• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembagian Palestina dan Berdirinya Negara Israel

BAB V Akhir Kekuasaan Inggris dan Tatanan Dunia Baru

RESPON BANGSA PALESTINA ATAS MANDAT INGGRIS

A. Pembagian Palestina dan Berdirinya Negara Israel

Pasca perang dunia kedua, pihak Sekutu (Amerika-Inggris-Prancis-Uni Soviet) selaku pemenang perang merasa perlu membentuk Tatanan Dunia Baru (New World Order). Hal tersebut hanya bisa direalisasikan dengan membentuk organisasi persatuan dan perdamian international seperti Liga Bangsa-Bangsa201. Namun, Liga Bangsa-Bangsa bersikap lemah ketika Nazi Jerman mencaplok Cekoslovakia dan Fasis Italia mencaplok Ethiopia202. Maka Liga Bangsa-Bangsa harus dirombak menjadi organisasi yang jauh lebih kuat.

Upaya pihak Sekutu itu dicetuskan dalam Konferensi Yalta, di Krimea, Russia Selatan. Pihak sekutu sepakat untuk meneruskan perundingan di San Fransisco, Amerika Serikat. Perundingan berlangsung antara 25 April 1945 sampai dengan 26 Juni 1945 dan menghasilkan Piagam Perdamaian (Charter of Peace). Setelah diratifikasi pada tanggal 24 Oktober 1945, Piagam tersebut mulai diberlakukan dan menandai lahirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)203

Perang dunia kedua juga mengakibatkan terjadinya dekolonisasi di seluruh kawasan Asia-Afrika. Aspirasi kemerdekaan nasional di hampir semua negeri yang tunduk pada kekuasaan Eropa semakin kuat. Dimulai dari Indonesia pada

201Michael Barnett. “Bringing in the New World Order: Liberalism, Legitimacy, and the

United Nations”. World Politics,Vol. 49, No. 4 (July 1997),h. 526-551

202 C. G. Fenwick,”The Failure of the League of Nations”, The American Journal of International Law, Vol. 30, No. 3 (Jul., 1936), h. 506-509

203

Robert C. Hilderbrand, Dumbarton Oaks : The Origins of the unite nations and the Search for Postwar Security (Chapell Hill : University of North Carolina Press, 2001),h.30

tahun 1945, efek domino dari dekolonisasi mulai menerpa negara-negara Asia lain. Angin kemerdekaan tersebut akhirnya sampai juga di Timur Tengah204.

Pemerintah Mandat Prancis mulai menarik diri dari Syria pada tanggal 17 April 1946 dan dari Lebanon pada tanggal 22 Maret 1946. Sementara pada tanggal 31 Desember 1946, Inggris mengubah status Emirat Transjordania dari Protektorat menjadi Kerajaan dengan kedaulatan penuh (full sovereignity)205. Inggris juga menarik pasukannya dari Delta Sungai Nil di Mesir berdasarkan kesepakatan antara Perdana Menteri Mesir, Sidky Pasha dan Sekretaris Luar Negeri Inggris, Ernst Bevin206.

Sebelum terjadinya dekolonisasi Timur Tengah, negara-negara Arab di kawasan itu sudah berencana menciptakan organisasi persatuan regional. Pada tanggal 7 Oktober 1944, perwakilan enam negara Arab yaitu Arab Saudi, Mesir, Syria, Irak, Transjordan dan Lebanon mengadakan pertemuan di Alexandria. Hasil dari pertemuan ini dikenal sebagai Protokol Alexandria dan berdasarkan Protokol Alexandria itu, mereka membentuk organisasi Arab bersama yang akan menjadi cikal bakal dari Liga Arab (al-Jami‟ah al-Arabiyyah)207.

Protokol Alexandria juga memuat poin penting mengenai masalah Palestina, antara lain : Palestina adalah bagian integral dari dunia Arab, Kemerdekaan Palestina sangatlah penting untuk stabilitas dunia Arab, dibentuknya Arab National Fund untuk membantu Ekonomi rakyat Palestina dan

204

Prof.Dr.Johan Hendrik Meuleman, Dinamika Abad ke 20, dalam Ensiklopedia Islam.

