• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penatalaksanaan farmakologik

Dalam dokumen Buku Simposium Geriatri-Revisited 2011 (Halaman 87-94)

Pada reversible dementia ditujukan untuk pengobatan kausal, misalnya pada hipotiroid, defisiensi Vit. B12, intoksikasi, gangguan nutrisi, infeksi dan ensefalopati metabolik

Pada demensia vaskular terapi ditujukan untuk mengontrol faktor-faktor vaskular dan simptomatis untuk substitusi neurotransmitter yang berkurang. Walaupun tidak dapat disembuhkan, demensia vaskular dapat dihentikan progresifitas penyakitnya dengan pengobatan terhadap faktor resiko.

Pada demensia alzheimer pengobatan bertujuan untuk menghambat progresifitas penyakit dan mempertahankan kualitas hidup.

Akhir-akhir ini diperoleh kemajuan antara lain tentang peran genetik, patofisiologi dan perjalanan penyakit. Biarpun masih tergolong dini, pengelolaan terhadap demensia cepat berkembang dengan kemajuan di bidang diagnosis, pengobatan farmakologik maupun non-farmakologik.

Kemajemukan dari penyakit Alzheimer merupakan pemacu untuk munculnya obat-obatan baru. Harus dibedakan antara obat-obat yang memperbaiki keluhan penderita misalnya golongan inhibitor kolinesterase dan yang mempengaruhi perjalanan penyakit antara lain dengan cara menghambat laju jalannya penyakit, misalnya golongan antioksidan.

Sekitar 20 tahun belakangan ini diperoleh beberapa kemajuan pada pengobatan penyakit demensia, biarpun obat-obatan ini masih terbatas khasiatnya. Diharapkan akan diikuti datangnya obat-obat baru dengan terutama berorientasi pada patofisiologi dari penyakit ini. Obat-obat untuk penyakit demensia yang ada saat ini dapat dibagi: 1. Obat-obat dengan pendekatan etiologik.

2. Obat-obat dengan pendekatan simptomatik.

Ad. 1. Obat-obat dengan pendekatan etiologik

a. Golongan obat-obat anti-inflamasi

Penggunaan obat-obat anti-inflamasi pada penyakit Alzheimer didasarkan pada penemuan adanya aktifasi proses inflamasi pada otak penderita Alzheimer yang dapat berakibat degenerasi neuron. Dari studi epidemiologik tampak mereka yang mendapat terapi NSAID jangka panjang mempunyai resiko lebih kecil untuk menderita penyakit Alzheimer.

Bersamaan dengan plak senilis dan kekusutan neurofibril didapatkan juga tanda-tanda peradangan. Karena sel-sel syaraf merupakan sel yang bersifat post-mitotik, dan tidak dapat membelah lagi, maka neuron yang mati karena proses radang ini tidak dapat berfungsi lagi.

Terdapat juga data-data yang mendukung aktifasi imunologik berlebihan pada penyakit Alzheimer dengan produksi sitokin, interleukin 1 dan interleukin 6 yang meningkatkan sintesa dari protein amiloid.

b. Golongan obat terapi pengganti hormon, khususnya estrogen didasarkan pada pengamatan hasil yang lebih baik pada wanita-wanita yang menggunakan terapi pengganti hormon dan sekaligus dalam pengobatan dengan obat-obatan kolinergik. Hasil penelitian menunjukkan estrogen dapat menggeser metabolisme protein amiloid menjadi jalur metabolisme yang non-amiloid dan mencegah oksidasi dari radikal bebas. Juga tampak dari penelitian, prevalensi penyakit Alzheimer makin meningkat pada wanita-wanita dengan defisiensi estrogen.

Tetapi penelitian yang terakhir menyimpulkan, estrogen tidak bermanfaat untuk terapi demensia dan tidak dibenarkan penggunaannya.

c. Golongan obat neuroprotektif

Keterbatasan terapi obat-obat kolinergik mungkin berkaitan dengan matinya sel-sel neuron.

Penghambat ion kalsium (calcium channel blocker) mungkin mempunyai daya protektif terhadap sel neuron dengan menghambat masuknya kalsium ke dalam sel yang dapat berakibat aktifasi enzim yang merusak sel.

Beberapa penelitian dengan memakai nimodipine menunjukkan hasil menghambat laju progresifitas penyakit Alzheimer.

d. Golongan obat-obat neurotropik

Golongan neurotropik adalah kelompok peptida yang merangsang pertumbuhan dan memelihara kehidupan sel-sel syaraf. NGF (Nerve Growth Factor) ini meningkatkan daya hidup sel-sel syarat kolinergik. Obat ini dapat menghambat proses kematian sel otak dan karenanya menghambat laju penyakit. Kesulitan teknik cara pemberian obat-obat ini antara lain merupakan kendala pada pemakaiannya.

