• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V Akhir Kekuasaan Inggris dan Tatanan Dunia Baru

B. Munculnya Nasionalisme Palestina

Menurut Muhammad Muslih23, kebangkitan Nasionalisme Arab bertendensi kepada peran sentral gerakan Zionisme, yaitu adanya faktor aksi dari bangsa pendatang dan reaksi dari bangsa yang lebih dahulu tinggal disana. Hal itu juga menjadi salah satu faktor internal bangsa Arab dalam memunculkan Nasionalisme ke permukaan. Dalam kasus ini, para pemikir Nasionalis arab yang mengembangkan paham Nasionalisme baik itu yang bersifat local (Watoniyah) seperti Izzad Darwaza atau Pan Arabisme (Qowmiyah) seperti Shakib Arslan dan Abdurrahman al-Kawakibi, sama-sama mengangkat kontradiksi antara imperialisme Eropa dan kebangkitan bangsa Arab. Mereka selalu melihat dari sudut kebangkitan kekuatan baru di Timur wilayah Suez pasca runtuhnya Turki Usmani sebagai dampak dari perselisihan kekuatan-kekuatan asing. Disisi lain kebanyakan penulis Yahudi melihat Palestina dari sisi kewilayahan dimana politik Palestina itu berkembang24.

Entitas politik yang menuntut kemerdekaan diwilayah sebelah timur Terusan Suez pasca Perang Dunia Pertama, ibarat tanaman merambat yang menyeruak diantara reruntuhan Turki Usmani. Setelah kekalahan Turki Usmani, kekuatan pusat didunia Islam digantikan oleh Dinasti-dinasti lokal. Maka dari itu Nasionalisme lokal mulai mengakar di Palestina, Syria dan Irak25.

Namun untuk membedah mengenai Nasionalisme Palestina kita harus merujuk pada Sejarah Palestina yang lalu. Tanah Palestina memiliki sejarah yang

23

Muhammad Muslih adalah Dosen Jurusan Sastra & Bahasa Timur Tengah di Universitas Columbia, New York

24

Muhammad Muslih. “Arab Politics &Rise of Palestinian Nationalism”. Journal of Palestinie Studies.Vol.16, no.4 (Summer 1987). h.77-94

25Muhammad Muslih. “Arab Politics & Rise of Palestinian Nationalism”. Journal of Palestinie Studies.Vol.16, no.4 (Summer 1987). h.77-94

sangat panjang. Wilayah ini merupakan tempat asal semua keturunan Ibrahim, kakek moyang ketiga agama samawi yaitu Kristen, Yahudi, dan Islam. Nama

klasik yang terkenal untuk sebutan negeri ini adalah “Tanah Kanaan”, karena

yang pertama kali bermukim di sini adalah Bangsa Kanaan yang termasuk rumpun Bangsa Semit26.

Nama Palestina sendiri berasal dari kata „Peleset‟,pertama kali digunakan oleh Bangsa Mesir untuk menyebut Sea People, sekelompok Suku Petarung Liar yang menyerbu Mesir pada akhir Zaman Perunggu. Sebenarnya mereka adalah Keturunan Bangsa Luwian, yang termasuk Rumpun Indo-Eropa dan berasal dari Anatolia. Namun mereka bermigrasi ke wilayah-wilayah pesisir seperti Gaza dan Ashkelon, lalu berasimilasi dengan orang-orang Kanaan. Kemudian Penduduk

Kanaan menamai negeri mereka dengan sebutan „Filistin‟, ejaan Kanaan dari

nama Peleset.27

Tahun 1020 Sebelum Masehi, Bangsa Semit Yahudi menjadi semakit kuat dan menggeser posisi Bangsa Filistin dengan berdirinya Kerajaan Israel dibawah kepemimpinan Saul, lalu dilanjutkan oleh David dan, Solomon. Selanjutnya, Kerajaan itu pecah menjadi Kerajaan Yehuda di Selatan dengan Ibukota Jerussalem dibawah Kepemimpinan Rehabeam dan Kerajaan Israel di Utara dengan Ibukotanya yaitu Samaria, dibawah kepemimpinan Jeroboam.28 Bangsa Yahudi disingkirkan setelah Neo-Assyrian Empire yang juga berasal dari rumpun Bangsa Semit menyerang Israel, pemimpin Neo-Assyrian

