri. Semua ingin menunjukkan kehebatan keluarganya masing-masing. Yang aneh, kampung (desa) kami ini tidak begitu luas tetapi hampir semua kami di kampung ini selalu

mengatakan keluhan yang sama yaitu: “mencari pekerja upahanlah yang sulit sekarang ini”. Nggak tahu saya apa sebenarnya yang terjadi di jaman ini”.230

Selain itu, melorotnya solidaritas sosial jemaat GKPS di pedesaan di tanah Simalungun, ikut diperparah oleh berbagai bentuk krisis ekonomi yang dialami jemaat seperti: harga produksi pertanian (pasca panen) yang tidak stabil, harga pupuk yang mahal dan terkadang langka, kesulitan mengakses fasilitas permodalan dari lembaga keuangan mikro (LKM: BRI, BPR dan Koperasi simpan pinjam) dan lain sebagainya. Akibatnya, banyak warga GKPS terpaksa menempuh “jalan ke keselamatan” yang ditawarkan oleh para tengkulak dan para rentenir..

Kondisi krisis sosial ekonomi yang seperti itulah yang diperhadapkan kepada Pendeta GKPS di daerah distrik III ketika ia menjalankan tugas pelayanan kegerejaannya sehari-hari. Sebagai representasi kehadiran institusi gereja GKPS di basis jemaat, para Pendeta GKPS harus memberi respons etis terhadap krisis sosial ekonomi yang dihadapi jemaatnya tersebut. Ketika para Pendeta GKPS diminta untuk memberi

230

respons etis terhadap krisis sosial ekonomi yang dihadapi jemaatnya, para Pendeta GKPS itu sesungguhnya juga sedang mengalami krisis berbagai bentuk krisis sosial ekonomi yang dialami dalam bentuknya yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya.

Sekadar untuk perbandingan ketika komunitas CUM “Talenta” dibentuk (dideklarasikan) pada tahun 2007, upah minimum regional riil (UMR) Provinsi Sumatera Utara, adalah Rp.761.000,231sedangkan besarnya perolehan (gaji) seorang Pendeta GKPS (belum menikah) pada tahun 2007 dengan masa kerja nol tahun adalah Rp. 800.000”.232

Dengan kondisi perolehan (gaji) yang seperti itu, para Pendeta yang melayani di berbagai pelosok pedesaan masih harus menyediakan sendiri sarana dan prasarana pelayanannya seperti sepeda motor, komputer (laptop) dan lain sebagainya. Tidak jarang, para Pendeta GKPS masih harus meminta bantuan kepada orang tuanya (keluarga) untuk pengadaan sarana dan prasarana pelayanannya tersebut. Bagi Pendeta yang orang tua ataupun keluarganya memiliki kemampuan ekonomi yang memadai tentulah persoalan yang dihadapi Pendeta dengan segera dapat diatasi. Tetapi bagi seorang Pendeta yang kebetulan orangtuanya atau keluarganya tidak mampu hal ini tentu akan menjadi persoalan yang sulit diatasi. Seorang Pendeta GKPS (ASP) misalnya menyebutkan bahwa ia terpaksa menempuh jalan berhutang (kredit) untuk membeli sepeda motor sebagai sarana transportasi untuk mendukung tugas pelayanannya. Hal itu ia lakukan sebab orang tua dan keluarganya tidak mampu memberikan bantuan untuk membeli sepeda motor tersebut secara tunai (cash). Tidak jarang untuk membayar cicilan kredit sepeda motornya tersebut ia juga harus kembali menempuh jalan

231

http://digilib.unimed.ac.id/public/UNIMED-Master-30705-8106162033%20Bab%20I.pdf (diakses: 3/8/2015)

232

Wawancara dengan salah seorang Pendeta GKPS (JA) yang ditahbiskan menjadi pendeta pada tahun 2007), tanggal 3/8/2015

berhutang kepada sesama Pendeta. Hal-hal yang telah diuraikan di atas menunjukkan

bahwa para Pendeta GKPS dan subjek liyan (“jemaat dan masyarakat sekitar”) sama- sama berada dalam kondisilack.

