• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. PRAKTIK MENGAJAR GURU

5.2 Praktik Mengajar Guru

Setelah terjadi perubahan dalam pola pikir dan motivasi guru, perubahan selanjutnya yang diharapkan terjadi adalah praktik mengajar guru. Dari hasil survei, secara umum ditemukan bahwa praktik mengajar guru mengalami penurunan. Penurunan ini terjadi di semua aspek yang diukur kecuali dalam hal metode pengajaran. Meskipun menunjukkan hasil yang tidak sesuai ekspektasi, perlu juga dipertimbangkan bahwa konteks pandemi menyebabkan guru harus mengajar dengan keterbatasan akses, fasilitas, dan waktu yang dapat mengakibatkan pembelajaran tidak bisa berjalan secara optimal.

Tabel 5.5 menunjukkan indikator agregat berupa skor praktik mengajar guru yang dibentuk dari 6 komponen. Skor praktik mengajar guru terhitung sangat kecil di survei awal yaitu 1,274 dari skala 0-6. Pada survei akhir, skor ini mengalami penurunan menjadi hanya sebesar 1,175. Penurunan ini terjadi baik di kelompok SD maupun MI. Jika dari berdasarkan komponen-komponen praktiknya, terlihat bahwa penurunan terjadi di hampir semua aspek kecuali pada metode mengajar yang paling sering digunakan guru, yang mengalami kenaikan pada guru SD.

Tabel 5.5 Skor Praktik Mengajar Guru

Skor praktik mengajar guru

Semua sekolah Sekolah Dasar Madrasah Survei

Metode mengajar yang paling sering digunakan

Studi kasus mengatasi pembelajaran yang tidak kondusif

(skor maksimal= 6) 0,261 0,218 0,254 0,222 0,296 0,194

Aspek yang diperhatikan agar pembelajaran (tatap muka) berlangsung secara nyaman (skor maksimal= 9)

0,216 0,205 0,217 0,209 0,209 0,179

Keterangan: persentase dihitung dari 120 guru (semua sekolah), 102 guru (Sekolah Dasar), dan 18 guru (Madrasah).

Sumber: Survei guru (2019 & 2021)

Terkait dengan metode mengajar, terjadi pergeseran ke arah pengajaran yang lebih pasif bagi siswa. Hal ini terlihat dari naiknya persentase guru yang mengaku menggunakan metode ceramah satu arah dan turunnya persentase guru yang menggunakan metode diskusi atau tanya jawab (Tabel 5.6). Pemberian tugas kepada siswa juga semakin bersifat individual alih-alih kelompok, dan penggunaan alat bantu yang semakin sedikit. Hal ini dapat dimaklumi karena dalam kondisi pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama pandemi, penerapan pembelajaran aktif jauh lebih sulit dilakukan oleh guru karena keterbatasan akses, fasilitas & waktu. Hal yang cukup menarik adalah meskipun dalam kondisi PJJ, penggunaan metode demonstrasi oleh siswa serta praktik aktif pengaplikasian pembelajaran oleh siswa di kehidupan nyata masih mengalami kenaikan.

Tabel 5.6 Metode Mengajar yang Sering Digunakan Guru

Diskusi / tanya jawab seluruh

kelas 79 66% 75 63% 65 64% 66 65% 14 78% 51 50%

Keterangan: persentase dihitung dari 120 guru (semua sekolah), 102 guru (Sekolah Dasar), dan 18 guru (Madrasah).

Sumber: Survei guru (2019 & 2021)

Selain metode mengajar guru yang kurang aktif melibatkan siswa, metode penilaian formatif yang digunakan oleh guru juga menjadi semakin terbatas. Tabel 5.7 menunjukkan bahwa penilaian formatif melalui observasi langsung, presentasi oleh siswa, maupun berkeliling sambil melihat pekerjaan siswa semakin jarang digunakan oleh guru. Di sisi lain semakin banyak guru yang menggunakan penilaian diri oleh siswa. Hal ini tentu saja juga dipengaruhi keadaan pembelajaran di masa pandemi dimana guru tidak berada dalam satu tempat/waktu yang sama dengan siswa.

Tabel 5.7 Metode Asesmen Formatif yang Sering Digunakan Guru

Metode penilaian formatif yang

Penilaian diri oleh siswa secara

tertulis maupun lisan 33 28% 40 33% 28 27% 36 35% 5 28% 23 22%

Keterangan: persentase dihitung dari 120 guru (semua sekolah), 102 guru (Sekolah Dasar), dan 18 guru (Madrasah).

