• Tidak ada hasil yang ditemukan

perubahan Dan reforMasi Di inDonesia

Seperti di banyak negeri Muslim lain, pembaruan agama di Indo nesia terjadi pada abad ke-19. Sejarahnya berawal di Suma-tra pada 1804, ketika tiga orang haji pulang dari Mekah.38 Pada masa itu, Mekah baru saja ditaklukkan oleh Wahabi, kaum puritan yang mengampanyekan “pemurnian” dengan, antara lain, meng-hapuskan praktik-praktik sesat seperti pemujaan terhadap kuburan dan perbuatan mistis. Seperti dikatakan Dobbin, ketiga haji itu terkesan dengan apa yang mereka lihat di Mekah dan tiba-tiba mem perbandingkannya dengan kehidupan di kampung halaman me reka.39 Seperti halnya kaum Wahabi, mereka mulai menyerang praktik-praktik agama yang mereka anggap bid’ah dan khurafat.40

Wahabisme—atau lebih tepatnya Salafisme—sangat berpengaruh di kalangan pembaru awal di Sumatra.41 Di Pandai Sikat, misalnya, Haji Miskin, salah satu dari ketiga haji itu, mengumpulkan tujuh tuanku (pemimpin agama) yang karismatik dan menanamkan pada mereka ajaran Salafi. Para pemimpin ini bersama dengan Haji Miskin sendiri kemudian dikenal sebagai “Harimau nan Salapan”. Mereka menganut metode kampanye Wahabi memurnikan Islam dengan menyerang tradisi dan kebiasaan lokal, yang mereka anggap “tidak Islami”. Mereka menyerang praktik menghormati makam, perjudian, adu ayam, dan pemakaian opium dan alkohol, sambil mendorong orang melaksanakan kewajiban formal Islam.42 Sikap kaku mereka diten-tang keras oleh tetua adat dan para penghulu (pemimpin sekular). Pertikaian dan konflik berdarah pun tak terhindarkan. Semen-tara para tuanku berjuang bagi ajaran Islam, para penghulu mem-pertahankan adat istiadat.

Gerakan tuanku itu, yang secara politik lebih dikenal dengan nama gerakan Paderi, mendapatkan kemenangan berturut-turut. Mereka menaklukkan seluruh negeri Minangkabau. Ketika menyer-bu Tapanuli Selatan untuk mengislamkan orang Batak, Belanda

meng hentikan gerak maju mereka. Karena itu, penghulu dan

kelompok anti-Paderi lain berpaling mendukung Belanda, dengan harapan mereka bisa membalas dendam terhadap Paderi. Serangan Belanda terhadap Paderi menandai berakhirnya Perang Paderi (1821-1838). Dengan penangkapan Tuanku Imam Bonjol, sang pemimpin, pada 1837, gerakan Paderi mulai pudar. Wilayah Minangkabau pun diambil-alih oleh pemerintah kolonial, sementara pemimpin lokal diperlakukan sebagai bupati, yang hanya punya wewenang terbatas. Namun demikian, meski kalah secara militer, gerakan Paderi tetap berpengaruh di kalangan Muslim Minangkabau. Sebagaimana dika-takan Ricklefs:

Walaupun kalah secara militer, kaum Paderi meninggalkan bekas mendalam dan tahan lama pada masyarakat Minangkabau. Komit-men kuat terhadap ortodoksi Islam masih ada. Dalam keseimbangan yang cari antara adat dan Islam, peran Islam sebagai bagian dari

seluruh rangkaian hukum yang mengatur masyarakat Minangkabau telah meningkat pesat.43

Paderi masih dihormati, bukan hanya karena kontribusi mereka dalam menyebarkan pembaruan Islam, melainkan juga karena ketu runan mereka yang meneruskan perjuangan mereka. Syekh Ahmad Khatib (1852-1915) dan Syekh Tahir Jalaluddin (1869-1957), misalnya, adalah pembaru Muslim terkenal yang berayah pemimpin

Paderi yang dihormati.44 Bagi rakyat Minangkabau, karisma

pemimpin Paderi diteruskan kepada putra-putra mereka yang kini menjadi pemimpin-pemimpin baru.