Dinamika Masa Kini. (Jakarta : PT.Ikhtiar Baru van Hoeve,2002), h.10

205

Pm Holt, Ann Lambton & Bernard Lewis. The Cambridge History of Islam. (Cambrdige : Cambridge University Press, t.t), h.582

206

Peter Mansfield, History of Middle East, (Pennsylvania : Pennsylvania University Press,2009), h.227-228

207

Adeed Dawisha. Arab Nationalism in the Twentieth Century from Triumph to Despair.

keberadaan imigran Yahudi Eropa di Palestina merupakan pelanggarann atas Hak Rakyat Palestina208.

Setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 22 Maret 1945

ditandandatanganilah Pakta Liga Arab di Za‟faran Palace, Kairo, Mesir, oleh

enam wakil negara anggota pertama, yakni Mesir, Irak, Syria, Lebanon, Transjordan dan Arab Saudi. Delegasi dari Yaman, terlambat datang ke Kairo namun ia mengirim pesan bahwa Yaman akan menandatangani dan meratifikasi pakta tersebut. Sementara delegasi Palestina, Musa al-Alami, yang hadir di

Za‟faran Palace tidak ikut menandatangani pakta pendirian Liga Arab209.

Para pemimpin Liga Arab (al-Jami‟ah al-Arabiyyah) mengadakan pertemuan pertama di Mesir pada bulan Mei 1946. Pertemuan ini menghasilkan kesimpulan yang menegaskan isi Protokol Alexandria antara lain bahwa wilayah

Palestina memiliki “karakter Arab” (dihuni oleh orang-orang Arab dan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa sehari hari). Kesimpulan Liga Arab tersebut bertentangan dengan perjanjian Sykes-Pycott pada tahun 1916 yang menegaskan bahwa Palestina tidak murni Arab (Cannot be said to be purely Arab), ditinjau dari sisi historis210. Liga Arab juga membentuk Komite Eksekutif Arab untuk Palestina yang bertugas mewakili dan menyuarakan kepentingan Palestina di kancah internasional211.

Berakhirnya Perang Dunia kedua juga mengubah sikap pihak Yahudi di Palestina. Mereka tidak puas atas sikap Pemerintah Inggris yang dianggap kurang

208

Text Protokol Alenxadria, The Alexandria Protocol,

http://www.mideastweb.org/alexandria.htm, diakses pada tanggal 1 Juli 2014

209

Trias Kuncahyono. “Liga Arab : Membaca Cerita Lama. Kompas. Minggu,30 Maret 2014

210

Peter Mansfield, History of Middle East, (Pennsylvania : Pennsylvania University Press,2009), h.234

211

Ensiclopedia Britannica. The Islamic World : Religion,History & Future. (London : Britannica, t.t), h.165

berpihak pada mereka, terutama setelah Sekretaris Luar Negeri Inggris, Ernst Bevin dan Perdana Menteri Inggris, Clement Atlee melobi pemerintah Amerika untuk membentuk Anglo American Comitee of Inquiry pada bulan November 1945212. Pada bulan April 1946, Komite ini merekomendasikan agar Mandat Inggris dilanjutkan, penjualan tanah milik orang Arab oleh Pemerintah Mandat Inggris kepada para imigran Yahudi dibatasi dan semua pasukan paramiliter Yahudi harus dilucuti senjatanya213.

Haganah merespon dengan beraliansi bersama Irgun untuk menghantam Pemerintah Mandat Inggris di saat mereka belum pulih dari peperangan. Organisasi pecahan Irgun yang jauh lebih radikal, yaitu Lehi (Stern Gang) juga ikut bergabung. Gerakan ini disebut Jewish Resistance Movement ( ירמ תע נת ירבע , Tnu'at HaMeri HaIvri). Pada tanggal 16-17 Juni 1946, tentara Haganah meledakkan 8 buah jembatan di Palestina, yang kemudian dikenal dengan Night of the Bridges214. Keesokan harinya tentara Irgun menculik 5 orang pejabat pemerintah Mandat Inggris yang sedang makan siang 215.

