• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak PJJ terhadap Pengukuran Dampak Program Pelatihan

III. PEMBELAJARAN JARAK JAUH

3.2 Dampak PJJ terhadap Pengukuran Dampak Program Pelatihan

3.2 Dampak PJJ terhadap Pengukuran Dampak Program Pelatihan

Untuk menilai hasil dari program pengembangan profesi kepala sekolah, studi ini membandingkan beberapa indikator kepemimpinan pembelajaran kepala sekolah antara sebelum program dimulai dengan sesudah pelaksanaan program. Indikator tersebut menilai perkembangan di tingkat kepala sekolah maupun guru. Selain itu, nilai belajar siswa juga dibandingkan untuk mengetahui hubungan antara perubahan praktik kepemimpinan pembelajaran dengan hasil belajar siswa. Namun demikian, adanya pademi COVID-19 yang mengharuskan adanya PJJ dapat mengganggu keabsahan dari perbandingan indikator tersebut. Bagian ini membahas secara singkat dampak dari pelaksanaan PJJ terhadap pengukuran dampak program pelatihan.

Tabel 3.12 meringkas dampak pelaksanaan PJJ terhadap indikator kepemimpinan pembelajaran kepala sekolah, praktik mengajar guru dan hasil belajar siswa. Sebagai contoh, penerapan PJJ dapat mengakibatkan menurunnya frekuensi pertemuan dengan guru serta mengurangi jumlah supervisi RPP dan supervisi KBM yang dilakukan oleh kepala sekolah. Di sisi lain, PJJ juga dapat menambah frekuensi kegiatan-kegiatan tersebut karena dapat dilakukan secara daring. Untuk memperoleh informasi yang sama dengan survei awal, survei akhir membedakan kegiatan yang dilakukan secara daring dan tatap muka. Selain itu, PJJ juga dapat mengubah target dan prioritas program sekolah untuk mengutamakan kegiatan pembelajaran dibandingkan program-program lain.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, guru cenderung menerapkan metode pembelajaran yang pasif saat PJJ. Oleh karena itu, pada survei akhir pertanyaan mengenai cara mengajar guru dipisahkan antara konteks kelas daring dan kelas tatap muka. Namun demikian, observasi kelas untuk menilai cara mengajar guru seperti halnya yang dilakukan pada survei awal tidak dapat dilaksanakan pada survei akhir. Maka dari itu, perbandingan praktik mengajar guru hanya didasarkan pada hasil wawancara. Dalam konteks PJJ, frekuensi pelatihan yang diikuti oleh guru

dapat berkurang atau bertambah. Oleh karena itu, survei akhir mencoba membedakan antara frekuensi pelatihan secara tatap muka dan daring yang diikuti oleh guru.

Tabel 3.12 Dampak PJJ terhadap indikator program

Indikator Dampak PJJ terhadap indikator Langkah untuk

mengurangi bias pada

Supervisi akademik Berkurang/bertambahnya frekuensi dan perubahan cara kepala sekolah melakukan supervisi RPP dan KBM.

Memisahkan informasi terkait frekuensi dan cara supervisi dengan metode daring dan tatap muka.

Manajemen sekolah PJJ kemungkinan mengubah target sekolah dan skala prioritas program sekolah.

GURU

Praktik mengajar guru

Guru menjalankan pola pembelajaran yang pasif.

Memisahkan informasi terkait cara mengajar guru pada kelas daring dan tatap muka.

Praktik mengajar hanya dapat dinilai dari wawancara dan tidak dapat dinilai berdasarkan observasi kelas.

Pengembangan kompetensi guru

Berkurang/bertambahnya frekuensi kegiatan untuk pengembangan kompetensi guru misalnya pelatihan atau seminar.

Menurunnya hasil belajar siswa karena PJJ.

Pengerjaan tes siswa dilakukan secara mandiri di rumah siswa tanpa pengawasan.

Melakukan spot check ke beberapa rumah siswa;

Urutan soal diacak menjadi 3 paket soal berbeda.

