• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengambilalihan Hak-hak Bangsa Palestina oleh Negara Arab Tetangga

BAB V Akhir Kekuasaan Inggris dan Tatanan Dunia Baru

RESPON BANGSA PALESTINA ATAS MANDAT INGGRIS

C. Pengambilalihan Hak-hak Bangsa Palestina oleh Negara Arab Tetangga

Akibat perang tahun 1948, Israel menguasai sebagian besar wilayah Palestina. Jordania kemudian menduduki wilayah yang dikenal sebagai Tepi Barat Sungai Jordan termasuk diantaranya Jerussalem Timur, dan beberapa kota seperti Jericho, Bethlehem, Hebron dan Nablus, sedangkan Jalur Gaza masih tetap berada dibawah kendali militer Mesir278.

Pemerintah Mesir mengusulkan agar dibentuk Pemerintahan untuk Palestina di wilayah-wilayah yang diduduki oleh pasukan Mesir dan pasukan Jordania, namun Jordania menolak usulan tersebut. Raja Abdullah dari Jordania lebih memilih untuk menggabungkan wilayah Tepi Barat Sungai Jordan ke dalam kekuasaannya, langkah ini mengundang protes dari seluruh anggota Liga Arab. Bahkan Kerajaan Irak yang masih satu wangsa dengan Kerajaan Jordania,

278

Christopher Catherwood. A Brief History of The Middle East : From Abraham to Arafat. (New York : Carrolf & Graf Publishers,2006), h.194

menentang rencana tersebut. Sementara pihak Jordania mengungkapkan bahwa rencana unifikasi tersebut bisa saja dibatalkan, dengan syarat, negara Arab lainnya tak boleh mendukung berdirinya sebuah pemerintahan yang dibuat oleh rakyat Palestina279.

Pada tanggal 23 September 1948, Pemerintah Mesir berinisiatif

mendirikan “Pemerintah Seluruh Palestina” (al-Hukumat al-Filastini) di Jalur Gaza. Amin al-Hussayni didaulat untuk membacakan deklarasi kemerdekaan Palestina dan dilantik menjadi Presiden, Jerussalem dinyatakan sebagai ibukota negara Palestina yang baru. Walau demikian, bentuk negara ini terkesan ganjil karena mengklaim wewenang atas seluruh Palestina namun secara de-facto hanya berkuasa di Jalur Gaza. Pemerintahan ini juga tak memiliki kekuatan militer, tidak memiliki mata uang, tidak memiliki administrasi sipil, dan eksistensinya bergantung pada kebaikan hati Pemerintah Mesir280.

Menanggapi tindakan Mesir itu, Raja Abdullah memilih melanjutkan rencana Unification of the Two Banks. Pada tanggal 1 Oktober 1948, Raja Abdullah mengadakan Konggres Palestina di Ibukota Amman yang dihadiri oleh perwakilan pengungsi Palestina di Yordania. Dalam Kongres tersebut, Raja Abdullah mengusulkan agar wilayah Tepi Barat digabungkan dengan Transjordania, bahkan ia melakukan kunjungan ke desa-desa di Tepi Barat untuk menggalang dukungan rakyat. Pada tanggal 1 Desember 1948, Konferesi Jericho menyatakan penggabungan Tepi Barat dengan Kerajaan Jordania atas dalih

279

Adeed Dawisha. Arab Nationalism in the Twentieth Century from Triumph to Despair. (New Jersey : Princeton University Press,2009), h.131

280Avi Shlaim. “Rise & Fall ofAll Palestinian Government in Gaza”.Journal of Palestine Studies. h.38-53

“Melindungi sisa wilayah Palestina dari ancaman Zionisme”; Raja Abdullah juga diberikan gelar sebagai “Raja Seluruh Palestina”281

.

Pengakuan negara negara lain terhadap status Palestina juga berbeda-beda. Mayoritas anggota Liga Arab seperti Mesir, Syria, Lebanon, Iraq, Saudi Arabia, dan Yaman mengakui “Pemerintahan Seluruh Palestina” yang berkedudukan di

Gaza dan juga mengakui Jerussalem sebagai ibukota Pemerintahan baru tersebut. Sedangkan Jordania yang menguasai Tepi Barat dan Jerussalem menolak

mengakui “Pemerintahan Seluruh Palestina”, Sementara Amerika Serikat memilih

mengakui aneksasi Jordania atas Tepi Barat dan Jerussalem Timur.