Pada hari Sabtu, tanggal 29 Juni 1946, Pemerintah Mandat Inggris

melaksanakan „Operation Agatha‟ sebagai respon atas tindakan sejumlah

organisasi paramiliter Yahudi tersebut. Sejumlah Polisi dan Tentara Inggris menyerbu markas Jewish Agency216 dan melakukan penangkapan terhadap 2700 orang personel Haganah, Irgun dan Lehi. Di Kibbutz Yagur, Polisi Inggris

212 Miriam Joyce Haron. “Palestine & Anglo American Connection”.Modern Judaism.Vol.2 no.2 (May 1982),h.199-211

213

Text Anglo American Comitee of Inquiry Report,

http://avalon.law.yale.edu/subject_menus/angtoc.asp, diakses pada tanggal 15 Mei 2014

214

John Newsinger. British Counterinsurgency : From Palestine to Northern Ireland, (London : Palgrave,2002), h.19

215

The Black Paper on The Jewish Agency and The Zionist Terrorist. Arab Higher Committee Archive, 12 Maret 1948. h.12

216

menemukan banyak senjata yang terdiri atas 300 senapan, 4000 peluru, 5000 granat dan 78 revolver. Para Pejabat yang diculik pun berhasil dibebaskan217. Biasanya, masyarakat Arablah yang selalu memberontak terhadap pemerintah Mandat Inggris dan masyarakat Yahudi cenderung bersikap loyal. Namun kali ini pihak Yahudi telah menemukan momentum untuk melakukan pergerakan. Situasi international yang telah berubah dan situasi di Palestina sendiri memberi tekanan yang terlampau besar pada Pemerintah Inggris, sehingga timbul niat untuk melepaskan Palestina yang mereka nilai sebagai wilayah yang penuh masalah218.

Pada tanggal 7 Februari 1947, Sekretaris Luar Negeri Inggris, Ernst Bevin, mengumumkan di hadapan Kabinet bahwa Kerajaan Inggris tak dapat lagi meneruskan Mandat yang pernah diberikan oleh Liga Bangsa-Bangsa atas wilayah Palestina. Dengan demikian, masalah Palestina harus diserahkan kepada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) selaku penerus Liga Bangsa-bangsa. Pada tanggal 2 April 1947, Pemerintah Inggris mengajukan permintaan kepada Sekjen PBB, Trygvie Lie, untuk mengangkat masalah Palestina dalam acara rapat Sidang Umum PBB219.

Pada tanggal 28 April 1947, diadakan rapat istimewa, Dalam acara dengar pendapat, sidang umum PBB mendengarkan semua opini yang diajukan, baik dari pihak Komite Arab Tertinggi selaku perwakilan Palestina, perwakilan dari Yahudi Palestina maupun Zionis International. Sidang Umum PBB memutuskan membentuk sebuah Pantia Khusus yang disebut United Nation Special Comitee

217

John Newsinger. British Counterinsurgency : From Palestine to Northern Ireland, (London : Palgrave,2002), h.20

218

Tamara Sonn. Islam : A Brief History, (Chichester : Wiley Blachwell,2004), h.129

219

Ritchie Ovendale. The Middle East since 1940. (London : Longman Publishing,1992),h. 40

On Palestine (UNSCOP) yang beranggotakan 11 orang untuk melakukan penyelidikan mengenai masalah Palestina. Pada tanggal 11 September 1937, UNSCOP mengajukan rekomendasi yaitu : Pembentukan Palestina merdeka untuk etnis Arab dan Yahudi220, dan Mandat Inggris atas Palestina harus segera diakhiri221.

Pada tanggal 29 November 1947, PBB mengeluarkan Resolusi no.181. Sidang tersebut dihadiri sebanyak 56 negara. 33 negara yang menyetujui Resolusi tersebut, 13 negara menolak dan 10 negara menyatakan abstain222. Inggris adalah salah satu negara yang abstain pada sidang tersebut, karena sudah lelah terhadap persoalan Palestina dan menyerahkan semua keputusan kepada PBB223.

Sidang tersebut memutuskan bahwa wilayah Mandat Inggris di Palestina dibagi menjadi dua, satu bagian untuk bangsa Yahudi dan satu bagian lainnya diberikan bagi bangsa Arab. Wilayah Yahudi, meliputi Jaffa, sampai Galilea, daerah pelabuhan Haifa sampai selatan Jaffa dan Gurun Negev. Sementara wilayah Arab meliputi Lembah Esdraelon sampai Beersheba, wilayah barat Galilea dan Jalur Gaza sampai perbatasan Mesir. Khusus untuk Jerusalem, tidak diberikan pada Israel atau Arab karena Jerusalem merupakan kota suci untuk 3 agama (Yahudi, Kristen, Islam) jadi diberikan status Corpus Separatum224.