26

Michael Coogan, Stories from Ancient Canaan. (Philadelphia : John Knox press,1978), h.10

27

Abraham Malamat, Egyptian Decline in Canaan & The Sea Peoples:The Period of the Judges. (New Brunswick : Rutgers University Press, 1971), h.24

28

Joanes Poloner. John Poloner‟s Description of the Holy Land.(London : Palestine Pilgrims' Text Society, 1894),h.18

Empire yang terkenal kejam adalah Tighlath Pletser III dan Sargon II.Pada masa kekuasaan Assyria. Bahasa Aramaik dan Assyrian menjadi bahasa percakapan sehari-hari di wilayah ini. Nama Filistin sebagai nama wilayah digunakan kembali oleh Penguasa Assyria dengan ejaan Palashtu atau Pilistu.29 Nama Palestina kemudian menjadi populer pada abad ke 5 Sebelum Masehi berkat Bangsa Yunani, lewat tulisan-tulisan Herdotus. Ia menyebut wilayah dari Pegunungan Yudea dan Lembah Sungai Jordan sebagai

“Palaistina”30

.

Pada tahun 63 SM, Pompey atau yang sering disebut Pompius menaklukan Tanah Israel dan menamai Israel sebagai Roman Iudaea. Tahun 135 Masehi, Pemimpin masyarakat Yahudi yang bernama Simon Bar Kokchba melakukan pemberontakan melawan Romawi. Emperor Hadrian mengirimkan Julius Sevenus dan sejumlah besar Legiun untuk memadamkan pemberontakan serta menaklukan Jerussalem. Pada saat itu, bangsa Yahudi kalah dan dibuatlah peraturan yang melarang mereka masuk ke kota apapun alasannya31.

Setelah pemberontakan, Emperor Hadrian mengubah nama Jerussalem menjadi Aelia Capitolina. Tempat peribadatan Yahudi, Haikal Solomon, diganti dengan Kuil Jupiter, lambang supremasi Roma. Mulai saat itu bangsa Yahudi tersebar ke luar Palestina. Namun, ada sebagian komunitas kecil yang tetap

29 Simo Parpola. “National & Ethnic Identity in Neo-Assyrian Empire & Assyrian identity of Post-Empire Times.University of Helsinki.Paper for the International Symposium “Ethnicity in Ancient Mesopotamia‟”, Leiden,2002. Journal of Assyrian Academic Society, h.8

30

Pierre Henry Larcher. Larcher's Notes on Herodotus: Historical and Critical Remarks on the Nine Books of the History of Herodotus, with a Chronological Table, Volume 1. (Charleston :Nabu Press,2006), h.427

31

Peter Schäfer. Bar Kokhba War : New Perspectif of Second Jewish Revolt Against the Roman Empire. (Tübingen : Mohr Siebeck,2003),h. 153

bertahan di sana32. Emperor Hadrian juga menghapus nama Israel maupun Yudea, lalu diganti menjadi Provincia Syria-Palaestina; Pemilihan nama yang bersumber dari bahasa Yunani itu disebabkan karena Bangsa Romawi banyak menyerap budaya serta kearifan Yunani33.

Sesudah masa itu, pengaruh agama Kristen yang berasal dari Palestina masuk ke Roma. Pada masa Emperor Constantine, agama Kristen menjadi agama Resmi Negara; kemudian agama tersebut disebarkan kembali ke daerah asalnya yaitu Palestina. Pasca pembagian Romawi tahun 395, Palestina berada dalam kekuasaan Kekaisaran Romawi Timur atau yang disebut juga Kekaisaran Byzantium, dimana Bahasa Yunani merupakan Bahasa Resmi Negara. Provinsi Syria-Palaestina dirombak kembali susunannya : 1) Provinsi Palaestina Prima, yang mencakup Ibukota Jerussalem,Tepi Barat & Laut Mati juga Jalur Gaza; 2) Provinsi Palaestina Secunda, mencakup sekitar Danau Tiberias di Utara; 3) Provinsi Palaestina Salutaris, mencakup sisi Timur Sungai Jordan & Semenanjung Sinai34

