• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V Akhir Kekuasaan Inggris dan Tatanan Dunia Baru

RESPON BANGSA PALESTINA ATAS MANDAT INGGRIS

B. Pemberontakan Arab Palestina 1936-1939

Pemberontakan Arab Palestina 1936-1939 adalah sekumpulan kerusuhan sporadis yang dilakukan para petani dan pejuang revolusioner di Palestina.

Pemberontakan ini awalnya menggunakan metode „Ketidaktaatan Sipil‟ (Civil Disobedience)133 namun berevolusi menjadi perlawanan bersenjata yang terdiri atas sekumpulan kecil pengerusakan tanpa mengincar satu target spesifik, melainkan banyak target; antara lain orang Yahudi dan Pemerintahan Mandat Inggris.

Penyebab tak langsung dari pemberontakan tersebut adalah „Insiden Semen‟ yang terjadi di pelabuhan Haifa, 16 October 1935. Insiden ini dilatarbelakangi ketika orang-orang Arab yang bekerja sebagai kuli panggul sedang mengangkut kiriman 537 drum semen putih dari kapal kargo Belgia Leopold II, yang dalam surat keterangan bea cukai merupakan pesanan untuk pengusaha Yahudi bernama J. Katan di Tel Aviv134. Sebuah drum tak sengaja jatuh dan rusak, ternyata isi drum tersebut adalah beberapa pucuk senapan lengkap dengan amunisinya135. Investigasi menyeluruh oleh Pemerintah Mandat Inggris mengungkapkan bahwa terdapat sejumlah besar senjata yang

132

Moshe Sakal. The real point of no return in the Jewish-Arab conflict, dari http://www.haaretz.com/weekend/week-s-end/.premium-1.566793. Diakses pada 10 Mei 2014

133

Ralph Schoenemann, Mimpi Buruk Kemanusiaan : Sisi Gelap Zionisme. (Surabaya : Pustaka Progresif,1998),h.52

134

Gudrun Krämer, A History of Palestine: From the Ottoman Conquest to the Founding of the State of Israel. (New Jersey :Princeton University Press,2008), h.263

135

Ted Swedenburg, Memories of revolt: the 1936-1939 rebellion and the Palestinian national past. (Fayetteville: University of Arkansas Press,2003),h.220

diselundupkan, yang terdiri atas 25 Senapan Mesin, 800 Rifle dan 400.000 butir amunisi yang dimuat dalam 359 drum semen. Tapi karena identitas sebenarnya dari pemesan senjata itu tak diketahui, maka Pemerintah Mandat Inggris memutuskan untuk tidak melakukan penangkapan136.

Sejak kekerasan berdarah yang dilakukan orang orang Arab terhadap orang orang Yahudi pada tahun 1929, Haganah berusaha menyelundupkan senjata ke Palestina demi melindungi keselamatan warga Yahudi. Penemuan kiriman senjata tersebut memperkuat bukti bahwa pasukan paramiliter Yahudi di Palestina mempersenjatai diri secara besar-besaran sebagai langkah preventif137. Haganah telah mengirimkan perwakilan ke Belgia, Prancis dan Italia untuk membeli senjata dan sering diselundupkan ke Palestina dalam peti dan bagasi. Banyak kekhawatiran bahwa kaum Zionis akan berusaha mendirikan Negara di Palestina dengan menggunakan kekuatan senjata138.

Kontroversi akibat masalah penyelundupan senjata tersebut dan sikap lunak Inggris terhadap Haganah, serta makin bertambahnya imigran Yahudi ke Palestina, menjadi faktor utama munculnya seorang ulama karismatik asal Syria bernama Izzudin al-Qassam yang menganjurkan sebuah solusi alternatif bagi rakyat Palestina agar melakukan konfrontasi terhadap kelompok Zionis dan Pemerintah Mandat Inggris139. Motivasi Izzudin al-Qassam menawarkan solusi alternatif yang radikal karena ia menilai Dewan Tinggi Muslim yang dipimpin

136

Ted Swedenburg, Memories of revolt: the 1936-1939 rebellion and the Palestinian national past. (Fayetteville: University of Arkansas Press,2003),h.78

137

The Black Paper on The Jewish Agency and The Zionist Terrorist. Arab Higher Committee Archive, 12 Maret 1948,h.3

138

Weldon C Matthews, Confronting an Empire, Constructing a Nation: Arab nationalists and popular politics in mandate Palestine. (London & New York : I B Tauris. 2006), h.237

139

Wawancara Pribadi dengan Duta Besar Palestina untuk Republik Indonesia, Fariz al Mehdawi, Jakarta 4 Juli 2014.