220

Baruch Kimmerling & Joe S Migdal.The Palestinian People. (Massachusets : Harvard University Press,2003).h.147

221

Termination of the British Mandat of Palestine.The International Law Quaterly.Vol.2 no.1 (spring 1948),h.57-60

222

The Great Betrayal in United Nation : Memorandum to United Nation delegates. Arab Higher Committee Archive, Februari 1948 . h.6

223

George Lenchzowski, The Middle East in World Affair. (New York : Cornell University Press,1952), h.334

224

Corpus Separatum adalah Bahasa Latin yang artinya „tubuh terpisah‟ . maksudnya,

kota Jerussalem tak akan dikuasai oleh orang Arab maupun Yahudi, melainkan menjadi Kota International. Dikutip dari Rashid Khalidi. Iron Cage : Palestinian Struggle for Statehood. (Oxford : One World Publication,2007).h.125

Pembagian wilayah tersebut dinilai adil menurut perspektif PBB, karena walaupun Israel mendapat 55% dari wilayah Palestina, namun Israel juga mendapatkan gurun pasir Negev yang luas dan tidak produktif. Sementara untuk rakyat Arab, walau hanya dialokasikan 45% tapi mereka mendapatkan wilayah yang lebih strategis dan produktif, seperti wilayah pesisir Gaza yang bisa digunakan untuk pelabuhan dan Tepi Barat sungai Jordan yang subur225.

Para anggota Komite Arab Tertinggi di Pengasingan, menolak Pembagian ini dan membuat Memorandum yang menyatakan bahwa Resolusi itu bertentangan dengan jiwa dari Piagam PBB226. Liga Arab, sebagai pihak yang mewakili Palestina juga terang-terangan menolak Resolusi PBB no.181, mereka menilai alokasi tanah tersebut tidak adil dan akan melakukan intervensi di Palestina227. Penolakan ini bisa dianggap wajar, karena sebelumnya pihak Arab tak pernah menyetujui solusi apapun yang ditawarkan pihak Barat.

Sebenarnya, ada juga elit Palestina yang berpikiran terbuka dan rasional, seperti Fawzi Darwish al-Hussayni dan Sami Taha. Mereka berdua menilai bahwa negara Arab Palestina dan negara Yahudi dapat hidup bertetangga dengan harmonis. Fawzi membuat komitmen dengan Ihud (Faksi Zionis Liberal) dan Hashomer Hatshair (Faksi Zionis Sosialis) yang juga memiliki pemikiran serupa untuk bersama-sama mewujudkan Bi-National Solution. Sayangnya Fawzi

225

Gudrun Krämer. A History of Palestine: From the Ottoman Conquest to the Founding of the State of Israel. (New Jersey :Princeton University Press,2008), h.307

226

The Great Betrayal in United Nation : Memorandum to United Nation delegates. Arab Higher Committee Archive, Februari 1948. h.3

227

Adeed Dawisha. Arab Nationalism in the Twentieth Century from Triumph to Despair.

dibunuh oleh orang-orang Arab yang menganggapnya pengkhianat. Nasib serupa kemudian juga menimpa Sami Taha228.

Menanggapi Resolusi PBB no.181, orang-orang Yahudi di Palestina meluapkan kegembiraannya, di sisi lain penduduk Arab Palestina merasa tak puas. Segera saja, bentrokan pecah dimana orang orang Arab mulai menyerang wilayah Pemukiman Yahudi. Kedua belah pihak saling balas menyerang dan membunuh. Serangan yang dilancarkan oleh orang-orang Arab dibalas oleh Irgun dan Lehi secara membabi-buta229.

