• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V Akhir Kekuasaan Inggris dan Tatanan Dunia Baru

RESPON BANGSA PALESTINA ATAS MANDAT INGGRIS

B. Perang Arab-Israel 1948

Pada tanggal 15 Mei 1948, tentara koalisi dari lima negara Arab yaitu Syria, Jordania, Lebanondan Irak menyerang Israel, pecahlah Perang Arab-Israel 1948. Invasi ini dilakukan sebagai respon Liga Arab atas Proklamasi

253

Ensiclopedia Britannica. The Islamic World : Religion,History & Future. (London : Britannica, t.t.),h.165

254Joseph Nevo. “Arabs in Palestine 1947-1948 : Millitary & Political Activity”. Middle Eastern Studies. Vol.23 no.1 (Jan 1987),h.3-38

255

Pihak yang lemah dan tak mampu menyuarakan suaranya sendiri

256

Rashid Khalidi. Iron Cage : Palestinian Struggle for Statehood. (Oxford : One World Publication,2007),h.126

257Joseph Nevo. “Arabs in Palestine 1947-1948 : Millitary & Political Activity”. Middle

Kemerdekaan Israel258. Perang ini terdiri atas sejumlah pertempuran di kota-kota serta pedesaan di Palestina yang berlangsung selama setahun dan bisa dianggap sebagai perang yang sangat menentukan masa depan Palestina. Israel menggunakan strategi yang digunakannya selama ini yaitu menunggu dan membiarkan lawan bertindak lebih dulu, kemudian memanfaatkannya untuk mencapai keunggulan di lapangan.

Jamal al Hussayni, sebagai Perwakilan Komite Arab Tertinggi di Pengasingan mengirimkan surat kepada Perwakilan PBB bahwa Pasukan yang dikirimkan oleh para anggota Liga Arab bertujuan untuk membela Hak Rakyat Palestina sebagai Mayoritas melawan Kolonisasi dari pihak Zionis Yahudi259.

Pada tanggal 22 Mei 1948, terjadi pertempuran antara Brigade Alexandroni dari Israeli Defence Force (IDF)260 dan pasukan Arab di kota Tantura, yang terletak di selatan kota Haifa. Tentara IDF menangkapi para penduduk sipil Arab dan mengumpulkan 40 orang yang terbukti terlibat dalam

„Pemberontakan Tahun 1936-1939‟ berdasarkan data dari Jewish National Fund.

Para tersangka dibawa kepantai dan dieksekusi oleh tentara IDF. Keesokan harinya, Tantura berhasil direbut oleh IDF dari tangan pasukan Arab.261

Pada akhir bulan Mei dan awal bulan Juni 1948, Israeli Defence Force

(IDF) mencoba menghentikan laju tentara Mesir lewat „Operation Peleshet‟,

pemboman dari pasukan IDF membuat tentara Mesir tercerai berai. Pada tanggal 6 Juni, dalam Pertempuran di Kibbutz Nitzhamin, dekat kota Ashkelon, divisi

258

Karsh, Efraim. The Arab-Israeli Conflict.The Palestine War 1948.(Oxford : Osprey Publishing,2002), h.51

259

Surat Jamal al Hussayni untuk Delegasi PBB, Arab Higher Comitte Archive, 24 Mai 1948

260

Sejak berdirinya negara Israel, semua organisasi paramiliter di Israel digabungkan menjadi Israeli Defence Force (IDF)

261

Muhammad Nimr al-Khatb. “The Tantura Massacre : 22 -23 May 1948”. Journal of Palestine Studies.vol.30 no.3 (Spring 2001) h.5-18

pasukan Mesir lainnya berhasil mendobrak pertahanan tentara IDF. Kemenangan ini membuat tentara Mesir berhasil memasuki Gaza dan Beersheba lalu bertemu dengan tentara yang bergerak Irak yang bergerak menuju kota Betlehem. Namun gabungan pasukan Arab ini tetap gagal memotong jalur pasukan IDF dari Tel Aviv ke Jerussalem262.