Amin al-Hussayni tak serius dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Ia menyalahkan Dewan Tinggi Muslim yang lebih senang memperbaiki masjid dibanding membeli senjata140. Namun situasi demikian, disebabkan juga karena adanya fragmentasi politik di kalangan elit Palestina.

Percaturan politik di kalangan elit Palestina didominasi oleh dua faksi yaitu Majlisiyun (Pendukung Amin al-Hussayni) dan Mu‟ardiun (Pihak Oposisi yang dipimpin oleh Raghib al-Nashashibi)141. Gesekan diantara kedua kubu semakin menajam terutama setelah Musa Kazim al-Hussayni dipecat dari jabatannya sebagai Walikota Jerussalem dan digantikan oleh Raghib al-Nashashibi. Rivalitas antara kedua kelompok dinilai menjadi biang kemunduran elit Palestina dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina142

Pada dekade 1930an, sejumlah partai politik baru bermunculan di Palestina. Partai-partai itu adalah Partai Kemerdekaan Arab (Hizb Istiqlal Arabi) yang didirikan oleh Izzat Darwaza, Partai Pertahanan Nasional (Hizb al-Difa al-Watani) yang dikuasai oleh Keluarga Nasashibi, Partai Arab Palestina (Hizb al-Arabi al Filastini) yang didominasi oleh Keluarga Hussayni, Partai Reformasi (Hizb al-Islah) yang dipimpin oleh Keluarga Khalidi, dan tentunya golongan radikal dibawah komando Izzudin al-Qassam yang menyerukan perlawanan bersenjata melawan Pemerintah Mandat Inggris dan Pihak Zionis143.

140

Uri M Kupferschmidt, The Supreme Muslim Council: Islam Under the British Mandate for Palestine. (Leiden : Ej brill,1987),h.251

141

Dr.Manuel Hassasian, Palestine Factionalism in the National Movement 1919-1939. (Jerussalem : Palestinian academic study of international affairs,1990) h.78-79

142Taysir Nashif. “Palestinian Arab & Jewish Leadership in Mandate Period”. Journal of Palestine Studies. Vol.6 no.4, h.113-121

143

Weldon C Matthews. Confrontong an Empire, Constructing a Nation : Arab Nationalist & Popular Politic in Mandate Palestine. (London & New York : I B Tauris. 2006), h.226-227

Untuk mencapai tujuannya, Izzudin al-Qassam mendirikan organisasi yang

dinamai “Brigade Tangan Hitam” (al-Kaff al-Aswad). Kelompok ini memiliki sekitar 200-800 anggota yang terdiri atas sejumlah sel dan bertugas melakukan aksi sabotase serta pengerusakan terhadap fasilitas Pemerintah Inggris & pemukiman Yahudi. Pada tahun 1935, Izzudin al Qassam menghimpun 800 anggota Brigade Tangan Hitam untuk menyerang pelabuhan Haifa yang notabene adalah pusat perekonomian Inggris karena adanya jaringan pipa minyak di wilayah itu144.

Pada tanggal 20 November 1935, setelah membunuh seorang opsir polisi, Izzudin al-Qassam dikepung oleh polisi Inggris di sebuah gua di dekat Kibbutz

Ahrasy Yu‟bad. Izzudin al-Qassam tewas dalam baku tembak bersama dengan tiga anak buahnya. Sedangkan beberapa anggota Tangan Hitam yang masih hidup ditangkap oleh Polisi Inggris145.

Kematian Izzudin al-Qassam yang dianggap tragis membuat seluruh lapisan rakyat Palestina berkabung, sehingga penguburan jenazahnya diselenggarakan layaknya upacara resmi kenegaraan. Izzudin al-Qassam dianggap sebagai martir oleh rakyat Palestina. Kematiannya menjadi pemicu bagi rakyat Arab Palestina untuk memberontak melawan Pemerintah Mandat Inggris146, sekaligus mentransformasi perlawanan rakyat Palestina menjadi pemberontakan bersenjata untuk beberapa dekade selanjutnya147.