Tidak seperti orang tua mereka, generasi baru Paderi mengikuti jalan baru dengan berfokus lebih pada pendidikan dan kegiatan intelektual daripada perang fisik. Kedua pembaru yang disebutkan di atas adalah pendidik. Ahmad Khatib lahir di Bukittinggi dalam keluarga religius. Dia menghabiskan pendidikan awalnya di kota kelahirannya, tapi pada usia 21 pergi ke Mekah untuk naik haji dan mengejar pendidikan lebih tinggi. Di Mekah, dia belajar pada beberapa ulama sampai dia dianggap sarjana dalam mazhab Syafi’i. Dia tidak pulang ke kampung halamannya, melainkan memilih Mekah sebagai basis intelektualnya, tempat dia menjadi imam dan guru ilmu agama. Khatib mengajari murid-murid dan pengunjung Indonesia yang pergi setiap tahun ke kota itu. Walaupun dia sibuk dengan ilmu-ilmu tradisional, dia tidak melarang murid-muridnya membaca tulisan-tulisan modern (seperti karya ‘Abduh dan al-Afghani).45 Bahkan, dia sangat terkesan dengan gerakan Muslim modernis di Mesir, sedemikian rupa sehingga dia mengirimkan kedua putranya, Abd al-Karim (wafat 1947) dan Abd al-Hamid (wafat 1962) ke Kairo untuk belajar.46

Ahmad Khatib memainkan peran besar dalam menyebarkan gagasan pembaruan Islam kepada murid-murid Indonesia. Dia sangat kritis terhadap Sufisme, khususnya golongan Naqhsabandiyyah, dan juga terhadap adat Minangkabau. Sikapnya terhadap kedua isu itu sangat berpengaruh pada murid-muridnya, yang kemudian menjadi pembaru-pembaru utama di Sumatra. Bahkan, bisa dikatakan bahwa

tema sentral pembaruan agama di Sumatra Barat adalah penentangan terhadap kedua isu ini. Murid-murid Khatib seperti Abdullah Ahmad (1878-1933), Muhammad Djamil Djambek (1860-1947), dan Hadji Rasul (1879-1945), menghabiskan hidup mereka memerangi praktik bid’ah dan khurafat.

Para pembaru itu dikenal sebagai Kaum Muda, berbeda dengan Kaum Tua yang sebagian besar adalah pemimpin adat. Posisi Kaum Muda berhadapan dengan Kaum Tua bisa dibandingkan dengan posisi Paderi berhadapan dengan penghulu; hanya saja konflik antara kedua kelompok itu kini bersifat intelektual, alih-alih hanya sekadar militer. Karena pembaru Kaum Muda tidak berminat terhadap konfrontasi fisik dengan pemimpin adat, mereka berkonsentrasi lebih pada perkembangan intelektual dengan mendirikan sekolah dan lembaga pendidikan. Mereka tampaknya sadar bahwa tidak ada cara lebih baik untuk mengubah orang daripada melalui pendidikan dan pendekatan intelektual. Mereka percaya bahwa serangan yang terlalu tergesa-gesa terhadap pemimpin adat akan menimbulkan ketegangan dan konflik fisik.

Menjelang abad ke-20, beberapa sekolah Islam modern didirikan. Di Padang, Abdullah Ahmad mendirikan Adabiyah, sekolah Islam yang didirikan dengan sistem modern. Ketika dimulai pada 1909, kira-kira 20 murid masuk sekolah itu, sebagian besar anak-anak pedagang lokal. Adabiyah menganut sistem sekolah dasar Belanda (HIS, Hollands Inlandse School), kecuali dalam hal mata pelajaran agama seperti Alquran dan bahasa Arab yang juga diajarkan. Enam tahun setelah pendiriannya, sekolah itu menerima subsidi dari pemerintah, hal yang membuatnya tidak lagi sepenuhnya independen dalam mengembangkan kurikulumnya. Pada umumnya, tidak ada yang istimewa tentang sekolah itu kecuali fakta bahwa ia adalah sekolah pertama yang mendobrak sistem tradisional di Minangkabau.47 Setelah Adabiyah, ada Surau Jembatan Besi, sekolah yang tumbuh dari surau tradisional. Bangunan fisik sekolah itu sederhana. Seperti diceritakan Hamka, walaupun ia menganut sistem kelas modern, murid-murid masih duduk di lantai.48 Namun, dalam hal kurikulum, ia lebih kaya daripada Adabiyah dan lebih independen dalam mengembangkan

