BAB I PENDAHULUAN
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
1. Bagi Pemerintah Daerah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi, masukan dan saran mengenai percepatan dan perluasan implementasi elektronifikasi transaksi daerah sehingga dapat digunakan untuk membangun ekosistem digital pada pemerintah daerah.
2. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait perluasan transaksi dan menambah pengetahuan masyarakat dalam hal pemahaman bertransaksi menggunakan transaksi digital.
3. Bagi Bank Indonesia
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan rujukan bagi Bank Indonesia dalam melihat peluang dan tantangan pemerintah daerah dalam menerapkan perluasan dan digitalisasi daerah.
4. Bagi Universitas
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan pengembangan ilmu pengetahuan bagi para akademisi dan para mahasiswa dalam pengetahuan mengenai percepatan dan perluasan implementasi transaksi terhadap pemerintah daerah.
5. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam mendukung kajian percepatan dan perluasan implementasi transaksi terhadap pemerintah daerah, serta dapat digunakan sebagai referensi dalam penelitian selanjutnya.
10 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keuangan Daerah
2.1.1 Pengertian Keuangan Daerah
Pengertian Keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam penjelasan pasal 1 Ayat 5 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dalam rangka APBD.
Menurut Halim (2008) menyatakan bahwa keuangan daerah memiliki ruang lingkup yang terdiri atas keuangan yang dikelola langsung dan kekayaan daerah yang dipisahkan, yang termasuk keuangan daerah dikelola langsung adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dari barang-barang inventaris milik daerah. Di lain pihak, keuangan daerah yang dipisahkan meliputi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Keuangan daerah dapat diartikan sebagai hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki atau dikuasai oleh negara.
Sedangkan menurut Kuswandi (2016) keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
2.1.2 Perkembangan Manajemen Keuangan Daerah
Mahmudi (2009) menyatakan bahwa perkembangan manajemen keuangan daerah di Indonesia dapat dikatakan cukup terlambat hampir dua dasawarsa dibandingkan dengan reformasi yang telah dilakukan oleh negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia juga termasuk terlambat jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, Singapura, dan Selandia Baru yang sudah sejak tahun 1970 an dan 1980 an telah melakukan serangkaian reformasi di bidang manajemen keuangan publik. Singapura misalnya, telah menggunakan anggaran berbasis kinerja (performance budget) sejak tahun 1980 an, sedangkan pemerintah daerah di Indonesia baru menerapkannya tahun 2001. Pemerintah Inggris telah memulai mereformasi sektor publiknya dengan konsep New Public Management sejak tahun 1980 an.
Amerika Serikat menggunakan anggaran dengan pendekatan Planning Programming Budgeting System (PPBS) secara luas tahun 1965 dan Zero Base Budgeting (ZBB) tahun 1973. Selandia Baru secara radikal menggunakan akuntansi akrual sejak tahun 1990 an. Meskipun relatif terlambat, reformasi manajemen keuangan sektor publik di Indonesia dapat dikatakan mengalami kemajuan yang cukup pesat.
Reformasi sistem keuangan daerah di Indonesia telah menerapkan prinsip tata kelola keuangan yang baik dan penerapan good governance dalam pengelolaan keuangan daerah dimana pemerintah daerah menerapkan prinsip akuntabilitas, transparansi, efektivitas dan efisiensi dalam proses pengelolaan keuangan daerah melalui laporan keuangan yang dapat dikonsumsi masyarakat
untuk melihat seberapa jauh tingkat pemakaian anggaran daerah terhadap kinerja aparatur pemerintah dalam pelayanan masyarakat (UU NO 17 Tahun 2003).