144

Ted Swedenburg. “Al-Qassam Remembered”. Journal of Comparative Poetics. No.7 (spring 1987) h.7-24

145

Rashid Khalidi. Iron Cage : Palestinian Struggle for Statehood.( Oxford : One World Publication,2007), h.90

146

Ted Swedenburg. “Al-Qassam Remembered”. Journal of Comparative Poetics. No.7 (spring 1987) h.7-24

147

Fariz al Mehdawi. Derita Palestina Air Mata Kita. Jakarta : Cendikiawan Marhaen., t.t. h.6

Pada tanggal 15 April 1936, salah satu murid Izzudin al-Qassam yang bernama Farkhan al-Sa‟adi, bersama anak buahnya membajak sebuah bus di kota Nablus dan menembak mati dua orang warga sipil Yahudi yang berada di dalam bus tersebut. Sore harinya, Haganah membalas dendam dengan membunuh dua orang petani Arab. Insiden ini menimbulkan ketegangan diantara kedua kelompok dan memicu bentrokan fisik yang berkelanjutan148. Akibatnya, Pemerintah Mandat Inggris langsung mengumumkan jam malam bagi warga sipil di kota Jaffa dan Tel Aviv. Bahkan selanjutnya Pemerintah Mandat Inggris memberlakukan keadaan Darurat Militer di seluruh kawasan Palestina. Pada tanggal 20 April 1936, sejumlah elit Palestina mendirikan Komite Arab Tertinggi (Al Lajnah al Arabiyah al-Uliya) di kota Nablus, yang mendeklarasikan Perlawanan rakyat Arab Palestina terhadap Pemerintah Mandat Inggris149.

Komite Arab Tertinggi dipimpin oleh Amin al-Hussayni. Anggota partai politik lain juga menjadi anggota komite ini, seperti Raghib al-Nashashibi, Husayn al-Khalidi, Abdul Latif Saleh dan Awni Abdul Hadi. Komite ini menuntut agar imigrasi Yahudi dihentikan dan Pemerintah Mandat Inggris tak boleh lagi menjual tanah pada Imigran Yahudi serta dibentuknya pemeritahan sendiri bagi orang Arab Palestina yang akan bertanggung jawab pada Parlemen Inggris150.

Komisaris Besar Mandat Inggris, Sir Arthur Grenfell Wauchope, segera mengajak Amin al-Hussayni untuk berunding. Ia memohon agar Komite Arab Tertinggi tidak melakukan hal hal yang bersifat ilegal dan merugikan kepentingan

148

William Cleveland & Martin Burton . History of Modern Middle East. (Philadelphia : Westview Press, 2009),h.258

149Taysir Nashif. “Palestinian Arab & Jewish Leadership in Mandate Period”. Journal of Palestine Studies. Vol.6 no.4, h.113-121

150

Abdel Aziz Ayyad. Palestine Nationalism & Palestinian. (Jerussalem : Palestinian academic study of international affairs,1999), h.155

kedua belah pihak151. Namun Amin al-Hussayni tetap bersikeras menjalankan rencananya, jika Pemerintah Mandat Inggris tidak mau mengabulkan tuntutan Komite Arab Tertinggi, maka kekerasan adalah satu-satunya pilihan.

Pada tanggal 7 Mei 1936, Komite Arab Tertinggi menghimbau agar semua rakyat Arab Palestina yang bekerja di kantor-kantor pemerintah maupun perusahaan perusahaan di seluruh wilayah Palestina melakukan mogok kerja, serta tak perlu lagi membayar pajak kepada Pemerintah Mandat Inggris. Dengan ini,

dimulailah „Pemogokan Umum di Palestina‟ (Palestine General Strike) yang menjadi tahap awal dari Pemberontakan tahun 1936.152

Kepercayaan diri Amin al-Husayni beserta rekan-rekannya dalam memulai pemberontakan dikarenakan mereka menerima suntikan dana dari Pemerintahan Fasis Italia secara berkala, padahal saat itu Inggris sedang bersengketa dengan Italia atas wilayah Ethiopia. Pemberontakan di Palestina yang dimotori oleh Amin al-Hussayni dan rekan rekannya bukan hanya menusuk Inggris dari belakang di tengah kasus sengketanya dengan Italia, namun juga membuat pengaruh Fasis Italia di wilayah tersebut semakin besar153.

