• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep negara Islam tidak pernah secara terbuka dikritik oleh pendukung Model 1. Bahkan intelektual “liberal” seperti Sjafruddin Prawiranegara dan Mohammad Roem berhati-hati dalam kritik mereka terhadap konsep ini. Mohammad Roem melancarkan kritiknya yang sangat hati-hati hanya pada akhir 1980-an, sebagai

tanggapan terhadap pernyataan Amien Rais tentang isu itu.40

Selama 1950-an, kritik terhadap negara Islam sebagian besar berasal dari Muslim abangan yang berafiliasi dengan partai-partai non-Islam. Sebelum 1970, tidak terbayangkan seorang pemimpin santri mengkritik konsep itu karena hal itu akan merusak kredensialnya.

Selain itu, hampir semua Muslim santri berafiliasi dengan partai politik Islam yang tujuan akhirnya adalah mendirikan negara Islam (atau lebih tepat, negara berbasis Islam). Sebaliknya, bagi pendukung Model 2, penolakan terhadap negara Islam telah menjadi bagian penting penerimaan mereka terhadap basis pluralis bagi negara Pancasila.

Penolakan terhadap konsep negara Islam dimulai pada periode awal rezim Orde Baru. Salah satu pengkritik Muslim mula-mula terhadap konsep itu adalah Muhammad Sjafaat Mintaredja. Kritiknya atas konsep itu bisa ditemukan dalam tulisan-tulisannya yang terbit pada awal 1970-an.41 Mintaredja berargumen bahwa hampir tidak mungkin Muslim Indonesia akan mendirikan negara Islam, bukan hanya karena Indonesia adalah negeri pluralis dengan Undang-Undang Dasar yang tidak membolehkan mereka melakukan hal itu, melainkan juga karena gagasan negara Islam tidak bisa dipertahankan secara teologis. Pandangannya adalah bahwa Alquran dan Hadis— dua sumber paling berwenang dalam Islam—tidak berbicara tentang konsep itu, juga Alquran tidak menyuruh Muslim mendirikan model pemerintahan tertentu.42 Mintaredja mengecam strategi politik Masyumi yang terlalu menekankan ideologi itu dan dengan demikian mengabaikan aspek lebih penting yang secara langsung dirasakan Muslim, termasuk masalah ekonomi dan kesejahteraan.43 Ekonomi, katanya, tidak kalah penting daripada ideologi.

Kritik Mintaredja terhadap negara Islam adalah bagian dari kampanye reformis Islam yang telah dimulai pada akhir 1960-an. Walaupun Nurcholish Madjid tidak secara khusus berbicara tentang negara Islam, dia dikenal luas atas perannya sebagai pengkritik gigih ideologi Islam. Kritiknya yang keras terhadap partai politik Islam dan slogannya yang terkenal “Islam Yes, Partai Islam No” adalah kritik tidak langsung terhadap wacana dominan tentang negara Islam pada waktu itu.44 Namun, kritik paling menonjol dan terang-terangan atas konsep itu sebetulnya baru dimulai pada awal 1980-an, ketika makin banyak intelektual Muslim yang menonjol dalam politik.

Tokoh paling bertanggungjawab mengarahkan debat ini adalah Amien Rais. Peralihan bermula pada November 1982 ketika majalah

Islam, Panji Masyarakat, menerbitkan wawancara dengan Amien. Sesaat setelah wawancara itu terbit dengan judul provokatif “Tidak Ada Negara Islam”,45 isu itu menyebar ke seluruh negeri. Tanggapan langsung datang dari pembaca-pembaca Panji Masyarakat. Seksi “Surat Pembaca” majalah itu selama berminggu-minggu penuh dengan komentar baik yang mendukung maupun yang mengecam wawancara itu. Menurut M. Syafii Anwar, penyunting majalah itu, edisi yang memuat wawancara itu cepat terjual habis dan banyak orang menghubungi kantor majalah itu untuk meminta lebih banyak kopi.46 Salah satu tanggapan paling penting adalah artikel yang ditulis oleh Mohammad Roem—pemimpin Masyumi dan salah satu pendukung utama Model 1—yang terbit pada Februari 1983.47

Mengherankan, Roem mendukung pernyataan Amin, walaupun argumennya diajukan dengan sangat hati-hati. Hal itu mungkin sekali dikarenakan Roem tidak mau menyakiti teman-temannya sesama Masyumi.48

