• Tidak ada hasil yang ditemukan

Management aktif:

Dalam dokumen Buku Simposium Geriatri-Revisited 2011 (Halaman 36-40)

Gejala dan tanda

A. Management aktif:

Diagnosis, ditujukan untuk mencari beberapa keterangan, antara lain:

- Apakah ada kecurigaan penderita menderita stroke atau bukan dengan pemeriksaan face arm speech test (FAST) dan pemeriksaan neurologic sederhana lain. Skoring sederhana ABCD untuk kemungkinan stroke adalah sebagai berikut (Gofir, 2009):

Karakteristik California Poin ABCD ABCD2

(Age) Usia >60 tahun 1 1 1

Bl.Press.(Tek.Darah) >140/90 - 1 1

Clin. Feat. (tpln. klinik)

- Kelemahan 1 2 2 - Gangguan bicara 1 1 1 Durasi >60menit 1 2 2 10-59 menit 1 1 1 Diabetes 1 1 1 Skor Total 0-5 0-6 0-7

- Bila memang ke arah stroke, letak, jenis dan luas lesi, faktor risiko, penyakit komorbid?

LOE C), kemudian di RS dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan baku emas adalah pemeriksaan dengan skan tomografi terkomputer (CT-scan), (rekomendasi A) walaupun pada beberapa keadaan, antara lain stroke di batang otak pada hari-hari pertama sering kali tidak didapatkan abnormalitas, sehingga harus diulang setelah 24 jam kemudian. CT scan tersebut idealnya harus dilakukan dalam waktu 1 jam setelah kedatangan penderita di RS (atau sebelum 3½ jam setelah awitan stroke). Dengan MRI (magnetic resonance imaging=pencitraan dengan resonansi magnetik) diagnosis letak dan jenis lesi dapat lebih diketahui dengan pasti. Lesi kecil di batang otak yang tidak terlihat dengan skan TK tersebut, akan dapat terdeteksi dengan MRI (rekomendasi B). Kesemua data ABCD2 ini untuk penderita usia lanjut sudah diintegrasikan dalam asesmen geriatri.

- Terdapat beberapa scoring system untuk mendiagnosis jenis,letak dan besarnya lesi, antara lain skor Siriraj, skor Gajah Mada dan lain-lain, akan tetapi ketepatannya masih tidak bisa diandalkan.

Hubungan diagnosis dengan waktu sangat penting sehingga timbul adagium time

is brain, terutama untuk stroke jenis iskemik karena dalam waktu kurang dari 3

jam berhubungann dengan kemungkinan dapat dilakukannya terapi spesifik trombolisis dengan rTPA. Demikian pula untuk jenis stroke perdarahan yang masih mungkin dilakukan tindakan bedah, lebih cepat penatalaksanaan akan lebih baik hasilnya. Sehubungan dengan masalah waktu ini dianjurkan dibuat suatu PROTAP untuk pendidikan/edukasi kepada masyarakat dan tenaga RS sehingga upaya pengenalan stroke dini dan transportasi yang cepat dan efektif ke pusat stroke dapat dilaksanakan (Helsingborg decl, 2007). Hal-hal lain yang perlu pada diagnosis adalah:

- Status penderita. secara keseluruhan, termasuk di sini adalah kesadaran (GCS?) tekanan darah, kadar gula darah, keadaan kardiorespirasi, keadaan hidrasi, elektrolit, asam-basa, keadaan ginjal, apakah penderita masih dalam pemberian warfarin, adanya tendensi perdarahan, GCS rendah (<13), gejala fluktuatif atau progresif yang tak jelas penyebabnya, curiga meningitis atau adanya gejala nyeri kepala hebat di awitan serangan (Cadogan,2010). Skrining ABCD seperti di atas, dapat sebagai dasar untuk rawat inap apabila memenuhi syarat skor >3 atau kurang dari 3 tetapi terdapat hal lain yang mengindikasikan gangguan fokal (klas IIa, tingkat bukti C).

Perawatan umum, diarahkan untuk memberikan perawatan yang optimal pada penderita. Memberikan posisi yang tepat, alih baring untuk penderita dengan kesadaran menurun, pemberian hidrasi yang cukup merupakan beberapa aspek perawatan yang penting. Termasuk disini adalah asesmen gangguan menelan dan tata cara pemberian nutrisi bila terdapat gangguan menelan. Seringkali pemberian makanan peroral (aktif atau dengan sonde) diberikan pada penderita yang berbaring. Pada usia lanjut hal ini sangat

Perbaikan gangguan/komplikasi sistemik: seperti dikemukakan di atas, berbagai komplikasi sistemik sering lebih berbahaya dibanding strokenya sendiri. Oleh karena itu keadaan tersebut harus selalu dipantau. Beberapa diantaranya akan dibicarakan berikut ini.