Contoh obat golongan ini adalah Propentofyllin. Ada juga golongan obat-obat neurotropik yang dikaitkan dengan sekelompok obat yang strukturnya sesuai dengan piracetam dan dilaporkan dapat meningkatkan fungsi kognitif. Cara kerja obat ini belum jelas benar.

e. Golongan obat-obat anti protein amiloid

Sejauh ini tidak ada pengobatan atau pencegahan yang memuaskan untuk penyakit Alzheimer. Perhatian ditujukan untuk mengurangi penyebab kelainan patologik yang utama ialah plak senilis serta kekusutan neurofibril. Sifat neurotoksik dari amiloid sudah diketahui secara luas, terutama A4 amiloid. Di antara obat yang diberikan adalah yang menghambat kerja enzim proteolitik yang memecah prekursor protein amiloid (APP) secara berlebihan untuk mencegah pembentukan dan penimbunannya sedini mungkin. Contoh obat ini antara lain rifampicin.

f. Golongan obat-obat berbasis pengetahuan genetik

Pengetahuan tentang penyakit Alzheimer dari segi genetik mendapat kemajuan pesat dengan ditemukannya APO E4 pada penderita Alzheimer yang antara lain menyebabkan afinitas berlebihan sel-sel neuron terhadap protein amiloid. Adanya APO E4 ini meningkatkan resiko penyakit Alzheimer dan mungkin memegang peranan terhadap waktu terjadinya dan progresifitas dari penyakit. Obat-obat berbasis pengetahuan genetik ini masih terus dikembangkan.

g. Golongan obat-obat antioksidan10

Pemberian obat-obat golongan antioksidan didasarkan pada teori bahwa radikal bebas terlibat pada perusakan sel-sel syaraf dan aktifasi sel-sel radang. Sesuai strategi pengobatan penyakit Alzheimer, selain diberikan obat-obat yang dapat meningkatkan fungsi kognitif seperti golongan obat-obat kolinergik, juga diberikan obat-obat yang dapat menahan laju penyakitnya. Neuron pada penderita Alzheimer mungkin lebih peka terhadap stres oksidatif dengan meningkatnya aktifitas monoaminooksidase.

Radikal bebas sebagai produk dari metabolisme yang sifatnya oksidatif menyebabkan terjadinya peroksidase lemak berlebihan dan degenerasi neuron otak. Monoaminoksidase inhibitor dapat mencegah terjadinya radikal bebas dan menjaga keutuhan neuron.

Contoh dari inhibitor monoaminoksidase ini misalnya moclobemide menunjukkan kasiat tambahan selain sebagai anti depresif juga meningkatkan fungsi kognitif. Contoh lain dari inhibitor monoaminoksidase yang juga banyak dipakai adalah selegilene.

Alpha-tocopherol (Vit. E) juga dapat mengurangi kerusakan oksidatif dan mencegah terjadinya peroksidase lemak, dengan dosis 800-2000 IU, diberikan 2 X sehari. Golongan ko-enzim Q juga mempunyai daya menghambat peroksidase lemak dan berfungsi sebagai anti-oksidan. Ekstrak daun Ginkgobiloba juga dikenal sebagai antioksidan dan potensial dan dianjurkan sebagai terapi alternatif pada penyakit Alzheimer.

Ad. 2. Obat-obat Kolinergik

Obat-obat ini berdasarkan teori bahwa metabolisme asetilkolin memegang peran penting dalam proses memori. Kemunduran daya ingat dan fungsi kognitif lainnya, berhubungan dengan degenerasi dari neuron yang mempunyai sifat kolinergik. Obat-obat golongan kolinergik ini antara lain:

a. Obat-obat yang membantu pembentukan asetilkolin, contohnya lecitin. Sayang pada penelitian, obat-obat ini tidak banyak manfaatnya.

b. Obat-obat yang memacu pengeluaran asetilkolin, contohnya golongan aminopiridin. Obat-obat ini juga tidak jelas manfaatnya.

c. Obat-obat agonis asetilkolin misalnya arekolin dan nikotin. Nikotin mempunyai daya mempercepat pemahaman dan ingatan serta meningkatkan perhatian. Sayang kerja obat-obat ini terlalu pendek serta kurang menembus sawar darah otak. d. Obat-obat inhibitor kolin-esterase mulai populer sekitar tahun 1970 dipelopori

oleh physostigmin, yang cukup aman dan dapat menembus sawar darah otak serta dalam sediaan oral. Obat-obat kolinergik lainnya mempunyai kerja yang lebih panjang dan sifat-sifat lebih baik misalnya donepecil, rivastigmine, galantamine dan golongan nemantine.

