• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pasokan Kelembagaan

Dalam dokumen Untaian Pemikiran Sewindu Hukum Persaing (Halaman 103-107)

Didik Akhmadi, Ak., M.Com.

B. Pasokan Kelembagaan

Fukuyama menyebutkan bahwa sebuah kelembagaan membutuhkan adanya pasokan-pasokan; yaitu: 1) Bentuk dan Manajemen, 2) Bentuk Tata Kelembagaan Pemerintahan, 3) Basis Legitimasi, dan 4) Dukungan Budaya dan Struktural. 1. Bentuk dan manajemen

Ketika publik telah meminta dibentuknya lembaga pengawas persaingan, bentuk dan manajemen lembaga pengawas persaingan tersebut harus diadakan. Bila bentuk dan pola manajemen belum tersedia di dalam negeri, maka bentuk dan pola manajemen bisa diambil contohnya dari yang ada di negara-negara yang lain. Dan pada level ini, bentuk dan pola manajemen ini bisa dapat ditransfer dari luar negeri. Dalam konteks kepentingan ini, sudah sewajarnya, pada awal pendirian KPPU, beberapa staf KPPU melakukan kunjungan ke berbagai negara, seperti ke Jerman atau ke Jepang, untuk mencontoh bentuk dan pola manajemen yang mana yang lebih sesuai dengan kondisi perkembangan di Indonesia. Misalnya, apakah struktur kelembagaan KPPU disusun berdasar fungsi atau berdasar sektor industri yang harus ditangani? Apakah KPPU lebih ‘heavy’ pada proses penegakan hukum persaingan atau perumusan kebijakan persaingan?

Pada proses kelanjutannya, pasokan dalam bentuk dan pola manajemen relatif mudah didapatkan karena bentuk dan pola manajemen bisa dikembangkan berdasarkan kemampuan internal KPPU sendiri untuk mengembangkannya. Adapun, bila dibutuhkan, KPPU bisa melakukan

‘shopping’ melalui belajar dari pihak-pihak lain dalam bentuk seminar, training, atau workshop, atau pun lewat peer review sesama lembaga kompetisi. Untuk mendapatkan pasokan dalam bentuk dan manajemen kelembagaan, KPPU membutuhkan penguasaan yang baik terhadap disiplin ilmu manajemen, administrasi publik dan ilmu ekonomi, sehingga kelembagaan KPPU bisa berkembang, bergerak secara efektif dan efisien. 2. Bentuk dan Tata Pemerintahan

Sesuai UU No.5 tahun 1999, KPPU merupakan lembaga negara yang independen. KPPU memiliki pertanggungjawaban yang berbeda dibandingkan dengan sebuah departemen. Lembaga ini bertanggung- jawab langsung kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. ‘Bentuk dan Tata Pemerintahan’ ini relatif sulit ditransfer karena setiap negara memiliki pola dan tata pemerintahan yang berbeda. Di negara-negara yang

Environmental Scanning Kelembagaan KPPU

lain, lembaga pengawas persaingan mungkin berada dalam koordinasi seorang menteri kordinator, bisa jadi ada dalam lingkup perdana menteri. Dalam konteks ini, apapun bentuk dan tata pemerintahannya,

yang terpenting bagi lembaga kompetisi adalah bagaimana agenda- agenda lembaga kompetisi memiliki keterkaitan dengan agenda-agenda pemerintahan. Atau sebaliknya, apakah agenda-agenda pemerintahan memasukan agenda-agenda pengembangan persaingan usaha yang sehat dan larangan praktek monopoli dalam program pemerintahannya. Ke depan, KPPU dituntut untuk memperluas daya cakup pengawasannya kepada permasalahan penyalahgunaan posisi dominan atau pun kasus- kasus antitrust lainnya, dan KPPU tidak semata-mata atau sebagian porsi besarnya hanya menangani permasalahan persengkongkolan tender. Untuk ini, agenda pengawasan terhadap permasalan antitrust ini harus menjadi agenda umum (common agenda) bagi pemerintahan. Suatu hal yang tidak mungkin bila KPPU bergerak sendiri untuk menangani kasus-kasus antitrust, karena untuk menangani hal ini sangat dibutuhkan ’political-will’

yang kuat dari berbagai pihak, khususnya di lingkungan pemerintahan. Pasokan dalam bentuk ini dirasakan bagi KPPU merupakan pasokan yang sulit didapatkan. Selama 8 tahun perjalanan KPPU, masalah kelembagaan KPPU merupakan masalah yang belum terpecahkan. Status kelembagaan sekretariat mungkin sebentar lagi akan selesai, tetapi masalah agenda kelembagaan nampaknya belum mendapatkan dukungan. Sampai saat ini, masih dijumpai kesalahpahaman dari kalangan birokrasi pemerintahan sendiri, yang memandang KPPU tidak lebih hanya sebuah gerakan LSM.