Selain Fasis Italia, pihak luar yang memiliki andil dalam pemberontakan ini adalah Ikhwanul Muslimin yang berpusat di Mesir. Pada 24 Mei 1936, Hassan al-Bana, Pemimpin Ikhwanul Muslimin menyatakan pada para anggotanya untuk

membantu „Saudara-Saudara Muslim Palestina‟, dibentuklah Komite Sentral

151Michael J. Cohen. “Sir Arthur Wauchope, the Army, and the Rebellion in Palestine

1936”. Middle Eastern Studies, Vol. 9, No. 1 (Jan., 1973), h. 19-34

152

Ralph Schoenemann, Mimpi Buruk Kemanusiaan : Sisi Gelap Zionisme. (Surabaya : Pustaka Progresif,1998), h.52-53

153Nir Arielli. “Italian Involvement in the Arab Revolt in Palestine : 1936-1939”. British Journal of Middle Eastern Studies. Vol.35 no.2 h.187-204

Bantuan untuk Palestina (Al-Lajna al-Markaziyya al-Amma li-Musa‟adat Filastin) yang diketuai oleh Hassan al-Bana sendiri154.

Pemberontakan tahun 1936 mentransformasi Ikhwanul Muslimin, yang awalnya hanya sekedar organisasi pemuda menjadi organisasi politik, dari sifatnya yang hanya Misi Deklaratif (Da‟wa Qawliyya) menjadi Perjuangan Aktif (Jihad Amali). Tujuan akhir gerakan politik Ikhwanul Muslimin adalah pembentukan negara-negara Islam yang merdeka dan berlandaskan Syariat Islam. Untuk mencapai tujuan tersebut, tidak ada cara lain bagi mereka kecuali mengambil sikap non-kooperatif dan melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintahan yang sah. Pemberontakan Arab tahun 1936 merupakan momen yang tepat bagi mereka untuk melancarkan aksi teror terhadap Pemerintah Mandat

Inggris dengan dalih “solidaritas sesama Muslim”155

.

Pada bulan Juli 1936, Fawzi al-Qawuqji, sukarelawan asal Syria yang pernah menjadi Penasehat Militer Ibnu Saud dan disebut-sebut telah

“mentransformasi angkatan perang Saudi Arabia menjadi sekuat Prussia”,

memasuki wilayah Palestina bersama 200 orang personil tentara bayaran yang ia sebut sebagai Jaysh. Para tentara bayaran itu digabungkan dengan kelompok pemberontak Palestina dan dibagi menjadi 4 divisi, masing masing dipimpin oleh seorang Komandan Pleton 156.

Pasukan pemberontak melakukan pengrusakan dan sabotase yang diarahkan pada instalasi-instalasi strategis milik pemerintah Inggris seperti ,jaringan komunikasi, kantor polisi, pos-pos militer, rel kereta dan jalur Trans

154

Artikel di Koran Filastin, 27 Mei 1936

155 Israel Gershoni. “The Muslim Brotherhood & the Arab Revolt in Palestine

1936-1939”. Middle Eastern Studies. Vol.22 no.3 (juli 1886) ,h.367-397

156 Laila Parsons. “Soldiering for Arab Nationalism : Fawzi al-Qawuqji in Palestine”. Journal of Palestine Studies. Vol.36 no.4 (summer 2007), h.33-48

Arabian Pipeline (TAP) yang dimiliki oleh British Petroleum, kemudian berlanjut pada pengrusakan properti di pemukiman Yahudi.

Pemerintah Mandat Inggris segera memberlakukan Hukum Darurat Militer. Orang orang yang dicurigai terlibat dalam pemogokan ditangkapi, Pemerintah juga mengenakan denda pada desa-desa yang warganya terlibat dalam pemogokan157.

Pemerintah Mandat Inggris terus mengerahkan tentaranya ke pelosok pedesaan dan meledakkan 240 bangunan yang membuat sekitar 6000 orang Palestina kehilangan tempat tinggalnya. Banyak keluarga yang terpaksa meninggalkan rumahnya tanpa berganti pakaian atau membawa harta benda yang mereka miliki158.