Sementara itu, Amin al Hussayni yang ketika itu berada di Mesir, mengeluarkan Deklarasi, menyerukan kepada seluruh masyarakat Arab di Timur Tengah untuk menyerang wilayah Mandat Inggris di Palestina dan menaklukkannya demi mencegah implementasi dari Resolusi PBB no.181230

Pada akhir Desember 1947, Pemerintah Mandat Inggris terkejut ketika Abdul Qadir al-Hussayni, keponakan Amin al-Hussayni memimpin pasukan Jihad al-Muqaddas231 bersama sejumlah sukarelawan dari Syria dan Lebanon berbaris memasuki batas wilayah Mandat Inggris232. Liga Arab berencana mencegah PBB untuk melaksanakan Resolusi no.181. Pada bulan Januari- Februari tentara Arab Liberation Army (Jaysh al-Inqadh al-Arabi)233 dibawah

228Lappin Shalom. “Israel-Palestine : Is There a Case for Bi-Nationalism ?”. Dissent.

Vol.31 no.1, (Winter 2004),ProQuest Sosiology. h.13-17

229

Efraim Karsh . The Arab-Israeli Conflict.The Palestine War 1948.(Oxford : Osprey Publishing,2002), h.30

230

Deklarasi Amin al Hussayni untuk menyerang Palestina, dari Israeli defence Force Archive, file number 26/100001/1947

231

Jihad al-Muqaddas adalah sebuah gerakan yang berkarakteristik Islami dan nasional, dengan perlindungan dari al-Hajj Amin. Organisasi ini berpusat di kota Jerussalem dengan kepemimpinan Abdul Qadir al-Husaini dengan jumlah anggotanya hingga tahun 1935 sekitar 400 orang

232

Karsh, Efraim. The Arab-Israeli Conflict.The Palestine War 1948, h.26-27

233

Arab Liberation Army (Jaysh al-Inqadh al-Arabi) adalah pasukan Liga Arab yang didirikan atas prakarsa Presiden Syria, Syukri al-Quwatli.

pimpinan Fawzi al-Qawuqji menerobos perbatasan Palestina diikuti oleh 4000-5000 sukarelawan dari negara Arab yang lain234.

Komisaris Besar Mandat Inggris, Sir Alan Cunningham memprotes tindakan tentara Arab tersebut, namun Letnan Jendral Gordon Macmillan mengatakan bahwa tindakan keras terhadap para penyusup illegal tak diperlukan karena mereka tak terkonsentrasi di tempat-tempat tertentu. Inspektur Jendral Kepolisian Palestina, Kolonel William Gray juga berjanji akan melindungi Sir Alan Cunningham dan memperketat pengamanan terhadap semua pegawai pemerintah Inggris di Palestina235.

Dengan kehadiran Arab Liberation Army (Jaysh al-Inqadh al-Arabi) di Palestina untuk melakukan intervensi dan sikap organisasi paramiliter Yahudi yang bertekad mendukung Resolusi PBB no.181, menyebabkan terjadinya

“Perang Sipil di Palestina” (Civil War in Palestine)236. Orang orang Arab membunuh 41 pekerja Yahudi di penyulingan minyak Haifa, tentara Haganah membalas dengan menyerang desa Balad as-Sheikh dan membunuh 61 orang Arab237

Presiden Amerika, Harry Truman segera mengambil inisiatif dengan

menawarkan rencana „Perwalian untuk Palestina‟ (United States Proposal for Temporary United Nations Trusteeship for Palestine) selama 5 tahun mulai bulan Maret 1948, diakhirinya Mandat Inggris pada tanggal 15 Mei 1948, serta diberlakukannya gencatan senjata selama tiga bulan setelah melihat kenyataan

234

Motti Goulani, The End of the British Mandate for Palestine in 1948: The Diary of Sir Henry Gurney, (London : Palgrave,2009), h.27

235

Motti Goulani, The End of the British Mandate for Palestine in 1948: The Diary of Sir Henry Gurney,h.28

236

Baruch Kimmerling & Joe S Migdal.The Palestinian People. (Massachusets : Harvard University Press,2003),h.154

237

The Black Paper on Jewish Agency & Zionist Terrorism. Arab Higher Committee Archive,12 Maret 1948. h.15

bahwa Resolusi PBB no.181 mengakibatkan terjadinya perang sipil di Palestina238.

Situasi yang tenang karena adanya gencatan senjata ditambah fakta bahwa Mandat Inggris akan segera berakhir, dimanfaatkan David ben Gurion untuk mempersiapkan kemerdekaan Israel secepat mungkin. Pemerintahan sementara pun dibentuk melalui Dewan Nasional yang merupakan penghubung antara Jewish Agency dan Komite Nasional (Ha‟Vaad Ha‟Leumi)239.