Sementara itu, tentara Jordania menghadapi pertempuran yang cukup lama melawan pasukan IDF, dari tanggal 24 Mei sampai 18 Juli 1948. IDF berupaya merebut Benteng Latrun yang dikuasai tentara Jordania, karena penting demi mempertahankan jalur suplai ke Jerussalem. Upaya IDF tersebut tak berhasil dan mereka harus kehilangan 586 orang tentara, termasuk Jendral Mickey Marcus. Tentara Jordania menggunakan benteng Latrun untuk memotong jalur Tel

Aviv-Jerussalem sehingga tentara IDF harus memakai rute lain via “Jalur Burma”263

. Kemenangan ini juga memungkinkan Jendral Glubb Pasha membawa divisi artileri untuk memasuki Jerussalem dan membombardir kota tersebut dengan meriam mortir 264.

Pada tanggal 12-14 Juni, terjadi pertempuran di kota Lydda dan Ramalah. Tentara IDF yang dipimpin oleh Yigal Alon Feikovitz sebagai Komandan dan

Yitzhak Rabin sebagai wakilnya menggelar „Operasi Danny‟ untuk merebut kota

itu. Sekitar 1000 orang anggota milisi lokal dan 300 tentara Arab berperang melawan 8000 personil tentara IDF. Korban jiwa yang jatuh sebanyak 450 orang tentara Arab dan 9–10 orang tentara IDF. Pada hari berikutnya, kedua kota

262

Peter Mansfield, History of Middle East, (Pennsylvania : Pennsylvania State University press,2004), h.237

263

Salah satu Jalan samping menuju Jerussalem yang dibangun oleh Pasukan IDF pada saat Perang tahun 1948, adapun pemilihan nama terinspirasi dari jalan bernama sama yang menghubungkan Myanmar & Burma selama Perang Dunia Kedua

264

Karsh, Efraim. The Arab-Israeli Conflict.The Palestine War 1948. (Oxford : Osprey Publishing,2002), h.61-62

tersebut dikuasai pasukan IDF sedangkan Penduduk Arab di kedua kota itu terpaksa meninggalkan rumahnya265.

Pada tanggal 8 Juli 1948, Tentara Lebanon menghadapi tentara IDF di

Galilea Selatan yang menggelar „Operasi Dekel‟ untuk merebut kota Nazareth.

Dalam perang kali ini, tentara Lebanon tak banyak membantu tentara Arab Liberation Army (Jaysh al-Inqadh al-Arabi), ditambah lagi ada masalah kekurangan ransum dan kendala persenjataan serta wabah penyakit, sehingga Fauzi al-Qawuqji mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Komandan namun dipaksa untuk kembali oleh pihak Saudi Arabia. Pada tanggal 18 Juli, pertempuran berakhir dengan kekalahan memalukan pihak Arab dan dikuasainya seluruh Galilea Selatan oleh IDF266.

Pada tanggal 15 October 1948, Israeli Defence Force (IDF) melancarkan Operasi Hiram, yang bertujuan untuk menguasai Galilea Utara. Operasi ini dipimpin oleh Moshe Carmel. Wilayah Galilea yang luas memang menyulitkan pergerakan tentara IDF, ditambah pula dengan keberadaan tentara Lebanon yang menjaga wilayah tersebut. Namun setelah bertempur selama 60 jam, pasukan IDF berhasil menguasai Galilea Utara, menggiring pasukan Lebanon kembali ke negaranya, dan menyergap sebuah batalion pasukan Syria. Adapun korban jiwa yang jatuh dari pihak Arab sebanyak 400 orang267.

Setelah perang yang berkepanjangan antara pasukan koalisi Arab melawan IDF, pasukan koalisi Arab ternyata kalah dalam perang tersebut. Pasukan IDF

265Alon Kadish & Avraham Sela. “Myths & Historiography of the 1948 War Revisited : The Case of Lydda”. Middle East Journal. Vol.27 no.4 (summer 1998) h.83

266Matthew Hughes. “Lebanon Armed and the Arab-Israeli War 1948”. Journal of Palestine Studies. Vol.34 no.2 (Winter 2005),h.24-41

267

Karsh, Efraim. Arab-Israeli Conflict : The Palestine War 1948. (Oxford : Osprey Publishing,2002), h.68

berhasil memukul mundur tentara koalisi Arab. Kemenangan Israel membuat mereka menguasai sebagian besar wilayah Mandat Inggris di Palestina. Perang ini diakhiri dengan deklarasi genjatan senjata dan dibuatlah batas demarkasi wilayah sementara yang disebut sebagai Garis Hijau268.