Pemerintah Mandat Inggris kemudian meminta bantuan para pemimpin dunia Arab untuk menyelesaikan masalah ini. Pada tanggal 10 November 1936, Raja Ghazi dari Irak, Raja Abdul Aziz dari Arab Saudi dan Emir Abdullah dari Transjordania mengeluarkan "Seruan Bersama" yang memberikan himbauan agar : "menghentikan pemogokan dan menyerahkan proses politik kepada "niat baik" Pemerintah Inggris, yang berjanji akan melaksanakan keadilan dan menghilangkan tindakan diskrimatif atas seluruh warga Palestina159

.

Karena adanya “Seruan Bersama” para pemimpin Arab itu akhirnya Amin

al Hussayni selaku pemimpin Komite Arab Tertinggi memutuskan untuk

157

Ralph Schoenemann, Mimpi Buruk Kemanusiaan : Sisi Gelap Zionisme. (Surabaya : Pustaka Progresif,1998), h.53

158

Artikel di Koran Filastin, 12 Juni 1936

159

Abdel Aziz Ayyad. Palestine Nationalism & Palestinian. (Jerussalem : Palestinian academic study of international affairs,1999), h.162

menghentikan pemberontakan dan menghimbau kepada seluruh anggota pemberontak untuk meletakkan senjata160.

Pada tahun akhir tahun 1936, dibentuk sebuah Komisi Kerajaan yang dipimpin oleh William Peel yang bergelar 1st Earl of Peel. Tugas utama dari Komisi Peel adalah menemukan penyebab pemberontakan tahun 1936. Dalam acara dengar pendapat yang diadakan di banyak tempat, termasuk di gedung House of Lords di London dan juga di Palestina. Pemerintah Inggris mendengarkan semua opini yang diajukan, baik dari pihak Arab Palestina maupun Yahudi161.

William Peel menemui Amin al-Hussayni untuk membahas mengenai solusi untuk menyelesaikan masalah antara Arab dan Yahudi. Amin al Hussayni kembali menegaskan pada William Peel bahwa etnis Yahudi yang sudah terlanjur datang, bisa diizinkan menetap di Palestina asal dibentuk Pemerintahan sendiri untuk masyarakat Arab Palestina, karena sejarah membuktikan bahwa Bangsa Arab selalu menjadi tuan rumah yang baik bagi Bangsa Yahudi, berbeda dengan Bangsa Eropa.162

Dalam laporannya kemudian, Komisi Peel menyimpulkan bahwa pemberontakan tahun 1936 disebabkan karena bangkitnya nasionalisme Palestina, ketakutan terhadap rencana pihak Yahudi mewujudkan “Jewish National Homeland”, meningkatnya imigran Yahudi dan ketidakpercayaan masyarakat

Arab Palestina terhadap niat baik Pemerintah Mandat Inggris. Komisi Peel kemudian merekomendasikan agar sebaiknya wilayah Mandat Inggris di Palestina

160

Artikel di Koran Filastin, 13 November 1936

161

Ralph Schoenemann, Mimpi Buruk Kemanusiaan : Sisi Gelap Zionisme. (Surabaya : Pustaka Progresif,1998), h.44-46

162

Correspondence between Amin al Hussani & the Peel Commission in Palestine, December 1936, Arab Higher Committee Archive.

dibagi menjadi dua, satu bagian untuk bangsa Yahudi dan satu bagian lainnya diberikan bagi bangsa Arab. Wilayah Yahudi, meliputi kawasan pantai, Lembah Jezreel, Beit She'an, dan Galilea, sementara Negara Arab akan meliputi Transjordania, Yudea, Samaria, Lembah Sungai Jordan dan Gurun Negev163.

Komite Arab Tertinggi yang dipimpin Amin al-Hussayni terang-terangan menolak rekomendasi Komisi Peel dan menganggap Komisi Peel melanggar janji. Mereka mengeluarkan memorandum yang menyatakan bahwa Palestina adalah bagian integral dari dunia Arab, karena itu usulan untuk memberikan sebagian wilayah Palestina kepada Imigran Yahudi bukanlah hal yang dapat diterima164. Perlu dicatat, penolakan tersebut juga disebabkan adanya kecurigaan bahwa rekomendasi Komisi Peel tersebut sudah direncanakan sejak awal, sebelum mereka datang ke Palestina untuk melakukan investigasi.165

Penolakan juga datang dari Emir Abdullah dari Transjordania, dalam suratnya untuk Komisi Peel, beliau menegaskan bahwa etnis Yahudi tidak memiliki hak Historis untuk menetap di Palestina karena sejak awal mereka adalah pendatang sebagaimana bangsa asing lain yang menginvasi Palestina. Sedangkan etnis Arab lebih berhak karena mereka merebut Palestina dari bansga Romawi166.