mata pelajaran agama dengan semangat Kaum Muda.

Di antara sekolah-sekolah paling awal, Sumatra Thawalib mungkin yang paling modern, baik dalam hal struktur fisik maupun isi pendidikan. Dibangun oleh guru-guru Surau Jembatan Besi, Thawalib menjadi sekolah pertama yang menerapkan sistem modern secara penuh: menganut sistem kelas, memakai meja sekolah, menerapkan kurikulum terorganisasi, dan mengharuskan murid membayar iuran sekolah. Tidak seperti Adabiyah, sekolah itu sepenuhnya independen dari intervensi pemerintah, terutama karena ia bisa menghasilkan uang dan mendanai diri sendiri. Karena secara finansial berotonomi dan secara ekonomis berhasil, Thawalib mengembangkan kuriku-lumnya sendiri menurut cita-cita Kaum Muda. Ia mengimpor beberapa buku dari Mesir dan mengajarkan karya-karya beberapa modernis Muslim. Karya Muhammad ‘Abduh, Tafsir al-Manar, ter-masuk dalam daftar.49 Untuk memperluas pengaruhnya, para pendiri sekolah itu juga mendirikan beberapa cabang di kota-kota di luar Padang Panjang.

Selain mendirikan sekolah, Kaum Muda juga mendirikan pener-bitan dan jurnal. Dua jurnal harus disebutkan di sini, yakni al-Imam dan al-Munir. Al-al-Imam didirikan di Singapura pada 1906 oleh Tahir Jalaluddin, seorang pembaru Minangkabau yang belajar pada Muhammad ‘Abduh, pemikir Mesir ternama. Mungkin karena kede katannya dengan ‘Abduh, Jalaluddin membuat format dan isi jurnalnya mirip dengan jurnal ‘Abduh ‘al Manar.50 Bahkan nama al-Imam sendiri terinspirasi oleh gelar populer ‘Abduh.51 Menurut Roff, dalam terbitan-terbitan pertamanya, al-Imam memuat berbagai isu tentang kondisi kaum Muslim di seluruh dunia, pandangan ‘Abduh, dan tulisan-tulisan lain yang menyerang Sufisme dan adat.52 Ia juga menerbitkan ulang beberapa artikel yang sebelumnya diterbitkan dalam majalah al-‘Urwat al-Wuthqa milik al-Afghani.53 Walaupun terbit di Singapura, jurnal itu tersebar luas di Sumatra, Jakarta, Sura-baya, Semarang, dan kota-kota besar lain di Jawa.54

Sementara itu, al-Munir adalah jurnal Islam pertama yang diter-bitkan di Sumatra Barat. Pendirinya, Abdullah Ahmad, memakai jurnal Jalaluddin Imam dan majalah Afghani ‘Urwat

al-Wuthqa sebagai model. Ini menjelaskan mengapa banyak artikel di kedua jurnal itu bisa juga ditemukan dalam al-Munir. Jurnal ini diluncurkan pada 1911, mencakup berbagai isu seperti pentingnya per saudaraan Islam, pengetahuan modern, dan isu fikih.55 Sebagai juru bicara modernisme Islam, al-Munir mencoba membahas isu Islam dengan nada progresif. Seperti dikatakan Mahmud Yunus, majalah itu didirikan Kaum Muda untuk memperluas agenda pembaruan. Isu teologis dan jurisprudensial (fikih) seringkali mendominasi halaman-halamannya. Isu taqlid, pembacaan Alquran untuk orang mati, dan pembacaan usalli (niat sebelum sembahyang)56 dibahas dengan bersemangat.57