Sumber: Analisis penulis

Berkurangnya kualitas pembelajaran akibat PJJ yang telah berjalan lebih dari 1 tahun akademik akan menurunkan hasil belajar siswa. Oleh karena itu, penurunan yang terjadi pada hasil belajar siswa di sekolah mitra dapat disebabkan oleh PJJ dan faktor-faktor lain yang tidak berkaitan langsung dengan kinerja kepala sekolah dan guru. Selain itu, bias pada hasil belajar siswa pada survei ini juga dapat terjadi karena soal asesmen hasil belajar siswa dikerjakan secara mandiri di rumah siswa masing-masing. Hal ini berbeda dengan kondisi pada survei awal yang mana soal dikerjakan siswa di sekolah dan diawasi oleh petugas. Meskipun peneliti telah mengupayakan untuk melakukan spot check dan mengacak urutan soal menjadi 3 paket berbeda, kemungkinan siswa untuk mengerjakan tes dengan bantuan orang lain tetap menjadi potensi bias yang harus dipertimbangkan dalam membandingkan nilai belajar siswa antara survei awal dan survei akhir.

IV. KEPEMIMPINAN PEMBELAJARAN KEPALA SEKOLAH

Bab ini membahas perkembangan kepemimpinan pembelajaran pada kepala sekolah mitra INSPIRASI. Pembahasan dimulai dengan melihat perubahan pola pikir dan motivasi kepala sekolah karena kedua aspek ini berperan penting dalam memberikan fondasi kepemimpinan pembelajaran.

Selanjutnya, laporan ini akan membahas pengetahuan, kemampuan serta praktik kepemimpinan pembelajaran kepala sekolah. Aspek pengetahuan ini penting sebagai pintu masuk untuk mendorong kepemimpinan pembelajaran dipraktikan oleh kepala sekolah. Pembahasan dilanjutkan dengan meninjau secara mendalam perkembangan praktik kepemimpinan pembelajaran seperti supervisi akademik dan kepemimpinan kepala sekolah dalam mengembangkan kompetensi guru. Pembahasan diakhiri dengan mendiskusikan kemampuan manajerial kepala sekolah yang berorientasi pada pembelajaran.

4.1 Pola Pikir dan Motivasi Kepala Sekolah

Pola pikir dan motivasi kepala sekolah merupakan komponen dasar yang mendukung terjadinya perubahan pengetahuan, kemampuan dan praktik kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran.

Dua komponen tersebut menjadi penting karena merupakan fondasi dari keputusan-keputusan yang dibuat kepala sekolah serta panduan dalam bertindak maupun berkomitmen terhadap suatu hal (Miller, 2019)9. Bagian sub bab ini akan membahas dua hal yang menjadi fondasi kepemimpinan kepala sekolah yaitu pola pikir berkembang serta motivasi internal.

Secara umum, pola pikir dan motivasi kepala sekolah mitra masih perlu dikembangkan untuk mendukung peningkatan kualitas kepemimpinan pembelajaran mereka. Hal ini tercermin dari skor pola pikir berkembang kepala sekolah yang mengalami sedikit penurunan meskipun semakin banyak dari mereka yang memiliki motivasi internal.

4.1.1 Pola Pikir Kepala Sekolah

Modal awal untuk terjadinya perubahan kepemimpinan kepala sekolah adalah pola pikir berkembang (growth mindset). Kepala sekolah yang memiliki pola pikir berkembang akan merasa bahwa kemampuan atau kecerdasan dirinya adalah hal yang dapat dibentuk melalui kemauan dan usaha. Sebaliknya, kepala sekolah dengan pola pikir tetap (fixed mindset) akan merasa bahwa kemampuan dan kecerdasannya adalah suatu bakat yang tidak mungkin untuk diubah. Orang dengan pola pikir berkembang akan lebih fokus dan menghargai proses dari pada hanya fokus pada hasil (Braver et al., 2014)10. Oleh sebab itu, orang yang memiliki pola pikir berkembang akan lebih mudah melakukan perubahan. Untuk dapat menerima, memahami, dan menerapkan keterampilan kepemimpinan pembelajaran yang dibahas dalam program INSPIRASI, kepala sekolah tentu harus memiliki pola pikir berkembang. Mereka juga harus meyakini bahwa mereka sendiri bisa berubah dan mau berusaha mencoba menerapkan kepemimpinan pembelajaran tersebut.