Kalau menggunakan konsep rantai ekuivalensi (chain of equivalence) sebagaimana yang dirumuskan LM maka berbagai bentuk keluhan (krisis) sosial ekonomi dan tuntutan-tuntutan (demands) dari beragam kekuatan sosial yang antagonistik yang membentuk kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” itu dapat digambarkan dalam bentuk tabel (matrik) berikut ini:

Tabel 8

Tuntutan dan Konstruksi Rantai Ekuivalensi (chain Of equivalence)

Dalam proses Pembentukan Komunitas CUM “Talenta”

Pluralitas Identitas Subjek / Aktor Perubahan

Keluhan /Bentuk krisis yang dialami warga

Tuntutan (Demand) Rejim opresif (“musuh”) yang dihadapi Jemaat GKPS/ Petani A •Kesulitan mengakses fasilitas modal usaha

• Kemudahan mengakses modal-usaha(finansial)

•Institusi keuangan mikro formal

(Bank Pedesaan: (BRI, BPR dll)

• Insitusi keuangan mikro informal: Rentenir, Tengkulak, dll

Jemaat GKPS/ Petani

B

•Harga pupuk yang tinggi • Mudah mengakses Pupuk

•Pemerintah

Jemaat GKPS/ Petani/perempuan

C

•Ketiadaan jaminan harga produksi pasca panen

• Kepastian (stabilitas) harga produksi (pasca panen)

•Pasar bebas

Jemaat GKPS pns

D

•Biaya kebutuhan pendidikan anak tidak mencukupi

• Peningkatan gaji/ pendapatan ekonomi

• Pemerintah

Pendeta GKPS E

•Gaji (perolehan) yang minim • Peningkatan gaji (perolehan)

• Institusi Gereja

Berdasarkan matrik tersebut di ats tampak dengan jelas beragam tuntutan dari beragam kekuatan sosial yang antagonistik dalam konteks GKPS. Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” ini pada awalnya

didirikan oleh beberapa orang Pendeta (muda) GKPS yang merasa memiliki tanggungajawab untuk memberi respon etis terhadap berbagai bentuk krisis sosial ekonomi yang dihadapi tidak hanya oleh para Pendeta tetapi juga oleh jemaat dan juga masyarakat sekitar di mana gereja GKPS berada.

Para Pendeta (muda) GKPS yang menginisiasi pembentukan kesatuan sosial

komunitas CUM “Talenta” telah menjadikan tuntutan partikular (A) yakni “kemudahan mengakses modal usaha” menjadi penanda (signifier) dari keseluruhan rantai tuntutan dari beragam kekuatan sosial yang antagonistik yang ada dalam konteks GKPS. Dalam hal ini, tuntutan lainnya (B, C, D,dan E) teroverdeterminasi ke tuntutan (A). Dengan kata lain, tuntutan (A) inilah yang dijadikan sebagai penanda “kehendak kolektif”-nya (collective will). Dengan menjadikan tuntutan partikular (A) sebagai penanda (signifier) dari keseluruhan rantai tuntutan yang beragam dari jemaat GKPS maka“institusi

keuangan mikro formal – formal microfinance” (seperti BRI, BPR, dll) dan institusi keuangan mikro informal –informal microfinance” (para rentenir baik yang individual maupun yang institusional termasuk para tengkulak) dipisahkan dari tuntutan-tuntutan sebagian besar jemaat dan masyarakat. Pemisahan seperti inilah yang disebut LM sebagai titik di mana muncul tapal batas politik (political frontier) yang menjadi implikasi dari tampilnya tuntutan partikular (A) sebagai penanda dari rantai keseluruhan tuntutan jemaat GKPS yang beragam di distrik III. Dengan bangunan rantai ekuivalensi yang seperti itu, komunitas CUM “Talenta” membedakan dirinya dengan lembaga- lembaga keuangan mikro lainnya seperti BMT, CU dan lain-lain.

