• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Periode Kedua (Menghafal Al quran saat Kuliah) SEMESTER I (Agustus-Desember 2011)

30. Mengikuti LATPEL (Latihan Pelatih) PC IPNU Kab. Pekalongan

Gambar 3.34 Kegiatan LATPEL

PAC IPNU-IPPNU Sragi mendapat surat dari PC IPNU IPPNU Kab. Pekalongan. Isi suratnya adalah permintaan kesediaan beberapa orang dari pengurus PAC untuk mengikuti acara LATPEL yang akan dilaksanakan di Lebak Barang. Acara ini diadakan pada tanggal 25-27 Mei 2014 di Lebak Barang. Para peserta harus mempersiapkan diri dengan bekal fisik dan non fisik. Pelatihan ini di maksudkan untuk mencetak para pelatih, jadi kami dilatih untuk menjadi pelatih.

Setelah sholat dhuhur, saya dan Renita (tetangga saya yang juga ketua PAC IPPNU Sragi) berangkat dari rumah menuju kantor NU di Kedungwuni. Sesampainya disana, kami mengikuti upacara pembukaan dan diakhiri dengan pemberangkatan semua anggota ke Kandang Serang menggunakan mobil

doplak (tanpa atap). Sebagian orang memilih naik motor, tetapi saya dan Reni sengaja memilih ikut rombongan naik mobil doplak karena di samping jalan menuju kesana tergolong sulit, hampir tidak ada penerangan di jalan,

pemberangkatan menjelang mahrib, serta saya belum mengetahui lokasinya.45

Dalam perjalanan, saya dan teman-teman IPNU bercanda. Dari tadi, saya merasa jalan menuju Lebak Barang banyak sekali belokan dan juga jembatan. Dalam seperuh perjalanan saya sudah menghitung ada 12 jembatan. Saya katakan pada teman-teman “Saya menghitung dari tadi sudah ada 12 jembatan yang kita lalui.” Serentak teman-teman yang tadinya terdiam menikmati perjalanan sampai tidak memperhatikan sekitar tiba-tiba mereka terhentak. Dan mengatakan “Jadi dari tadi Mas Asep menghitung jembatan?” kok aku gak sadar ya kalo banyak banget belokan dan jembatan.” Teman-teman yang lain ikut membahas dan suasana menjadi ramai kemudian kami menghitung sisa tikungan dan jembatan yang kami lalui bersama. Ternyata ada sekitar 23 jembatan baik kecil maupun besar. Subhanallah, banyak sekali. Sesampainya di lokasi, kami merasa sangat lapar, karena dari siang kami belum makan nasi, hanya sebungkus snack saja yang kami santab dalam acara pembukaan tadi. Kami segera masuk ke tampat yang sudah disediakan. Sebagian diantara kami, terutama saya dan teman-teman IPNU mencari warung. Tak jauh kami melangkah, kami menemukan warung. Kami pesan mie instan telur dan minta dimasakkan agar kami segera bisa makan. Kami

45

Konfirmasi dengan Renita (rekan IPPNU anggota LATPEL I Tahun 2014), pada tanggal 19 Juni 2016

makan sambil bercanda dan saling berkenalan karena diantara kami memang banyak yang belum saling mengenal.

Mie instan pakai telur sudah jadi, pemilik warung menawarkan nasi kepada kami, tanpa ragu-ragu kami segera menyantabnya. Kami juga memesan susu, kopi, teh, dan minuman lainya, tidak lupa gorengan, krupuk dan juga rokok sebagai pelengkap. Namun, alangkah terkejutnya ketika kami membayar, semua yang kami makan hanya dihargai perorang lima ribu. Padahal kami sudah makan banyak sekali. Ya Allah saya hanya bayar lima ribu? Dapat mie instan, telur, nasi, kerupuk, susu. Murah banget bu? Kami pulang menuju tempat persinggahan dengan tertawa bahagia karena harga yang sangat murah tersebut.

Pagi harinya, kami mulai kegiatan. Senam pagi, jalan-jalan, mandi, dan kenudian sarapan bersama. Kali ini panitia yang menyediakan makanan. Setelah itu, kami masuk pada materi. Banyak materi yang disampaikan. Diantaranya adalah kami dilatih bagaimana cara berkomunikasi yang baik, teknik jitu mengungkap fakta dengan lawan bicara, tentang ke NU-an, tentang pengelolaan organisasi yang baik dan sebagainya.