Sesuai dengan prinsip E-Government yang menempatkan teknologi diantara semua tingkatan pemerintah, warga negara dan komunitas bisnis, termasuk memperoleh dan menyediakan produk layanan, menyediakan dan mendapatkan informasi hingga transaksi keuangan. Maka yang menjadi fokus pengembangan reformasi sistem keuangan daerah yaitu dengan menyediakan infrastruktur pembayaran berdasarkan teknologi informasi dan komunikasi dengan penggunaan sistem transaksi non tunai pada pengelolaan keuangan daerah.
E-Government reformasi pengelolaan keuangan daerah dengan diterapkannya sistem transaksi non tunai sebagai bentuk Implementasi terbitnya Inpres No 10 tahun 2016 Tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi dan SE Mendagri No 910/1866/SJ tahun 2017 tentang Implementasi Transaksi Non tunai pada Pemerintah Daerah. (Septiani & Kusumastuti, 2019).
2.1.3 Ruang Lingkup Keuangan Daerah
Ruang lingkup keuangan daerah berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah meliputi:
1. Hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan pinjaman.
2. Kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintah daerah dan membayar tagihan pihak ketiga.
3. Penerimaan daerah 4. Pengeluaran daerah
5. Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah.
6. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah atau kepentingan umum.
2.1.4 Pengelolaan Keuangan Daerah
Halim (2008) mengungkapkan bahwa pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah.
Dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah merupakan semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Terwujudnya pelaksanaan desentralisasi fiskal secara efektif dan efisien salah satunya tergantung pada pengelolaan keuangan daerah. Sesuai dengan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, tidak lagi bertumpu atau mengandalkan Bagian Keuangan Sekretariat Daerah (Setda) Kabupaten/Kota, tetapi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) kini wajib menyusun dan melaporkan posisi keuangannya, yang kemudian dikonsolidasikan oleh PPKD.
2.2 Sistem Pembayaran
Bank Indonesia dalam Undang-Undang No.23 Tahun 1999 menjelaskan sistem pembayaran adalah suatu sistem yang mencakup seperangkat aturan,
lembaga, dan mekanisme yang digunakan untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi.
Sistem pembayaran telah mengalami evolusi selama beberapa abad, sejalan dengan perubahan sifat dan penggunaan uang sebagai alat pembayaran.
Perkembangan peran uang sebagai alat pembayaran terus mengalami perubahan wujud yaitu dalam suatu bentuk alat pembayaran cek atau giral yang memungkinkan pembayaran dengan cara transfer dana dari saldo rekening antar institusi keuangan, khususnya bank. Seiring dengan perkembangan teknologi, berbagai instrumen pembayaran non tunai atau elektronik mulai bermunculan dalam berbagai wujud antara lain mobile banking, ATM, kartu debit, kartu kredit dan sebagainya.
Dengan semakin majunya teknologi dan adanya kebutuhan akan alat pembayaran yang praktis dan murah, di beberapa negara telah mulai dikembangkan produk pembayaran elektronis yang dikenal sebagai uang elektronik (e-money), yang karakteristiknya berbeda dengan pembayaran elektronis yang disebutkan sebelumnya, karena setiap pembayaran yang dilakukan dengan menggunakan e-money tidak selalu memerlukan proses otorisasi dan online secara langsung dengan rekening nasabah di bank (pada saat melakukan pembayaran tidak dibebankan ke rekening nasabah di bank). E-money merupakan produk stored value dimana sejumlah nilai (monetary value) telah terekam dalam alat pembayaran yang digunakan (Bank Indonesia, 2006).
Dalam praktiknya sehari-hari, ada dua jenis sistem pembayaran yaitu pembayaran tunai (cash) dan pembayaran non tunai (non cash).
1. Pembayaran Tunai (Cash)
Alat pembayaran tunai dapat dilakukan dengan menggunakan uang, baik jenis uang logam maupun uang kertas. Dalam peredarannya, uang tersedia dalam berbagai jenis pecahan agar memudahkan untuk bertransaksi. Meskipun transaksi non tunai di satu sisi mengalami peningkatan dan di sisi lain transaksi tunai mengalami penurunan. Namun demikian, tetap saja banyak yang merasa lebih nyaman bertransaksi secara tunai. Terlebih dalam transaksi non tunai membutuhkan pengetahuan mengenai teknologi sebagai syarat bagi pengguna.