Kekalahan tersebut tak bisa dihindari karena Liga Arab sangat lamban dalam membuat keputusan mengenai kasus Palestina. Sejak Liga Arab menolak Resolusi 181, mereka sama sekali tak memahami apa konsekuensi yang akan muncul dari penolakan tersebut. Liga Arab baru mengirim gabungan tentara reguler setelah Deklarasi Kemerdekaan Israel, sehingga IDF sudah terlebih dahulu mempersiapkan diri. Fauzi al-Qawuqji, yang merupakan Komandan Arab Liberation Army (Jaysh al-Inqadh al-Arabi) juga mengatakan bahwa lemahnya koordinasi antar negara membuat bingung para Komandan di lapangan269.

Hal ini seperti yang diutarakan oleh Ahli Strategi Militer Tiongkok, Sun Bin270 yang mengingatkan bahwa :

“Raja itu ibarat pemanah, komandan ibarat busur dan prajurit ibarat

Panah. Seorang pemanah tak mungkin membidik sasaran dengan tepat, apabila ia mengarahkan panahnya kearah yang salah, walaupun bagian depan anak panah itu lebih berat dari bagian belakangnya dan lengan busur

itu menghasilkan daya dorong yang seimbang”.271

268

Nadim Rouhana, "The Intifada and the Palestinians of Israel: Resurrecting the Green Line", Journal of Palestine Studies, Vol. 19, No. 3 (Spring 1990), h. 58–75

269

Fawzi al-Qawuqji.Memoirs of 1948 Part 1. Journal of Palestine Studies, vol.1 no.4 (Summer 1972), h.28

270

Sun Bin adalah cucu dari Sun Tzu. Ia adalah Penasehat Militer di Negara Qi ketika Periode Negara-Negara Berperang. ia menulis Buku Strategi Militer berjudul “Sun Bin Bing Fa” yang merupakan pengembangan dari buku kakeknya yang berjudul “Sun Zi Bing Fa”

271

Wang Xuan Ming. Sun Bin‟s Art of War. (Jakarta : Elex Media Komputindo,1999), h.167

Kita dapat menafsirkan kata kata Sun Bin itu secara harfiah. Jika seorang pemimpin membuat keputusan yang tidak tepat, maka kemenangan tidak mungkin dapat diraih walaupun para tentara disebarkan secara tepat dan para komandan yang ada dibawahnya melakukan usaha bersama.

Rakyat Arab Palestina tadinya berharap persatuan negara-negara Arab merupakan penyelamat mereka, karena ketidakmampuan untuk berjuang sendiri akibat dampak dari kekalahan tahun 1936-1939272. Kenyataanya, mereka malah harus menyaksikan pasukan koalisi Arab saling bersaing satu sama lain, saling curiga-mencurigai, bahkan menyabotase divisi lainnya dengan sengaja273.

Selain itu, Perang tahun 1948 membuat kita dapat memberikan kesimpulan akhir mengenai strategi Yahudi ataupun Zionis selama ini. Seperti halnya Kerusuhan 1929 dan Pemberontakan Arab 1936-1939, mereka selalu sabar dan membiarkan pihak Arab bergerak lebih dulu. Hanya pada dekade 1940an dan proses kemerdekaan Israel, pihak Yahudi melakukan gerak cepat. Perjuangan pihak Arab yang selalu gagal dan berakhir anti-klimaks malah semakin memperkuat pihak Yahudi. Artinya, pihak Yahudi lebih matang dari pihak Arab dalam hal strategi dan lebih pandai dalam memanfaatkan peluang.