Untuk memenuhi kebutuhan ini, jajaran pimpinan KPPU harus meyakinkan kepada berbagai pihak dalam lingkup pemerintahan, bahkan kepada

Pimpinan Pemerintahan bahwa KPPU dapat melakukan kontribusi bagi terciptanya efisiensi ekonomi nasional dan meningkatnya kesejahteraan rakyat. KPPU dapat melakukan pengawasan terhadap kemungkinan terjadinya kegagalan pasar. Bila pimpinan KPPU berhasil meyakinkan hal ini kepada pimpinan pemerintahan maka jalan roda organisasi KPPU akan berjalan lancar karena mendapat dukungan politis yang memadai dari pemerintahan.

Secara umum, bila KPPU menghendaki agar memperoleh pasokan dalam bentuk dan tata pemerintahan, KPPU perlu menguasai disiplin ilmu politik, ekonomi dan hukum.

3. Basis Legitimasi

Basis legitimasi dalam kontek pemerintahan bisa berawal dari authotarianisme atau pun sebaliknya demokrasi. Namun dalam konteks kelembagaan KPPU, basis legitimasi bagi keberadaan KPPU adalah jiwa reformis yang berkembang dalam alam politik demokrasi. Dalam alam otoriter, sulit nampaknya lembaga semacam KPPU bisa berkembang. Keberadaan KPPU sangat tergantung pada suara publik baik itu yang disuarakan lewat lewat lembaga representasi rakyat - DPR atau pun lewat lembaga penyuara suara demokrasi yang lain, seperti mass media maupun berbagai lembaga swadaya masyarakat. KPPU tidak mesti alergi terhadap partai politik karena partai politik merupakan representasi rakyat. Dalam

Didik Akhmadi, Ak., M.Com kontek ini, yang penting adalah penyuaraan atas penyamaan platform.

Bahwa kebersamaan KPPU bersama parpol-parpol, mass media dan

berbagai LSM adalah politik perundang-undangan, kesamaan KPPU dengan yang lainnya adalah kesamaan visi dan missi untuk menjalankan UU No.5 tahun 1999, khususnya terkait dengan penegakan kebijakan persaingan sesuai pasal 3 UU No.5 tahun 1999; yaitu:

a) menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat; b) mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan

usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;

c) mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan

d) terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

‘Menjaga kepentingan umum’ memiliki makna yang relatif luas, termasuk didalamnya bermakna ‘Menjaga kepentingan nasional’. Dalam konteks ini, ketika KPPU ingin mendapatkan basis legitimasi dari publik maka gerak dan langkahnya harus terbingkai dalam konteks kepentingan nasional. KPPU harus menjaga diri agar publik tidak memiliki kesan bahwa KPPU merupakan kepanjangan tangan dari pihak-pihak asing. Untuk itu, politik ekonomi yang dikembangkan KPPU harus berjalan seiring dengan politik ekonomi negara. Perlu diakui bahwa KPPU sering terlibat aktifitas bersama dengan lembaga- lembaga kompetisi dari negara-negara lain. Hal tersebut tidak bermasalah sejauh aktifitas dan kerjasama tersebut dibangun dalam konteks tukar informasi dan tukar pengalaman. Namun, ketika akan beranjak lebih jauh, misalnya dalam tahapan ‘cooperation dan enforcement’, KPPU perlu melihat sejauh mana kebijakan politik ekonomi negara telah mendukung dan masuk pada tahapan tersebut. Sebagai contoh, putaran Doha sebagai forum pertemuan antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang telah berusaha memasukan agenda kompetisi sebagai sesuatu ikatan yang binding dalam kaitan kerjasama ekonomi internasional. Dan agenda ini telah ditolak oleh negara-negara berkembang, termasuk oleh Indonesia, karena jika agenda kompetisi dimasukan dalam klausul kerjasama, klausul itu merugikan negara-negara berkembang (Binis Indonesia – Ekonomi Global, Selasa, 20 Februari 2007). Dengan mengacu pada hal tersebut, KPPU perlu membatasi ruang gerak kerjasamanya dengan lembaga kompetisi terkait pada ruang lingkup tukar menukar informasi dan tidak melanjutkan pada tahapan ’cooperation dan enforcement’.