2. Pembayaran non tunai (non-cash)
Alat pembayaran non tunai dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yakni alat pembayaran untuk kredit transfer dan alat pembayaran untuk debit transfer. Perbedaan antara kredit transfer dan debit transfer terletak pada perintah pengiriman uang. Perkembangan sistem pembayaran non tunai diawali dengan instrumen pembayaran yang bersifat paper based seperti cek, bilyet, giro, dan warkat lainnya. Sejak perbankan mendorong penggunaan sistem elektronik serta penggunaan alat pembayaran menggunakan kartu dengan segala bentuknya, berangsur-angsur pertumbuhan penggunaan alat pembayaran yang paper based semakin menurun. Apalagi sejak sistem elektronik, seperti transfer dan sistem kliring mulai banyak digunakan.
Selanjutnya berkembang instrumen pembayaran yang berbasis kartu sejalan dengan perkembangan teknologi. Saat ini, instrumen pembayaran berbasis kartu yang telah berkembang dengan berbagai varian. Mulai dari kartu kredit, kartu ATM, kartu debit dan berbagai macam jenis uang elektronik.
2.3 Elektronifikasi Transaksi Keuangan
Sebagai bentuk respon akan perkembangan dunia digital yang begitu massive, pemerintah melalui Bank Indonesia merancangkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNTT) pada tahun 2014 yang bertujuan untuk menciptakan sistem pembayaran yang efektif dan efisien melalui penggunaan teknologi atau menciptakan sistem pembayaran yang efektif dan efisien melalui penggunaan teknologi atau menciptakan ekosistem cashless society. Lebih lanjut guna menindaklanjuti GNTT dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan di tengah pandemi Covid-19, Pemerintah Indonesia pada tahun 2021 melalui Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2021 mencanangkan program elektronifikasi transaksi keuangan. Dilansir dari portal resmi Bank Indonesia, elektronifikasi transaksi keuangan merupakan perubahan cara pembayaran yang semula menggunakan tunai menjadi non tunai. Elektronifikasi transaksi keuangan merupakan salah satu bentuk GNTT yang dirancang oleh Bank Indonesia.
Program tersebut terdiri dari 4 (empat) jenis, diantaranya:
1. Elektronifikasi Transaksi Pemerintah Daerah
Elektronifikasi Transaksi Pemerintah Daerah (ETPD) adalah suatu upaya yang terpadu dan terintegrasi untuk mengubah pembayaran dari tunai menjadi non tunai dengan tujuan untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan daerah. Elektronifikasi transaksi pemerintah daerah sendiri terbagi kedalam dua komponen, diantaranya:
a. Pengguna sistem layanan elektronifikasi transaksi keuangan yang terdiri dari pemerintah daerah dan masyarakat.
b. Penyedia layanan transaksi keuangan yang terdiri dari Bank Pengelola RKUD, Mitra Bank, Agen Bank, Point Payment dan Fintech.
Selain itu, terdapat beberapa hal yang juga perlu diperhatikan dalam keberlangsungan ekosistem elektronifikasi transaksi keuangan pemerintah daerah, seperti:
a. Sistem Informasi dan Keuangan Pemerintah Daerah memiliki konektivitas dengan sistem perbankan sebagai pengelola RKUD untuk mendukung transaksi non tunai sekurangnya meliputi aktivitas transfer/payment, payroll dan inquiry.
b. Ketersediaan instrumen dan kanal pembayaran diperluas melalui kerja sama Bank Pengelola RKUD dengan mitra kerja sama untuk mempermudah akses bagi masyarakat dalam melakukan transaksi non tunai dengan pemerintah daerah.
c. Pemerintah daerah dan perbankan bersinergi untuk melakukan edukasi kepada masyarakat dalam pengenalan dan perluasan akses keuangan melalui pemanfaatan instrumen dan kanal pembayaran non tunai.