Airway: perhatikan gangguan jalan nafas, mungkin pada keadaan berat perlu ventilator mekanis (kelas I, LOE C). Keadaan hipoksia harus segera dicari penyebab dan perlu mendapat terapi oksigen (Kelas I, LOE C).

Blood Pressure (Tekanan darah)/Breathing. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pada stroke akut, biasanya tekanan darah akan meningkat sebagai mekanisme kompensasi, untuk kemudian kembali menjadi normal setelah 2-3 hari. Oleh karena itu, peningkatan tekanan darah pada hari-hari pertama stroke tidak perlu dikoreksi, kecuali bila mencapai nilai yang sangat tinggi (sistolik >220 mmHg/diastolik >120mmHg) atau merupakan tekanan darah yang emergency. Pada keadaan inipun penurunan tekanan darah harus secara perlahan, tidak sampai normal, hanya sekitar 10-20%. (kelas I, LOE, C). Pada penderita usia lanjut kehati-hatian dalam menurunkan tekanan darah tersebut sangat penting, karena pada penderita sudah terjadi gangguan

otoregulasi, artinya otak penderita seolah menjadi terbiasa dengan keadaan

tekanan darah yang meninggi, sehingga bila mendadak tekanan darah diturunkan, akan terjadi gangguan metabolik otak yang sering justru memperburuk keadaan. Pada hari-hari pertama ini penurunan tekanan darah juga dibedakan apakah penderita memang penderita tekanan darah tinggi kronis, yang penurunan tekanan darahnya sebaiknya sampai 180/100-105 mmHg. Apabila belum pernah menderita hipertensi maka sasaran penurunan tekanan darah bisa sampai 160-180/100-110 mmHg. (EUSI, 2003, Cadogan 2010). Apabila direncanakan tindakan trombolisis dengan rTPA, tekanan darah sistolik tidak boleh melebihi 180 mmHg. Agar penurunan darah bisa dilaksanakan secara titrasi maka dianjurkan pemakaian obat Labetalol/ urapidil/nitroprusid atau nitrogliserin I.V, kalsium antagonis IV titrasi atau captopril oral. Penggunaan nifedipin oral/SL atau penurunan tekanan darah yang terlalu drastis atau hipotensi perlu dihindari.

Keadaan kardiak(jantung) telah dikemukakan diatas sering menyebabkan kematian oleh karena itu perlu pemantauan yang baik dengan EKG monitoring 24 jam I (kelas I, LOE B) dan diberikan tindakan pengobatan dimana perlu. - Gula darah. Seperti dengan tekanan darah, gula darah seringkali meningkat pada hari-hari pertama stroke, akan tetapi penelitian menunjukkan bahwa gula darah yang tinggi (>40mg%) akan memperburuk kerusakan otak, sehingga peninggian kadar gula darah pada hari-hari I stroke harus diturunkan senormal mungkin, kalau perlu dengan pemberian insulin melalui pompa-siring (kelas II, LOE C).

Ulkus stres, infeksi, gangguan ginjal atau hati juga merupakan berbagai keadaan yang perlu diperhatikan pada penderita stroke, karena keadaan tersebut seringkali terjadi dan sering menentukan kelangsungan hidup penderita.

Emboli paru dan/atau trombosis vena dalam: sering merupakan komplikasi stroke. Keadaan ini bisa dihindari dengan pemberian hidrasi yang cukup dan mobilisasi dini, baik secara pasif maupun aktif.

Terhadap lesi: Perlakuan terhadap lesi tergantung jenis, besar dan letak lesi, serta berapa lama lesi sudah terjadi.