Tahun 611 M, Khoesraw II, Penguasa Kekaisaran Sassanid Persia membangun aliansi dengan rakyat Yahudi yang terusir untuk menyerang Palestina. Palestina kemudian dibentuk menjadi Persian-Jewish Commonwealth, Jerussalem berhasil direbut. Gereja Holy Sepulchre dihancurkan dan hartanya dibawa ke Persia, sedangkan para uskupnya ditahan35.Pada Tahun 628 M,

32Fergus Millar.”Tranformation of Judaism under Greco-Roman Rule : Response to Seth

Schwartz‟s „Imperialism & Jewish Society”. Oriental Institute Oxford.Journal of Jewish Studies.Vol.53, no.1 (Spring 2006). h144

33

Benjamin Isaac & Yuval Shahar. Judaea Paleastina , Babylon & Rome : Jews in Antiquity. (Tübingen : Mohr Siebeck,2012), h. 181

34

James Clarcke. Writers on Palestine. h.245

35

Ben Abrahamson & Joseph Katz.The Persian Conquest of Jerussalem, Compared with MuslimConquest,http://www.alsadiqin.org/history/The%20Persian%20conquest%20of%20Jerusal

Emperor Heracleus dari Byzantium menaklukan kembali teritorial tersebut. Sayangnya, Kekuasaan Byzantium di Palestina tidak berlangsung lama.

Sepuluh tahun kemudian, tentara Arab Muslim berhasil menguasai

wilayah Palestina. Mereka mengeja nama “Palaestina” sebagai “Filastin” untuk

wilayah tersebut. Bahasa Yunani & Aramaik yang sebelumnya merupakan Lingua Franca (bahasa percakapan sehari-hari) di seluruh Levant (Syria Raya) digantikan oleh Bahasa Arab secara berangsur-angsur.

Ketika Palestina masuk di bawah kekuasaan pemerintahan Islam pada masa kekhalifahan Bani Umayah (661–750), Provinsi Palaestina Prima dirubah menjadi Distrik Militer (jund), bernama Jund al-Filastin dan menjadi salah satu wilayah dari Provinsi Bilad ash-Sham (Syria Raya). Jundal-Filastin membentang dari Gurun Sinai hingga dataran rendah Acre, termasuk di dalamnya Kota Rafah, Caesarea, Gaza, Jaffa, Nablus dan Jericho; sedangkan Ibukota distrik ini adalah Ramalah. Provinsi Palaestina Secunda juga dirubah menjadi Distrik Militer bernama Jund Urdunn mencakup wilayah Utara & Timur dari Jund

al-Filastin, termasuk diantaranya Kota Beit She‟an and Tiberias36.

Selanjutnya Palestina berkembang menjadi wilayah yang otonom pada masa kekhalifahan Abbasiyah, yaitu setelah masa pemerintahan Abu Abbas al Saffah dengan Ramalah tetap menjadi sentral pemerintahan. Seiring dengan melemahnya pemerintahan pusat Abbasiyah, Palestina dikuasai oleh sejumlah

em%20in%20614CE%20compared%20with%20Islamic%20conquest%20of%20638CE.pdf, diakses pada hari jumat tanggal 4 April 2014

36

Gudrun Krämer, A History of Palestine: From the Ottoman Conquest to the Founding of the State of Israel. (New Jersey : Princeton University Press,2008), h.15

dinasti lokal yang semakin menguat seperti Ikhsidiyah, Tuluniyah, dan akhirnya

Palestina jatuh ke tangan Kekhalifahan Syi‟ah Fatimiyah pada tahun 96837

.

Pada masa Perang Salib, Palestina pernah jatuh ke tangan tentara Kristen. Mereka berkeinginan untuk kembali menguasai Palestina, terutama Kota Suci

Jerusalem. Pada Konsili Clermont, Paus Urbanus II meneriakkan “Deus Veult, Deus Veult !!” (Tuhan Menghendaki). Urbanus II menjanjikan bahwa siapapun yang ikut serta dalam peperangan ini akan langsung masuk surga atau setidaknya memperpendek waktu di Api Neraka (Flame of Purgatory)38.