Pengaturan elektronifikasi transaksi pemerintah daerah diawali dengan GNNT yang diinisiasi oleh Bank Indonesia bersama pemerintah pada tahun 2014 dalam rangka menciptakan cashless society. Sejalan dengan GNNT, diterbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No.10/2016 yang salah satunya berisi arahan percepatan implementasi transaksi non tunai di seluruh Kementerian atau Lembaga (K/L) dan pemerintah daerah. Guna mendorong percepatan program elektronifikasi transaksi keuangan pemerintah daerah, diterbitkan Surat Edaran
Mendagri No.910/1866/SJ tentang Implementasi Transaksi Nontunai pada pemerintah daerah Provinsi dan Surat Edaran Mendagri No.910/1867/SJ tentang Implementasi Transaksi Non Tunai pada pemerintah daerah Kabupaten/Kota yang dipertegas dengan penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No.12/2019 Pasal 222 yang berisikan kewajiban Pemerintah daerah untuk menerapkan sistem pemerintahan berbasis elektronik di bidang pengelolaan keuangan daerah. Peran elektronifikasi transaksi keuangan Pemerintah daerah dalam menopang berbagai kegiatan perekonomian antara lain:
a. Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan melakukan kerjasama antara pemerintah daerah bersama bank pengelola RKUD dan bank lainnya yang menyediakan berbagai kanal pembayaran untuk mempermudah penerimaan pendapatan secara non tunai yang bersumber dari pembayaran pajak maupun retribusi.
b. Perbaikan tata kelola keuangan pemerintah daerah tercermin pada penyediaan proses administrasi lebih sederhana, memiliki akses yang luas, mampu mencatat seluruh transaksi, meningkatkan efisiensi pengelolaan keuangan, dan mendukung perencanaan ekonomi yang lebih akurat. Seluruhnya merupakan dampak dari program elektronifikasi transaksi keuangan pemerintah daerah.
c. Peningkatan akses keuangan dapat dilihat dengan semakin merata dan beragamnya ketersediaan kanal dan instrumen pembayaran non tunai di seluruh wilayah, maka pada gilirannya akan meningkatkan peluang kepemilikan rekening.
d. Penguatan kontrol keuangan secara sistematis (tercatat dan terdokumentasi dengan baik) akan memudahkan berbagai pihak dalam melakukan kontrol dan evaluasi secara real time, serta memudahkan berbagai pihak dalam menyusun pelaporan transaksi keuangan sesuai kaidah akuntansi keuangan.
2. Elektronifikasi Bantuan Sosial
Elektronifikasi bantuan sosial (Bansos) adalah transformasi penyaluran bansos dari tunai menjadi non tunai yang bertujuan untuk mewujudkan pemenuhan prinsip 6T (Tepat waktu, Tepat sasaran, Tepat jumlah, Tepat kualitas, Tepat harga, dan Tepat administrasi) serta meningkatkan kesempatan dan kemampuan masyarakat dalam mengakses dan memanfaatkan layanan keuangan. Program elektronifikasi bansos meliputi Program Keluarga Harapan (PKH) dan Program Sembako (Bantuan Pangan Non Tunai) yang diintegrasikan ke dalam Kartu Kombo. Program ini juga telah tertuang dalam Peraturan Presiden RI No.63 tahun 2017 tentang Penyaluran Bantuan Sosial secara Non Tunai. Secara teknis implementasi elektronifikasi bansos diawali dengan beberapa tahapan yakni:
a. Diawali dengan adanya arahan Presiden RI mengenai transformasi penyaluran bansos secara nontunai dalam Rapat Kabinet Terbatas tanggal 26 April 2016. Arahan tersebut telah sesuai dengan kebijakan BI terkait keuangan inklusif dan Strategi Peningkatan Akseptasi Implementasi Elektronifikasi Transaksi Pemerintah Daerah 10 Di Provinsi Sumatera Utara elektronifikasi melalui Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang
dicanangkan BI dan Pemerintah pada 14 Agustus 2014;
b. Selanjutnya BI menginisiasi penandatanganan Nota Kesepahaman tentang koordinasi pelaksanaan elektronifikasi penyaluran bansos bersama 5 Kementerian pada 26 Mei 2016. Penyaluran bansos tersebut selaras dengan salah satu pilar Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI).