Pada hari kedua, kami mendapat tamu undangan dari pimpinan wilayah IPNU IPPNU Jawa Tengah. Meraka memberikan materi dan juga pengalaman-pengalaman mereka dalam berorganisasi dan juga memberikan kesempatan untuk bertanya-jawab dengan peserta. Acara tetap berlangsung sampai larut malam. Pada malam hari inilah, kami masing-masing mendapat kesempatan presentasi tentang materi-materi yang ada. Saat itu, kelompok

saya mendapat materi tentang ASWAJA. Saya merasa bisa mengusai materi tersebut karena ingat pelajaran-pelajaran saat di MAS Simbangkulon dan juga ingat materi-materi yang saya dapatkan di pondok YPI dan juga materi materi di bangku kuliah. Saya maju ke depan menerangkan materi tentang ASWAJA. Saya memperhatikan para audiens dan teman-teman pengurus PC IPNU IPPNU. Mereka terlihat sangat antusias dengan meteri yang saya sampaikan hingga setelah saya selesai beberapa panitia mengatakan penyampaian gaya materi ASWAJA yang saya presentasikan seperti dosen. Saya mengamininya. semoga saja menjadi dosen sungguhan, Amin ya Allah. 31. Mencari Generasi Penerus PAC IPNU IPPNU Sragi dan IPNU

IPPNU Ranting Desa Sumubkidul

Saat itu saya merangkap jabatan tiga kepengurusan IPNU baik di IPNU ranting (tingkat desa), PAC IPNU (tingkat kecamatan) maupun PC IPNU (tingkat kabupaten). semua ini sangat menyita waktu. Sebenarnya kepengurusan ditingkat ranting (desa) maupun PAC (tingkat kecamatan) masih banyak kekurangan, sehingga membuat saya kesulitan menjalankan roda kepengurusan dimasing-masing tingkatan organisasi. Apalagi saya juga diangkat manjadi pengurus kabupaten. Rangkap jabatan tersebut bukan karena saya hebat ataupun berkompeten, namun karena IPNU-IPPNU sragi sedang kekurangan pengurus hingga saya merangkap jabatan ketua IPNU ranting, wakil ketua PAC dan salah satu departeman PC IPNU, hingga pada ahirnya saya jarang sekali dapat menghadiri acara PC IPNU kabupaten Pekalongan karena waktu saya sangat padat (saat itu saya menjadi pengurus

LPTQ STAIN Pekalongan, pengurus rangkap jabatan IPNU dan pengurus Pesantren dan sedang belajar menghafal Al quran).

Saya berfikir, organisasi IPNU IPPNU harus tetap ada dan jangan sampai vakum seperti generasi-generasi sebelum kami. Saya, Nur Hasanah, Imam Amirudin, Renita, Muhtasib dan para pengurus awal IPNU- IPPNU tak lagi mempunyai waktu yang cukup untuk terus menerus mengurusi kegiataan karena kami sibuk dengan tanggung jawab pribadi kami masing masing sejalan dengan bertambahnya usia kami. Muhtasib sudah lama keluar dari kepengurusan PAC IPNU dan tak lama lagi ia akan menikah, Renita sekarang mengajar di PAUD desa Sumubkidul, Nur Hasanah menjadi guru honorer di SMP 3 Sragi, Imam Amirudin menjadi TU di SD N 01 Kalijambe, sedangkan saya dan Ayu sendiri sebentar lagi akan memasuki semester enam dan harus fokus kuliah dan akan mulai membuat skripsi, PPL, KKL, dan KKN. Ini menandakan kegiatan IPNU IPPNU akan menjadi banyak kendala.

Disisi lain, orang tua saya sering menesehati agar saya segera berhenti dari kegiatan organisasi baik organisasi IPNU maupun organisasi lainya. Orang tua menesehati saya untuk kembali fokus ke kuliah dan mondok agar pendidikan saya segera selesai. Hal ini juga mendorong saya untuk berfikir mengadakan pergantian kepemimpinan baik di tingkat kecamatan maupun pembentukan IPNU IPPNU di desa-desa dengan mengangkat para anggota baru sebagai pengurus.

Segera saya melaporkan hal ini ke MWC NU kecamatan Sragi yaitu Pak Kyai Farhan dan Pak Ilyas agar bisa membantu rencana saya. Beberapa

bulan setelah melewati proses yang panjang, para MWC menyampaikan agar segera dibentuk kepengurusan PAC IPNU IPPNU yang baru dengan menjadikan saya sebagai ketua PAC IPNU mengantikan Muhtasib yang sebelumnya sudah lama mengundurkan diri. Kesempatan ini saya gunakan untuk mengganti kepengurusan PAC IPNU IPPNU dan juga kesempatan saya keluar dari kepengurusan sesuai perintah orang tua saya. sehingga nantinya saya sendiri tidak menjadi ketua IPNU ranting (desa) ataupun pengurus di PAC (kecamatan).

