• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V Akhir Kekuasaan Inggris dan Tatanan Dunia Baru

A. Lahirnya Mandat Inggris

Di penghujung Perang Dunia Pertama, Divisi Ekpedisi Mesir yang dipimpin oleh Edmund Allenby, merebut Jerusalem dari pasukan Turki Usmani pada tanggal 9 Desember 1917. Divisi Ekpedisi Mesir kemudian menduduki seluruh Syria menyusul kekalahan pasukan Turki dalam Pertempuran Megiddo pada bulan September 191861.

Pasukan Inggris dan Perancis yang ketika itu telah menguasai seluruh wilayah Turki Usmani di Timur Tengah, memutuskan untuk membuat pemerintahan militer sementara di wilayah yang mereka duduki. Pemerintahan tersebut dinamai OETA (Occupied Enemy Territory Administration)62. Dalam hal ini, Palestina masuk kedalam wilayah OETA Selatan (Southern OETA) yang mencakup Muttasharifate Jerusalem (Kudüs-i Şerif Mutasarrıflığı) dan kota-kota di Sekitarnya seperti Nablus, Acre dan Hebron. Wilayah lainnya seperti Lebanon masuk ke dalam OETA Utara (Northern OETA), sedangkan Syria & Saudi Arabia masuk ke dalam OETA Timur (Eastern OETA)63.

Pada awalnya, Jendral Edmund Allenby sendiri yang mengambil tanggung jawab langsung terhadap urusan administrasi dan politik di wilayah OETA Selatan, namun kemudian ia mengalihkannya kepada pejabat dari Mesir, yang ketika itu masih merupakan koloni Inggris. Setelah berkonsultasi dengan pejabat

61

Howard Sachar . The emergence of middle east 1914-1924,(Westminstter : The Penguin Press, 1969),h.122-138

62John McTague,Jr. “Anglo-French Negotiation over the Boundaries of Palestine

1919-20” Journal of Palestine Studies. Vol.11 no.2 (Winter 1982),h.100-112

63

Matthew Hughes, Allenby & British Strategy in the Middle East 1917-1919,(London : Taylor & Francis,1999), h.122-124

utusan Mesir tersebut, Edmund Allenby menunjuk kepala administrasi pusat untuk Palestina. Kemudian, Edmund Allenby juga membagi wilayah Palestina menjadi 9 distrik : Jerusalem, Haifa, Hebron, Jenin, Nablus, Safed, Acre, Tiberias, Galilea, Tulkarem dan Beersheba. Setiap distrik diperintah oleh seorang Gubernur Militer. Tujuan utama dari pembentukan pemerintahan militer ini adalah untuk memperbaiki kondisi sarana & prasarana di lapangan yang rusak akibat Perang, seperti kantor pos, rumah sakit, bank, dan lain lain. Setelah Edmund Allenby kembali ke Inggris, masih ada dua orang perwira tinggi yang memerintah OETA Selatan, yaitu Mayor Jendral H.D. Watson & Letnan Jendral Louis Bols64.

Pada tanggal 24 April 1920, pihak sekutu sebagai pemenang Perang Dunia Pertama mengadakan pertemuan di San Remo, Italia. Liga Bangsa-Bangsa memutuskan bahwa wilayah-wilayah pendudukan belum siap untuk diberi

kemerdekaan, maka harus diurus oleh administrasi sipil yang disebut „Mandat‟.

Sesuai dengan yang telah disepakati sebelumnya dalam Perjanjian Sykes-Pycot tahun 1916, Inggris mendapat mandat atas wilayah Palestina dan Transjordania65.

Apa perbedaan sistem Mandat Liga Bangsa Bangsa yang dijalankan oleh Inggris di Palestina dengan Koloni Inggris di Hongkong dan Singapura ?.Terbentuknya Sistem Mandat dilandasi oleh situasi international waktu itu,

dimana gagasan “Self-Determination” dari Presiden Amerika, Woodrow Wilson

mengemuka. Hal itu disebabkan oleh hancurnya sejumlah imperium besar yang mewakili system feudal. Golongan liberal dan humanis di Inggrislah yang berinisiatif memprakarsai terbentuknya sistem Mandat dengan tujuan sebagai

64

Robert H Eisenmann, Islamic Law in Palestine &Israel : A History of the Survival of Tanzimat and Sharia in the British Mandate & Jeiwsh State. (Leiden : Ej Brill,1978), h.11-12

65

Article 22, The Covenant of the League of Nations and "Mandate for Palestine," Encyclopedia Judaica, Vol. 11, hlm. 862, Keter Publishing House, Jerusalem, 1972

sarana transisi masyarakat dari statusnya sebagai penduduk koloni yang terbelakang secara politik dan dieksploitasi secara ekonomis, menjadi masyarakat yang siap untuk hidup di zaman modern66.