Untuk mengukur tingkat pola pikir berkembang, kepala sekolah diminta untuk mengisi angket yang berisi item-item yang telah diadaptasi oleh SMERU dari Skala Pola Pikir Bertumbuh Dweck (PERTS,

9Miller, D.I., 2019. When do growth mindset interventions work?. Trends in cognitive sciences, 23(11), pp.910-912.

10Braver, T.S., Krug, M.K., Chiew, K.S., Kool, W., Westbrook, J.A., Clement, N.J., Adcock, R.A., Barch, D.M., Botvinick, M.M., Carver, C.S. and Cools, R., 2014. Mechanisms of motivation–cognition interaction: challenges and

opportunities. Cognitive, Affective, & Behavioral Neuroscience, 14(2), pp.443-472.

2015)11. Jawaban selanjutnya dianalisis dengan Model Skala Penilaian Teori Respons Butir (Item Response Theory Rating Scale Model - IRT RSM) dengan hasil berupa skor dengan rentang -4 sampai 4. Skor positif menunjukkan pola pikir berkembang dan skor negatif menunjukkan pola pikir tetap.

Kategorisasi skor pola pikir berkembang juga dilakukan untuk mempermudah analisis, dengan skor kurang dari -2 menunjukkan pola pikir tetap, skor -2 hingga 0 menunjukkan pola pikir tetap menengah, skor 0 hingga 2 menunjukkan pola pikir berkembang menengah, dan skor lebih dari 2 menunjukkan pola pikir berkembang.

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa rata-rata skor pola pikir berkembang kepala sekolah mitra mengalami sedikit penurunan dari 0,12 menjadi 0,10. Jika dilihat berdasarkan jenis sekolah, terjadi perbedaan arah perubahan. Kepala sekolah di Sekolah Dasar (SD) mengalami penurunan rata-rata skor pola pikir berkembang yang signifikan. Sebaliknya, kepala sekolah di Madrasah (MI) mengalami kenaikan skor yang signifikan dan menjadikan rata-rata skornya lebih tinggi dibanding skor kepala sekolah di SD di survei akhir. Padahal, pada survei awal, kepala sekolah MI memiliki rata-rata skor pola pikir berkembang yang lebih rendah dibandingkan kepala sekolah di SD.

Tabel 4.1 Skor pola pikir berkembang kepala sekolah

Skor pola pikir berkembang

Semua sekolah Sekolah Dasar (SD) Madrasah (MI) Survei

Keterangan: skor dihitung dari total kepala sekolah pada masing-masing survei.

Sumber: Survei kepala sekolah (2019 & 2021)

Jika dilihat berdasarkan kategorisasi pola pikirnya, pola yang sama juga terlihat. Tabel 4.2 menunjukkan bahwa di kelompok SD, terjadi pergeseran kategori pola pikir dari berkembang menengah menjadi tetap menengah. Meskipun demikian, terdapat satu orang kepala SD yang masuk dalam kategori pola pikir berkembang di survei akhir. Sebaliknya, di kelompok MI, terjadi pergeseran dari pola pikir tetap menengah menjadi berkembang menengah.

Tabel 4.2 Kategori pola pikir kepala sekolah

Kategori pola pikir

Semua sekolah Sekolah Dasar (SD) Madrasah (MI) Survei

Keterangan: persentase dihitung dari total kepala sekolah pada masing-masing survei.