Lesi hemorhagik, terutama subarakhnoid dan subdural bisa segera dilaksanakan operasi, akan tetapi jenis intra-serebral hanya yang terletak superficial, dengan volume darah >30cc atau diameter >3 cm, dengan tanda peninggian tekanan intracranial dan ancaman herniasi otak. Bisa dilaksanakan operasi, walaupun hal ini masih kontroversial. Pemberian obat hemostatik menurut kepustakaan barat tidak banyak berbeda hasilnya dengan tanpa pemberian obat tersebut. Tetapi beberapa penelitian dengan recombinant activated Factor VII a (rFVIIa) ternyata mempunyai kemampuan membatasi pembesaran hematom. Pada beberapa keadaan stroke non hemorhagik intra serebral, tindakan operatif kadang diperlukan untuk melakukan dekompresi dan menghilangkan efek massa pada otak (EUSI,2003). Tindakan ini perlu dikerjakan oleh dokter bedah syaraf yang berpengalaman.

Lesi iskemik, pada dasarnya harus dibedakan antara pusat infark dan jaringan sekitarnya, yang disebut jaringan penumbra. Di pusat infark sudah terjadi kematian jaringan otak, sehingga tidak dapat dikerjakan sesuatu. Penumbra merupakan jaringan iskemik yang tanpa dilakukan upaya pengobatan akan memberat menjadi infark. Di daerah ini akan terjadi suatu rantai reaksi metabolik, antara lain masuknya ion kalsium dan laktat ke intraseluler, menyebabkan terjadinya oedem sel dan akhirnya nekrosis. Berbagai tindakan terapetik secara antara lain: - Upaya perbaikan status umum (tekanan darah, gula darah, hidrasi,

keseimbangan cairan dan asam basa, kardiorespirasi dan lain-lain). - Pemberian antikoagulasi dengan menggunakan antikoagulan (heparin,

warfarin) berdasarkan penelitian di Eropa (ESO 2008 dan tempat lain) tidak direkomendasikan. Trombolisis hanya dilakukan dengan aktivator plasminogen jaringan rekombinan (rtPA), itupun dengan syarat yang sangat ketat, yaitu waktu pengerjaan tidak boleh lebih dari 3½ jam dari saat awitan stroke (saat ini beberapa senter memperpanjang waktu).

Penggunaan sampai dengan 4½ jam pasca awitan (Cadogan, 2010). Penggunaan streptokinase, heparin atau heparinoid walaupun beberapa laporan tak terkontrol menunjukkan hasil, akan tetapi terkendala dengan kemungkinan besar terjadinya komplikasi hemorhagik di daerah infark atau

Pemberian anti-trombosit (aspirin) 100-300 mg diberikan dalam waktu 24 jam setelah terjadinya stroke akan menurunkan mortalitas dan mencegah stroke ulangan secara signifikan.Aspirin tidak boleh diberikan apabila akan dilakukan trombolisis atau dalam waktu 24 jam setelah trombolisis. - Perbaikan metabolik sekitar lesi, antara lain pemberian vasokonstriktor umum

yang diharapkan memberikan vasodilatasi lokal ditempat lesi (reverse steal

phenomenon) calsium entry blocker dan berbagai zat neuroprotective

walaupun dari segi teoretik hal ini sangat menarik, akan tetapi hasil dari berbagai penelitian dengan derajat bukti tingkat I (level of evidence I) ternyata tidak ada gunanya sama sekali.

Upaya untuk menurunkan viskositas darah bila Ht >54% (terapi hemodilusi) menurut EUSI 2003 juga tidak direkomendasikan pada stroke iskemik. Rehabilitasi dini: upaya rehabilitasi harus segera dikerjakan sedini mungkin apabila keadaan penderita sudah stabil. Fisioterapi pasif perlu diberikan bahkan saat penderita masih di ruang intensif yang segera dilanjutkan dengan fisioterapi aktif bila memungkinkan. Apabila terdapat gangguan bicara atau menelan, upaya terapi wicara bisa diberikan. Setelah penderita bisa berjalan sendiri, terapi fisik dan okupasi perlu diberikan, agar penderita bisa kembali mandiri. Pendekatan psikologik terutama berguna untuk memulihkan kepercayaan diri penderita yang biasanya sangat menurun setelah terjadinya stroke. Kalau perlu dapat diberikan antidepresan ringan.

Tindakan pengawasan lanjutan (follow-up): tindakan untuk mencegah stroke berulang dan upaya rehabilitasi kronis harus terus dikerjakan. Hal ini sebaiknya dilakukan oleh spesialis penyakit dalam yang mengetahui penatalaksanaan berbagai faktor risiko terjadinya stroke ulangan.

Dalam dokumen Buku Simposium Geriatri-Revisited 2011 (Halaman 36-40)