• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Pengaturan Merger: Dahulu dan Kin

Dalam dokumen Untaian Pemikiran Sewindu Hukum Persaing (Halaman 181-185)

BAB II TINJAUAN LITERATUR DAN METODE PENELITIAN

B. Sejarah Pengaturan Merger: Dahulu dan Kin

1. Perkembangan Pengaturan Merger di Amerika

Pengaturan merger dan akuisisi di Amerika Serikat, yang sering menjadi kiblat hukum persaingan dunia, sudah ada sejak gelombang merger yang pertama muncul ke permukaan. Peraturan yang dikedalikan dengan the Clayton Act 1914 ini pada perkembangannya telah mengalami beberapa kali perubahan yang cukup progresif, mengikuti perkembangan dunia bisnis dari waktu ke waktu. Sekalipun the Sherman Act 1980 telah ada sebelumnya, the Clayton Act memiliki peran dalam mengatur merger dan akuisisi secara lebih terfokus dan terperinci, guna mengendalikan banyaknya aktivitas merger dan akusisi yang bersifat monopolistik, dengan ditandai banyaknya aktivitas merger horizontal pada saat itu.

Gelombang merger pertama sebagai akibat longgarnya ketentuan mengenai hukum perusahaan yang berlaku saat itu, serta kurangnya sumber daya manusia yang melaksanakan the Sherman Act yang diundangkan di tahun 1890. Sebagai akibat dari gelombang merger kedua, pada tahun 1910, Congress Amerika Serikat mulai merasakan perlunya perlindungan dari para pengusahan yang melakukan merger, dan untuk itu maka selanjutnya diundangkanlah the Clayton Act pada tahun 1914. The Clayton Act ini diharapkan dapat menampung kebutuhan akan larangan merger yang bersifat anti persaingan, sebagaimana tidak diakomodir dalam gelombang merger kedua ini tidak ditandai dengan tingginya merger horizontal, melainkan merger vertikal dan konglomerat.8

Pada gelombang merger ketiga, dimana banyak merger yang bersifat konglomerasi, menyebabkan tidak banyaknya konsentrasi pasar. Hal lain yang menyebabkan berkurangnya konsentrasi pasar adalah dengan diundangkannya the Celler-Kefauver Act di tahun 1950 yang memperkuat berlakunya the Clayton Act. 2. Perkembangan Pengaturan Merger di Eropa5-6

Arah kebijakan terhadap penegasan struktur persaingan ditekankan pada kebutuhan mendesak terhadap pengawasan proses konsentrasi, karena pengawasan secara nyata tidak terdapat pada Perjanjian Roma tahun 1957. Pendiri MEE cenderung menyetujui konsentrasi yang lebih besar dengan dasar pertimbangan Konteks Pasar Bersama. Dengan konsekuensi economies of scale (efisiensi), perusahaan Eropa akan menjadi lebih bersaing di dunia. Komisi Eropa, pada awal tahun 1965, mengusulkan pengenalan pengawasan terhadap merger dan konsep peraturan pertamanya baru mendapat

persetujuan pada tahun 1973.

Peraturan Merger dan Akuisisi ini mempunyai prinsip yang sangat terkenal saat itu adalah melarang akuisisi lebih lanjut oleh perusahaan yang telah berada pada posisi dominan (lihat pasal 86 hukum M&A MEE). Sebaliknya, merger antara sejumlah kecil perusahaan yang berukuran sama tidak bertentangan dengan hukum, walaupun menciptakan monopoli mutlak. Pasal terkenal lainnya dari hukum MEE dalam M&A adalah pasal 85, pasal ini transaksi pangsa antar perusahaan atau merupakan perjanjian pembatasan pangsa.

Pengendalian Praktek Merger dan Akuisisi dalam Kegiatan Usaha di Indonesia: Menuju Kegiatan Usaha yang Bersih dari Perilaku Anti Persaingan dan Praktek Monopoli

Dalam perjalannya terjadi campur tangan komisi dalam merger yang kolusif dan akuisisi yang dapat mempengaruhi perdagangan antar negara. Keputusan sering dipengaruhi naluri komisi dan perusahaan, serta campur tangan pejabat negara-negara yang berkepentingan di Eropa. Walaupun demikian dukungan terhadap pentingnya pengawasan langsung M&A tahun 1980 semakin meningkat, dengan beberapa alasan:

1. Komisi mempunyai kekuatan dan kepastian hukum menurut pasal 85 dan 86. 2. Komisi dimungkinkan melakukan langkah – langkah taktis dalam kaitan

tumpang tindih dengan kebijakan nasional, efisiensi , biaya pengadilan dan agar merger tidak dirugikan oleh persaingan.

3. komisi mempunyai kekuatan untuk memastikan kecepatan dan efisiensi yang maksimum dalam proses merger.