Sumber: Survei kepala sekolah (2019 & 2021)

Jika skor pola pikir kepala sekolah ini dikaitkan dengan karakteristik pribadi mereka, terdapat beberapa pola tertentu (Tabel 4.3). Pertama, meskipun kepala sekolah berstatus PNS memiliki skor pola pikir yang lebih tinggi dibandingkan kepala sekolah non-PNS di survei awal, skor mereka justru

11PERTS. 2015. Growth Mindset Assessment.

mengalami penurunan di survei akhir, berkebalikan dengan skor non-PNS yang mengalami kenaikan. Kedua, kepala sekolah perempuan secara konsisten memiliki skor pola pikir berkembang lebih rendah dibandingkan dengan kepala sekolah laki-laki, meskipun arah perubahannya berbeda antara kelompok SD dan MI. Ketiga, kepala sekolah berpendidikan pascasarjana memiliki skor pola pikir berkembang lebih tinggi dibandingkan dengan kepala sekolah berpendidikan sarjana.

Sementara itu, lama pengalaman menjadi kepala sekolah tidak berhubungan dengan skor pola pikir berkembang maupun perubahannya. Secara umum juga ditemukan bahwa kepala sekolah yang telah memiliki skor pola pikir tinggi di survei awal akan memiliki kenaikan skor yang lebih rendah.

Tabel 4.3 Hubungan pola pikir berkembang dengan karakteristik kepala sekolah Rata-rata skor pola pikir berkembang

Semua sekolah Sekolah Dasar (SD) Madrasah (MI) Survei

Keterangan: skor dihitung dari total kepala sekolah pada masing-masing survei.

Sumber: Survei kepala sekolah (2019 & 2021)

Studi kualitatif menemukan penjelasan mengapa skor pola pikir berkembang kepala sekolah secara umum menurun. Sebagian besar kepala sekolah merasa pelaksanaan pembelajaran di masa pandemi semakin menuntut keterlibatan berbagai pihak dalam mendukung pembelajaran jarak jauh. Namun demikian, pada praktiknya, kondisi ketimpangan dukungan orang tua dan akses siswa terhadap perangkat pendukung PJJ membuat tidak semua elemen kunci kegiatan belajar mengajar seperti guru, orang tua, dan siswa dapat bekerjasama dengan kecepatan yang sama. Oleh karena itu, sebagian besar kepala sekolah menjadi lebih pesimis dalam menghadapi hambatan yang muncul akibat pandemi, baik dalam memfasilitasi guru dan siswa, serta dalam melibatkan orang tua untuk melakukan kegiatan belajar mengajar secara optimal.

“Contohnya seperti gini, guru mengeluh ke kita, ‘Bu ini gimana ya bu, anak saya di sini begini udah satu bulan lebih kadang tidak ada absen, tidak mengumpulkan tugas, tidak ada komunikasi, ditelepon gak nyambung gak diangkat’. Kadang minta tolong ke teman terdekatnya ternyata diomong aja ‘lah paling kaya gitu-gitu aja [PJJ-nya]’ kata orang tuanya …

Kaya gitu kadang putus asa buk untuk ke orang tua. [Me]motivasi sudah, [mendatangi] ke rumahnya udah. Tapi orang tuanya gak ada semangat. Ya sudah, itu kan kewajiban orang tua juga mendidik anak-anaknya, atau memotivasi minimal. Kalau seperti itu keadaanya kita mau maksa bagaimana..

“ (FGD 1_01)

Ketimpangan dukungan yang ditunjukkan orang tua dengan upaya sekolah dalam pelaksanaan PJJ semakin menjadi hambatan keberhasilan pembelajaran karena terbatasnya akses siswa terhadap gawai dan internet. Hal ini adalah beberapa di antara alasan yang dianggap kepala sekolah dan guru sangat membatasi ruang gerak bagi sekolah untuk melaksanakan pembelajaran dengan optimal, sebagaimana kutipan wawancara dengan guru berikut ini:

“Kemarin UAS pun ada murid saya pas mengumpulkan, dia belum sama sekali satu pelajaran pun. Saya datangi ke rumahnya. Ternyata memang orang tuanya, ya seperti itu [kurang suportif]. Akhirnya anak itu saya bawa ke sekolah, suruh mengerjakan ke sekolah. Memang perhatian dari orang tuanya ternyata kurang. Bahkan saya pun tidak bertemu dengan orang tuanya, ke rumahnya berkali-kali itu gak pernah ada. Jadi saya bertemu dengan kakaknya saja. Seperti itu. (WG 2)