Pada bulan Juni 1937, kerusuhan terulang kembali. Sejumlah milisi Arab membunuh Inspektur Polisi Inggris bernama R.G.B. Spicer. Pada bulan

163

Text Peel Comission Repot, https://www.jewishvirtuallibrary.orgHistory/peel1.html, diakses pada 14 Mei 2014

164

Abdel Aziz Ayyad. Palestine Nationalism & Palestinian. (Jerussalem : Palestinian academic study of international affairs,1999), h.166

165

Jad Issac, A Palestinian Perspective on the Israeli-Palestinian conflict on settlements, territory and borders, dalam Elizabeth Matthews, The Israel Palestine Conflict : Pararel Discourse, (London : Taylor & Francis,2011), h.67

166

Surat Emir Abdullah untuk Komisi Peel, Maret 1937, sumber :

http://cojs.org/cojswiki/index.php/Memorandum_from_Amir_Abdullah_to_the_Royal_Commissio n_in_Palestine,_Mar._1937. Diakses pada tanggal 4 Juli 2014

September di tahun yang sama, Kepala Distrik Galilea, Lewis Andrews dan Pejabat Inggris bernama P.R. McEwen ditembak mati oleh sejumlah milisi Arab di luar gereja Anglikan di kota Nazareth. Pemerintah Mandat Inggris menyalahkan Komite Arab Tertinggi atas kerusuhan ini dan pembunuhan sejumlah Pejabat Pemerintah167.

Komisaris Besar Mandat Inggris, Sir Arthur Grenfell Wauchope mengambil tindakan tegas dengan mengklasifikasikan Komite Arab Tertinggi sebagai Organisasi Terlarang. Amin al Husayni selaku pemimpin organisasi, melarikan diri ke Lebanon, sedangkan para pemimpin militer lainnya banyak yang ikut melarikan diri, atau terbunuh. Dengan hilangnya para Pemimpin, Gerakan Nasionalisme Palestina pun menjadi lemah karena absennya figur pemimpin168.

Pada bulan November 1937, pusat aktivitas para pemberontak berpidah ke kota Damaskus, Syria dengan berdirinya Komite Sentral Jihad Nasional Palestina (Al-Lajnah al-Markaziyya lil-Jihad). Pendiri organisasi ini adalah Izzat Darwaza, yang juga pendiri Partai Kemerdekaan Arab (Hizb al-Istiqlal al-Arabi). Para pemimpin pemberontakan yang melarikan diri dari Palestina seperti Jamal al Husayni, Fawzi al-Qawuqji dan Farkhan al-Saadi juga ikut bergabung 169.

Dimulailah fase kedua dalam pemberontakan Arab Palestina. Jika pemberontakan pada fase pertama Komite Arab Tertinggi mengorganisir rakyat untuk melakukan pemogokan dan aksi sabotase dibantu oleh sukarelawan dari negara tetangga dan didanai oleh negara lain, fase kedua ditandai dengan

167 Ghassan Kanafani, The 1936-1939 Revolt in Palestine. (New York : Comitee for Democratic Palestine,1972),h.47

168Michael J. Cohen. “Sir Arthur Wauchope, the Army, and the Rebellion in Palestine 1936”. Middle Eastern Studies, Vol. 9, No. 1 (Jan., 1973), h. 19-34

169

Wendy Pearlman. Violence, Nonviolence, and the Palestinian National Movement. (Cambridge : Cambridge University Press,2011), h.49-52

pemberontakan yang dilakukan para petani (Fellahin) yang bergerak dalam unit-unit kecil sesuai dengan desa asal mereka masing masing dan dipimpin oleh170sejumlah komandan seperti Abdul Khalik, Abdul Rahim al Hajj Mohammed, Aref Abdul Razzik dan Yusuf Said Abu Durra, yang ditunjuk oleh Komite Sentral Jihad Nasional Palestina