c. Implementasi elektronifikasi bansos pada tahun 2016 dimulai dengan penyaluran Program Keluarga Harapan (PKH) dan selanjutnya pada tahun 2017 diluncurkan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang merupakan reformasi dari program Keluarga Sejahtera (Rastra).
d. Arahan Presiden dalam Nota Keuangan 16 Agustus 2019 pemerintah akan menyalurkan BPNT kepada 15,6 Juta keluarga melalui Kartu Sembako sehingga dapat membeli dan memilih bahan pangan yang lebih beragam serta jumlah bantuan meningkat menjadi Rp1,8 Juta/KPM/tahun. Selanjutnya hasil Rapat Tingkat Menteri (RTM) pada 17 Desember 2019 menyepakati bahwa terdapat pengembangan BPNT menjadi Program Sembako dan tetap menggunakan Kartu Kombo sebagai instrumen penyaluran.
3. Elektronifikasi Transportasi
Program elektronifikasi ketiga yakni program elektronifikasi transportasi secara nasional. Program ini telah didukung dengan ditandatanganinya Kesepakatan Bersama antara Bank Indonesia dengan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia No.19/8/NK/GBI/2017 tanggal 6 Januari
2017 tentang Kerja Sama dan Koordinasi dalam rangka Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia dan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia.
Penerapan elektronifikasi pembayaran di sektor transportasi juga telah diimplementasikan pada transportasi darat, penyeberangan, dan laut serta transportasi berbasis rel sesuai dengan prinsip GPN (interkoneksi dan interoperabilitas) dan terbuka untuk semua penerbit Uang Elektronik (non-eksklusif) sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik tanggal 3 Mei 2018. Dalam pelaksanaan elektronifikasi pembayaran moda transportasi, Bank Indonesia bekerjasama dengan Kementerian Perhubungan, Pemprov/ Dishub setempat, operator moda transportasi dan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) untuk melakukan peningkatan awareness masyarakat, kemudahan akses perolehan instrumen pembayaran dan layanan top up, serta keandalan peralatan alat transaksi di masing-masing moda transportasi.
4. Elektronifikasi Jalan Tol
Bank Indonesia juga mengawal elektronifikasi transaksi jalan tol yang telah didukung dengan ditandatanganinya Kesepakatan Bersama antara Bank Indonesia dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia No.19/5/NK/GBI/2017 tanggal 31 Mei 2017 tentang Kerja Sama dan Koordinasi dalam rangka Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia, Selain itu, melalui Permen PUPR No.16 tahun 2017, pembayaran tarif jalan tol secara serentak dilakukan secara non tunai menggunakan uang
elektronik berbasis chip pada 31 Oktober 2017. Secara bertahap, akan dilakukan migrasi pembayaran dari sebelumnya melalui mekanisme tapping menjadi nirsentuh/contactless.
2.4 Pendapatan Daerah
Menurut Permendagri No.13 tahun 2006, pendapatan daerah meliputi seluruh penerimaan uang melalui Rekening Kas Umum Daerah (RKUD), yang menambah ekuitas dana lancar, yang merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Pada pendapatan asli daerah ini transaksi yang berhubungan dengan transaksi non tunai adalah pajak daerah dan retribusi daerah. Pendapatan daerah yang dilakukan oleh bendahara penerimaan/bendahara penerimaan pembantu berupa pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak mineral bukan logam dan bantuan, pajak parkir, pajak air tanah, pajak bumi bangunan (PBB) dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) wajib menggunakan transaksi non tunai. Pendapatan daerah terdiri dari:
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), meliputi: pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah.
