• Tidak ada hasil yang ditemukan

H

ASRAT mendirikan negara merdeka berdasarkan Islam dan

demokrasi telah bergema sejak masa prakemerdekaan. Seperti telah kita lihat pada Bab 2, gagasan “negara-bangsa” secara luas diterima oleh kaum Muslim Indonesia sebagai sistem politik ideal, meskipun ketika itu mereka masih berada di bawah penguasa kolo-nial non-Muslim dan berada di bawah pengaruh gerakan pan-Islam di Timur Tengah. Selama perempat pertama abad ke-20, gagasan kemerdekaan makin kuat dinyatakan oleh banyak pemimpin na-sionalis. Berbagai gerakan sosial dan politik yang muncul pada waktu itu bertujuan terutama memperoleh kemerdekaan dari Belanda. Dua pendekatan dipakai oleh gerakan nasionalis: basis kooperasi dan basis nonkooperasi. Yang berbasis kooperasi mengupayakan kemer dekaan lewat metode diplomatis, dengan mengusulkannya kepada pemerintahan Belanda dari dalam (diwakili oleh partisipasi mereka dalam Volksraad), sedangkan yang berbasis nonkooperasi mengejarnya dari luar dengan memerangi dominasi kolonialis dan men cari dukungan internasional. Pemimpin Muslim Indonesia yakin bahwa mereka akan meraih kemerdekaan, cepat atau lambat.

Namun, setelah pertengahan 1930-an, perjuangan untuk ke-mer dekaan berbasis nonkooperasi pudar.1 Pemerintah kolonial

Belanda menangkapi semua aktivis politik radikal yang menen-tang kooperasi. Pada 1933, Soekarno (1901-1970) dimenen-tangkap dan dibuang ke Flores. Pada tahun yang sama, dua pemimpin Muslim nonkooperasi, Muchtar Luthfi (1900-1950) dan Iljas Jacub (lahir 1903), juga ditangkap dan dibuang ke Boven Digul.2 Satu-satunya cara mewujudkan kemerdekaan Indonesia adalah melalui kooperasi, yang diperjuangkan oleh Partai Indonesia Raya (Parindra). Tetapi pemimpin-pemimpin partai itu sebagian besar kaum sekular dan bahkan ada yang anti-Islam. Oleh karena itu, pemimpin-pemimpin Muslim tidak tertarik masuk partai itu. Namun, pada 1936 Agus Salim (1884-1954) mulai membentuk faksi kooperasi yang disebut Barisan Penyadar di dalam Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) yang nonkooperasi. Tapi upayanya langsung gagal karena dia dikeluarkan dari partai setahun kemudian.

Pada Mei 1937, Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) dibentuk. Mengikuti jejak Parindra, Gerindo menyokong kooperasi. Empat bulan kemudian, Majlis Islam A’laa Indonesia (MIAI), lembaga Islam berbasis luas, didirikan. Walaupun Majlis ini bukan organisasi politik, pengaruhnya sering bersifat politik. Ketika Gabungan Politik Indo-nesia (GAPI), lembaga politik yang menyerukan parlemen penuh bagi Indonesia, dibentuk, MIAI memberikan dukungan penuh. Begitu juga, ketika GAPI menyerukan sistem pemilihan yang fair untuk anggota Volksraad, MIAI sekali lagi mendukungnya. Mereka bahkan secara agresif menyarankan gagasan bahwa Islam harus menjadi bagian dari agenda.3

Namun, menjelang 1940, upaya berbasis kooperasi menghadapi tantangan besar. Peningkatan kekuatan militer Jepang di Asia dan kebangkitan Hitler di Jerman mengubah situasi politik di negeri ini secara radikal. Ketika Hitler menyerbu negeri Belanda pada musim semi 1940, rezim kolonial di Indonesia mengeluarkan peringatan siaga penuh. Keadaan darurat dipermaklumkan, semua pertemuan publik dilarang, dan kegiatan mencurigakan dibubarkan. Konsesi-konsesi politik yang diajukan para pemimpin Indonesia dari peme-rintah kolonial terbengkalai. Pemepeme-rintah sekadar menjawab bahwa segalanya akan diputuskan setelah perang. Pada masa itu, pemimpin

Indonesia merasa waswas sekaligus bingung, khususnya setelah mereka mendengar bahwa Jepang akan membebaskan negeri itu. Ada yang menganggap kooperasi dengan Jepang melawan Belanda adalah langkah politik yang diperlukan. Namun, Belanda segera bereaksi. Mereka menangkapi pemimpin nasional, termasuk tokoh Islam penting seperti Hadji Rasul.