Hal ini ditekankan juga oleh Duta Besar Palestina untuk Republik

Indonesia, Fariz al Mehdawi : “Kekalahan pada Perang Tahun 1948 disebabkan karena kita kurang persiapan, terburu-buru dan bersikap emosional”274

.

272 W.F. Abboushi. “The Road to Rebellion Arab Palestine in the 1930‟s”. Journal of

Palestine Studies. Vol.6 no.3 (Spring 1977),h.23-46

273

Adeed Dawisha. Arab Nationalism in the Twentieth Century from Triumph to Despair.

(New Jersey : Princeton University Press,2009), h.130

274

Wawancara Pribadi dengan Duta Besar Palestina untuk Republik Indonesia, Fariz al Mehdawi, Jakarta 4 Juli 2014.

Dampak lain dari kekalahan pasukan koalisi Arab dalam perang tahun 1948 adalah eksodus rakyat Palestina dari tempat tinggalnya, baik karena mengungsi untuk menghindari pertempuran ataupun diusir dari rumahnya oleh

pasukan IDF yang sedang melaksanakan „Rencana Dalet‟. Sebanyak 750.000

orang Arab Palestina menjadi pengungsi di Syria, Lebanon dan Jordania. Peristiwa terusirnya Bangsa Palestina pada hari itu disebut Nakba (Disaster Day)275.

Menurut Prof. Issa J Boulata dari Universitas McGill, dalam Peristiwa Nakba warga Palestina bukan hanya kehilangan harta benda, tanah dan properti namun juga kehilangan identitas kultural mereka. Budaya Palestina tercabik dan tanah kelahiran mereka digantikan oleh Negara Israel dan budaya Yahudi, karena masyarakat Yahudi merasa sudah lebih dulu memiliki akar di tempat itu jauh sebelum orang Arab Palestina menetap. Hal ini menjadi membekas dalam memori kolektif setiap individu Palestina276.

Di sisi lain, Israel mengklaim Bukan hanya rakyat sipil Palestina saja yang menjadi korban pada tahun 1948, orang orang Yahudi juga banyak yang diusir secara paksa oleh penduduk Arab. Peristiwa ini mereka sebut sebagai "Jewish Nakba", mengacu kepada pengusiran etnis Yahudi oleh masyarakat Arab Palestina, Jurnalis Israel Ben Dror Yemini menulis277 :

“Nakba bukan hanya mengacu pada Terusirnya orang Palestina

pada tahun 1948, namun juga orang Yahudi. Pada tahun yang sama,

275

Michael R Fischbach, The Impact of the 1948 Disaster: The Ways that the Nakba has Influenced Palestinian History, Paper for the International Symposium “The Transformation of Palestine: Palestine & Palestinians 60 Years after the „Nakba‟”, Berlin, March 8 and 9, 2010

276

Issa J. Boullata. "The Palestine Nakba: Decolonizing History, Narrating the Subaltern, Reclaiming Memory." The Middle East Journal ,vol.66, no. 4 (2012),h.747-749

277

Dror Yemini, Ben ,"The Jewish Nakba: Expulsions, Massacres and Forced Conversions,” dari http://www.nrg.co.il/online/1/ART1/891/209.html, diakses pada tanggal 15 april 2014

sekitar 10.000 orang Yahudi terusir dan meninggalkan Rumah serta Properti miliknya begitu saja, bahkan banyak yang mati kelaparan di

Perjalanan”.

Memang dalam setiap peperangan, selalu rakyat sipil yang menjadi korban. Namun penduduk Palestina merasakan dampak yang lebih berat dari peristiwa Nakba dibanding penduduk Yahudi, karena etnis Yahudi sudah terbiasa hidup dalam diaspora sedangkan rakyat Palestina baru akan memulainya. Peristiwa Nakba juga menjadi turning point bagi nasionalisme Palestina, karena tanah dan properti yang selama ini menjadi alasan perjuangan rakyat Palestina melawan Pemerintah Mandat Inggris maupun Imigran Yahudi, akhirnya terlepas dari genggaman mereka.