Provokasi Paus tersebut menjadi sangat efektif pada para bangsawan Eropa yang berkeinginan untuk menebus dosa dengan berperang melawan kaum

“kafir”, juga karena tergiur harta rampasan perang yang akan didapatkan.

Mengikuti ajakan Paus Urbanus, pada musim panas tahun 1097 sekitar 150.000 Ksatria dari Inggris, Prancis dan Holy Roman Empire berkumpul di Konstantinopel. Pasukan ini berhasil menaklukan Palestina pada tahun 109939.

Setelah Penaklukan, Godfrey de Bouillon dari Lothringen Hilir selaku Panglima Perang diangkat sebagai Pelindung Makam Suci (Advocatus Santci Sepulchri)40, lalu ia beserta para Ksatria Salib (Crusader) menciptakan 4 Kerajaan Kristen di wilayah Palestina dan Syria yakni : Kingdom of Jerussalem, County of Edessa, Principality of Antioch dan County of Tripoli. Wilayah wilayah itu

37

Moshe Gil. History of Palestine : 634-1099. (Cambridge : Cambridge University Press.1997), h.306-310

38

Ratna Rengganis. Sosok di balik Perang. (Jakarta : Raih Asa Sukses,2013), h.146

39

Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari masa Klasik hingga Modern.(Yogyakarta : Lesfi,2010), h.116

40

Tim Abdi Tandur. Lagi-Lagi tentang Keajaiban-Keajaiaban Dunia. (Jakarta : Tim Abdi Tandur,2003), h.69

dikenal sebagai Outremer, dari bahasa Prancis yang artinya „tanah sebrang daratan‟, sebab mereka terletak di sebrang Laut Mediterania41

.

Setelah Jerussalem jatuh ke tangan Salahuddin al-Ayyubi pada tahun 1187, ibukota Kingdom of Jerussalem dipindahkan ke Acre. Pada akhir abad ke 13, Outremer kehilangan sejumlah wilayah, termasuk Caesarea, Apollonia, Antioch dan Tripoli karena direbut oleh sultan sultan Dinasti Mamluk Mesir. Perlawanan terakhir Kristen adalah di Acre pada tahun 1291. Ksatria dari Orde Hospitaller, Guillaume de Clermont mempertahankan benteng kota Acre yang mulai runtuh dengan sekuat tenaga; namun ia dan pasukannya dikalahkan oleh Sultan Khalil sehingga terpaksa menyerahkan Acre beserta kota kota lainnya, seperti Beirut, Haifa dan Tyre yang menandai akhir dari Kekuasaan Outremer di Palestina42.

Kekuasaan Dinasti Mamluk atas Palestine berakhir pada tahun 1517. Pada tahun 1517 ini, Turki Usmani dibawah pimpinan Sultan Selim I memperluas wilayahnya ke Timur Tengah dan mencaplok Hejaz, Irak serta Palestina. Wilayah Palestina digabungkan dengan Vilayet Syria dan nama Palestina pun tak pernah terdengar lagi sampai runtuhnya Turki Usmani pada abad ke 2043

Sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya kelompok masyarakat di dalam wilayah Palestina, serta pengalaman beratus tahun dari masyarakat disana yang harus menyaksikan tanah airnya menjadi ajang perebutan dominasi bangsa-bangsa asing, menginspirasi bangsa-bangsa Palestina untuk lebih memiliki rasa cinta

41

Raana Bookhari & Mohammad Seddon.Ensiklopedia Islam. (Jakarta : Penerbit Erlangga,2010),h.85

42

Raana Bookhari & Mohammad Seddon.Ensiklopedia Islam. h.87

43

pada tanah airnya. Hal ini menjadi salah satu dasar terbentuknya nasionalisme bangsa Palestina.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, nama Palestina (Bahasa Arab : Falastin) menghilang selama 400 tahun kekuasaan Turki Usmani di Timur Tengah yang menempatkan wilayah Palestina yang mencakup Muttasharifate Jerusalem (Kudüs-i Şerif Mutasarrıflığı) dan Kota-kota di sekitarnya seperti Jaffa, Hebron & Betlehem ke dalam wilayah Provinsi Syria (Vilayet Syria)44. Penduduk Arab yang tinggal di wilayah tersebut masih mengidentifikasi dirinya sebagai orang Syria.