2. Dana Perimbangan, meliputi: dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus.
3. Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah: hibah, dana darurat dari pemerintah, dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada kab/kota, dana penyesuaian dan otonomi khusus serta bantuan keuangan dari provinsi atau pemerintah daerah.
2.5 Pajak Daerah
Secara umum pajak adalah pungutan dari masyarakat oleh negara (pemerintah) berdasarkan Undang-Undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya dengan tidak mendapat prestasi kembali (kontra prestasi/balas jasa) secara langsung, yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Hal ini menunjukkan bahwa pajak adalah pembayaran wajib yang dikenakan berdasarkan Undang-Undang yang tidak dapat dihindari bagi yang berkewajiban dan bagi mereka yang tidak mau membayar pajak dapat dilakukan paksaan. Dengan demikian, akan terjamin bahwa kas negara selalu berisi uang pajak. Selain itu, pengenaan pajak berdasarkan Undang-Undang akan menjamin adanya keadilan dan kepastian hukum bagi pembayar pajak sehingga pemerintah tidak dapat sewenang-wenang menetapkan besarnya pajak.
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, yang selanjutnya disebut pajak adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dari definisi diatas, penulis dapat menarik suatu kesimpulan bahwa pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerahnya tanpa imbalan yang langsung dapat dirasakan, yang bersifat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah setempat.
Dalam Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang jenis pajak terbagi atas dua, yaitu Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 Pajak provinsi terbagi menjadi lima jenis dan Pajak Kabupaten/Kota terbagi menjadi sebelas jenis, terdiri dari:
1. Pajak Provinsi, meliputi: pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak air permukaan dan pajak rokok.
2. Pajak Kabupaten/Kota, meliputi: pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir, pajak air tanah, pajak sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.
2.6 Retribusi Daerah
Menurut Permendagri No. 7 tahun 2001, retribusi daerah yaitu pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Retribusi daerah dibagi atas tiga golongan, yaitu: retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan retribusi perizinan tertentu. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 Pasal 149 ayat 2-4, penetapan jenis retribusi jasa umum dan retribusi perizinan tertentu untuk daerah provinsi dan kabupaten/kota disesuaikan dengan kewenangan daerah masing-masing sebagaimana diatur dalam perundang-undangan. Hal yang sama juga berlaku untuk penetapan jenis retribusi jasa usaha untuk daerah provinsi dan kabupaten/kota, dilakukan sesuai dengan jasa/pelayanan yang diberikan oleh
daerah masing-masing. Rincian jenis objek dari setiap retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan retribusi perizinan tertentu diatur dalam peraturan daerah yang bersangkutan.
Berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang retribusi daerah terbagi menjadi tiga jenis yaitu:
1. Retribusi jasa umum, meliputi: retribusi pelayanan kesehatan, retribusi pelayanan persampahan/kebersihan, retribusi pemakaman, retribusi parkir di tepi jalan umum, retribusi pelayanan pasar, retribusi pengujian kendaraan bermotor, retribusi alat pemadam kebakaran, retribusi penggantian biaya cetak peta penyediaan, retribusi penyedotan kakus, retribusi limbah cair, retribusi tera ulang, retribusi pendidikan, retribusi pengendalian menara telekomunikasi, retribusi pengendalian lalu lintas.
2. Retribusi jasa usaha, meliputi: retribusi pengendalian kekayaan daerah, retribusi pasar grosir atau pertokoan, retribusi tempat pelelangan, retribusi
2. Retribusi jasa usaha, meliputi: retribusi pengendalian kekayaan daerah, retribusi pasar grosir atau pertokoan, retribusi tempat pelelangan, retribusi