• Tidak ada hasil yang ditemukan

Larangan Persekongkolan Tender menurut Hukum Persaingan

Dalam dokumen Untaian Pemikiran Sewindu Hukum Persaing (Halaman 159-162)

KAJIAN KONSEPSI TENTANG PERSEKONGKOLAN TENDER DAN METODE PENELITIAN

B. Larangan Persekongkolan Tender menurut Hukum Persaingan

Mekanisme yang diberikan oleh UU Nomor 5 Tahun 1999 terhadap Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 2003 merupakan ketentuan normatif yang melarang pelaku usaha bersekongkol dengan pihak lain guna mengatur dan atau menentukan pemenang tender yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.26 Larangan tersebut mencakup proses pelaksanaan tender secara keseluruhan yang diawali dari prosedur perencanaan, pembukaan penawaran, sampai dengan penetapan pemenang tender. Mekanisme tersebut merupakan ”payung hukum” UU Nomor 5 Tahun 1999 terhadap Keppres Nomor 80 Tahun 2003, meskipun Keppres tersebut tidak menempatkan UU Nomor 5 Tahun 1999 sebagai salah satu landasan hukumnya.27

24. Proceedings, Rangkaian Lokakarya Terbuka Hukum Kepailitan dan Wawancara Hukum Bisnis lainnya, UU No. 5 Tahun 1999 dan KPPU, cetakan I, 2003, h. 138.

25. Pasal 14 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003, LN Nomor 120 Tahun 2003. 26. Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999.

27. Dalam salah satu konsiderannya, Keppres 80 Tahun 2003 merujuk pada UU Nomor 5 Tahun 1999.

B. Larangan Persekongkolan Tender menurut Hukum

Persaingan

Definisi persekongkolan (conspiracy) dalam Black’s Law Dictionary adalah sebagai berikut:

Sanksi Dalam Perkara Persekongkolan Tender

Berdasarkan UU nO.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

”a combination or confederacy between two or persons for the purpose of committing, by their joint efforts, some unlawful or criminal act, or some act, which is innocent in itself, but becomes unlawful when done concerted action of the conspirators, or for the purpose of using criminal or unlawful means to the commission of an act not in itself unlawful”.28 Definisi tersebut menegaskan bahwa persekongkolan harus dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang bertujuan untuk melakukan suatu tindakan atau kegiatan kriminal atau melawan hukum secara bersama-sama. Termasuk dalam hal ini adalah persekongkolan dalam penawaran tender, baik untuk pengadaan barang dan atau jasa di sektor publik maupun di perusahaan swasta, karena dianggap dapat menghambat upaya pembangunan suatu negara. Selain itu, persekongkolan atau konspirasi dalam penawaran tender dianggap bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat karena tidak memberi kesempatan yang sama kepada seluruh pelaku usaha untuk mendapat obyek barang dan jasa yang ditawarkan oleh pengguna barang dan jasa. Konsekuensi persekongkolan dalam tender adalah menghambat pelaku usaha yang beriktikad baik untuk masuk ke pasar bersangkutan dan menyebabkan harga tidak kompetitif.

Pasal 1 angka 8 UU Nomor 5 Tahun 1999 menetapkan, bahwa persekongkolan atau konspirasi usaha sebagai ”bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol”. Sedangkan Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 menetapkan, bahwa ”pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat”.

Dalam kedua rumusan tersebut terdapat kesamaan, bahwa

persekongkolan harus melibatkan dua pihak atau lebih untuk melakukan kerjasama dan memenuhi dua kondisi, yaitu pihak-pihak yang berpartisipasi dan kesepakatan untuk bersekongkol. Adapun perbedaan atau ketidak- selarasan kedua pasal tersebut di atas adalah, bahwa Pasal 1 angka 8 memberi tujuan persekongkolan limitatif berupa penguasaan pasar bagi kepentingan pihak-pihak yang bersekongkol. Sedangkan Pasal 22 tidak mensyaratkan unsur penguasaan pasar, karena tender kolusif tidak terkait dengan struktur pasar. Perbedaan lainnya adalah bahwa dalam Pasal 1 angka 8 tidak menyebutkan adanya ”pihak lain”, sedangkan Pasal 22 menyatakan kemungkinan keterlibatan ”pihak lain” dalam persekongkolan. Adapun siapakah yang dimaksud dengan pihak lain menurut ketentuan tersebut, perlu dilakukan kajian lebih lanjut.