4. merger terjadi antar perusahaan di negara – negara Eropa yang berbeda atau antar perusahaan masyarakat Eropa dan diluar masyarakat Eropa . 5. Dengan pelaksanaan pasar tunggal tahun 1992 (proses dimulai 1985),

ada kesepakatan masyarakat Eropa terhadap perlunya mencegah perilaku anti persaingan dalam pasar, karena konsentrasi yang sering melewati pembatasan antar-EC (Masyarakat Eropa)

Pentingnya Penetapan Ambang Batas Merger Agar kelompok kerja M&A dapat bekerja perlu adanya ambang batas notifikasi merger oleh komisi yang disetujui Dewan Menteri Terkait. Tahun 1993 ambang batas merger adalah

dengan lingkup pasar dunia adalah € 5000 juta, dalam lingkup Eropa adalah € 250 juta. Dan merger tidak akan diterima jika revenue perusahaan telah

mencapai 2/3 dari total pasar Eropa.

3. Perkembangan Pengaturan Merger di Indonesia

Berbeda dengan perkembangan pengaturan di Amerika Serikat, peraturan perundang-undangan Indonesia yang mengatur merger dan akuisisi pertama kali dituangkan dalam bentuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUHPerdata) sebagai peraturan yang berlaku pada masa penjajahan Belanda. Praktek merger sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1995 pada dasarnya didasarkan pada:9

1. Dasar Hukum Kontraktual

Ada dua macam ketentuan dalam KUHPerdata khususnya Buku ke-III yang berlaku terhadap perbuatan hukum merger, yakni:

a. Ketentuan tentang Perikatan Pada Umumnya

KUHPerdata pada dasarnya tidak mengatur mengenai merger. Akan tetapi, dalam Buku ke-III, terdapat ketentuan umum tentang perikatan yang diberlakukan terhadap setiap jenis perjanjian, termasuk merger. Ketentuan umum mengenai perikatan ini diatur mulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1456.

Ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal tersebut antara lain mengatur tentang syarat sahnya suatu perjanjian, kekuatan berlakunya perjanjian,

Dr. Ir. Tresna Priyana Soemardi, S.E.,M.S. akibat hukum dan perjanjian, macam-macam perjanjian, dan tentang

hapusnya perikatan.

b. Ketentuan tentang Perjanjian Jual Beli

Dalam suatu praktek merger, seringkali dalam teknik pelaksanaannya diperlukan juga adanya jual beli saham. Itu sebabnya dalam Pasal 11 dari Keputusan Menteri Keuangan No. 222/KMK.017/1993 tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi dan akuisisi Bank, ditentukan bahwa salah satu dokumen yang harus dilampirkan dalam mengajukan permohonan untuk memperoleh izin merger (izin tetap) di samping akta perjanjian merger, adalah akta jual beli saham.

Untuk suatu perjanjian jual beli, termasuk jual beli saham, disamping berlaku ketentuan umum tentang perikatan yang terdapat di bagian awal Buku ke-II KUHPerdata, maka berlaku pula ketentuan khusus mengenai jual beli, yang diatur mulai dari Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 KUHPerdata. Namun, dalam pelaksanaan merger antara dua perusahaan, sering juga dipakai metode inbreng saham bersama-sama dengan atau sebagai gantinya jual beli saham tersebut. Dalam hal ini terkadang juga dibuat “perjanjian Inbreng”.

2. Dasar Hukum Bidang Usaha Khusus

Jauh sebelum Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 diundangkan, sebenarnya peraturan mengenai merger dan akuisisi dalam bidang perbankan telah lebih dahulu ada. Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain:

i. Keputusan Menteri Keuangan No.Kep.614/MK/II/8/1971 mengenai Pemberian Kelonggaran Perpajakan kepada Bank-Bank Swasta Nasional yang Melakukan Penggabungan (Merger).

ii. Keputusan Menteri Keuangan No.278/KMK.01/1989 tanggal 25 Maret 1989 tentang Peleburan dan Penggabungan Usaha Bank.

iii. Surat Udaran Bank Indonesia No.21/15/BPPP tanggal 25 Maret 1989 tentang Peleburan Usaha dan Penggabungan dan Bank Perkreditan Rakyat.

iv. Keputusan Menteri Keuangan No. 222/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank. Keputusan No.222 ini menggantikan Keputusan No.278/KMK.01/1989. Peraturan yang khusus mengatur masalah merger dan akuisisi di Indonesia diatur secara perdana dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Sejak diundangkannya Undang-Undang No.1 Tahun 1995, maka kepastian hukum merger mulai mendapatkan porsi yang jelas di hadapan Hukum Indonesia. Sebagai pelaksana dari ketentuan Pasal 102 hingga Pasal 109 undang-undang tersebut, maka kemudian ketentuan tersebut diejawantahkan secara lebih spesifik ke dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas.

