• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menjelang paruh kedua abad ke-20, isu Nasionalisme sama me-nan tangnya dengan Komunisme. Kaum Muslim terbelah menjadi dua kelompok utama, yang secara garis besar dinamai “nasionalis” dan “Islamis”. Paling tidak terjadi tiga perdebatan tentang Islam dan Nasional isme pada 1925, 1930, dan 1939-1940. Kelompok nasionalis diwakili oleh Soekarno, sementara kelompok Islamis diwakili oleh tiga pemimpin karismatik: Agus Salim, A. Hassan, dan Mohammad Natsir. Ketiga tokoh Islam ini punya argumen berbeda untuk menolak ga gasan Nasionalisme.

Pada 1925, perdebatan dipicu pernyataan Soekarno dalam Klub Studi di Bandung bahwa fondasi dasar kesatuan Indonesia haruslah

kebangsaan (nasionalisme) dan bukan apa pun yang lain. Pada beberapa kesempatan, dia menekankan pentingnya “cinta tanah air” sebagai dasar perjuangan Indonesia. Soekarno berargumen bahwa kebangsaan adalah prinsip paling universal karena mencakup semua ideologi dan partai politik. Namun Agus Salim tidak puas ter hadap penjelasan Soekarno tentang kebangsaan, yang dia yakini dapat membahayakan akidah Muslim. Salim menerima pentingnya kesatuan dan cinta tanah air, tapi menolak mengangkat kebangsaan pada posisi di atas segalanya, karena dia khawatir hal itu akan melun turkan gagasan tauhid.71 Salim juga berargumen bahwa versi kebangsaan Soekarno membahayakan rakyat pada umumnya karena bisa dipakai sebagai senjata memerangi negeri-negeri lain. Jenis nasionalisme chauvinistik ini, kata Salim, telah menjadi suatu agama yang pada akhirnya “memperbudak manusia pada berhala tanah air, menimbulkan persaingan dan perebutan menumpuk harta, kehor-matan, dan kebanggaan, menimbulkan penindasan, perbudakan dan bahaya terhadap negara orang, serta tidak menghormati hak-hak dan keadilan”.72

Pada 1930, perdebatan dipicu oleh surat yang ditulis Tjipto Mangun-kusumo kepada Soekarno, yang menyatakan bahwa pemimpin-pemimpin SI harus dicegah mengambil-alih kepemimpin-pemimpinan PPPKI (Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia). Tjipto secara khusus menyebut nama Tjokroaminoto dan Agus Salim. PPPKI adalah badan federatif partai-partai politik Indonesia yang dipimpin Soekarno. Tjipto juga menyatakan keprihatinannya bahwa pemimpin-pemimpin SI akan mengubah Indonesia menjadi negara pan-Islam. Surat ini membakar kemarahan Muslim yang merasa teragitasi oleh pemimpin-pemimpin nasionalis. Pada tahun yang sama, kaum Muslim terganggu oleh publikasi artikel-artikel yang mem pertanyakan manfaat naik haji ke Mekah, praktik poligami, serta peremehan terhadap Hadis.73 A. Hassan adalah salah satu pemimpin Muslim yang menentang kaum nasionalis sekular. Dia bukan hanya mengkritik sikap antagonis mereka terhadap Islam, tapi juga menolak konsep kebangsaan. Hassan memperbandingkan kebangsaan dengan ‘asabiyyah, konsep kesukuan yang dikenal sebelum Islam. Dengan

demikian, dia ingin mengatakan bahwa Nasionalisme adalah konsep jahiliyyah, yakni periode Arab pra-Islam. Hassan menyatakan pandangannya bahwa untuk “mendirikan organisasi kebangsaan, untuk mengundang dan membujuk orang untuk bergabung dengan kebangsaan, untuk membantu partai kebangsaan, adalah terlarang dalam Islam”.74