Suatu ketika, para pengurus MWC NU menyepakati diadakannya pergantian kepengurusan PAC IPPNU dan juga pembentukan IPNU-IPPNU tingkat ranting (desa). Setelah undangan dibuat, penyebaran undangan tersebut saya percayakan pada ISSIM. Disisi lain, agar ISSIM nantinya juga dapat menghadiri undangan dan nantinya mereka menjadi salah satu pengurus ranting masing-masing, mengingat pembentukan ISSIM juga saya programkan agar kelak mereka memperkokoh IPNU-IPPNU. Saya juga meminta teman IPNU-IPPNU ranting Sumubkidul untuk membantu menyebarkan undangan. Dalam undangan tersebut terdapat dua acara inti yaitu pambentukan kepengurusan PAC IPNU-IPPNU dan juga disertai pembentukan kepengurusan IPNU-IPPNU ranting di masing-masing desa.

Setelah beberapa kali rapat dan koordinasi acara pembentukan PAC, pada suatu malam saya mengundang teman teman ranting IPNU-IPPNU desa Sumubkidul. Dalam rapat yang diadakan di depan mushola rumah saya. Saat

itu mereka yang hadir dalam rapat tersebut adalah Imam Amirudin, Ahmad Mujahid, Didik, Renita, Ika Nur Hasanah, Burhanudin, dan Zainul.

Dalam rapat tersebut, saya mempunyai rencana para generasi penerus PAC IPNU-IPPNU akan diambil dari teman-teman ISSIM dan juga dari PPPNU ranting desa Sumubkidul dan sisanya akan diambil dari para tokoh pemuda desa di masing-masing desa se-kecamatan Sragi dalam rapat pembentukan PAC IPNU-IPPNU nantinya. Dengan saya mengambil kepengurusan dari orang-orang yang sebelumnya sudah saling mengenal akan membuat kegiatan menjadi lebih mudah berjalan daripada sebaliknya, dan kerja mereka juga diharapkan akan lebih solid.

Selanjutnya, khusus untuk ketua PAC baik IPNU maupun IPPNU saya mohonkan agar Ahmad Mujahid bersedia saya calonkan menjadi ketua PAC IPNU. Renita saya harap tetap menjadi ketua PAC IPPNU. Sebaiknya ketua PAC IPNU-IPPNU harus satu desa karena akan mudah dalam koordinasi dan juga jarak yang dekat sehingga akan memudahkan untuk saling bertemu. Disamping itu, IPNU-IPPNU di Sragi tergolong organisasi baru setelah vakum sekitar 8 tahun yang lalu. Teman-teman di desa lain juga banyak yang belum mengetahui seluk beluk IPNU-IPPNU seperti apa. Sedangkan untuk ketua rantting IPNU, saya mohonkan agar Didik bersedia menggantikan saya menjadi ketua IPNU ranting desa Sumubkidul dan pemilihan ketua IPPNU menyusul setelah kegiatan-kegiatannya berjalan lancar.

Pada saat itu, desa yang mempunyai kepengurusan IPNU-IPPNU ranting di kecamatan Sragi barulah desa Sumubkidul. Memang dulu saya

mendirikan PPPNU (P3NU) di Sumubkidul nantinya akan kami ganti nama menjadi IPNU-IPPNU ranting Sumubkidul. Adapun penggantuian nama PPPNU dapat terlaksana saat kami mengundang Bu Srinatun yang saat itu menjabat sebagai pengurus Muslimat NU kecamatan Sragi. Beliaulah yang kemudian dengan resmi mengganti nama PPPNU menjadi IPNU-PPNU ranting Sumubkidul. Dengan berdirinya IPNU-IPPNU ranting desa Sumubkidul menjadi pelopor pembentukan ranting-ranting IPNU-IPPNU di desa-desa lainnya.

SEMESTER VI (Februari-Juni 2014) 32. Boyong dari Pondok (Cuti Paksa)

Ketika memasuki pertengahan semester VI, saya merasa sangat repot harus mondok dan kuliah. Saya sering pulang maghrib karena memang banyak tugas dari kampus. Saya langsung mengambil air wudhu dan sholat maghrib, setelah itu secara sadar maupun tidak sadar saya langsung merebahkan diri ditempat sholat. Biasanya saya sholat di kamar atas.

