Pengaturan program penanggulangan kegawatan hiperglikemi pada lansia, perlu dipandu oleh rambu-rambu kriteria status glikemi normal, agar tidak terjadi hipoglikemi. Kelompok studi WHO memberikan kriteria status glikemi terkendali ideal pada lansia, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kriteria untuk kasus-kasus lebih muda. Batasan normal glukosa plasma vena puasa <5.5 mmol/l (<100 mg/dl) dan 2 jam pp <7.8 mmol/l (<140 mg/dl), terlalu rendah untuk lansia DM, sehingga diperlukan penyesuaian seperti terlihat pada tabel-1.1
DM lansia dapat pula mengalami komplikasi akut dan berat atau kegawatan hiperglikemi seperti pada kasus-kasus usia lebih muda, yaitu ketoasidosis (KAD), hiperosmoler non-ketotik (HONK), dan laktoasidosis (LAD), dengan faktor presipitasi peningkatan kebutuhan insulin yang mendadak, berkaitan dengan peningkatan sekresi
stress hormones, banyak dijumpai pada kasus-kasus dengan infeksi akut dan berat
dengan gejala panas badan tinggi, dapat pula disebabkan oleh gangguan perfusi jaringan yang akut, misalnya hipovolemi, kemunduran fungsi miokard, syok septik, sehingga terjadi peningkatan kadar laktat dalam darah.7 LAD dapat pula disebabkan oleh gangguan fungsi hepar yang mengurangi potensi lactic hepatic clearance dan efek samping dari hipoglikemik oral biguanid (metformin dan fenformin) terutama fenformin, pada kasus-kasus DM dengan gangguan fungsi ginjal dan hepar, juga pada DM lansia. Biguanid terikat pada membran mitokhondria (terikatnya metformin tidak sekuat fenformin) dan menghambat metabolisme aerob, sehingga metabolisme anaerob lebih dominan, dengan akibat meningkatnya produksi laktat.4,8 Dalam kondisi kegawatan DM tersebut, dibutuhkan suntikan insulin untuk mengendalikan hiperglikemi berat dalam waktu sesingkat mungkin, dengan kewaspadaan untuk menghindari efek samping hipoglikemi yang lebih mudah terjadi pada kelompok lansia. Program suntikan insulin tersebut pada dasarnya tidak berbeda dengan program yang diberikan kepada kasus-kasus DM usia lebih muda, dengan perhatian khusus pada monitoring glukosa darah dan kondisi fisik.7 Asidosis dapat membahayakan jiwa penderita oleh karena menimbulkan gejala-gejala (a) penurunan kontraktilitas miokard, irama jantung, cardiac
output, tekanan darah, aliran darah ke hepar dan ginjal, respons terhadap katekolamin,
dan (b) memacu timbulnya aritmia ventrikel jantung.4 Adapun kondisi gawat akibat HONK adalah syok hipovolemi dan tromboemboli.5 Data mengenai riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang cermat, sangat dibutuhkan untuk kepastian diagnosis dan tindakan terapi yang efektif seawal mungkin (life saving treatment).3 Insulin merupakan satu-satunya pilihan terapi untuk menurunkan hiperglikemi dengan cepat, di samping pemberian cairan dan elektrolit yang adekwat, adapun antibiotika dibutuhkan untuk mengendalikan faktor presipitasi infeksi akut. Pengamatan ketat dan periodik mengenai perbaikan metabolik dan fisik, mutlak dilakukan untuk memandu program terapi.6
Faktor prisipitasi KAD adalah (a) infeksi, (b) penghentian atau kurangnya dosis insulin, dan (c) new onset diabetes, adapun patofisiologi KAD pada dasarnya meliputi (a) gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, protein dan (b) gangguan keseimbangan
Tabel-1. Kriteria status glikemi untuk lansia DM (glukosa plasma vena) Status glikemi Puasa atau minimal 3 jam 2 jam pp
setelah makan yang terakhir
Terkendali aman <7.8 mmol/l (<140 mg/dl) <11.1 mmol/l (<200 mg/dl) Kurang terkendali >7.8 mmol/l (>140 mg/dl) >11.1 mmol/l (>200 mg/dl) Penderita dengan terapi insulin, batasan terkendalinya glukosa 2 jam pp dapat lebih tinggi (15 mmol/l).