Masalah lain yang berkaitan seputar pendirian Negara bagi masyarakat Yahudi adalah komposisi penduduk. Pada saat itu, jumlah penduduk Arab masih terlampau banyak, dan penduduk Yahudi masih merupakan minoritas di banyak kota di wilayah Palestina. Maka dari itu, tidaklah wajar apabila berdiri sebuah

“negara Yahudi” namun etnis Yahudi justru minoritas dalam segi jumlah. Hal

tersebut dikuatkan oleh pernyataan David ben Gurion240 :

Terdapat 40% penduduk non Yahudi Yahudi di daerah yang dialokasikan PBB untuk negara Yahudi, komposisi ini bukanlah menjadi fondasi yang kokoh bagi pendirian sebuah negara Yahudi. Untuk menciptakan keseimbangan demografis dan mempertahankan kedaulatan negara baru ini, maka setidaknya negara Yahudi yang kokoh dan stabil

harus diisi oleh penduduk Yahudi dengan presentase sebanyak 80%”

Untuk memecahkan masalah kependudukan, maka David ben Gurion mencetuskan solusi yang disebut Plan D (Rencana Dalet). Sebuah rencana perombakan komposisi penduduk yang akan dikerjakan oleh Haganah dan Irgun.

238Edward Buehrig. “UN,US & Palestine”. Middle East Journal. Vol.33 no.4 (Autumn 1979) h.434-453

239Elyakim Rubinstein. “The Declaration of Indepedendence as a Basic Documents of the State of Israel”. Israel Studies. Vol.3 no.1 (spring 1998), h.183

240

Tujuannya adalah untuk mengambil kendali atas wilayah negara Yahudi dan untuk membela perbatasannya dari orang-orang Arab. "Rencana Dalet" menyerukan penaklukan kota dan desa di sepanjang perbatasan daerah yang dialokasikan ke negara Yahudi yang diusulkan sesuai dengan Resolusi PBB no.181. Apabila ada resistensi, penduduk desa tersebut harus diusir (expell)241.

Operasi pertama dari „Rencana Dalet‟ adalah „Operasi Nachshon‟, dengan

tujuan untuk membuka koridor jalur Tel Aviv-Jerussalem, serta membebaskan Jerussalem dari blokade yang dilakukan oleh Abdul Qadir al-Hussayni. Pada tanggal 9 April 1948, 1500 orang dari pasukan gabungan paramiliter Yahudi dibawah pimpinan Menachem Begin menyerang desa Deir Yassin di sebelah barat Jerussalem. Menachem Begin dan pasukannya berhasil menghabisi 254 orang penduduk Arab di Deir Yassin dan juga membunuh Abdul Qadir al-Hussayni, keponakan Amin al-Hussayni sekaligus pemimpin Jihad al-Muqaddas. Operasi Nachshon sukses mencapai tujuannya, melakukan Ethnic Cleansing sekaligus membuka jalur suplai untuk penduduk Yahudi di Jerussalem242.

Operasi selanjutnya bersandi „Scissors‟, bertujuan untuk membebaskan

kota pelabuhan Haifa yang telah dialokasikan untuk negara Yahudi sesuai dengan Resolusi PBB no.181. Pada tanggal 22 April 1948, pasukan penembak jitu dari Haganah berhasil membunuh 300 orang penduduk Arab di pasar Haifa, dekat pintu pelabuhan243.

241

Walid Khalidi, "Plan Dalet: master plan for the conquest of Palestine", Journal of Palestine Studies vol.18 no.1, (November 1961), h. 4-33

242

John Bowyer Bell. Terror out of Zion. (New Jersey : Transaction Publishers, 1976), h.142-143

243Walid Khalidi. “The Fall of Haifa Revisited”. Journal of Palestine Studies. Vol.37 no.3 (spring 2008), h.37

Walaupun „Rencana Dalet‟ yang bertujuan untuk membersihkan wilayah

yang dialokasikan untuk orang orang Yahudi dari populasi Arab sering dituding sebagai pelanggaran HAM, namun Israel menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang legal.