Setiap tuntutan tersebut di atas pada dasarnya bersifat partikular sehingga masing-masing tuntutan berbeda dalam arti bersifat antagonis dengan tuntutan-tuntutan lainnya. Meskipun begitu, semuanya memiliki kesamaan (ekuivalen) yakni beroposisi

dengan “rejim rentenir baik yang individual maupun yang institusional” yang juga dianggap sebagai penanda dari tatanan sosial yang opresif. Penciptaan rantai ekuivalensi di mana tuntutan “kemudahan mengakses fasilitas modal usaha” tampil sebagai penanda dari keseluruhan rantai tuntutan yang beragam sekaligus memunculkan tapal batas politik (political frontier) di mana “rejim rentenir baik yang individual maupun yang

institusional” diidentifikasi sebagai “musuh bersama” (common enemy) yang hendak dilawan.

4.3.2. Diakonia Sebagai “Penanda Kosong”

Kalau tuntutan “kemudahan mengakses modal usaha” ini telah dijadikan sebagai penanda dari keseluruhan rantai tuntutan yang beragam, maka mengikuti perspektif LM, apa yang dijadikan sebagai“penanda kosong”-nya (empty signifier) in dalam komunitas CUM “TAlenta” yang berfungsi sebagai pemersatu beragam kekuatan-kekuatan sosial yang antagonistik untuk menentang tatanan yang opresif atau menentang rejim rentenir baik yang individual maupun yang institusional itu?

Ketika kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” dideklarasikan pada tanggal 16 Januari 2007, para Pendeta (muda) GKPS itu tampak mendasarkan pembentukan komunitas CUM “Talenta” itu pada Firman Tuhan sebagaimana yang tertulis dalam Alkitab, Galatia 6:2: “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu

memenuhi hukum Kristus”. Dengan begitu cukup jelas apa yang menjadi alasan dari beragam kekuatan sosial yang antagonistik yang ada dalam konteks GKPS itu bersatu ke dalam kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” yakni untuk berbagai bentuk kesulitan (krisis) sosial ekonomi yang mereka alami. Sudah dijelaskan bahwa Aktivitas awal yang dilakukan komunitas CUM “Talenta” untuk mengatasi persoalan kesulitan mengakses krisis sosial ekonomi itu adalah dengan cara “bertolong-tolongan menanggung beban”.

Lalu, apa beban yang harus mereka tanggung tersebut? Jawabannya tentu: banyak dan beragam.

Meskipun tuntutan kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” itu banyak dan beragam namun sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, tuntutan “kemudahan

mengkases modal usaha”, tampak dijadikan sebagai penanda (signifier) atau representasi dari rantai tuntutan yang beragam dari beragam kekuatan sosial yang antagonistik yang ada dalam konteks GKPS. Sudah dijelaskan bahwa ketika kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” dideklarasikan mereka mereka juga mendeklarasikan

“bahasa” “bertolong-tolongan menanggung bebanmu” sebagai bahasa bersama untuk mencapai cita-cita bersama mereka yakni mewujudkan kesejahteraan. Bahasa

“bertolong-tolongan menanggung bebanmu” ini sesungguhnya merupakan nama lain dari solidaritas. Dalam kosakata gereja, solidaritas merupakan tindakan “diakonia” (pelayanan).

Sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa tuntutan “kemudahan mengakses modal usaha” telah dijadikan representasi atau penanda (signifier) dari beragam tuntutan dari kekuatan sosial yang antagonistik. Untuk menjawab tuntutan

“kemudahan mengakses modal usaha” inilah kesatuan sosial komunitas CUM

menjangkarkan keseluruhan praktik diskursifnya pada bahasa “bertolong-tolongan menanggung bebanmu” yang dalam perspektif gereja merupakan cara untuk mengerjakan atau membahasakan “diakonia gereja”. Dengan begitu maka “diakonia gereja” lah yang dijadikan sebagai penanda utama (master signifier) untuk menentang rejim rentenir; baik yang individual maupun yang institusional, yang oleh kesatuan sosial komunitas CUM “Talenta” telah dijadikan menjadi semacam “musuh bersama”- nya. Artinya, dalam praktik diksursif CUM tersebut wacana “diakonia gereja”

dipertentangkan dengan wacana ekonomi penghisapan yang dipraktikkan oleh rejim rentenir baik yang individual maupun yang institusional itu.

4.3.3. Logika Persamaan Dan Logika Perbedaan Dalam Formasi Hegemonik