glukosa darah tinggi, (b) kadar keton bodies darah tinggi, dan (c) asidosis metabolik. Gejala fisik dalam kondisi yang berat adalah (a) dehidrasi sampai dengan syok, (b) nafas Kussmaul, (c) kesadaran menurun sampai dengan koma.6,9 Tabel-2 memberikan panduan klinik praktis mengenai data laboratorium KAD dan HONK, dengan pengertian bahwa sekitar 30% penderita KAD dapat tampil dalam kondisi hiperosmoler.6
Tabel-2 Data laboratorium KAD dan HONK
Laboratorium KAD HONK
Glukosa plasma (mg/dl) >250 >600
pH <7.3 >7.3
HCO3 serum (mEq/L) <15 >20
Keton urine >3+ <1+
Keton serum (+) pada pengenceran 1:2 (-) pada pengenceran 1:2 Osmolalitas serum (mOsm/Kg) bervariasi >330
Natrium serum (mEq/L) 130-140 145-155
Kalium serum (mEq/L) 5-6 4-5
BUN (mg/dl) 18-25 20-40
Panduan klinik praktis untuk membedakan KAD dan HONK dengan pengertian sekitar 30% penderita KAD dapat tampil dalam kondisi HONK.
Berdasarkan pemahaman bahwa penderita KAD mengalami dehidrasi dan kehilangan natrium dengan derajat yang bervariasi, maka prioritas utama adalah mengganti hilangnya cairan dan elektrolit. Dipilih cairan Nacl isotonik oleh karena cairan tersebut stabil berada di jaringan ekstra seluler sehingga lebih cepat menambah volume plasma dibandingkan dengan cairan hipotonik. Untuk mengatur dosis pemberian cairan dan elektrolit selain berpedoman pada pemeriksaan fisik dan pedoman praktis 1 liter cairan per 1 jam pertama, lebih akurat dengan mengukur osmolalitas plasma dengan rumus sebagai berikut: 2Na+ (mEq/L) + glukosa (mg/dl)/18 + BUN (mg/dl)/2.8 mOsm/Kg. Dekstrose 5 persen perlu ditambahkan dalam cairan yang diberikan bila kadar glukosa darah <200 mg/dl, untuk mengimbangi pemberian insulin agar tidak terjadi hipoglikemi, sampai dengan ketonemi terkoreksi.6 Kecukupan cairan dan elektrolit harus segera dipenuhi untuk menjamin efektifitas insulin yang diberikan, sehingga tidak perlu disuntikkan insulin dengan dosis yang terlalu tinggi, untuk memperkecil risiko hipoglikemi.6
Beberapa petunjuk yang perlu diperhatikan dalam pemberian insulin pada penderita KAD dapat diuraikan sebagai berikut. Dosis awal diberikan 0.3-0.4 U/Kg BB, setengah dosis dari hitungan tersebut diberikan intra vena dan setengah dosis lagi diberikan subcutan. Suntikan insulin selanjutnya periodik dengan dosis tergantung respons penurunan kadar glukosa darah dan cara pemberian disesuaikan dengan sarana yang tersedia, misalnya bila penderita dirawat di ruang gawat darurat atau di ruang intensive care (ICU), dapat diberikan per infus dengan dosis 7 unit per jam, dan bila penderita dirawat di bangsal, diberikan suntikan insulin subcutan setiap 1 jam dengan dosis diatur mengacu pada respons penurunan kadar glukosa darah (sliding
scale).6 Pemberian continuous insulin infusion dosis kecil makin banyak diminati dalam praktek oleh karena dosis insulin dapat diatur lebih rinci untuk mempertahankan efektifitas pengendalian hiperglikemi oleh karena efek terapi yang cepat, komplikasi hipoglikemi dan hipokalemi lebih kecil. Dosis 0.1 unit/KgBB/jam short acting human
monocomponent insulin dapat menaikkan kadar insulin dalam darah mencapai