Pada 1939, Natsir menulis serangkaian artikel tentang Islam dan Nasionalisme di Pandji Islam.75 Selain di majalah ini, kolom-kolomnya juga muncul di Pedoman Masjarakat, majalah yang juga beroplah luas.76 Artikel di Pandji Islam awalnya adalah serangkaian kolom yang dia tulis secara teratur. Topik yang dia angkat memang kontroversial. Sebelumnya, pada 1930, Natsir juga terlibat dalam perdebatan tentang Nasionalisme di mana dia berpihak kepada gurunya, A. Hassan, me-nentang Soekarno. Jadi artikel baru itu sebetulnya menghidupkan kembali argumen-argumen lama yang telah diajukan pada perdebatan terdahulu. Terpengaruh oleh gurunya, Natsir mengulangi argumen ‘asabiyyah, hanya saja, dia menggarisbawahi bahwa Nasionalisme dapat diterima selama tidak menganut ta‘assub (fanatisme). Mengutip sabda Nabi, dia berargumen bahwa cinta tanah air harus dikaitkan dengan niat. Dibandingkan dengan argumen pada 1930, argumen baru Natsir jauh lebih berkembang. Pada 1930, dia menyatakan bahwa kebangsaan yang bisa diterima hanyalah kebangsaan Muslim; yakni kebangsaan yang diakomodasikan oleh Sarekat Islam. Kini, dia tidak membatasi Nasionalisme pada satu organisasi Islam tertentu, me lainkan pada niat orang. Dengan kata lain, yang penting bukanlah afiliasi politik seseorang, melainkan niat orang dalam menganut Nasionalisme.

Soekarno adalah pemimpin yang cakap serta penulis dan orator ulung. Dia menanggapi setiap kritik yang dilemparkan kepadanya, baik dalam tulisan maupun pidato. Menjawab Agus Salim, Soekarno menjelaskan bahwa dia tidak memaksudkan apa yang Salim kata-kan tentang Nasionalisme. Bahkata-kan, dia menolak Nasionalisme Chauvinis, yakni, “nasionalisme yang intrusif, yang hanya mengejar kepentingannya sendiri, dan yang hanya berpikir menurut logika pedagang”.77 Dia menjelaskan bahwa nasionalismenya lebih banyak

diinspirasikan oleh pemimpin-pemimpin Timur seperti Mahatma Gandhi dari India, Mustafa Kamil dari Mesir, dan Sun Yat Sen dari China. Dia tidak setuju dengan pandangan bahwa Nasionalisme akan melanggar akidah siapa pun. Justru sebaliknya dia percaya bahwa agama dan nasionalisme adalah dua konsep yang saling mem-perlengkapi. Dia menunjuk pada beberapa pemimpin Muslim seperti Jamal al-Din al-Afghani, Mustafa Kamil, dan Muhammad ‘Ali sebagai Muslim sejati yang berjuang untuk bangsa mereka. Menurutnya, Islam sejati adalah Islam yang menyokong Nasionalisme dan Muslim sejati adalah mereka yang berjuang untuk bangsa mereka.78

Menjawab A. Hassan dan Mohammad Natsir, Soekarno menulis beberapa artikel di Pandji Islam. Kali ini, dia tidak hanya menanggapi isu Nasionalisme, melainkan juga isu pemikiran Islam pada umumnya. Tampaknya Soekarno ingin memberikan jawaban dengan cara yang lebih mendasar, dengan menekankan pentingnya berpikir kritis dalam urusan agama. Dia berargumen bahwa penerimaan konsep-konsep modern seperti Nasionalisme memerlukan sikap inklusif, karena tanpa itu Muslim akan tertinggal di belakang dan akan mengalami kesulitan mengatasi tantangan-tantangan modernitas. Dari artikel-artikel yang dia tulis di Pandji Islam pada 1940, empat di antaranya membahas isu ini.79 Dalam semua artikel tersebut, dia menekankan pentingnya pemakaian ijtihad (nalar) dan perlunya meninggalkan taqlid (peniruan). Dia berargumen bahwa kaum Muslim tertinggal karena mereka secara membuta mengikuti pandangan-pandangan lama. Alih-alih melakukan ijtihad, mereka cuma terpaku dengan apa yang telah dikatakan para fuqaha (ahli fikih) klasik.80

Soekarno menyarankan bahwa sudah waktunya bagi Muslim untuk berpikir ulang tentang agama mereka. Secara khusus dia memakai istilah “rethinking Islam” dalam bahasa Inggris.81 Dia menganggap “rethinking Islam” sebagai gagasan penting, karena ia adalah perkakas bagi kaum Muslim untuk beranjak menuju kemajuan modern. Dia menulis:

Janganlah kita tutup kita punya mata, tidak mau melihat, bahwa di luar Indonesia kini seluruh dunia timur sedang asyik “rethinking of