“...Kalau di kota kan anak tu punya hape tersendiri gitu, ya. Di kampung nggak…

Alat komunikasi hape-nya nggak semua memiliki. Ada yang memiliki, cuma tidak ada fitur WA (Whatsapp) nya, hapenya jadul. Adanya yang hapenya android, kadang kuotanya [tidak ada]. Karena kultur ekonomi di lingkungan SD kami itu kebanyakan itu buruh tani gitu.” (WG 1)

Dari kutipan di atas dapat dilihat meskipun kepala sekolah maupun guru sudah melakukan berbagai upaya agar siswa mau terus belajar, faktor keengganan orang tua dalam mendorong dan mendampingi anaknya mengikuti PJJ dianggap kepala sekolah sebagai masalah yang cukup sulit untuk diselesaikan. Tidak kooperatifnya orang tua dalam bekerjasama dengan sekolah untuk memastikan anaknya tetap mengikuti PJJ dengan baik, menimbulkan perasaan pesimis pada kepala sekolah. Temuan ini juga menyiratkan bahwa dalam situasi tidak kooperatifnya orang tua siswa, kepala sekolah dan guru berada dalam posisi kuasa yang lebih rendah dibandingkan orang tua siswa. Oleh karena itu, hal ini mengamplifikasi perasaan tidak berdaya yang dialami kepala sekolah dalam mengupayakan atau meyakinkan siswanya untuk tetap mengikuti PJJ dengan optimal.

Perasaan tidak berdaya inilah yang kemudian menjelaskan mengapa kepala sekolah semakin kesulitan untuk menumbuhkan pola pikir berkembang.

4.1.2 Motivasi Kepala Sekolah

Selain pola pikir berkembang, aspek lain yang penting sebagai modal untuk terjadinya perubahan kepemimpinan kepala sekolah adalah motivasi. Deci, Olafsen, dan Ryan (2017)12 mengelompokkan sumber motivasi menjadi dua: motivasi otonom dan motivasi terkendali (controlled motivation).

Orang-orang dengan motivasi otonom akan bertindak secara sukarela dan tulus tanpa mempertimbangkan apakah tindakan tersebut membawa kesenangan, kepuasan, atau imbalan bagi mereka. Di sisi lain, orang-orang dengan motivasi terkendali bertindak berdasarkan stimulus.

Sumber stimulus ini dapat berasal dari dalam diri (kesenangan atau kepuasan dalam melakukan pekerjaan) sehingga disebut motivasi terkendali internal maupun dari luar diri (imbalan atau hukuman) sehingga disebut motivasi terkendali eksternal. Seseorang dapat memiliki lebih dari satu sumber motivasi. Selain kategori ini, ada pula kategori tambahan yaitu amotivasi, yakni orang yang sama sekali tidak menemukan suatu alasan tertentu untuk melakukan suatu tindakan atau pekerjaan.

Untuk mendukung terjadinya perubahan kepemimpinan pembelajaran mereka, kepala sekolah harus memiliki motivasi tertentu dalam melakukan pekerjaannya, khususnya dalam menjalankan supervisi akademik dan melakukan kegiatan pengembangan guru. Sumber motivasi ini akan lebih

12 Deci, E.L., Olafsen, A.H. and Ryan, R.M., 2017. Self-determination theory in work organizations: The state of a science. Annual review of organizational psychology and organizational behavior, 4, pp.19-43.

baik jika berasal dari dalam diri sendiri agar perubahan kepemimpinan yang diharapkan terjadi secara berkelanjutan dan tidak bergantung dengan dorongan eksternal seperti program INSPIRASI, perintah dari Dinas Pendidikan/Kementerian, ataupun sanksi/intensif dari pemerintah daerah.