100-200 mU/ml, yang mana cukup memenuhi kapasitas maksimal reseptor insulin, dan dosis tersebut dapat diberikan dalam program awal insulin infusion rate. Pengaturan dosis lebih lanjut dipandu oleh respons penurunan kadar glukosa darah, sebagai contoh misalnya dosis dapat ditingkatkan dua kali dalam 1 jam berikutnya bila penurunan kadar glukosa darah kurang dari 50-100 mg/dl. Bila dosis telah mencapai 100 unit/ jam, perlu ditambahkan pemberian kortikosteroid untuk menekan reaksi resistensi insulin. Dosis diturunkan 50 persen bila kadar glukosa darah telah menurun mencapai 250 mg/dl, dengan menambahkan dekstrose 5 atau 10% dalam cairan infus untuk mencegah hipoglikemi sambil melanjutkan infus insulin untuk menekan ketoasidosis. Bagi penderita DM lansia, insulin hanya diberikan dalam dosis 50% dari ketentuan tersebut di atas mengingat risiko hipoglikemi yang lebih besar.10 Apabila rehidrasi telah tercapai, insulin dapat diberikan subcutan setiap 4 jam dengan dosis sesuai respons penurunan kadar glukosa darah (sliding scale) sebagai berikut: (a) 20 unit untuk kadar glukosa darah >300 mg/dl, (b) 15 unit untuk kadar glukosa darah 251-300 mg/dl, (c) 10 unit untuk kadar glukosa darah 201-250 mg/dl, (d) 5 unit untuk kadar glukosa darah 150-200 mg/dl, dan (e) tidak diberikan insulin bila kadar glukosa darah <150 mg/dl. Bila penderita sudah dapat makan seperti biasa, diberikan diit diabetes sesuai kebutuhan penderita dan insulin diberikan dalam bentuk preparat
human intermediate acting 15-20 unit malam hari dan human short acting (sliding scale) 3 kali sehari 30 menit sebelum porsi makan utama.6
Perkembangan teknologi farmasi berhasil membuat produk baru suatu human
insulin analogs dengan rapid onset of action antara lain adalah aspart insulin (Novolog,
Novo Nordisk, Princeton, NJ), lispro insulin (Humalog, Eli Lilly, Indianapolis, IN) dan glulisine insulin (Aventis) yang telah dipasarkan sebagai alternatif pilihan di samping
short acting insulin. Pengalaman klinik membuktikan bahwa terapi KAD dengan insulin
produk baru ini yang diberikan subkutan tiap 1 jam (penderita tidak dalam kondisi dehidrasi), sama efektifitasnya dengan regular insulin intra vena.11,12 Rapid acting insulin bekerja lebih cepat dibandingkan dengan regular insulin, merupakan alternatif pilihan lebih efektif dalam terapi KAD. Preparat rapid acting ini sudah mulai bekerja dalam waktu 10-20 menit setelah disuntikkan s.c. dan mencapai kadar puncak dalam 30-90 menit, adapun jangka waktu bekerja berakhir dalam 3-4 jam, dengan catatan bahwa penderita belum sampai mengalami dehidrasi atau sudah mendapatkan koreksi dan kembali dalam kondisi rehidrasi. Uji coba klinik membuktikan bahwa rapid acting
insulin yang disuntikkan s.c. tiap 1 jam pada penderita KAD memberikan hasil terapi
yang sama efektifnya dengan regular insulin i.v.13 Monitoring glukosa darah dan pemberian suntikan insulin tiap 1 jam dirasakan cukup menjadi beban kerja yang berarti, dan oleh beberapa klinik dicoba mengamati kasus-kasus KAD yang diberikan
rapid acting insulin dengan interval waktu lebih panjang, yaitu membandingkan
kelompok kasus dengan program tiap 1 jam dan kelompok kasus lain dengan program tiap 2 jam, dengan program standard regular insulin i.v. tiap 1 jam. Hasil pengamatan tersebut memberikan kesimpulan bahwa rapid acting insulin tiap 1 jam dan tiap 2 jam setara dalam aspek efektifitas dan keamanan dengan regular insulin i.v. tiap 1 jam.11 Dalam kondisi KAD telah teratasi, namun status metabolik masih membutuhkan insulin, dapat dipakai program rapid acting insulin analogs disuntikkan menjelang makan utama yaitu pagi, siang dan malam. Adapun untuk mengendalikan glukosa puasa dan interprandial, diberikan subkutan sekali sehari extended long-acting insulin