Pada akhirnya, rakyat Palestina menemukan dirinya berada dalam situasi

yang “complicated” akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi selama tahun 1948. Mandat Inggris menyerah terhadap kasus Palestina, Negara Israel berdiri dan menduduki sebagian besar wilayah Palestina, sementara Mesir dan Jordania mengambil alih wilayah Palestina yang tersisa, adapun mayoritas rakyat Palestina terpaksa berdiaspora dan menjadi pengungsi di negara lain282.

Pengambilalihan hak-hak bangsa Palestina oleh negara-negara Arab tetangga merupakan sesuatu yang tak terhindarkan karena baik rakyat maupun elit Palestina membiarkan pihak lain yang berambisi untuk ikut campur dalam urusan internal bangsanya. Bagaimanapun dalam Politik tidak ada bantuan yang gratis. Apalagi beberapa negara anggota Liga Arab, baru berdiri sebagai sebuah negara merdeka, tentu mereka mengincar hegemoni untuk menjadi kekuatan politik terkuat di Timur Tengah. Kelemahan rakyat dan elit Palestina untuk

281

Mahdi Abdul Hadi. Nakba : Procces of Palestinian Dispossession. (Jerussalem : Palestinian academic study of international affairs,2008), h. 21

282

Rashid Khalidi. Iron Cage : Palestinian Struggle for Statehood. (Oxford : One World Publication,2007), h.124

memperjuangkan eksistensi negaranya dengan kekuatan sendiri serta sikap enggan mereka untuk menolak semua solusi yang ditawarkan Mandat Inggris dan PBB, dimanfaatkan oleh negara tetangga, seperti Mesir dan Jordania demi memenuhi hasrat akan supremasi.

Menurut Ibnu Burdah, Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga :

“Setiap jengkal diwilayah Timur Tengah adalah panggung terbuka

bagi pertarungan antara para anggota Liga Arab yang ambisius. Setiap kekerasan yang terjadi, bukan tak mungkin merupakan perbuatan salah satu anggota Liga Arab dari balik layar283

.

Maka dapat kita simpulkan, bahwa apa yang terjadi di Palestina ketika itu sampai saat ini pun juga tak terlepas dari perbuatan negara Arab lainnya. Namun, sekali lagi, hal itu bisa terjadi karena kelengahan rakyat dan elit Palestina yang tak menjaga dirinya dengan baik dan membiarkan pihak lain yang berambisi untuk ikut bermain di halaman mereka.

BAB VI KESIMPULAN

Pemerintah Mandat Inggris menjanjikan kemerdekaan Palestina, namun rakyat dan elit Palestina kurang lihai memanfaatkan kesempatan tersebut dengan baik. Sebenarnya, Kerajaan Inggris tergolong peka dan cepat tanggap akan aspirasi warga di daerah jajahannya dibanding dengan kekuatan imperialis Eropa lainnya seperti Kerajaan Belanda atau Imperium Spanyol . Oleh karena itu, apabila Liga Bangsa Bangsa mempercayakan wilayah Palestina untuk diurus oleh Inggris, maka Inggris pasti akan berusaha mencarikan jalan tengah untuk menjembatani antara kepentingan politik mereka dan tuntutan-tuntutan masyarakat di wilayah tersebut.

Kesempatan untuk mencapai kemerdekaan juga pernah menghinggapi Indonesia. Walaupun Bangsa Indonesia mengklaim memperjuangkan kemerdekaan dengan usaha sendiri tanpa bantuan siapapun, tetapi nyatanya kita berkesempatan untuk merdeka berkat adanya Good will dari pihak Jepang. Bukti nyatanya adalah dengan berdirinya Dokuritsu Junbi Kosakai (BPUPKI) dan Dokuritsu Junbi Inkai (PPKI) serta perananan Laksamana Maeda pada saat penyusunan Text Proklamasi.

Bangsa Arab Palestina kurang memahami upaya-upaya Pemerintah Inggris tersebut, hal ini dapat dimengerti karena orang Arab Palestina ketika itu masih tradisional dalam cara berfikir dan bertindak. Sebagai contoh, bagi mereka, orang kulit putih Inggris dan orang Yahudi dari Eropa yang datang sebagai Imigran tidak ada bedanya baik dalam perilaku, budaya, maupun gaya hidup sehari-hari.

Pemerintah Mandat Inggris dicap ingkar janji dan inkonsisten oleh bangsa Palestina. Di satu sisi, harus melaksanakan tugas Liga Bangsa-bangsa untuk mempersiapkan rakyat Palestina agar siap menerima kemerdekaan. Di sisi lain, Pemerintah mandat Inggris berjanji untuk tetap mengakomodir kepentingan Imigran Yahudi yang ingin menetap di Palestina.