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa secara umum terjadi peningkatan sangat signifikan pada persentase kepala sekolah yang memiliki motivasi internal. Kenaikan ini terjadi baik di kelompok SD maupun MI. Terjadi pula kenaikan persentase kepala sekolah yang memiliki motivasi eksternal, meskipun kenaikan ini relatif kecil.

Kenaikan persentase kepala sekolah yang memiliki motivasi internal ini merupakan modal awal yang baik karena mereka akan mempunyai dorongan dari diri sendiri untuk melakukan perubahan praktik dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin pembelajaran.

Tabel 4.4 Kategori motivasi kepala sekolah

Kategori motivasi

Semua sekolah Sekolah Dasar (SD) Madrasah (MI) Survei

Keterangan: persentase dihitung dari total kepala sekolah pada masing-masing survei.

Sumber: Survei kepala sekolah (2019 & 2021)

Tabel 4.5 Hubungan motivasi internal dengan karakteristik kepala sekolah Persentase kepala sekolah yang memiliki motivasi internal Semua sekolah Sekolah Dasar (SD) Madrasah (MI) Survei

Keterangan: persentase dihitung dari total kepala sekolah pada masing-masing survei.

Sumber: Survei kepala sekolah (2019 & 2021)

Untuk melihat hubungan motivasi dengan karakteristik kepala sekolah, Tabel 4.5 menyajikan persentase kepala sekolah yang memiliki motivasi internal berdasarkan kelompok-kelompok

mereka. Pola dari temuan di tabel ini cukup berbeda dengan pola pada skor pola pikir berkembang, mengindikasikan bahwa motivasi dan pola pikir berkembang adalah dua hal yang terpisah. Secara umum, dapat dilihat beberapa kecenderungan berikut: Pertama, lebih banyak kepala sekolah berstatus non-PNS yang memiliki motivasi internal dibandingkan kepala sekolah PNS. Kedua, lebih banyak kepala sekolah berpendidikan sarjana yang memiliki motivasi internal dibandingkan kepala sekolah dengan pendidikan pascasarjana. Sementara itu, jenis kelamin maupun lama pengalaman menjadi kepala sekolah terlihat tidak berhubungan secara konsisten dengan motivasi internal.

Perbaikan motivasi internal kepala sekolah ini menjadi dasar penting bagi perubahan praktik kepemimpinan mereka serta keefektifan pelatihan dan pendampingan yang diberikan oleh INSPIRASI. Seiring dengan semakin banyaknya kepala sekolah yang memiliki motivasi internal, mulai terlihat pula indikasi perubahan praktik kepemimpinan pembelajaran kepala sekolah. Seperti yang akan dibahas lebih lanjut pada bagian 4.4 dan 4.5, peningkatan motivasi internal kepala sekolah berkorelasi positif dengan frekuensi kepala sekolah dalam melakukan supervisi RPP danpertemuan guru.

Temuan yang menyatakan bahwa secara umum terjadi peningkatan jumlah kepala sekolah yang didorong motivasi internal dalam menjalankan tugasnya, juga terjelaskan oleh hasil diskusi dengan kepala sekolah. Temuan kualitatif mengindikasikan bahwa kenaikan motivasi dari dalam diri kepala sekolah ini dipengaruhi oleh adanya peningkatan dua aspek: (1) perasaan bertanggung jawab untuk memberikan kenyamanan bagi guru dan siswa selama masa pandemi yang melelahkan dan (2) rasa percaya diri karena bertambahnya wawasan tentang pengelolaan sekolah.

Kepala sekolah merasa menjadi pihak yang paling bertanggung jawab untuk mendukung guru dan siswa di masa pandemi, seperti yang digambarkan dalam kutipan berikut:

“Tapi saya insya Allah kalau saya, [pandemi] memang tidak mengurangi rasa tanggung jawab saya, selalu memberi motivasi antusias guru agar tetap semangat karena ini adalah kewajiban kita sebagai pendidik dan pengajar…

Kita tidak boleh lelah atau capek walaupun apapun anak-anak yang kurang aktif, kadang dalam satu bulan anak tidak muncul dalam absen dan pengerjaan tugasnya. Jadi guru kesel”. (FGD 1_01)

“Udahlah sok, silahkan bagaimana yang penting nyaman memberikan materi.