analog yang bersifat peakless dan bekerja jauh lebih lama dibandingkan NPH. Dengan
konsep tersebut, hiperglikemi postprandial, puasa dan interprandial dapat dikendalikan dengan intensif dan risiko hipoglikemi menjadi sangat kecil.14
Salah satu gangguan elektrolit dari KAD adalah hipokalemi, yang mana penyebab utamanya adalah masuknya kalium dari ekstra sel ke intra sel yang dipacu oleh insulin (insulin mediated reentry of potassium to the intracellular compartment). Akibat yang dapat ditimbulkan oleh hipokalemi adalah aritmia kordis, gagal kardiovaskular, kelemahan otot respirasi dan gagal nafas. Indikasi pemberian kalium bila kadarnya dalam serum kurang dari 5.5 mEq/L dengan dosis 20-30 mEq diberikan per liter cairan infus, sampai dengan kadar kalium serum meningkat kembali mencapai batas normal, adapun dosis maksimal adalah 40 mEq/jam. Kadar kalium serum dipantau setiap 1-2 jam pada awal KAD dan selanjutnya dapat setiap 4-6 jam. Hipokalemi sering kali disertai oleh hipofosfatemi, oleh karena itu dianjurkan preparat kalium yang diberikan 2/3 bagian dalam bentuk KCl dan 1/3 bagian dalam bentuk KPO4.6 Pemberian terapi bikarbonat bagi penderita KAD dipertimbangkan berdasarkan pemikiran, bahwa asidosis metabolik yang disertai oleh asidosis intra sel yang berat, dapat mengakibatkan gangguan fungsi organ-organ antara lain hati, jantung dan otak. Namun pemberian bikarbonat dapat mengakibatkan dampak negatif yang mungkin terjadi yaitu memberatnya hipokalemi, terjadinya paradoxical central nervous system acidosis, memberatnya asidosis intra sel akibat peningkatan produksi karbon dioksida dan metabolisme ketoanion menjadi lebih lambat. Dapat dipergunakan satu panduan klinik praktis sebagai berikut: (a) pH darah arteri >7.0 tidak diperlukan pemberian bikarbonat, (b) pH 6.9-7.0 diberikan sodium bikarbonat 44 meq, (c) pH <6.9 diberikan 88 meq sodium bikarbonat. Preparat bikarbonat tersebut diberikan dalam larutan isotonik dan disertai dengan pemberian 15 meq KCl setiap satu ampul (44 meq) bikarbonat 6. Di samping pedoman pH darah arteri, indikasi pemberian bikarbonat yang lain adalah (a) HCO3- <5.0 meq/L, (b) K+ >6.5 meq/L, (c) hipotensi yang tidak memberikan respons terhadap pemberian cairan, (d) payah jantung kiri yang berat, (e) depresi pernafasan, (f) late hyperchloremic acidosis.9 Dalam kondisi KAD terjadi pergeseran fosfat keluar dari intra sel ke ekstra sel, sehingga pada awal KAD kadar fosfat serum dapat normal atau meningkat. Namun diuresis osmotik yang terjadi lebih lanjut mengakibatkan hilangnya fosfat bersama urine dan kadarnya dalam serum menurun sekitar 1 mmol/ Kg BB. Sama dengan kalium dan glukosa, fosfat akan kembali masuk ke dalam sel
pada waktu terapi insulin diberikan, dengan akibat turunnya kadar fosfat serum. Tujuan dari pemberian preparat fosfat pada KAD adalah pencegahan komplikasi hipofosfatemi yaitu depresi pernafasan, kelemahan otot skelet, anemia hemolitik dan gangguan fungsi jantung. Adapun pemberian dosis fosfat yang berlebihan dapat mengakibatkan hipokalsemi, tetani, kalsifikasi jaringan lunak. Berdasarkan pengalaman klinik beberapa peneliti menyatakan bahwa protokol pemberian kalium sudah cukup memenuhi kebutuhan fosfat, yang mana 2/3 dosis diberikan dalam ikatan kalium klorida dan 1/3 dosis dalam ikatan kalium fosfat.6