Penilaian bangsa Arab Palestina terhadap Mandat Inggris dari Liga Bangsa-Bangsa yang mengakibatkan gesekan-gesekan, dapat dibandingkan dengan pengalaman rakyat Indonesia yang menganggap pihak Sekutu bukan hanya datang untuk melucuti tentara Jepang di Indonesia namun juga untuk memfasilitasi penjajah Belanda membentuk pemerintahan sipil (NICA) di bekas wilayah Hindia Belanda. Dalam hal ini, sikap bangsa Palestina dapat dimengerti oleh bangsa Indonesia karena ada proses yang serupa yang dilalui dalam perjuangan mencapai kemerdekaan.

Selain masalah diatas, ketidakpercayaan terhadap komitmen pemerintah Mandat Inggris maupun terhadap perbuatan para imigran Yahudi menciptakan sejumlah gerakan dan pergolakan. Hal ini terlihat dalam kerusuhan tahun 1929, Pemberontakan tahun 1936-1939, serta kolaborasi beberapa oknum pemimpin Palestina dengan Nazi Jerman. Ketiga peristiwa ini berakhir anti-klimaks, karena bukan hanya gagal namun juga semakin memperkuat posisi kelompok Yahudi.

Hal itu terjadi karena sejak awal, perjuangan bangsa Palestina tidak terkoordinasi, tidak terencana dan tidak memiliki target yang jelas. Para elit perkotaan bergerak sendiri, baru kemudian diikuti oleh para petani dimana tujuan dan obyektivitas mereka berbeda satu sama lain. Di samping itu, di dalam proses perjuangannya sering terjadi pengkhianatan di dalam tubuh bangsa Arab Palestina

sendiri. Hal itu disebabkan karena kuatnya rasa kebersamaan tiap kabilah dan suku sehingga terjadi persaingan kepentingan dari tiap suku dan kabilah di Palestina saat itu.

Hal itu terlihat ketika Raghib al Nasashibi mengkhianati Amin al Hussayni, dan juga ketika tentara Israel mengusir penduduk Palestina dari tanah dan rumahnya, tidak ada perlawanan berarti dari penduduk Palestina. Hal ini disebabkan bukan karena rakyat Palestina tidak homogen, melainkan karena kurangnya rasa senasib sepenanggungan diantara mereka.

Kejadian ini pun pernah menimpa bangsa Indonesia, dimana para pejuang bangsa seperti Sultan Hassanudin, Imam Bonjol, Teuku Umar, Tjut Nyak Dien, dan Pangeran Diponegoro, berperang sendiri-sendiri. Malah apabila kita merujuk jauh kebelakang, pengkhianatan terdapat juga dalam sejarah kita baik dalam peperangan Untung Surapati maupun perjuangan Sultan Hasanuddin di Makasaar dan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten.

Berbeda dengan bangsa Arab Palestina, orang orang Yahudi di Palestina saat itu bersikap lebih sabar dan bersedia menunggu datangnya momentum yang tepat. Kesabaran ini akhirnya berhasil, dimana pada saat Pemerintah Mandat Inggris pasca Perang Dunia Kedua, mulai melemah akibat peperangan, serta rakyat palestina belum pulih akibat kekalahan dalam pemberontakan tahun 1939, memberikan kesempatan bagi bangsa Yahudi bergerak mengkonsolidasikan diri untuk membentuk sebuah negara merdeka.

Kelelahan pemerintah Mandat Inggris di Palestina karena sikap bangsa Arab Palestina yang selalu tidak kooperatif, ditambah adanya proses serah terima dari Mandat Inggris yang pernah diterima dari Liga Bangsa-Bangsa kepada PBB

yang beru terbentuk, memberikan kesempatan kepada bangsa Yahudi untuk memproklamirkan kemerdekaan Israel di tanah Palestina.

Kemudahan yang dicapai oleh bangsa Yahudi untuk mendirikan Negara Israel berbanding terbalik dengan yang diperjuangkan oleh rakyat Palestina. Melihat kenyataan sejarah yang ada, kemudahan Israel itu disebabkan karena mereka memanfaatkan kesempatan ketika Inggris dalam posisi yang lemah. Disamping itu, Pemerintah Amerika menawarkan perwalian untuk Palestina, dan adanya tatanan dunia baru dengan terbentuknya PBB sebagai kelanjutan Liga Bangsa-bangsa (LBB) serta kualitas sumber daya manusia bangsa Yahudi waktu itu setara dengan orang orang Eropa dan Amerika, baik dari segi pendidikan, pengalaman, taktik-strategi dan diplomasinya.