Akibat Perang Dunia I, Syria mengalami kehancuran. Para Petani meninggalkan rumah mereka untuk menghindari pertempuran antara tentara Turki dan tentara Inggris sehingga pertanian menjadi tidak terurus. Ribuan orang membanjiri Damaskus untuk mencari pekerjaan. Secara ekonomi, Syria mengalami resesi. Perang ini menggangu export kapas, wol dan gandum. Situasi ekonomi dan Sosial yang kacau ini membuat munculnya seorang tokoh yang berencana mengambil kendali atas wilayah ini, yaitu Faisal bin Husein, putera ketiga dari Sharif Husein bin Ali, yang pernah berperang bersama Inggris melawan Turki Usmani45.

Pada Tahun 1918, Faisal pindah ke Damaskus dimana dengan cepat ia mendulang popularitas dari wilayah tersebut. Ia bercita-cita mendirikan Negara Syria Raya yang mencakup wilayah Syria, Palestina, Lebanon,dan Yordania46.

44

Dror Zeevi. An Ottoman century : the district of Jerusalem in the 1600s, (Albany: State University of New York Press, 1996), h. 121.

45Ernst Dawn. “The Rise of Arabism in Syria”. Middle East Journal, vol.16 no.2 (Spring 1962), h.145-168

46

Nur. Masalha, "Faisal's Pan-Arabism, 1921–33". Middle Eastern Studies .(Oct., 1991).h.679–693.

Ambisi Faisal tersebut mungkin dipengaruhi oleh ayahandanya yang juga berambisi mendirikan Kekhalifahan Arab di Timur Tengah.

Perlu dicatat, Kelompok Nasionalis Arab di Syria memberikan dukungan bukan karena loyalitas pada sosok Faisal, melainkan karena para anggota kelompok Nasionalis ini tahu bahwa pihak Inggris mendukung keluarga Hasyimiah47 dan akan mendukung apabila Faisal yang merupakan salah satu anggota keluarga itu menjadi kepala Negara. Malangnya bagi kelompok Nasionalis Arab di Syria, wilayah tersebut berada dibawah kekuasaan dan pengaruh Perancis, sedangkan pemerintahan Perancis tidak memiliki hubungan apapun dengan keluarga Hasyimiah apalagi memperhatikan keinginan bangsa Arab untuk mendirikan suatu Negara.

Tidak seperti kelompok Arab Nasionalis lainnya, Faisal tidak menentang keberadaan Bangsa-bangsa Eropa di Timur Tengah. Alasannya sederhana saja, bangsa Arab saat itu tidak memiliki kekuatan militer dan finansial yang memadai untuk dapat menentang pengaruh Inggris dan Perancis. Mayoritas Nasionalis Arab, menentang cara-cara yang digunakan Faisal untuk berkompromi dengan pihak Eropa demi mewujudkan cita-citanya mendirikan Negara Syria Raya. Kelompok Nasionalis seperti Jam‟iyyat Al Fatat al-Arabiyyah (Young Arab Society) yang didirikan oleh Izzat Darwaza, meyakini bahwa bangsa Arab bisa mengalahkan bangsa Inggris dan Perancis dalam perang. Kelompok yang lebih

47

Keluarga Hasyimiyah adalah keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW dari Bani Hasyim melalui Sayidina Hasan, putra pertama Sayidina Ali bin Abi Thalib dengan Sayidah Fatimah binti Muhammad saw. Anggota keluarga ini adalah Sharif Hussein bin Ali dari Mekkah dan kedua putranya, Faisal dan Abdullah. Dikutip dari Clifford Edmund Bosworth,. The New Islamic Dynasties. (Edinburgh : Edinburgh University Press,1996),h.53

ekstrim seperti Jam‟iyyat Al Ahad (The Covenant Society) juga ikut menentang Faisal.