‘Menjaga kepentingan nasional’ selain diaplikasikan dalam kerangka kerjasama antar lembaga kompetisi, hal ini bisa juga diterjemahkan dalam konteks putusan-putusan KPPU. Apa yang dilakukan oleh lembaga kompetisi AS, yang memperkenankan aktifitas merger yang dilakukan oleh dua perusahaan penerbangan besar di AS padahal dua perusahaan itu setelah merger memiliki pangsa pasar yang sangat besar bisa ditiru. Karena kegiatan merger tersebut dilakukan untuk menghadapi tantangan kompetisi perusahaan penerbangan dari belahan benua yang lain. Untuk menghadapi permasalahan ini, KPPU dalam putusannya dapat mengacu pada pasal-pasal pengecualian, misalnya pasal 50 (a); (g); (h) dan (i) UU No.5 tahun 1999.

Environmental Scanning Kelembagaan KPPU

Dalam rangka mendapatkan basis legitimasi, KPPU perlu menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk dengan LSM-LSM yang bergerak dalam bidang yang sama, seperti YLKI dan lain sebagainya. Kasus kerjasama antara,KPK dengan ICW; atau lembaga hukum dengan YLBHI perlu diambil pelajaran, karena kerjasama tersebut sangat menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Basis legitimasi dari berbagai pihak ini sangat penting karena melalui jalur-jalur ini sosilisasi pemikiran KPPU bisa mudah dikembangkan ke masyarakat. Dan demikian juga, basis legitimasi ini sangat penting untuk dibangun karena KPPU akan membutuhkannya dalam kontek pemenuhan anggaran, atau pun dalam konteks penyuaraan kepentingan-kepentingan yang lainnya.Untuk mengelola basis legitimasi ini, maka KPPU perlu menguasai disiplin ilmu politik.

4. Pasokan Dalam Budaya

Eksistensi KPPU sangat dipengaruhi oleh kondisi budaya masyarakat. Jika masyarakat sangat menghargai budaya persaingan yang sehat maka eksistensi KPPU akan lebih kuat. Namun sebaliknya, jika budaya masyarakat lebih cenderung pada pendekatan ’kekeluargaan’, bahkan bila ’kekeluargaan’ itu lebih bernuansa negatif maka KPPU bisa jadi akan berkurang atau dikurangi peranannya. Pasokan dalam budaya bisa berasal dari lingkungan pasar atau kelompok-kelompok pelaku usaha, lingkungan pemerintahan maupun masyarakat secara umum. Pasokan dalam budaya ini merupakan modal sosial bagi operasionalisasi KPPU. Bila modal sosial ini kecil, maka mempersulit ruang gerak KPPU; sebaliknya, bila modal sosial ini besar maka KPPU bisa bergerak lebih mudah.

Sampai saat ini dirasakan bahwa dukungan budaya ini masih sangat kecil. Alih-alih para pelaku usaha mengembangkan budaya persaingan yang sehat, mereka mengerti dan mengenal KPPU pun tidak. Survei yang dilakukan oleh KPPU sendiri pun menunjukkan bahwa KPPU baru dikenal oleh sangat sedikit pengusaha. Jika dilihat di lingkungan pendidikan (sebagai agen pengembangan budaya), maka baru sedikit perguruan tinggi yang memiliki dan menyusun kurikulum hukum persaingan usaha. Akibatnya, telah dirasakan bahwa KPPU sangat kesulitan untuk memperoleh sumber daya manusia yang memiliki kepahaman tentang hukum persaingan usaha. Lebih lanjut lagi, bila pemahaman hukum persaingan usaha tersebut disertai dengan pemahaman atas disiplin ekonomi ’industrial organizations’, maka KPPU akan kesulitan untuk mendapatkan SDM yang memiliki kualitas tersebut. Di sektor lingkungan pemerintahan pun sama. Sangat sedikit mereka yang memahami hukum persaingan dan kebijakan persaingan; mereka cenderung lebih memahami disiplin ekonomi pembangunan.

Untuk mendapatkan pasokan dalam budaya ini, KPPU perlu melakukan inisiatif dalam rangka advokasi dan sosialisasi hukum persaingan kepada publik. KPPU perlu menyusun strategi komunikasi dan perlu menguasai disiplin sosiologi maupun antropologi.

Didik Akhmadi, Ak., M.Com

Dalam dokumen Untaian Pemikiran Sewindu Hukum Persaing (Halaman 103-107)