Sekitar dua-tiga bulan sudah terlihat manfaatnya memperbaiki fungsi kognitif dan kondisi umum dalam kehidupan sehari-hari serta meningkatkan kualitas hidup pada demensia Alzheimer stadium ringan sampai sedang, bahkan berat. Berbagai obat lain yang mempunyai titik tangkap pada neuro transmitter yang bersifat non-kolinergik sudah juga dicoba. Tetapi sejauh ini pengobatan lewat neuro-transmitter lain ini misalnya yang bersifat adrenergik dan serotonergik belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Contoh obat-obat ini misalnya golongan antagonis opium, clonidin dan carnitin. Biarpun ada perbaikan tetapi semuanya ini tidak didukung oleh penelitian yang berskala besar.

Yang terakhir dan sering dilupakan pada pengelolaan penderita dengan demensia adalah aspek mediko legal.

Keluarga sering menyangsikan apakah perbuatan penderita masih dapat dipertanggung-jawabkan. Kalau sudah tidak dapat, kapan tanggung jawab ini harus dialihkan.

Sering juga keluarga tidak mau diajak berbicara tentang hal ini karena masih belum dapat menerima penurunan fungsi penderita dengan demensia. Penting untuk memberi motivasi pada keluarga dan mungkin juga masih dapat dimengerti oleh penderita, mendiskusikan cara-cara mengambil keputusan setelah diagnosis demensia ditegakkan.

Penutup

Sampai saat ini, penyakit demensia, khususnya tipe demensia yang paling banyak dijumpai yaitu demensia Alzheimer dikatakan “unpreventable and incurable”.

Penatalaksanaan lebih dititik beratkan pada mengatasi faktor-faktor risiko, penyakit-penyakit ko-morbid, dan gejala-gejala yang ada serta dukungan pada mereka yang merumat (care giver).7

Walaupun begitu kemajuan di bidang obat-obatan dan intervensi lainnya mulai kelihatan manfaatnya dalam menghambat laju perjalanan penyakit dan memperbaiki

Salah satu segi pengobatan yang paling penting adalah deteksi dini, “the sooner

the better”.

Secepatnya keluhan dan penyebabnya dapat diketahui, upaya pengelolaan akan makin efektif dalam mencegah, atau sedikitnya memperlambat perjalanan penyakit.

Penyakit demensia pada umumnya, atau penyakit Alzheimer pada khususnya diberi sebutan “A Family System’s Disease” karena keluarga terkena dampak yang besar sekali, bila ada anggota keluarga yang menderita demensia.

Pada tanggal 22 Juli 2000, telah dideklarasikan Asosiasi Alzheimer Indonesia (AAzI) sebagai suatu organisasi bio-sosial-medis, yang bertujuan meningkatkan kepedulian terhadap penderita Alzheimer di Indonesia, beserta keluarganya.

Daftar pustaka

1. Hope, T; Pitt, B.: Management of dementia. Lancet, 345, 1274-1280, 2004.

2. Clark, D.G.; Cummings, J.L.: Diagnosis and management of dementia. Departments of neurology, psychiatry and bio-behavioral sciences. UCLA, Los Angeles, CA. 2004. 3. Philip, PJH: Ethics of dementia care asia pasific geriatric conference, Cebu-the

Philippines, January, 2011.

4. Mc Cullagh, C.D.; Pass More, A.P.: Risk factors for dementia advances in psychiatric treatment. Vol. 7 : 24-31, 2001.

5. Czeresna, H., et al: Peran dokter spesialis penyakit dalam untuk deteksi dini, diagnosis dan penatalaksanaan gangguan kognitif ringan pada usia lanjut. PERGEMI, Konsensus Nasional, 2006.

6. Kris Pranarka. Deteksi dini dan penatalaksanaan demensia. Simposium AAzI, Wilayah Jawa Tengah, Semarang 2009.

7. Nasrun, M.W.S.: Diagnosis dan tatalaksana demensia Alzheimer dalam praktik. Temu Ilmiah Geriatri, Jakarta, 2002.

8. Purba, J.S.: Demensia dan penyakit Alzheimer. Temu Ilmiah Geriatri, Jakarta 2002. 9. Kris Pranarka. Social medical aspects of Alzheimer disease. Temu Ilmiah Nasional

Geriatri, Semarang 2008.

10. Kris Pranarka. Ginkgobiloba as an alternative treatment in Alzheimer’s disease. Temu Ilmiah Nasional Geriatri, Semarang 2008.

Dalam dokumen Buku Simposium Geriatri-Revisited 2011 (Halaman 87-94)