Pada gilirannya, artikel Roem tanpa terduga menarik tanggapan dari banyak Muslim, mungkin sekali karena artikel itu mengagetkan mereka, sebab Roem dikenal sebagai pemimpin Masyumi ternama yang, selama 1950-an, biasa berjuang demi gagasan negara Islam. Salah satu tanggapan paling penting datang dari Nurcholish Madjid, yang ketika itu mahasiswa Ph.D. di University of Chicago. Nurcholish mengirimkan kepada Roem satu surat pribadi yang panjang, menyatakan pujian dan terimakasihnya kepada Roem karena menulis surat yang begitu menggugah. Roem segera membalas surat Nurcholish, dan selama enam bulan kedua intelektual dari generasi berbeda itu berkorespondensi, membahas isu-isu terkini Islam di Indonesia. Beberapa tahun kemudian, surat-surat mereka diterbitkan dan menjadi sumber penting untuk wacana politik Islam di Indonesia kontemporer.49 Penting dicatat di sini bahwa tokoh-tokoh yang terlibat dalam korespondensi ini, Roem, Amin, dan Nurcholish, masing-masing mewakili tokoh berbeda dari model-model pemerintahan yang saya bahas dalam disertasi ini.

Dalam wawancara itu, Amin menyatakan bahwa tujuan pemba-ngunan bangsa adalah mewujudkan kesejahteraan dan kehidupan

yang adil. Islam tidak secara khusus menyebutkan seperti apa kese-jah teraan dan kehidupan yang adil itu, atau bagaimanakah kedua-nya harus dipelihara. Alquran dan Hadis hakedua-nya memberikan garis pedoman, sementara perinciannya dibiarkan bebas di tangan manusia. Dia menulis:

Islamic state atau negara Islam, saya kira tidak ada dalam Al-Qur’an,

maupun dalam Al-Sunnah. Oleh karena itu, tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan negara Islam. Yang lebih penting adalah selama suatu negara menjalankan etos Islam, kemudian menegakkan keadilan sosial dan menciptakan suatu masyarakat yang egalitarian, yang jauh daripada eksploitasi manusia atas manusia maupun eksploitasi golongan atas golongan lain, berarti menurut Islam sudah dipandang negara yang baik.50

Amin mengkritik negeri-negeri yang memakai Islam sebagai falsafah mereka, tapi dalam kenyataan bukanlah negara yang baik. Dia menunjuk sebagai contoh bagaimana Arab Saudi mengklaim punya pemerintahan Islam, tapi menunjukkan diri sebagai citra negatif Islam. Bahkan, sistem monarki yang dianutnya, kata Amin, ber tentangan dengan intisari sistem politik Islam.51 Jadi, kata Amin, negara Islam tidak bergantung pada namanya, melainkan lebih pada bagaimana ia bisa sesuai dengan keadilan, kesetaraan, dan kemakmuran.

Penolakan terang-terangan Amin terhadap negara Islam sangat penting bagi perkembangan wacana politik Islam di Indonesia. Hal itu bukan hanya disebabkan dia adalah pemimpin Muhammadiyah, organisasi Islam terbesar kedua, melainkan juga karena dia sering dianggap sebagai aktivis Muslim dari golongan Masyumi.52 Terobosan Amin membuka jalan bagi intelektual dan pemimpin Muslim lain untuk bergerak ke arah yang sama. Maka, setelah dia, kita lihat Munawir Sjadzali naik panggung dengan nada yang sama. Lebih tua daripada sebagian besar intelektual Muslim generasinya, Munawir terlibat dalam wacana intelektual Islam sangat belakangan. Hal itu terutama disebabkan posisinya sebagai pejabat negara di Departemen

Luar Negeri. Hanya setelah diangkat sebagai Menteri Agama dia menjadi makin dalam terlibat dalam isu-isu Islam.