Tahun 1919 ketika Syria berada dibawah Mandat Perancis, Faisal mengadakan Konggres Nasional Syria di Damaskus. Jendral Inggris Edmund Allenby yang menaklukkan Jerusalem pada tahun 1919 mengingatkan Faisal bahwa konggres tersebut akan memancing kemarahan pihak Perancis. Walaupun sudah diberi peringatan, Faisal tetap mengadakan konggres tersebut pada bulan Juni. 1919. Tiga fraksi politik Syria yang mendominasi Konggres adalah yang pertama, Jam‟iyyat Al Fatat al-Arabiyyah (Young Arab Society) yang menentang system Mandat Liga Bangsa-Bangsa dan memandang Inggris dan Perancis sebagai penjajah yang ingin merampas kemerdekaan bangsa Arab; kedua, para loyalis Faisal yang menentang Mandat Perancis dan lebih menyukai Mandat Inggris; ketiga, pihak Nasionalis Arab yang menginginkan Amerika Serikat juga memiliki mandat atas Syria, karena tertarik pada konsep Presiden Woodrow

Wilson mengenai “Self Determination”48

.

Konggres ini berakhir pada Maret 1920 dengan hasil yang tidak menguntungkan kubu Faisal, karena ia gagal menyatukan kelompok Nasionalis Arab yang radikal ke barisan politiknya yang lebih moderat. Kongres ini menyatakan Syria sebagai negara merdeka dengan wilayah yang juga mencakup Lebanon dan Palestina. Kongres tersebut tidak mengakui kekuasaan Mandat Liga Bangsa-Bangsa terhadap Syria, serta menentang rencana Inggris untuk mendirikan

48

James L. Gelvin. Divided Loyalties: Nationalism and Mass Politics in Syria at the Close of Empire. (Berkeley : University of California Press, 1998), h.62

Jewish National Homeland di Palestina, dan menuntut pasukan Perancis dan Inggris mundur dari Timur Tengah serta menyatakan Faisal sebagai Raja Syria49.

Faisal menjadi korban dari rencana kaum Nasionalis di satu sisi dan korban dari kepentingan Perancis terhadap Syria di sisi lain. Pada bulan Juli 1920, pasukan Perancis dibawah Jendral Henry Gouraud mengalahkan Pasukan Syria

dalam “Pertempuran Maysalun” dan berbaris memasuki Damaskus50

. Raja Faisal langsung melarikan diri dari Syria ke pelabuhan Haifa dan terus ke London. Tahun 1921, pihak Inggris mengangkatnya sebagai Raja di Irak, para pengikutnya menjadi terpecah belah di Mesir , Irak dan Palestina51.

Kegagalan mendirikan Negara Syria Raya berdampak besar terhadap kelompok Nasionalis Arab di Palestina. Dalam pandangan kelompok Nasionalis dari Palestina, Negara Syria Raya yang dipimpin oleh Faisal merepresentasikan langkah penting untuk mewujudkan cita-cita mereka mendirikan Negara Arab yang merdeka dan bersatu. Menteri Luar Negeri Faisal yang bernama Said Al Hussayni menganggap bahwa pemerintahan Arab di Damaskus seharusnya dapat membantu perlawanan mereka terhadap Zionisme. Mereka menentang niat Inggris untuk mendirikan Jewish National Homeland di Palestina52.

Saat itu, Liga Bangsa-Bangsa mempercayakan wilayah Palestina kepada Inggris dengan dibentuknya Mandat Inggris untuk Palestina. Inggris memberikan nama Palestina kepada wilayah tersebut, mengacu pada nama dalam Bahasa Latin

49Ernst Dawn. “The Rise of Arabism in Syria”. Middle East Journal, vol.16 no.2 (Spring 1962), h.145-168

50

Karl Ernest Meyer & Shareen Blair Brysac. Kingmakers: The Invention of the Modern Middle East, (New York : W. W. Norton & Company, 2008), h.359

51

Tamara Sonn. Islam : A Brief History (Second Edition). (Chichester : Wiley Blachwell,2004), h.126