Kedatangan Jepang pada 10 Januari 1942 menandai akhir kolo-nialisme Belanda. Namun, itu tidak berarti bahwa kolokolo-nialisme telah berakhir. Jepang datang di negeri ini bukan untuk membebaskan, melainkan, seperti Belanda, ingin menjadikannya koloni. Sekali lagi, Indonesia terbagi ke dalam dua faksi: yang bersikap kooperatif dan mereka yang tidak kooperatif dalam upaya mencapai kemerdekaan. Pemimpin Muslim pada masa itu lebih siap menyokong kooperasi dengan Jepang, terutama karena rezim kolonial baru itu menawarkan mereka sejumlah besar konsesi, seperti pendirian Shumubu, kantor urusan agama, pada 1942, penciptaan Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada 1943, dan pembentukan organisasi paramiliter Hizbullah pada 1944. Selain itu, Jepang juga menjalankan reformasi agama dan pendidikan dengan merestrukturisasi administrasi Islam mengenai wakaf, zakat, dan urusan pribadi (misalnya, perkawinan), serta dengan mendorong pendirian lembaga-lembaga pendidikan Islam (pesantren dan madrasah).4

Namun, menjelang 1945, kekuatan militer Jepang mulai diteng-gelamkan sekutu. Lembaga-lembaga paramiliter yang mereka cipta-kan, termasuk Hizbullah, tidak banyak menolong. Bahcipta-kan, seba gian dari mereka melakukan desersi dan menyerang kepentingan Jepang.5

Melihat situasi yang memburuk, otoritas Jepang mulai mengambil langkah serius ke arah kemerdekaan Indonesia. Langkah pertama adalah membubarkan organisasi-organisasi paramiliter dan kemudian mendirikan lembaga administratif untuk kemerdekaan. Pada Maret 1945, mereka mengumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Pemimpin Muslim memainkan peran penting dalam komite ini. Bersama dengan nasionalis sekular, mereka membahas dasar negara yang diinginkan. Rapat-rapat BPUPKI, yang berlangsung

selama dua minggu,6 menghasilkan dua faksi politik besar, masing-masing berusaha menentukan dasar negara yang diinginkan itu menurut ideologi politiknya. Yang pertama adalah kelompok yang disebut “nasionalis Islami”, yang menginginkan negara berdasarkan Islam dan kelompok yang lain adalah “nasionalis sekular”, yang menginginkan negara berdasarkan Pancasila.7 Tuntutan-tuntutan Islam dalam komite ini tidak semuanya baru. Seperti telah dikatakan di atas, tuntutan-tuntutan ini telah diupayakan oleh MIAI melalui GAPI pada zaman Belanda. Namun, tuntutan-tuntutan faksi Islam dalam BPUPKI penting adanya, karena yang mereka usulkan bisa menjadi basis mendasar negara bangsa merdeka itu. Setelah debat panjang, komite akhirnya sepakat menerima semua formula Islam, termasuk Piagam Jakarta.

Sejarah Islam khususnya, dan Indonesia umumnya, mungkin tidak akan sama kalau keputusan dalam komite BPUPKI tidak tergagalkan. Komite lain, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang dibentuk tiga bulan kemudian, mencabut semua pasal yang berisi formula-formula Islam.8 Keputusan itu berdampak penting pada sejarah Islam di Indonesia. Kemunculan Model 1 terutama disebabkan keputusan kontroversial PPKI itu. Muslim kini merasa bahwa mereka punya alasan kuat mewujudkan model politik Islam, bukan hanya karena itu adalah gagasan mulia, melainkan juga karena itu dibutuhkan untuk mewujudkan kebenaran sejarah.9