Hal ini berbeda jauh dengan bangsa Palestina saat itu, dimana masih sedikit orang orang Palestina yang terdidik baik dalam bidang militer serta pengobatan. Bangsa Yahudi lebih menguasai medan peperangan dan diplomasi serta memiliki citra yang lebih baik, karena bersikap loyal pada Pemerintah Mandat Inggris. Sementara bangsa Palestina tidak mempunyai citra yang baik karena selalu dianggap sebagai pemberontak dan selalu menolak semua solusi yang ditawarkan baik oleh Mandat Inggris maupun PBB, sehingga tidak banyak pihak yang bersimpati pada mereka.

Selain itu, di Palestina tak ada figur pemimpin yang bisa menciptakan konsep negara yang bisa diterima seluruh lapisan masyarakat. Amin al-Hussayni memimpin sebuah gerakan perjuangan dalam arti yang parokial, demi kepentingan dirinya dan elitnya. Karena ketiadaan konsep yang jelas, maka perjuangan Palestina menjadi tidak padu dan tidak efektif. Selain ketiadaan

konseptor, perjuangan Palestina juga tak memiliki tokoh yang dapat mewujudkan konsep kenegaraan dalam tatanan real, Sehingga ketika para pemimpin Palestina diburu dan terpaksa melarikan diri, gerakan perjuangan menjadi berantakan.

Berbeda dengan Indonesia, pada saat perjuangan kemerdekaannya, bangsa Indonesia memiliki kelompok masyarakat yang sadar akan pentingnya kemerdekaan, seperti Tentara Pelajar, Tentara Hizbul Wathan dari pesantren dan Sukarelawan Petani, serta Tentara terlatih eks-Peta. Di samping itu ,bangsa Indonesia telah memiliki kaum intelektual, baik yang merupakan lulusan luar negeri, seperti yang bersekolah di Belanda dan Jerman juga intelektual yang bersekolah di Jakarta, Bandung dan Surabaya. Implikasi dari ketersediaan sumber daya manusia yang cukup ini merupakan modal dalam perjuangan menuju kemerdekaan. Di saat para tentara dan rakyat bergerilya di hutan, para diplomat berjuang di meja perundingan, seperti dalam perjanjian Linggarjati, Renville dan Konferensi Meja Bundar.

Dalam lingkungan elit Indonesia saat itu, bukan hanya memiliki Bung Karno sebagai seorang konseptor juga memiliki para tokoh yang mampu mewujudkan konsep itu. Sebagai contoh, ketika Ibukota Indonesia di Yogyakarta diduduki Belanda, Sjafrudin Prawiranegara meneruskan perjuangan dengan membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi dan Dr.Sudarsono mendirikan cabang dari PDRI di India sehingga perjuangan berlangsung terus.

Kegagalan Perjuangan Palestina menyebabkan elit dan rakyatnya terpaksa mengharapkan bantuan dari Liga Arab, namun organisasi ini tidak banyak memberikan dukungan berarti bagi bangsa Palestina karena Negara-negara

anggota Liga Arab sendiri memiliki agenda yang berbeda-beda. Mereka juga tidak memiliki tentara yang terlatih dengan baik, sehingga dukungan yang mereka berikan kepada Palestina dalam peperangan berakhir dengan kegagalan.

Negara-negara Liga Arab dan tentaranya ternyata lebih mementingkan hasrat politik dan keinginan menguasai daerah Palestina untuk kepentingan negaranya masing masing sehingga wilayah bangsa Arab Palestina semakin berkurang, sisa wilayah Palestina yang tidak direbut oleh Israel, diambil oleh negara Arab yang membantunya.

Berbeda dengan perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan, kita harus bersyukur karena situasi dan kondisi negara negara tetangga sekitar Indonesia tidak memanfaatkan situasi tersebut. Bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaannya hanya menghadapi penjajah Belanda dan sekutunya serta tidak perlu menghadapi negara tetangga yang memiliki niat terselubung untuk menguasai wilayah Indonesia bagi mereka sendiri, di samping itu negara negara tetangga saat itu belum merdeka.

Karena itu, penulis menyimpulkan penyebab kenapa Palestina gagal memerdekakan diri sedangkan Israel berhasil. Antara lain, bangsa Palestina tidak memanfaatkan kesempatan atau momentum dengan baik, tidak adanya konseptor yang mampu menciptakan konsep negara yang mampu diterima seluruh lapisan masyarakat Palestina, kesalahan dalam pemilihan strategi perjuangan, serta kurang eratnya perasaan senasib sepenanggungan diantara rakyat Palestina.

DAFTAR PUSTAKA