Islam” (perkataan Francis Woodsmall) [Ruth Frances Woodsmall],

yakni memikirkan kembali maksud-maksud Islam yang sewajarnya, “rethinking of Islam”, di Mesir, di Turki, di Irak, di Siria, di Iran, di India, di negeri-negeri Islam yang lain. Atau beranikah kaum yang

jumud, di dalam batinnya menetapkan, bahwa misalnya soal tabir

soal yang sudah, soal pendidikan pada gadis besar soal yang sudah, soal kudung soal yang sudah, soal “perempuan” pada umumnya soal yang sudah, soal agama dan negara soal yang sudah, soal coeducatie soal yang sudah, soal rasionalisme soal yang sudah? ... Ah, sekali lagi janganlah kita berkepala batu. Marilah kita mau, suka, rida kepada penelaahan kembali itu. Hasilnya, itu bagaimana nanti.82

Soekarno merujuk rakyat Turki sebagai contoh Muslim yang dengan berani berpikir kritis tentang tradisi Islam. Mereka tak hanya menerima nasionalisme dan gagasan negara-bangsa, tapi mereka juga menerima nilai-nilai sekularisme. Soekarno memuji sekularisme Turki sebagai model bagus untuk negara-negara Muslim di seluruh dunia. Dia tidak setuju dengan pandangan bahwa sekularisme Turki telah menyingkirkan agama. Tulisnya:

Orang mengatakan ia menghapuskan agama, padahal ia tidak meng hapuskan agama. Orang mengatakan Islam di Turki seka-rang mati, padahal beberapa penyelidik yang objektif, seperti Kapten Armstrong, mengatakan, bahwa Islam di Turki sekarang menunjukkan beberapa “sifat-sifat segar” ... Orang mengatakan bahwa Turki sekarang anti-Islam, padahal seorang seperti [Ruth] Frances Woo[d]small, yang telah menyelidiki Turki sekarang itu, berkata “Turki modern adalah antikolot, anti soal-soal lahir dalam hal ibadat, tetapi tidak anti agama...”.83

Soekarno adalah pemuja Mustafa Kamal Ataturk. Baginya, Ataturk adalah pahlawan besar yang telah berhasil membawa Turki dari pemerintahan teokratis otoriter menjadi Negara Demokrasi modern. Dia ingin kaum Muslim Indonesia seperti kaum Turki Muda, menjunjung “api Islam, dan bukan abunya”.84

Ada kesepakatan di kalangan intelektual bahwa Nasionalisme terutama disokong oleh tokoh-tokoh sekular seperti Soekarno,

semen tara tokoh-tokoh agama pada umumnya menentangnya.

Sebetulnya, tidak semua ulama menentang Nasionalisme. Di Sumatra Barat, Muchtar Luthfi (1900-1950) dan Iljas Jacub (lahir 1903), dua tokoh ternama, sangat menjunjung gagasan kebangsaan Soekarno. Mereka mendirikan partai Islam yang disebut Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) dan mengakui Islam dan kebangsaan sebagai dasar filosofisnya. Tidak seperti sebagian besar pemimpin Muslim di Jakarta, Luthfi dan Jacub percaya bahwa Nasionalisme adalah perkakas penting bagi rakyat Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaan. Banyak anggota Permi lulusan Sumatra Thawalib dan sebagian lulus dari Timur Tengah. Luthfi dan Jacub sendiri pernah belajar di Mesir. Walaupun mereka tidak mendapatkan pendidikan formal, keduanya mengikuti berbagai kuliah di al-Azhar, dan secara aktif terlibat dalam gerakan politik. Keduanya bergabung dengan Hizb al-Watan, partai nasionalis yang didirikan oleh Mustafa Kamil.85 Mungkin karena kaitan inilah, begitu tiba di Indonesia, Luthfi dan Jacub merasa lebih dekat dengan partai nasionalis (PNI Soekarno) daripada dengan Sarekat Islam atau partai politik Islam lain.

Walaupun para pemimpin nasionalis dengan hangat menyambut pemimpin-pemimpin Permi, tokoh-tokoh Muslim pada umumnya meremehkan mereka. Natsir dan penentang-penentang Soekarno lain dari Persis mengejek Permi dengan sebutan “Islam jang pakai dan”, mengacu pada slogannya “Islam dan kebangsaan”. Persis percaya bahwa Islam sejati adalah “Islam jang tak pakai dan”.86 Sikap sinis ini mencerminkan situasi di mana gagasan berbeda di dalam masyarakat Islam tidak bisa hidup berdampingan. Pandangan umum pada masa itu adalah bahwa Islam menolak Nasionalisme, dan siapa pun yang berpihak pada Nasionalisme dianggap kurang Islam --kalau bukan sama sekali tidak Islami.87