Ketentuan merger dan akuisisi versi baru dalam tubuh bank diatur dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang juga diejawantahkan ke dalam Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank juga Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum. Tak hanya itu, pengaturan

Pengendalian Praktek Merger dan Akuisisi dalam Kegiatan Usaha di Indonesia: Menuju Kegiatan Usaha yang Bersih dari Perilaku Anti Persaingan dan Praktek Monopoli

merger bank di Indonesia juga diatur dalam beberapa peraturan di bidang perbankan, yakni sebagai berikut:

a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/50/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembelian Saham Bank Umum; b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/51/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999

tentang Persyaratan dan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi Akuisisi Bank Umum; c. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/52/KEP/DIR tanggal 14 Mei

1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Perkreditan Rakyat;

d. Peraturan NO.2/27PBI/2000 tanggal 15 Desember 2000 tentang Bank Umum; e. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/34KEP/DIR tanggal 12 Mei

1999 tentang Bank Umum Syariah;

f. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/35/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat;

g. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/36/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat Syariah;

h. Keputusan Direksi Bank Indonesia No.31/177/KAEP/Dir tanggal 31

Desember 1998 juncto Peraturan Bank Indonesia No. 2/51/PBI/2000 tanggal 12 November 1998;

i. Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 24/32/Kep/Dir juncto Surat Edaran Bank Indonesia No.24/1/UKU, tanggal 12 Agustus 1991;

j. Peraturan BI No.5/25PBI/2003 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatuhan (Kriteria Pemegang Saham, Pengurus Bank dan Pejabat Eksekutif Bank yang Tidak Lulus Fit dan Proper Test).

Ketentuan merger perseroan terbatas dan merger bank tersebut pada praktek menemui kendala yang cukup rumit, manakala bank uang hendak merger harus tunduk pada ketentuan perbankan, tetapi di sisi lain bank juga pada umumnya merupakan suatu entitas bisnis yang berbentuk perseroan terbatas yang mengharuskan tunduk pada ketentuan perseroan terbatas.

Tak hanya dibidang perbankan dan perseroan tebatas pada umumnya, ketentian mengenai merger dan akuisisi juga telah diatur dalam beberapa peraturan dibidang pasar modal. Ketentuan-ketentuan tersebut mengatur mengenai tata cara dan persyaratan merger bagi perusahaan yang listed atau go-public (perusahaan emiten), sebut saja Peraturan Bapepam No. IX.G1 tentang Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha Perusahaan Publik atau Emiten dan beberapa peraturan pelaksanaan lainnya, seperti Peraturan No.IX.E.1 tentang Benturan Kepentingan dan Peraturan No. IX.F.1 tentang Penawaran Tender.

Dibidang persaingan usaha, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pun telah mengatur mengenai merger dan akuisisi , yakni Pasal 28 dan Pasal 29. Kedua pasal tersebut mengatur mengenai merger dan akuisisi yang berpotensi mengurangi persaingan, dengan tidak mengaturnya secara lebih rinci dari ketentuan yang telah ada sebelumnya. Adapun Pasal 28 ayat (3) dan Pasal

Dr. Ir. Tresna Priyana Soemardi, S.E.,M.S. 29 ayat(2) undang-undang tersebut mengamanatkan dibuatnya Peraturan

Pemerintah yang mengatur ketentuan tentang batasan nilai asset dan nilai penjualan, serta ketentuan mengenai pelaporan pasca merger.

Diaturnya merger dan akuisisi di dalam Undang-Undang No.5 tahun 1999 merupakan alasan yang wajar mengingat merger dan akuisisi merupakan aktivitas yang rentan dengan perubahan konsentrasi pasar, yang pada akhirnya membawa imbas pada iklim persaingan usaha. Merger dan akuisisi dikhawatirkan dapat menimbulkan efek negative terhadap persaingan usaha. Pada umumnya, merger dikatakan pemiliki efek anti persaingan apabila memenuhi kondisi sebagai berikut:10

1. pasar menjadi terkonsentrasi secara substansial pasca merger; 2. adanya hambatan masuk pasar (entry barrier).

Hingga saat ini, Peraturan Pemerintah yang dimaksud masih dalam tahap pembahasan. Materi yang ingin diatur dalam Peraturan Pemerintah tersebut cukup banyak, mengingat merger dan akuisisi merupakan suatu praktek bisinis yang cukup luas ruang lingkupnya. Karena itulah, penting kiranya melakukan kajian yang komprehensif dalam meyusun peraturan pelaksana tentang merger dan akuisisi di bidang persaingan usaha.

Pengaturan merger dan akuisisi di dalam Peraturan Pemerintah tesebut, selayaknya diatur mengenai ketentuan yang bersifat substansial, dan bukan hanya pengaturan yang prosedural saja. Pengaturan merger dan akuisisi secara prosedural telah diakomodir dalam undang-undang dan peraturan pemerintah terdahulu (Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998 dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1999). Oleh karena itu, perlu kiranya analisis hukum secara mendalam, serta didukung dengan analisis ekonomi yang komprehensif, sehingga Peraturan Pemerintah tersebut dapat mengakomodir masalah merger secara lengkap, tegas, dan mengandung kepastian hukum.

C. Sekilas Tentang Perseroan Terbatas dan Badan Usaha

Dalam dokumen Untaian Pemikiran Sewindu Hukum Persaing (Halaman 181-185)