Munawir sebenarnya sudah mulai mengkritik konsep negara Islam sejak 1950, ketika, dengan nama pena Ibnu Amatillah, dia menulis

brosur tentang masalah negara yang berbasis Islam.53 Namun,

pada masa itu, dia hanya mempertanyakan konsep tersebut tanpa menolaknya dengan terus terang. Kritik dan penolakannya yang lebih serius atas konsep negara Islam hanya muncul pada pertengahan 1980-an, ketika intelektual baru Muslim, seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Ahmad Syafii Maarif, dan Amien Rais sudah memainkan peran besar. Sekitar waktu yang sama, Munawir diangkat sebagai Menteri Agama. Untuk tujuan itu, ia menulis beberapa artikel dan satu buku, yang kini menjadi karya besarnya.54 Seperti Amin, Munawir berargumen bahwa Alquran tidak secara khusus meminta Muslim membangun bentuk pemerintahan tertentu. Ada banyak hal di dunia ini yang tidak harus dibereskan oleh agama. Para ahli fiqh Islam membagi urusan manusia ke dalam apa yang disebut mu‘amalah (kegiatan duniawi) dan ibadah. Dalam ibadah, Muslim harus taat pada doktrin religius, tapi dalam mu‘amalah mereka diberikan fleksibilitas dan kebebasan untuk melakukan apa yang mereka anggap baik. Urusan politik, kata Munawir, adalah bagian dari mu‘amalah.55

Munawir mengkritik Muslim yang terlalu mengidealkan sejarah Islam dengan membayangkan kehidupan Islam mula-mula, khususnya pada zaman Nabi dan keempat khalifah pertama, sebagai model ideal yang harus ditiru setiap Muslim. Dia dengan keras mengkritik pemikir Pakistan, Abul A’la Mawdudi, atas penggambarannya yang terlalu positif tentang komunitas politik Muslim mula-mula. Munawir menulis:

Dengan segala hormat kepada Abul A’la Mawdudi sebagai seorang pejuang Islam yang gigih dan juga seorang penulis yang sangat produktif, penulis harus mengakui bahwa pemikiran dasarnya tentang sistem politik Islam berisi sangat banyak ketimpangan dan kontradiksi. Dalam mengamati kehidupan politik umat Islam

selama zaman al-Khulafa al-Rashidun, Mawdudi adalah seperti orang yang mengawasi Gunung Merapi dari kamar lantai keenam Hotel Ambarukmo di Yogyakarta. Memang, dari situ Merapi tampak sangat indah, terutama pada pagi yang cerah. Tapi, penulis tidak puas hanya melihat Merapi dari jauh, mari kita pergi ke utara ke pos pengamatan vulkanologis, di mana pemandangan tidak seindah seperti dari Hotel Ambarukmo. Dari pos itu, lereng curam jelas terlihat, dan kadang-kadang tercium bau belerang.56

Munawir ingin berargumen bahwa terlalu banyak idealisasi pengalaman politik Muslim mula-mula sangatlah berbahaya. Salah satu alasannya adalah bahwa politik, di mana pun dan kapan pun adanya, tidak bebas dari intrik dan kepentingan diri. Bagaimana bisa kita katakan bahwa kehidupan politik Islam mula-mula adalah contoh baik padahal kita tahu bahwa konflik dan perang adalah bagian dari kehidupan sehari-hari Nabi dan bahwa tiga al-khulafa al-rashidun (khalifah yang mendapatkan petunjuk) yang terakhir dibunuh dengan brutal? Faktor-faktor ini, kata Munawir, justru tambah meyakinkan kita bahwa Muslim mula-mula itu tidak lebih daripada “political aninals, seperti dapat kita lihat di setiap tahap sejarah. Mereka bukan super human”.57

Bisa dikatakan bahwa kritik oleh generasi baru Muslim itu terhadap konsep negara Islam telah menjadi “pendobrak” kebekuan intelektual, yang merajalela sejak dominasi Masyumi atas wacana politik Islam di Indonesia. Seperti dikatakan Nurcholish, pernyataan Amin dan tanggapan positif Roem adalah mata rantai yang hilang dalam rantai pemikiran politik Islam.58 Karena Masyumi dilarang dan pemimpinnya cenderung menjadi lebih eksklusif, Muslim santri dengan seenaknya dicap pendukung negara Islam. Akan tetapi, dengan kebangkitan generasi baru santri yang lahir dari keluarga Masyumi, pencapan seperti itu pelan-pelan mengurang. Dilihat dari titik pandang religius-politik, langkah maju ini sangat penting, khususnya dengan mengangkat beban psikologis Muslim dalam membangun kembali hubungan mereka dengan negara.