52Haim Gerber .”Palestine and Other Territorial Concepts in the 17th Century”. International Journal of Middle East Studies.Vol. 30, No. 4 (Nov., 1998),h. 563-572

yang diberikan Imperium Romawi53. karena Peradaban Eropa Barat sangat dipengaruhi oleh budaya, bahasa, serta teladan Romawi

Kegagalan Faisal tidak menghapuskan Nasionalisme Arab di Palestina begitu saja, melainkan semakin memperuncingnya. Setelah Faisal melarikan diri dari Damaskus, kelompok Nasionalis Arab di Palestina berkonsentrasi untuk mendirikan Negara Arab Merdeka di wilayah Palestina sendiri54. Sejak saat itu, Nasionalisme Arab di Palestina bertransformasi menjadi bentuk yang unik, Ditengah situasi Politik yang memanas, seorang loyalis Faisal bernama Amin al-Hussayni55, muncul sebagai tokoh pemimpin dominan sejak saat itu56.

Amin Al Hussayni yang juga merupakan pemimpin kelompok Nasionalis Arab diwilayah Palestina, menganggap Inggris sebagai penjajah57. Sementara pemerintah Mandat Inggris sendiri terjebak antara tuntutan kelompok Nasionalis Arab disatu sisi dan tuntutan kelompok Nasionalis Yahudi yang ingin mewujudkan Jewish National Homeland di Palestina disisi lain.

Walaupun Nasionalisme Palestina telah menemukan bentuknya, tetap sulit untuk mentransformasi ruh Nasionalisme itu menjadi sebuah Negara, karena Pemikiran mengenai Nasionalisme hanya dimiliki oleh Keluarga Elit Perkotaan (Belladin) yang memiliki akses pendidikan tinggi, seperti Hussayni, Nasashibi & Khalidi58. Sedangkan rakyat Palestina yang mayoritas bekerja sebagai petani

53

Tamara Sonn. Islam : A Brief History. (Chichester : Wiley Blachwell,2004), h.128

54

Muhammad Muslih. “Arab Politics & Rise of Palestinian Nationalism”. Journal of Palestinie Studies.Vol.16, no.4 (Summer 1987). h.77-94

55

Baruch Kimmerling & Joe S Migdal .The Palestinian People. (Massachusets : Harvard University Press,2003), h.90

56

Daniel Pipes. Greater Syria : The history of Ambition. (New York: Oxford University Press, 1990), h.71

57Philip Mattar. “Mufti of Jerussalem & Politik of Palestine”.Middle East Journal. Vol.42 no.2 (Spring 1988) h.227-240

58Muhammad Muslih. “Arab Politics & Rise of Palestinian Nationalism”. Journal of Palestinie Studies.Vol.16, no.4 (Summer 1987). h.77-94

(Fellahin) telah hidup berabad-abad dibawah Pemerintahan Turki Usmani yang kurang memperhatikan pendidikan maupun kesejahteraan bagi rakyat kecil59, akibatnya mereka terperangkap dalam Comfort Zone dimana mereka hanya tertarik untuk melindungi tanah pertanian, ternak dan keluarganya dari ancaman pendatang asing60. Kesenjangan di tingkat ideologis, pendidikan, dan pemikiran antara elit dan rakyat kebanyakan merupakan salah satu factor penting atas kegagalan kaum Nasionalis Palestina memperjuangkan negara merdeka.

Dengan kata lain, Palestina adalah kasus yang unik, karena eksistensinya dibentuk oleh factor eksternal. Disinllah terjadi konflik antara Nasionalisme Bangsa Palestina melawan kekuatan Eksternal yaitu Kolonialisme yang dilakukan oleh Bangsa-bangsa lain yang berujung pada kegagalan Palestina mendirikan Negara Merdeka.

59

Fred Khouri. The Arab-Israeli dilemma. (New York: Syracuse University Press,1974),h.13

60Stephen Hallbrook. “The Alienation of the Homeland : How Palestine Become Israel”. Journal of Libertarian Studies. Vol.5 no.4 (Autumn 1981), h.1-18

BAB III

AWAL MANDAT INGGRIS & KEBIJAKANNYA