Kadang coba buatkan materi yang menarik, sampai anak jangan ke materi aja.

Sok sekarang buatkan pakai gerak… itu yang selalu saya tambahkan”. (FGD 1_02)

Selain disebabkan adanya rasa tanggung jawab untuk memastikan kenyamanan guru dan siswa selama pandemi, berdasarkan hasil FGD, kepala sekolah merasa lebih percaya diri karena bertambahnya wawasan mereka terkait strategi pengelolaan dan peningkatan kualitas sekolah, seperti yang tergambarkan dalam kutipan di bawah ini:

“Sebenarnya dalam melaksanakan tugas sudah ada dalam diri sendiri ya. Sudah ada internal. Apalagi sekarang didorong, dibukakan lagi dengan pengetahuan-pengetahuan yang diterima dari INSPIRASI. Jadi, apa yang memang tugas saya sebagai kepala sekolah [dan] harus dilaksanakan sesuai tupoksi tadi, ditambah dengan ilmu-ilmu yang kami terima itu tambah tambah lebih.. apa ya, semangat lagi untuk saya melaksanakan tugas tersebut, ya. Terus terang dalam pengelolaan sekolah pun terdorong dari itu”. (FGD 2_03)

“…untuk kami pribadi ada satu apa namanya.. kepercayaan diri untuk berbagi dengan guru-guru, ya…dengan kita mengikuti suatu kegiatan pelatihan

termasuk yang diantaranya yang digunakan oleh INSPIRASI, itu tujuannya adalah untuk meningkatkan wawasan kita, kapasitas kita, sehingga kepercayaan diri kita akan meningkat”. (FGD 3_02)

Dari dua kutipan di atas dapat terlihat bagaimana kepala sekolah memperoleh rasa percaya diri yang bersumber dari meningkatnya wawasan untuk meningkatkan kualitas kepemimpinannya.

Kepala sekolah merasa memperoleh wawasan dan ilmu baru yang bisa dimanfaatkan untuk mengelola sekolah dengan lebih baik. Hal ini rupanya menimbulkan kepercayaan diri pada kepala sekolah untuk bisa menjalankan perannya dengan lebih efektif. Termasuk di antaranya termanifestasi ke dalam bagaimana kepala sekolah merasa percaya diri membagikan ilmu yang diperolehnya kepada guru-guru di sekolahnya.

Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, temuan ini mengindikasikan bagaimana kepala sekolah menyadari dan memahami bahwa PJJ adalah periode yang melelahkan semua pihak. Karena alasan tersebut, kepala sekolah menempatkan dirinya sebagai pemimpin yang memprioritaskan rasa nyaman bagi guru maupun siswa dalam menjalankan PJJ selama masa pandemi. Meski demikian, kepala sekolah juga menunjukkan upaya mendorong guru untuk terus semangat mengajar sekalipun ketika merasa kesal kepada siswa yang kurang aktif mengikuti PJJ. Meskipun hal tersebut tidak tercantum dalam tugas pokok & fungsi kepala sekolah, mereka menganggap menjaga antusiasme guru untuk mendorong siswa belajar adalah bagian dari kewajibannya.

4.2 Kepemimpinan Kepala Sekolah yang Berfokus pada Pembelajaran Siswa

Tujuan utama dari kegiatan belajar mengajar di sekolah adalah mengembangkan kompetensi siswa yang tercermin dari hasil belajar yang baik. Untuk mencapai hal tersebut, kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran diharapkan memfokuskan kepemimpinannya dan mengalokasikan

Tujuan utama dari kegiatan belajar mengajar di sekolah adalah mengembangkan kompetensi siswa yang tercermin dari hasil belajar yang baik. Untuk mencapai hal tersebut, kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran diharapkan memfokuskan kepemimpinannya dan mengalokasikan