Ternyata tidak hanya saya saja yang pulang maghrib, mayoritas teman-teman para mahasiswa seangkatan saya seperti Anamil Choir, Mirza Fajrian, Ilma, Dewi dan para mahsiswa yang lain juga pulang maghrib atau mendekati maghrib dan mereka juga langsung tidur karena tidak kuat menahan lelah. Saya tahu karena kami sering bercerita dikampus tentang keadaan kami bila sampai di rumah sekembali dari kampus. Ya kami sama-sama tepar.

Keadaan ini terjadi terus menerus,sehingga membuat saya sering tidak mengaji karena kelelahan. Saat mengaji murojaah malam, saya sering tidak

mengaji dan saya menjadi sering ditegur Abah Kyai. Saya terkadang dipanggil menghadap Abah Kyai, kemudian di tanya mengapa tidak mengaji, saya jawab jujur bahwa saya klayah bobok karena kelelahan. Abah kyai memaklumi, namun karena hal ini terjadi sering dan terus menerus, saya sampai malu sendiri pada beliau. Kalaupun terkadang saya mengaji murojaah malam, saya sering kali tidak lancar dan selalu mengantuk di majelis pada setiap malamnya. Hal ini terjadi karena saya tidak tidur siang dan pulang sore bahkan terkadang isya baru pulang. Saya sudah berusaha pulang cepat, namun memang ini sedang masa-masa sibuk.

Rasa malu atas kesibukan kuliah yang berkepanjangan, kelelahan yang setiap hari, keseringan tidak setoran mengaji murojaah malam dan mengantuk berat saat hendak setoran murojaah malam yang sering terjadi, serta tidak lancaran saat setoran hafalan Al quran membuat saya menjadi berfikir bahwa saat ini saya seperti tidak mampu lagi untuk menjalankan aktifitas menghafal Al quran dan kuliah sekaligus.

Saya menceritakan keadaan saya pada para senior dan meminta solusi dari permasalahan saya ini. Solusi dari mereka saya jalankan. Namun, saya merasa benar-benar sudah tidak mampu. Seandainya saya boyong bukan karena saya sudah tidak mau lagi belajar menghafalkan Al quran dan kuliah, namun karena otak dan tenaga saya yang benar-benar didak mampu. Saya merasa inilah batas kemampuan saya, hingga akhirnya saya menceritakan permasalahan ini kepada orang tua. Ibu saya datang kepondok karena ayah sedang sibuk. Ibu datang dan berbincang-bincang kemudian memberikan

solusi bahwa sementara meminta cuti mondok. Saya berpendapat, bahwa saya setuju cuti pondok namun untuk sementara saja menghabiskan semester 6 dengan alasan karena kuliah sedang sulitdan sangat sibuk.

Namun berbeda dengan keputusan orang tua, bahwa sementara saya cuti dulu karena sedang sibuk kuliah dan akan kembali ke pondok namun dalam jangka waktu yang belum bisa ditentukan sekalian agar skripsi selesai baru kemudian kembali kepondok biar tidak sering ijin. Sekarang ijin karena semester 6 sibuk sekali dan suatu saat cuti lagi karena sibuk skripsi, maka dari itu ibu memutuskan untuk sekalian cuti dan kembali kalau sudah selesai skripsi dan wisuda, ini adalah keputusan orang tua saya.

Kami sepakat sowan saat itu juga, kami sowan ke ndalem abah kyai Khozin. “Assalamualaikum” suara bel elektrik yang kami pencet di pintu rumah abah Kyai Khozin. Ibu nyai keluar menuju ruang tamu, baliau tersenyum melihat kehadiran saya dan orang tua saya.

“Monggo bu mlebet.” kata bu nyai kepada ibu saya.

“Assalmualaikum.” Ibu saya mengucapkan salam, sambil masuk ke ruang tamu kemudian kami dipersilahkan duduk.

“ada keperluan apa datang kesini?” “Kami mau silaturim Bu Nyai”.

“Ouh, iya sekalian saya panggilkan abah Kyai, mohon tunggu sebentar.” Kata Bu Nyai.

Tak lama kemudian, abah kyai keluar dan menuju ke ruang tamu. Saya segera berdiri dan mengecup tangan beliau.

“Enten nopo Yahya?” tanya abah kyai kepada saya.