HONK adalah komplikasi akut atau kegawatan diabetes melitus di samping KAD, dengan gejala klinik yang utama adalah (a) dehidrasi, (b) hiperglikemi berat (kadar glukosa darah >600 mg/dl), (c) osmolalitas plasma meningkat (>320 mOsm/L) yang mengakibatkan depresi susunan saraf pusat, (d) tanpa gejala ketoasidosis (ph darah arteri >7.30). Di samping itu didapatkan pula gejala-gejala (e) takikardia, (f) subfebril, (g) dilatasi gaster dengan keluhan nausea, vomitus, distensi, nyeri, disertai (h) gejala neurologik berupa afasia, hemiparesis, hemianopsi, hiper-refleksi unilateral, tanda Babinski positif, miokloni. Adapun gejala laboratorium dapat dilihat pada tabel-2. Beberapa aspek patofisiologi pada HONK yang berkaitan dengan hiperglikemi, hiperosmolalitas, dan nonketotik, antara lain adalah (a) sekresi insulin meningkat namun tidak adekwat mengatasi hiperglikemi, (b) Counterregulatory hormones (growth
hormone, glukagon, epinefrin, kortisol) kadarnya meningkat tetapi tidak setinggi pada
KAD, (c) hiperosmolalitas menekan lipolisis yang merupakan sumber dari pembentukan
keton bodies. Faktor presipitasi yang sering dijumpai dalam klinik antara lain adalah
infeksi akut, infark miokard, stroke, pankreatitis. Faktor iatrogenik dapat pula berpengaruh misalnya peningkatan tekanan osmose plasma akibat nutrisi enteral maupun parenteral, kekurangan cairan tubuh akibat diuretika atau dialisis peritoneal, dan obat-obatan yang menghambat sekresi maupun kerja insulin, sebagai contoh kortikosteroid, beta bloker, cimetidine.5 Tujuan terapi HONK pada dasarnya adalah menormalkan kembali keseimbangan cairan, elektrolit, asam-basa dan osmolalitas plasma, serta menghilangkan faktor presipitasi. Walaupun diuresis pada HONK mengakibatkan tubuh kehilangan natrium, kalium, magnesium, kalsium, dan fosfat, namun dalam program terapi tidak semua elektrolit tersebut harus diganti. Kehilangan natrium dan kalium yang merupakan prioritas harus segera diganti, adapun preparat magnesium, fosfat, dan kalsium tidak diberikan kepada penderita HONK tanpa gejala yang ditimbulkan oleh kehilangan elektrolit-elektrolit tersebut. Harus ditegaskan bahwa pemberian insulin (dengan protokol sama dengan KAD), harus disertai koreksi keseimbangan cairan yang adekwat, oleh karena bila kebutuhan cairan tersebut tidak terpenuhi, pemberian insulin justru memacu bertambah hilangnya cairan ekstra sel keluar tubuh dan memperberat hipovolemi, syok dan tromboemboli.5 Mengenai terapi antibiotika ada dua pendapat di kalangan para pakar diabetes, satu pihak menganjurkan segera memberikan antibiotika dengan alasan sebagian besar faktor presipitasi adalah infeksi, lain pihak menganjurkan menunggu sampai ada kepastian adanya infeksi, walaupun ada gejala sub febril dan lekositosis. Pemberian dosis kecil antikoagulan
misalnya heparin juga ada dua pendapat, ada yang menganjurkan perlu diberikan dengan alasan sering terjadi tromboemboli pada HONK, ada pula yang tidak setuju dengan pertimbangan meningkatnya risiko perdarahan gastrointestinal pada HONK yang disebabkan oleh hypertonicity-induced gastroparesis.5 Sangat dibutuhkan monitoring kondisi fisik penderita selama program rehidrasi antara lain tensi, nadi, jumlah urin, gejala fluid overload (tekanan vena jugularis, auskultasi jantung dan paru). Intubasi nasogastrik diperlukan bagi penderita dengan gastroparesis yang disertai vomitus, adapun kateterisasi saluran kencing sebaiknya tidak dilakukan untuk memperkecil risiko infeksi, atau bila terpaksa diusahakan tidak terlalu lama. Setelah kondisi akut dapat diatasi, masih dibutuhkan insulin dengan protokol programnya seperti pada