Pengertian tersebut, ditekankan pula oleh Duta Besar Palestina untuk Republik Indonesia, Fariz al Mehdawi, yang menyatakan bahwa Mandat adalah sebuah Supervisi. Ibaratnya, seperti anak yang kehilangan orangtuanya dan diasuh oleh orang lain sampai siap hidup mandiri. Negara pemegang Mandat, dalam hal ini Inggris bertanggung jawab pada Liga Bangsa-Bangsa untuk menyiapkan Palestina agar siap diberi kemerdekaan67

Roza el-Eini berargumen bahwa rasa superioritas bangsa Eropa juga menjadi faktor dominan dibalik alasan pembentukan sistem Mandat. Apabila dulu British Empire berperan sebagai imperialis yang mencari kekayaan dan kejayaan dengan mengumpulkan sejumlah besar koloni di seberang lautan, sekarang

mereka mengulurkan tangannya, berkorban untuk “menolong” bangsa yang belum

maju yang dalam hal ini adalah Palestina. Rasa simpati ini disebut “White Man Burden” (beban bangsa kulit putih)68

.

Mandat Inggris di Palestina dipimpin oleh seorang Komisaris Besar bernama Herbert Samuel yang pada masa kepemimpinannya, Samuel memberikan amnesti kepada Amin Al- Husayni69 yang saat itu sedang mendekam di penjara”.

Setelah bebas, Al- Husayni dilantik oleh Herbert Samuel menjadi Mufti Agung

66 Susan Pedersen, “The Meaning of Mandat System : An Argumen”. Geschicte und Gesselschaft.32 Jahrige.H.4.Sozialpolitik Transnational (Oct-Des 2006). h.560-582

67

Wawancara Pribadi dengan Duta Besar Palestina untuk Republik Indonesia, Fariz al Mehdawi, Jakarta 4 Juli 2014.

68

Roza El-Eini. Mandate Landscape : British Imperial Rule in Palestine 1929-1948.( London & New York : Routledge,2004),h.7

69

Amin al-Hussayni adalah loyalis Raja Faisal yang terusir dari Syria oleh Pemerintah Mandat Prancis. Ia adalah anggota salah satu klan Aristokrat yang cukup berpengaruh di Palestina, ia juga dikenal sebagai paman dari Yasser Arafat. Namun, ia dipenjara karena terlibat dalam

Palestina (Mufti Filastin al-Akbar). Selain itu, Herbert Samuel mendirikan Dewan Tinggi Muslim (Supreme Moslem Council) yang bertugas mengatur dan menjaga lembaga-lembaga dan komunitas Islam di Palestina. Dalam lembaga ini, Amin al-Husayni diangkat menjadi pimpinan pertamanya70. Langkah tersebut dilakukan oleh Samuel untuk mempersiapkan pemerintahan independen di Palestina.Namun para elit Arab Palestina sendiri menolak segala usaha Samuel yang mencoba menggabungkan elit Yahudi dan elit Arab dalam satu wadah institusi71.

Samuel tidak bisa menerima tuduhan elit Arab Palestina yang menganggap bahwa Mandat Inggris hanya memprioritaskan rencana pembangunan “Jewish National Homeland”72

. Asumsi ini muncul karena adanya konsesi jaringan listrik untuk seluruh Palestina yang diberikan kepada Pinhas Rutenberg, pengusaha Yahudi yang juga seorang filantropis73.Samuel menyanggah tuduhan tersebut dengan mengklaim bahwa elektrifikasi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di seluruh wilayah Palestina. Selain itu, Samuel menganggap akan jauh lebih baik apabila sarana perekonomian lebih banyak diberikan kepada bangsa Yahudi untuk meredam keinginan dan nafsu politik mereka yang diduga kemungkinannya akan bisa menimbulkan konflik politik yang berkepanjangan dengan orang orang Palestina.