Sumber: Survei guru (2019 & 2021)

Dalam kondisi yang membuat metode pengajaran serta asesmen semakin terbatas akibat pandemi, guru-guru di sekolah mitra perlu untuk tetap menjaga pembelajaran agar bersifat aktif. Tabel 5.8 menunjukkan bahwa penggunaan alat peraga, pemberian penghargaan, penyediaan lembar kerja siswa, serta memulai pembelajaran dengan membahas hal-hal yang dekat dengan keseharian siswa

semakin banyak digunakan oleh guru dalam upaya untuk menciptakan pembelajaran aktif. Di sisi lain, terjadi penurunan drastis pada pemberian tugas kelompok bagi siswa karena memang hal ini sulit dilakukan dalam konteks PJJ karena siswa tidak berada dalam satu tempat.

Tabel 5.8 Metode Guru untuk Menciptakan Pembelajaran Aktif

Metode guru untuk menciptakan pembelajaran yang aktif

Semua sekolah Sekolah Dasar Madrasah Survei

Keterangan: persentase dihitung dari 120 guru (semua sekolah), 102 guru (Sekolah Dasar), dan 18 guru (Madrasah).

Sumber: Survei guru (2019 & 2021)

Selain ditanya mengenai praktik pengajaran yang telah diterapkan, dilihat pula bagaimana pemahaman guru dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran siswa, baik fisik maupun nonfisik. Pertama, guru diberikan sebuah studi kasus mengenai permasalahan yang terjadi dalam sebuah pembelajaran di kelas15 dan diminta menanggapi mengenai apa yang guru harus

15Studi kasus: Seorang guru kelas tiga meminta murid-muridnya mengukur panjang dan lebar alat-alat tulis, buku, kotak makan, dan berbagai benda lainnya yang mereka bawa ke sekolah hari itu. Aktivitas ini dilakukan berkelompok dan setiap kelompok beranggotakan enam siswa. Sementara itu, di papan tulis terdapat sebuah tabel kosong yang harus disalin oleh tiap kelompok di selembar kertas. Tugas tiap kelompok adalah memasukkan data ukuran mereka ke dalam tabel tadi.

Kemudian, kegiatan kelompok pun dimulai. Di beberapa kelompok, ada siswa yang tidak terlibat dalam kegiatan mengukur benda ini. Para siswa ini tampak tidak memegang penggaris ataupun alat tulis lain.

Mereka mulai mengobrol dengan teman atau bermain sendiri. Beberapa saat kemudian, ada sepasang siswa di salah satu sudut ruangan kelas yang mulai berkelahi. Ini menarik perhatian beberapa siswa di sekitar pasangan siswa yang berkelahi ini. Suasana kelas pun mulai di luar kendali. Guru mulai mendamaikan perkelahian. Namun, ketenangan hanya mampu bertahan sebentar.

Masih ada kelompok-kelompok di belakang mereka yang masih asyik mengukur benda-benda. Beberapa anggota kelompok berlari ke papan tulis beberapa kali untuk menyalin tabel. Pada satu kesempatan, seorang

lakukan untuk membuat proses pembelajaran menjadi lebih baik dalam situasi tersebut. Tabel 5.9 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pada cara yang bersifat pengawasan berupa rajin berkeliling selama kegiatan berlangsung. Di sisi lain, pada cara-cara yang bersifat preventif seperti menyampaikan peraturan kelas di awal serta membuat kelompok yang lebih kecil terjadi penurunan. Kedua, guru juga ditanya mengenai apsek-aspek apa yang mereka perhatikan dalam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Tabel 5.10 menunjukkan bahwa terjadi pergeseran pada apsek yang diperhatikan guru dari aspek-aspek fisik menjadi aspek-aspek nonfisik.

Tabel 5.9 Studi Kasus Cara Memperbaiki Proses Pembelajaran

Studi kasus: hal yang dapat dilakukan untuk memperbaiki proses pembelajaran

Semua sekolah Sekolah Dasar Madrasah Survei siswa dapat melihat papan tulis dengan jelas. apabila tidak, menyediakan tabel dalam lembar kerja agar siswa tidak perlu menyalin

7 6% 4 3% 5 5% 4 4% 2 11% 0 0%

Keterangan: persentase dihitung dari 120 guru (semua sekolah), 102 guru (Sekolah Dasar), dan 18 guru (Madrasah).