Larangan persekongkolan tender dalam Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 menunjukkan, bahwa ketentuan ini mengenal unsur perilaku pelaku usaha yang saling menyesuaikan (concerted action) dalam kegiatan tender. Di samping itu, penerapan Hukum Persaingan Usaha harus ditujukan kepada the actual and or potential business conduct of firms in a given market and not on the absolute or relative size of the firms. Artinya, pengawasan yang dilakukan

Dr. Anna Maria Tri Anggraini, S.H., L.LM. oleh otoritas persaingan usaha harus lebih difokuskan untuk menilai segi-segi

behavior practice, seperti halnya dengan tender kolusif, dan bukan diarahkan pada segi struktur pasar seperti dalam kegiatan merger.29

Praktik persekongkolan telah meluas di kalangan dunia usaha, terutama pelaku usaha yang melakukan transaksi bisnis dengan pemerintah melalui persekongkolan dalam kegiatan tender. Praktik tersebut merupakan bagian dari praktik perburuan rente ekonomi dalam sistem ekonomi politik yang buruk, yang mengakibatkan inefisiensi dan ekonomi biaya tinggi. Melemahnya ekonomi Indonesia karena hutang dan anggaran belanja negara yang tidak efisien disebabkan oleh persekongkolan tender dalam pengadaan barang dan jasa, khususnya barang dan jasa pemerintah. Praktik persekongkolan dalam kegiatan tender terkait pula dengan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) yang meluas di Indonesia, baik di masa lalu maupun sekarang.

Mengingat dampak yang signifikan atas praktik persekongkolan tender, UU Nomor 5 Tahun 1999 secara tegas menetapkan dua jenis sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan tersebut, khususnya terhadap ketentuan Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24, yaitu sanksi administratif dan sanksi pidana, berupa pidana pokok dan pidana tambahan.

Ketentuan Pasal 47 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan, bahwa KPPU berwenang untuk menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU Nomor 5 Tahun 1999. Sedangkan ketentuan ayat (2) menetapkan bentuk-bentuk tindakan administratif, termasuk pelanggaran terhadap pasal-pasal tersebut di atas.

Adapun sanksi pidana yang dikenakan adalah denda antara lima milyar sampai dengan duapuluh lima milyar rupiah, atau kurungan pengganti denda selama lima bulan. Selanjutnya, sanksi terhadap pelanggaran ketentuan Pasal 41 UU Nomor 5 Tahun 1999 adalah apabila pelaku usaha menolak bekerjasama dalam penyelidikan atau pemeriksaan dengan ancaman pidana denda sebesar satu milyar sampai dengan lima milyar rupiah.30 Ketentuan Pasal 49 undang-undang tersebut menyatakan, bahwa pidana pokok tersebut dapat disertai dengan pidana tambahan berupa pencabutan ijin usaha atau larangan menduduki jabatan Direksi atau Komisaris sekurang-kurangnya dua tahun, dan selama lima tahun bagi pelaku usaha yang terbukti melakukan pelanggaran undang-undang, penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang merugikan orang lain.31

Dalam menegakkan sanksi-sanksi tersebut dibutuhkan koordinasi efektif dengan pihak-pihak terkait, seperti Polri, Kejaksanaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini mengingat bahwa praktik persekongkolan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah kadangkala mengandung unsur korupsi. Selain itu, KPPU sebagai lembaga pengawas persaingan, tidak memiliki otoritas untuk menghukum (pejabat) pemerintah atau panitia lelang yang terkait dengan penawaran tender.

29. Firos Gaffar, “Lima Tahun KPPU: Isu Hukum Persaingan Usaha dan Penegakannya”, Jurnal Hukum Bisnis, vol. 24, No. 3, 2005, h . 28.

30. Pasal 48 ayat (2 dan 3) UU Nomor 5 Taun 1999

Sanksi Dalam Perkara Persekongkolan Tender

Berdasarkan UU nO.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Dalam dokumen Untaian Pemikiran Sewindu Hukum Persaing (Halaman 159-162)