Pada tanggal 2 Oktober 1938, 70 orang pemberontak Arab memasuki wilayah Kiryat Shmuel di kota Tiberias dan membantai 19 orang Yahudi, membakar rumah-rumah orang Yahudi beserta synagog di lingkungan tersebut. Di sebuah rumah, seorang ibu beserta kelima anaknya terbunuh, seorang Rabbi ditikam hingga tewas di dalam synagog. Pada saat terjadinya pembantaian, hanya terdapat 15 orang anggota Haganah yang bertugas sebagai penjaga untuk 2000 orang warga. Penyergapan oleh pemberontak pun terjadi dan menewaskan Mayor Isaac Zaki Alhadif dari Haganah171.

Ditengah situasi yang memanas, Sir Arthur Grenfell Wauchope mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Komisaris Besar, ia digantikan oleh Sir Harold McMichael. Sebelum ditugaskan ke Palestina, McMichael adalah mantan Gubernur Tanganyika dan satu-satunya Komisaris Besar yang mengerti bahasa Arab. Di awal masa jabatannya, Pemerintah Mandat Inggris harus mengakui bahwa pembagian wilayah untuk Arab dan Yahudi tidak mungkin

170

Abdel Aziz Ayyad. Palestine Nationalism & Palestinian. (Jerussalem : Palestinian academic study of international affairs,1999), h.171

171

Aharon Kleva Kleiberger, Aurochtonous Text in the Arabic Dialect of the Jews in Tiberias. (Wiesbaden : Otto Harasowitz Verlag,2009),h.119

direalisasikan. Selain itu, kerusuhan telah menyebar hampir ke seluruh kota besar di Palestina172.

McMichael memutuskan untuk melakukan perlawanan dengan mengirimkan 20.000 tentara ke garis depan yang terdiri atas Royal Air Force dan Royal Navy serta dibantu oleh Haganah dan Irgun. Royal Air Force melakukan pemboman dari udara terhadap desa desa yang dicurigai sebagai basis pemberontak, Royal Navy menggunakan ranjau laut dari kapal perang HMS Malaya untuk menghancurkan rumah rumah petani yang memberontak, Irgun melakukan pemboman terhadap sentra-sentra ekonomi masyarakat Arab dan Haganah melakukan patroli yang intensif untuk mempersempit ruang lingkup kelompok pemberontak173.

Saingan lama dari Amin al-Hussayni yaitu Raghib al-Nashashibi juga berperan penting dalam menumpas pemberontakan masyarakat Arab Palestina. Ia mengkhianati Komite Arab Tertinggi dan mendapat subsidi sebesar 5.000 Poundsterling dari Pemerintah Mandat Inggris untuk membentuk pasukan anti-pemberontak. Raghib menugaskan anggota keluarganya sendiri, Fakhri al-Nashashibi untuk mengumpulkan pasukan yang kemudian diberi nama Peace Band (Fasail al-Salam). Divisi ini berhasil mengusir pemberontak dari kota tua Jerussalem, dan membunuh 19 orang pemberontak. Pasukan ini kemudian

172

Matthews C Weldon . Confronting an Empire, Constructing a Nation: Arab nationalists and popular politics in mandate Palestine. (London & New York : I B Tauris. 2006), h.257

173

Matthew Hughes. “From Law & Order to Pasification : Britains Supression of Arab

dibubarkan oleh Pemerintah pada tahun 1939, namun para anggotanya tetap setia pada Inggris untuk memerangi kelompok radikal di Palestina174

Pada Tahun 1939, pemberontakan akhirnya berhasil dipadamkan oleh Pemerintah Mandat Inggris. Namun Pemerintah Mandat Inggris malah mengeluarkan White Paper 1939, yang dianggap sangat memihak kepentingan

Palestina. Adapun pasal dari White Paper ini diantaranya adalah „imigrasi Yahudi

ke Palestina akan dikurangi dan kemudian ditiadakan sama sekali‟ dan „akan dibentuk Pemerintahan bersama bagi bangsa Arab dan Yahudi‟175

. Pemerintah Mandat Inggris mengambil kebijakan tersebut dengan dua alasan, yang pertama karena tak ingin orang Arab Palestina menyerang Inggris dari belakang saat sedang berperang melawan Nazi Jerman di Mesir dan Front lain176. Alasan yang