Samuel jelas bersikap kooperatif terhadap aspirasi masyarakat Arab Palestina. Hal itu menyebabkan ia mendapat kecaman dari penduduk Yahudi. Walaupun Samuel telah menetapkan bahasa Ibrani menjadi salah satu dari 3

70

Martin Kolinsky. Law,Order& Riots in Mandatory Palestine 1929-1935. (London : St

Martin‟s Pres,2010), h.86

71

Neil Caplan . Palestine Jewry and the Arab Question, 1917 – 1925, (London : NJ F. Cass, 1978.),h. 148–161.

72

Sahar Huneidi, A Broken Trust: Herbert Samuel, Zionism and the Palestinians 1920– 1925, (London and New York, : I.B. Tauris,2001),h. 38.

73

bahasa resmi Palestina (kedua lainnya adalah Arab dan Inggris)74, namun penduduk Yahudi tetap saja mengecamnya karena ia menunjuk Amin al-Husayni yang tidak populer di kalangan masyarakat Yahudi.

Pada tahun 1922, Pemerintahan Mandat Inggris juga mendirikan Dewan Legislatif untuk Palestina yang beranggotakan 23 orang. Masyarakat Arab Palestina memprotes pembagian kursi dewan tersebut karena mereka nilai tidak adil. Mereka mengklaim bangsa Arab merupakan 88% penduduk Palestina, sedangkan kursi yang mereka dapat hanya 43%, sehingga orang Arab memboikot pemilihan anggota Dewan.75.

Pada tanggal, 22 Agustus 1922, Musa Kazim al-Hussayni76 mengumpulkan para elit Palestina di kota Nablus untuk mengadakan „Kongres Arab Palestina‟. Kongres ini menghasilkan beberapa keputusan seperti : memboikot pemilihan umum, menyatakan sikap menolak pembentukan „Jewish National Homeland‟, dan memboikot Perusahaan Listrik milik Pinhas

Rutenberg77.

Untuk masalah administrasi wilayah, Mandat Inggris tetap menggunakan sistem distrik seperti yang digunakan pada masa OETA, Sistim ini dipakai juga untuk menyelesaikan masalah peradilan dan keagamaan. Pemerintah Mandat Inggris tetap mempertahankan sistem Millet, yaitu urusan agama setiap kelompok keagamaan diurus oleh pemuka agamanya masing masing dan bahkan peradilan

74 Norman Bentwich. “The Legal System of Palestine under British Mandate”.Middle East Journal,Vol.2 no.1 (Jan 1948), h.33-46

75

Martin Kolinsky. Law,Order& Riots in Mandatory Palestine 1929-1935. (London : St

Martin‟s Pres,2010),h.2 76

Beliau adalah Kerabat Amin al Hussayni sekaligus mantan walikota Jerussalem

77

Abdul Wahhab Said Kayyalli .Palestine. A Modern History. (London : Croom Helm,1981). h.60-63

agama yang dibuat oleh Turki Usmani pada masa Tanzimat tidak dihapus78. Hal ini karena karena Pemerintah Inggris ingin mempertahankan Perjanjian Berlin 13 Juli 1878 yang dibuat atas inisiatif Otto von Bismarck guna memberikan kepastian dan menjamin adanya kebebasan beragama di seluruh wilayah Turki Usmani79.

Masih di tahun 1922, wilayah Mandat Inggris di sebelah timur, yaitu Transjordania mendapat serangan dari Suku Ikhwan, yaitu kelompok suku nomaden yang berasal dari Gurun Najd dan memiliki afliliasi dengan Keluarga Saud. Tujuan utama penyerangan suku Ikhwan ke Transjordania adalah untuk menyebarkan paham Wahabbi yang mereka anut. Suku Ikhwan bertindak keras dengan menghancurkan jaringan tiang telepon di sepanjang jalan, karena mereka menganggap benda itu adalah hasil karya setan. Tentara Inggris memutuskan bekerjasama dengan Abdullah bin Hussein, Putra Sharif Hussein di Mekkah yang pernah membantu Inggris melawan Turki Usmani. Akhirnya, kerjasama kedua pihak ini berhasil mengusir suku Ikhwan keluar dari Transjordania80