Melalui medium pendidikan dan publikasilah Kaum Muda men -jalani pembaruan keagamaan. Mereka percaya bahwa fondasi kema-juan Islam terletak pada sejauh mana Muslim mampu meng antisipasi perubahan sosial dan politik yang cepat.58 Tidak seperti Kaum Tua, yang menganggap modernitas ancaman bagi Islam, Kaum Muda menganggap bahwa Muslim modern harus menyambutnya. Dilihat dari perspektif hari ini, apa yang mereka lakukan sebetulnya tidak penting, tapi dilihat dari perspektif zaman itu, tindakan mereka adalah terobosan yang mengguncangkan sistem kepercayaan sosial dan budaya. Dalam bukunya, Hamka mengisahkan bagaimana Abdullah Ahmad mencoba meyakinkan Kaum Tua bahwa menerima sis tem ajaran modern dengan memakai kursi sekolah dan menganut sistem kelas, seperti yang dilakukan Belanda, tidak bertentangan dengan Islam.59 Begitu pula, Muhammad Thaib Umar, pembaru lain, men-coba meyakinkan Kaum Tua bahwa penampilan modern seperti dasi dan jas tidak bertentangan dengan Islam.60 Semua hal sederhana ini adalah langkah pertama mendobrak tabu dan menjembatani kaum Muslim tradisional di Minangkabau dengan dunia modern.

Di luar Sumatra, gerakan pembaruan agama mula-mula terjadi di tiga kota: Jakarta, Yogyakarta, dan Solo. Jakarta menjadi rumah dua pusat pendidikan modernis: Jami‘at Khayr (didirikan pada 1905) dan al-Irsyad (didirikan pada 1913). Didirikan oleh anggota komunitas Arab, lembaga-lembaga ini penting dalam memasukkan gagasan modernis dari Timur Tengah ke Indonesia. Yogyakarta adalah

tempat kelahiran Muhammadiyah (1912), organisasi Islam modernis terbesar di negeri ini. Secara ideologis, Muhammadiyah tidak jauh berbeda dengan gerakan modernis di Sumatra Barat. Bahkan, pendiri organisasi ini, Ahmad Dahlan (1868-1923), adalah murid Syekh Ahmad Khatib, guru banyak pembaru Minangkabau. Begitu dekat Muhammadiyah dengan gerakan Kaum Muda di Sumatra Barat sehingga ia disambut hangat ketika tiba di wilayah itu. Bahkan, sampai sekarang, Sumatra Barat memberikan dukungan paling kuat kepada Muhammadiyah di luar Jawa. Sementara itu, Solo adalah kota tempat Sarekat Islam (1912), organisasi politik Islam pertama, didirikan.

Semua gerakan dan organisasi di atas punya visi yang sama, bahwa perubahan tidak terhindarkan dan bahwa hanya dengan meng anti-sipasi perubahanlah kaum Muslim bisa menghadapi kehidupan di dunia modern. Seperti telah kita lihat, gerakan pembaruan agama pada awalnya bersifat doktrinal dan normatif. Pembaru sangat menaruh perhatian pada isu-isu seperti bid’ah, shirk (politeisme), qunut (doa dalam shalat), pemujaan kepada kuburan, pakaian yang tepat, dan pemakaian produk-produk modern tertentu yang dibuat oleh non-Muslim. Akan tetapi, ketika pertemuan dengan dunia modern, khususnya dengan situasi politik, makin bertambah, pem-baru Muslim mulai membahas isu-isu yang lebih luas. Sarekat Islam adalah organisasi politik Islam pertama yang fungsi dan perannya bukan hanya mengakomodasi aspirasi politik Muslim, melainkan juga mengembangkan argumen Islam untuk menghadapi situasi poli tik yang berubah cepat.