Sumber: Survei guru (2019 & 2021)

Tabel 5.10 Aspek Lingkungan Belajar Kondusif Menurut Guru

Aspek yang diperhatikan guru dalam lingkungan belajar (tatap muka) yang kondusif

Semua sekolah Sekolah Dasar Madrasah Survei (meja, kursi, buku, dan media lain yang diperlukan dalam pembelajaran

39 33% 39 33% 34 33% 35 34% 5 28% 23 22%

siswa yang bolak balik ke papan tulis tanpa sengaja menginjak pekerjaan kelompok lain. Hal ini pun memicu pertengkaran berikutnya. Suasana kelas pun makin di luar kendali.

Tata ruang kelas yang sesuai

dengan kegiatan pembelajaran 33 28% 31 26% 30 29% 27 26% 3 17% 23 22%

Penataan pajangan yang memberi suasana yang

menyenangkan untuk belajar 14 12% 9 8% 12 12% 8 8% 2 11% 6 6%

Pencahayaan dan sirkulasi

udara yang baik 15 13% 6 5% 12 12% 4 4% 3 17% 11 11%

Peraturan yang disepakati siswa dan guru terkait kebersihan kelas

4 3% 2 2% 4 4% 2 2% 0 0% 0 0%

Lingkungan nonfisik

Interaksi guru dan siswa yang

hangat dan positif 28 23% 34 28% 21 21% 29 28% 7 39% 28 28%

Peraturan yang disepakati siswa dan guru dalam

berinteraksi 11 9% 17 14% 8 8% 15 15% 3 17% 11 11%

Perilaku positif dari guru yang dapat dijadikan contoh bagi

siswa 7 6% 9 8% 7 7% 9 9% 0 0% 0 0%

Keterangan: persentase dihitung dari 120 guru (semua sekolah), 102 guru (Sekolah Dasar), dan 18 guru (Madrasah).

Sumber: Survei guru (2019 & 2021

Bila dikaitkan kembali dengan pola pikir dan motivasi, guru yang memiliki pola pikir yang semakin berkembang dan motivasi internal diharapkan lebih adaptif dalam menerima perubahan dan memiliki motivasi yang tinggi dalam memperbaiki kinerjanya sebagai guru. Namun demikian, data menunjukkan bahwa perkembangan pola pikir dan motivasi tidak berkorelasi dengan perubahan skor praktik mengajar guru (0,1 > r > 0), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.2. Hal ini mengindikasikan bahwa perbaikan kemampuan profesional guru tidak dapat dijelaskan oleh kedua faktor tersebut dan dipengaruhi oleh hal-hal lain yang lebih berkaitan langsung dengan upaya pengembangan kompetensi.

Gambar 5.2 Korelasi Pola Pikir Berkembang dan Motivasi Internal Guru dengan Skor Praktik Mengajar Guru

Sumber: Survei kepala sekolah dan guru (2019 & 2021)

Frekuensi supervisi KBM maupun supervisi RPP berkaitan langsung dengan pengembangan kompetensi guru. Namun hasil analisis korelasi pada Gambar 5.3 cenderung menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara upaya kepala sekolah yang semakin sering melakukan frekuensi dengan peningkatan skor praktik mengajar guru (-0,1 < r < 0). Hal ini mungkin terjadi karena supervisi belum berjalan secara optimal. Seperti yang telah dibahas pada bagian sebelumnya,

frekuensi supervisi belum menjamin kualitas pelaksanaan supervisi. Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi kualitas dan keberhasilan supervisi untuk mendorong perubahan, beberapa diantaranya adalah penggunaan instrumen, pemahaman kepala sekolah terhadap praktik mengajar yang efektif, kemampuan kepala sekolah dalam memberikan masukan dan umpan balik, serta tindak lanjut guru atas hasil umpan balik tersebut.