Salah satu pembenaran pihak Israel adalah keputusan Sekutu dalam Konferensi Postdam yang menyerahkan wilayah Jerman di sisi timur Sungai Oder-Neisse yaitu Pomerania, Brandenburg Timur, Prussia Timur dan Silesia kepada negara Polandia yang baru. Artikel tambahan Konferensi Postdam juga menyebutkan bahwa negara lain di Eropa Timur juga harus dibersihkan dari etnis Jerman. Konsekuensinya, 12 juta penduduk sipil dari etnis Jerman diusir dari wilayah-wilayah tersebut244.

Pihak sekutu melegalkan tindakan pelanggaran HAM tersebut dengan alasan menciptakan nation state yang homogen dan stabil245, serta membalas dendam atas kejahatan Nazi246. Israel kemudian merasa berhak melakukan hal yang serupa terhadap penduduk sipil Palestina. Alasannya, karena Amin al-Hussayni dituding pernah terlibat mendukung kegiatan Nazi mengirim orang-orang Yahudi ke camp konsentrasi, merekrut para pemuda Arab untuk bertempur di pihak Nazi, dan berperan sebagai aktor intelektual dalam „Operation Atlas‟

bersama Hassan Salameh (anggota Hizb al-Istiqlal al-Arabi). Hal tersebut mereka

244

Prauser, Steffen and Arfon Rees (eds.). The Expulsion of 'German' Communities from Eastern Europe at the end of the World War II, (EUI Working Paper HEC No. 2004/1) Florence: EUI

245

Alfred Zayas. Nemesis at Potsdam.(London : Taylor & Francis,1979), h.11

246

Chad Carl Bryant. Prague in black.. (Massachusets : Harvard University Press,2007), h.97

anggap sebagai Justifikasi untuk melakukan pembalasan terhadap perbuatan Nazi

namun diarahkan pada “kolaboratornya” yaitu Palestina247.

Sehari sebelum berakhirnya Mandat Inggris, tepatnya pada tanggal 14 Mei 1948248, Sir Alan Cunningham dan para Pejabat Pemerintahan Mandat Inggris meninggalkan Palestina dengan menaiki kapal dari Pelabuhan Haifa pada jam 8 Pagi249. David ben Gurion memanfaatkan peluang ini dengan mengundang Komite Persiapan Urusan Kemerdekaan (Minhelet Ha‟Am) untuk menandatangani naskah Deklarasi Kemerdekaan Israel, yang akan ia bacakan pada Jam 4 Sore di Museum Tel Aviv250. Setelah pembacaan Deklarasi Kemerdekaan, Chaim Weizmann dilantik sebagai Presiden Israel pertama dengan David ben Gurion sebagai Perdana Menteri. Presiden Amerika saat itu, Harry Truman langsung memberikan pengakuan de-facto kepada Negara Israel yang baru berdiri251.

Deklarasi kemerdekaan negara Israel pada tanggal 14 Mei 1948 merupakan pemenuhan cita-cita bangsa Yahudi yang telah kehilangan negaranya sejak tahun 79 masehi. Bangsa Yahudi yang selama ini hidup dalam diaspora dan mengalami penyiksaan dan penindasan dari berbagai bangsa dan pada akhirnya

berhasil pulang ke “kampung halamannya”. Mereka akhirnya dapat Memiliki

sebuah negara yang merupakan segalanya dan bukanlah hasil dari tujuan sesaat.

247 Mustafa Kabbha. “The Palestinian National Movement & its Attitude toward the

Fascist & Nazi Movements 1925- 1945”. Gessischte und Gesselschaft. Vol.37 (spring 2011), h.37–

450

248

Pemilihan Tanggal 14 Mei 1948 oleh David ben Gurion dikarenakan tanggal 15 Mei

1948 bertepatan dengan „Hari Sabbath‟. Di masa kini, apabila Hari Kemerdekaan Israel bertepatan dengan „Hari Sabbath‟, maka perayaannya akan dimajukan atau dimundurkan satu hari.

249

Motti Goulani, The End of the British Mandate for Palestine in 1948: The Diary of Sir Henry Gurney, (London : Palgrave,2009), h.20

250

Tuvia Frilling & Ilan Troen. “Proclaiming Independence : Five Days in May from David ben Gurion‟s Diary”. Israel Studies.Vol.3 no.1 (Spring 1998). h.196

251Michael Ottolenghi, “Harry Truman‟s Recognition of Israel”. The Historical Journal.