Saya tak bisa mengatakan apa-apa, kamudian ibu saya yang menceritakan permasalahan yang sedang saya alami, namun ibu lebih banyak

basa-basi dahulu dengan menanyakan kedaan keluarga Abah Kyai beserta anak-anak beliau. Hingga, kami sampai pada permasalahan kami yang sesungguhnya dan ibu memohonkan ijin cuti untuk saya. Memang beginilah dunia pesantren, saat menghadapi kyai, biasanya santri tidak bisa berkata apa-apa karena malu, risih, bingung dan grogi sehingga santri hanya bisa lebih banyak diam dan orang tua yang biasanya menjelaskan permasalahannya. Ternyata hal ini berlaku pula pada saya, saya juga seperti santri-santri lain yang ketika sowan dan membawa orang tua mambuat saya lebih banyak diam dan orang tua yang bercakap-cakap dengan Abah Kyai.

Abah Kyai mengijinkan saya cuti, namun dari kata-katanya, seakan beliau sangat keberatan. Ibu Nyai juga terlihat sangat sedih karena cuti saya kali ini seakan menandakan bahwa saya boyong dari pesantren. Saya juga hampir meneteskan air mata seakan merasa kehilangan sesuatu yang sangat berharga.Keluar dari ndalem abah Kyai, saya menuju ke pondok dan berkemas-kemas serta berjabat tangan dengan semua santri putra yang ada di pondok. Saya membawa barang banyak sekali, dan ada salah seorang santri yang menanyakan “boyong pok kang?”. Saya hanya tersenyum dan kemudian menaikan pakaian ke motor untuk dibawa pulang ke rumah. Saya mengucap salam pada teman teman sambil malambailkan tangan “Assalamu’alaikum”. Teman-teman menjawab “wa’alaikumussalam”. Saya segera tancap gas pulang bersama ibu saya dengan mengendarai dua motor karena ibu juga datang membawa motor.

Sampai di rumah, saya meletakkan barang-barang bawaan saya. kemudian sholat berjamaah dengan ibu di mushola. Saat sujud terahir saya merasa sangat sedih namunsaya sadar bahwa saya sedang sholat sehingga saya segera bangun untuk duduk tahiyat akhir. Setelah salam kami membaca wirid kemudian berdo’a. Selesai berdo’a saya mencium tangan ibu saya, saya menatap wajah beliau seakan menahan sedih yang mendalam. Saya segera masuk ke rumah untuk menata barang-barang yang sudah saya bawa pulang. Sambil menata barang-barang tersebut, saya merasa seakan saya kehilangan sesuatu yang sangat berharga, ya saya seakan kehilangan cita-cita menjadi seorang hafidz Al quran. Saya meneteskan air mata.

Beberapa hari kemudian ibu berberceita, bahwa saat saya pulang dari pesantren itu, ibu bersujud dan menangis. Ibu mengatakan bahwa beliau merasa sangat sedih melebihi semua kesedihan yang penah ibu rasakan selama ini hingga pipi ibu basah dan menangis sesenggukan karena merasa kehilangan cita-cita selama ini yang sangat beliau mengimpi-impikan, sebuah cita-cita panjang yang belum terwujud.

Ibu teringat, ketika saya lama sekali tidak berangkat ke pesantren karena tidak ada biaya karena ekonomi keluarga sedang sulit. Hingga suatu hari ibu sakit, ibu di opname beberapa hari di rumah sakit Kraton Pekalongan. Banyak sekali orang yang datang menjenguk ibu, hingga orang-orang yang menjenguk pasien yang dirawat sekamar dengan ibu kagum karena banyaknya orang yang yang menjenguk ibu. Banyak sekali orang yang memberi amplop pada ibu, ibu kumpulkan amplop tersebut kemudian

uangnya diserahkan kepada saya untuk meneruskan cita-cita berangkat ke pondok menghafalkan Al quran, sedangkan ibu mendapat gratis rawat inap di RS. Kraton tersebut karena ibu adalah seorang PNS. Ibu merasa beruntung dengan ibu sakit, justru Allah memberikan jalan kepada saya untuk meneruskan mondok. Yang membuat saya sedih saat ibu mengulangi kata-katanya:

“Untuk biaya mondok kamu saja, ibu sampai sakit dan opname di rumah sakit beberapa hari dan uang jengukan dari orang-orang ibu gunakan untuk biaya kamu mondok, ini pengorbanan ibu agar kamu bisa mondok

menghafalkan Al quran, Yahya”.46