Sebagai imbalan, Pemerintah Mandat Inggris menyerahkan sebagian dari wilayahnya yang dinilai kurang menguntungkan karena banyak dihuni oleh suku suku Bedouwin nomaden81, yaitu wilayah Transjordania kepada Abdullah melalui

kebijakan “British White Paper 1922”. Kebijakan Inggris ini sangat menyakitkan hati para elit Yahudi dan menganggapnya sebagai pengkhianatan serta

78

Robert H Eisenmann, Islamic Law in Palestine &Israel : A History of the Survival of Tanzimat and Sharia in the British Mandate & Jeiwsh State. (Leiden : Ej Brill,1978), h.13

79

Text Perjanjian Berlin, http://www.fordham.edu/halsall/mod/1878berlin.html, diakses pada 13 Mei 2014

80

Darik Ibrahim Erwan, To What Extent of Did the Alliance of Ibnu Saud & the Ikhwan during the 1920‟s Lead to the Achievment of their goals ? (Massachusets : Concorde Review.inc,1989), h.112

81

H.R.H. Prince Ghazi bin Muhammad. The Tribes of Jordan at The Beginning of 20th Century. (Amman : Ruttab, 1999), h.9

pelanggaran terhadap Dokumen “British Mandate for Palestine” Artikel 15 yang menyatakan bahwa tidak ada wilayah Palestina yang boleh diserahkan atau disewakan, atau dengan cara apapun, ditempatkan di bawah kontrol pemerintahan atau kekuasaan asing”82

.

Alasan pihak Zionis Yahudi menentang pemisahan Transjordania dari Mandat Inggris di Palestina, juga didasari oleh firman Tuhan yang tertulis dalam Kitab Taurat. Dalam (Joshua 13:24-31), Wilayah Transjordania adalah daerah yang pertama-tama didiami oleh orang Yahudi sebagai bagian dari penaklukkan

Palestina sesudah peristiwa „Exodus dari Mesir‟. Dengan kata lain, kebijakan

Pemerintah Mandat Inggris tersebut bertentangan dengan kehendak kelompok

Zionis yang menganggap Transjordania juga merupakan bagian dari „Tanah yang dijanjikan‟83

.

Dalam “British White Paper 1922”, Inggris juga menyatakan tidak

mendukung berdirinya sebuah negara-bangsa Yahudi yang terpisah dari wilayah Arab lainnya. Definisi Inggris mengenai Jewish National Homeland adalah pembentukan komunitas Yahudi yang mandiri di wilayah Palestina84. Selain itu, dalam salah satu alenianya, White Paper ini juga menyangkal tuduhan bangsa Arab Palestina mengenai proyek pembentukan sebuah negara Palestina Yahudi dan menyatakan bahwa pemerintah Inggris tidak berkeinginan untuk melihat

Palestina sebagai “boneka Yahudi Inggris”85

82

British Mandate for Palestine, Source : The American Journal of International Law, Vol.17 no.3 , Suplement : Official Document (July 1923), h.164-171

83

The Black Paper on The Jewish Agency and The Zionist Terrorist. Arab Higher Committee Archive, 12 Maret 1948, h.5

84

Martin Kolinsky. Law,Order& Riots in Mandatory Palestine 1929-1935. (London : St

Martin‟s Pres,2010), h. 11 85

British White Paper 1922, dari http://www.yale.edu/lawweb/ mideast/brwh1922.htm, diakses pada 13 Mei 2014

Keberadaan Mandat Inggris di wilayah Palestina sebenarnya membantu Palestina menjadi daerah otonom dengan pergerakan roda ekonomi yang jauh lebih baik dibandingkan negara Arab lainnya. Namun, timbul resistensi dari penduduk Arab Palestina sendiri yang bersikap tidak kooperatif, sehingga eksistensi pemerintahan administrasi sipil ini tidak dapat berfungsi maksimal dan jauh dari yang diharapkan ketika Liga Bangsa-Bangsa menugaskan Inggris86