KAD. Dengan membaiknya kondisi Selanjutnya dapat diberikan hipoglikemik oral dengan dosis diatur kembali sesuai respons penurunan kadar glukosa darah.5 Pencegahan KAD dan HONK tidak kalah pentingnya dibandingkan terapi yang harus diberikan apabila gejala klinik sudah timbul. Dokter maupun paramedik yang merawat penderita harus mulai waspada apabila timbul gejala-gejala dari faktor-faktor presipitasi KAD maupun HONK. Pemeriksaan kadar glukosa darah dan ketonuri harus segera dilakukan, dan program terapi harus segera disiapkan bagi penderita DM dengan vomitus disertai hiperglikemi berat (kadar glukosa darah >500 mg/dl atau >28 mmol/L), atau kadar glukosa darah >250 mg/dl disertai ketonuri sedang sampai berat dan sebaiknya penderita segera dirawat di rumah sakit untuk pengelolaan dan pengawasan yang lebih intensif.9
Penderita DM dicurigai mengalami LAD bila didapatkan gejala klinik dari faktor-faktor presipitasi seperti yang telah diuraikan di atas, adapun diagnosis ditegakkan berdasarkan data laboratorium kadar laktat darah >5 meq/L dan pH <7.0. Strategi terapi LAD adalah koreksi perfusi jaringan, terapi terhadap faktor-faktor pencetus,
continuous infusion bikarbonat untuk meningkatkan pH menjadi 7.2 dan bikarbonat
serum menjadi 12 meq/L. Koreksi keseimbangan cairan dan protokol pemberian insulin pada dasarnya sama dengan KAD. Hemodialisis diperlukan bagi penderita LAD akibat bahan toksik termasuk dalam hal ini metformin, untuk mempercepat hilangnya preparat tersebut dari darah penderita.5 Preparat dichloroacetate masih dalam pengembangan uji klinik untuk LAD, memiliki potensi mengaktifkan piruvat dehidrogenase, sehingga oksidasi piruvat dan penggunaan laktat meningkat, kadar laktat darah menurun dan asidosis terkoreksi. Di samping itu dichloroacetate memiliki potensi inotropik positif terhadap miokard, dengan dampak positif yaitu kenaikan cardiac output, perfusi jaringan juga ikut meningkat, sehingga stimulasi hipoksia terhadap produksi laktat menurun.8
Ringkasan
Manifestasi klinik dari kegawatan hiperglikemi pada penderita DM dapat berupa KAD, HONK dan LAD. Asidosis dapat membahayakan jiwa penderita oleh karena mengganggu fungsi kardiovaskular, adapun kegawatan akibat HONK adalah hipovolemi dan tromboemboli. Suntikan Insulin adalah satu-satunya pilihan terapi untuk menurunkan hiperglikemi secepat mungkin dalam kegawatan DM, di samping
pemberian cairan dan elektrolit yang adekwat. Adapun pengamatan ketat dan periodik mengenai perbaikan metabolik dan fisik, mutlak dilakukan untuk memandu program terapi. Diagnosis kegawatan hiperglikemi pada lansia, apalagi gejala dini, lebih sukar dideteksi dibandingkan dengan kasus-kasus yang lebih muda usia, oleh karena adanya gangguan kognitif pada kelompok lansia. Terapi juga harus ada perhatian khusus, misalnya dosis insulin dibatasi sekitar 50% dari dosis untuk penderita yang lebih muda, mengingat risiko hipoglikemi yang lebih besar. Juga pemberian cairan harus disesuaikan untuk menghindari overhydration yang membahayakan organ kardiovaskular yang memang sudah ada kemunduran fungsi sebelumnya. Tindakan pencegahan tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan terapi pada waktu kegawatan DM telah terjadi, oleh karena itu faktor-faktor presipitasi, gejala-gejala awal harus diobservasi dengan teliti, oleh karena pencegahan jauh memberikan hasil positif dibandingkan dengan pengobatan yang baru dimulai dilakukan setelah kegawatan sudah terjadi.