Gambar 5.3 Korelasi Frekuensi Supervisi RPP & KBM dan Motivasi Internal Guru dengan Skor Praktik Mengajar

Sumber: Survei kepala sekolah dan guru (2019 & 2021)

Berdasarkan hasil studi kualitatif, motivasi dan pola pikir berkembang memang memengaruhi bagaimana cara guru mempersepsikan peran profesionalnya. Ketika ditanya apa yang mendefinisikan keberhasilan mereka sebagai seorang guru, muncul tema-tema terkait membagi ilmu yang bermanfaat dan membentuk karakter baik anak. Hal ini tergambarkan dalam kutipan-kutipan berikut:

“...oh guru itu bukan berarti harus menyampaikan ilmu saja. Cara menyampaikannya pun harus bagaimana. Lalu cara mendampingi anak-anak ketika saya menyampaikan ilmu, apa yang harus saya lakukan dengan karakter anak-anak yang berbeda. Lalu bagaimana ketika menghadapi anak yang lingkungan keluarganya kurang mendukung pada proses pembelajaran si anak”. (WG 2)

“..saya berhasil menjadi guru ketika anak-anak ada perubahan baik itu dari tingkat intelegensinya anak sendiri, dan ada perubahan akhlak di anak-anak itu sendiri. Buat saya itu sesuatu yang udah dianggap berhasil… Punya ilmu harus diamalkan itu motivasi yang sangat mendasarnya. Selain itu, menjalaninya aja dengan hepi-hepi aja gitu. Jadi selalu termotivasi menjadikan seseorang menjadi lebih dari saya gitu. Kebanggaan sih.” (WG 4)

“Kan yang dicari itukan manfaat atau barokahnya dari guru. Biar anak itu mengerti. Anak pintar itu ya, kalau misalkan gurunya memberikannya dengan ikhlas. Kemudian dengan suka rela tidak ada tuntutan apa-apa”. (WG 3)

Namun demikian, besaran motivasi internal dan pola pikir guru dalam mempersepsikan keberhasilannya sebagai pendidik ini tidak dianggap mempengaruhi langsung keputusan-keputusan yang dibuat guru dalam menjalankan praktik mengajarnya. Dalam melaksanakan praktik mengajar, guru lebih dipengaruhi oleh aspek praktikalitas sejauh mana pendekatan yang mereka gunakan sesuai keadaan riil, kebutuhan siswa, serta ketersediaan fasilitas belajar. Temuan ini tergambarkan dalam kutipan-kutipan berikut:

“Karena kalau sebuah pembelajaran, perangkat pembelajaran anak udah gak punya, siapa yang mesti harus bertanggung jawab di sini kan. Masak sekolah harus memberikan gadget juga kan gak mungkin ya. Akhirnya yaudah ginilah solusinya. Kalau memang anak yg tidak punya gadget dalam pembelajaran, boleh dia gabung dengan anak yang lain”. (WG 1)

“Kemarin UAS pun ada murid saya pas mengumpulkan, dia belum sama sekali.

Satu pelajaran pun. Saya datangi ke rumahnya...Akhirnya anak itu saya bawa ke sekolah, suruh mengerjakan ke sekolah. Memang perhatian dari orang tuanya ternyata kurang. Bahkan saya pun tidak bertemu dengan orang tuanya, ke rumahnya berkali-kali itu gak pernah ada. jadi saya bertemu dengan kakaknya saja. Seperti itu”. (WG 2)

“..Dari segi RPP aja sudah berbeda [dibanding sebelum pandemi]. Misalkan, kalau di RPP luring itu ya kegiatannya biasa gitu, kita bisa memaksimalkan itu.

Kalau misalkan di daring itu kita harus meminimalisir kegiatan-kegiatan, [dipilih] yang memang hanya bisa dilakukan secara daring. Misalkan, saya akan melakukan praktik. Bagaimana caranya praktik IPA misalkan terlaksana. Tapi dengan alat-alat yang mudah digunakan oleh anak-anak. Kemudian, penggunaannya pun tidak berbahaya dan tidak merepotkan orang tua di rumah. (WG 5).

Dari kutipan-kutipan di atas dapat terlihat bagaimana guru berupaya mencari cara untuk tetap dapat menyampaikan pembelajaran seoptimal mungkin, meskipun dalam situasi yang tidak ideal.

Artinya, guru melepaskan idealisme-idealisme pribadi tentang praktik mengajarnya demi menyesuaikan dengan kondisi yang serba terbatas dan sulit bagi siswa untuk mengikuti PJJ. Hal ini mengkonfirmasi temuan kuantitatif yang menyatakan bahwa motivasi dan pola pikir guru tidak dapat menjelaskan kemampuan profesional praktik mengajar guru. Dalam kata lain, di ranah praktik mengajar guru, keputusan-keputusan yang dibuat guru tidak lagi hanya didorong oleh motivasi dan pola pikir pribadi. Melainkan, lebih berorientasi pada kebutuhan siswa dan situasi riil yang sifatnya lebih luas melampaui kepentingan-kepentingan personal guru.