Daftar pustaka
1. Ho PJ, Turtle JR. Establishing the diagnosis. In: Finucane Paul. Diabetes in Old Age. Chicester: John Wiley & Sons Ltd, 1995: 70-91.
2. Barrett-Connor E, Ferrara A. Isolated post chalenge hyperglycemia as a predictor of cardiovascular mortality in the elderly. Diabetes Care. 1998; 21: 1236-1239.
3. Garber AJ. Diabetes mellitus. In: Stein JH. Internal medicine. 4th ed. St Louis: Mosby Year Book Inc, 1994: 1407-1415.
4. Buchalter SE, Kreisberg RA. Lactic acidosis. In: American Diabetes Association. Therapy for Diabetes Mellitus and Related Disorders. 3rd ed. Virginia: Library of Congress Cataloging-in-Publication Data, 1996: 97-103.
5. Lorber D. Nonketotic hypertonicity in diabetes mellitus. The Medical Clinic of North America. Endocrine Emergencies. Philadelphia: WB Saunders Company. 1995; 79: 39-52.
6. Kitabchi AE, Wall BM. Diabetic ketoacidosis. The Medical Clinic of North America. Endocrine emergencies. Philadelphia: WB Saunders Company. 1995; 79: 9-37. 7. Benbow SJ, Walsh A, Gill GV. Brittle diabetes in the elderly. Journal of the Royal
Society of Medicine. 2001; 94: 578-580.
8. Stacpoole PW. Lactic acidosis. Endocrinology and Metabolism Clibnics of North America. Endocrine Crises. Philadelphia: WB Saunders Company. 1993; 22: 221-245. 9. Genuth S. Diabetic ketoacidosis and hyperglycemic hyperosmoler coma in adults. In:
Lebovitz HE. Therapy for Diabetes Mellitus and Related Disorders. Virginia: American Diabetes Association Inc, 1991: 63-75.
10. Fleckman AM. Diabetic ketoacidosis. Endocrinology and Metabolism Clinics of North America. Endocrine Crises. Philadelphia: WB Saunders Company. 1993; 22: 181-207.
11. Umpierrez GE, Cuervo R, Karrabel A, Latif K, Freire AX, Kitabchi AE. Treatment of diabetic ketoacidosis with subcutaneous insulin aspart. Diabetes Care 2004; 27: 1077-1080.
12. Manna TL, Steinmetz L, Campos PR, et al. Subcutaneous use of a fast-acting insulin analog. An alternative treatment for pediatric patients with diabetic ketoacidosis. Diabetes Care 2005; 28: 1856-1861.
13. Lindstrom T, Hedman CA, Arnqvist HJ, et al. Use of a novel double-antibody technique to describe the pharmacokinetics of rapid-acting insulin analogs. Diabetes care 2002; 25: 1049-1054.
14. Rosseti P, Pampanelli S, Fanelli C, et al. Intensive replacement of basal insulin in patients with type 1 diabetes given rapid-acting insulin analog at mealtime. Diabetes care 2003; 26: 1490-1496.