• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Penelitian

Dalam dokumen PROSIDING SEMINAR NASIONAL (Halaman 34-39)

SIDANG KOMISI A

FENOMENA KATA SAPAAN BAHASA MINANG TERHADAP BUDAYA BERBAHASA MASYARAKAT MINANGKABAU

B. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian bahasa yang mengungkapkan fenomena-fenomena kebahasaan, terutama fenomena-fenomena kata sapaan bahasa Minangkabau saat

C. Pembahasan

Bahasa Minang merupakan bahasa pertama masyarakat Minangkabau dalam berkomunikasi. Di Minangkabau bahasa lebih dikenal dengan kata atau kato. Kato dalam bahasa Minang adalah tindakan yang mengacu pada norma dan aturan. Kato merupakan tata aturan dalam berkomunikasi antarsesama. Dalam hal masyarakat Minang yang tidak mengenal kato maka dikatakan orang yang tidak tahu dengan adat (urang ndak tau jo adaik).

Aturan penggunaan kato di Minangkabau dikenal dengan istilah Kato Nan Ampek. Kato Nan Ampek ini meliputi empat bagian, yaitu: 1) Kato mandata yaitu aturan berbahasa dengan teman sebaya, 2) Kato mandaki yaitu aturan berbahasa dengan orang yang lebih tua, 3) Kato malereng yaitu aturan berbahasa dengan orang sumando atau ipar, 4) Kato manurun yaitu aturan berbahasa dengan orang yang lebih muda.

Menurut Chaer (2006:107) kata sapaan adalah kata yang digunakan untuk menyapa, menegur, atau orang kedua yang diajak bicara. Dalam hal ini, sapaan bahasa Minang juga digunakan untuk menyapa dan menegur lawan bicara. Menurut Ayub (dalam Utama, Fefriadi Rangga, dkk 2012:646) sistem kata sapaan bahasa Minangkabau berdasarkan pemakainnya dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu: 1) kata sapaan umum. 2) kata sapaan adat. 3) kata sapaan agama. 4) kata sapaan jabatan.

Bahasa Minang merupakan suatu norma-norma, peraturan, ketentuan-ketentuan yang diungkapkan dalam bentuk ungkapan, mamangan, peribahasa dan tuturan yang jelas maknanya. Ketentuan ini merupakan peninggalan dari nenek moyang orang Minangkabau pada masa dahulu. Hal ini menunjukkan sangat pentingnya pemahaman masayarakat Minang terhadap warisan budaya nenek moyang khususnya bahasa Minang.

Sehubungan dengan hal di atas maka jelaslah bahwa ragam kata sapaan bahasa Minang sebagai bagian dari rumpun bahasa Minang juga mempunyai tempat untuk tetap harus digunakan masyarakat. Tidak hanya itu kata sapaan bahasa Minang merupakan kata panggilan yang menunjukkan bahwa si pengguna kata sapaan mempunyai hubungan karib dengan yang disapa atau hanya sekadar interaksi biasa. Dalam hal ini penggunaan kata sapaan yang sesuai dengan konteks yang sebenarnya menunjukkan bahwa masayarakat Minang mempunyai aturan dan norma dalam bertutur dengan sanak famili atau orang luar.

Dalam suatu percakapan: Samiak: “Pai kama Uwo?”

Mansur: “Kabaruah tu cah, pai Ang”? Samiak: “ndak do Wo”..

Mansur: “Yo lah, Den pai lu” Samiak: “Yo Wo”.

Penggalan percakapan di atas menggunakan kata sapaan Uwo (kakak), Ang (adik), dan Den (saya). Sebagai orang Minang kita dapat memahami bahwa yang berbicara tersebut adalah seorang kakak dengan adiknya. Hal ini ditunjukkan dengan kata sapaan Uwo yang berarti ‘kakak’. Kemudian penggunaan sapaan Ang yang berarti ragam intim atau panggilan akrab seorang kakak kepada adiknya. Sedangkan sapaan Den pada diri menunjukan kedekatan diri seorang kakak kepada adiknya. Penjelasan tersebut menunjukkan betapa indah dan dalam makna kata sapaan bahasa Minang yang ragam

intim sesama saudara ada pilihan katanya. Namun sebaliknya jika percakapan itu bukan dengan saudara maka makna kata Ang dan Den akan berubah menjadi kasar dan tidak sopan yang bisa menimbulkan konlik atau permasalahan.

Kasus lain di antaranya dalam suatu percakapan: Basyir : “Bilo tibo Nak?”

Rahmat: “Patang Pak Etek”.

Basyir : “Lai sehat yo, samo sia se pulang?”

Rahmat: “Alhamdulilah lai Pak Etek, Ambo surang sajo”.

Penggalan percakapan di atas mengunakan kata sapaan Nak, Pak Etek, dan Ambo. Percakapan tersebut memberi pemahaman bahwa komunikasi tersebut dilakukan seorang anak dengan adik Bapaknya. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan kata Pak Etek yang berarti ‘adik dari Bapak’. Kata sapaan Nak menunjukkan ragam intim seorang adik kepada anak kakaknya yang menganggap anaknya sendiri. Sedangkan kata sapaan ambo menunjukkan kesopanan seorang anak kepada orang yang lebih tua, apalagi ayahnya.

Beberapa contoh di atas hanya sebagian kecil fenomena kata sapaan bahasa Minang yang dikemukakan dan banyak lagi contoh lain yang tidak ditulis dalam makalah ini. Contoh di atas menggambarkan bahwa nenek moyang suku Minangkabau telah menyiapkan seperangkat bentuk kata sapaan yang disesuaikan dengan konteks pemakaiannya. Sehingga dalam berbahasa masyarakat Minangkabau diatur dengan pilihan kata yang sopan, santun, dan beretika.

Namun demikian realita yang terjadi di Sumatera Barat tidak seperti yang tergambar pada uraian di atas. Masyarakat Minang tidak lagi menggunakan kata sapaan warisan nenek moyang dalam berkomnunikasi dengan kaum kerabat dekat maupun kerabat jauh. Mereka cenderung mengikuti ragam kata sapaan yang berkembang saat ini. Hal ini meliputi bahasa Indonesia dan bahasa prokem yang sedang tren di Indonesia.

Dalam suatu percakapan;

Weki : “Jadi main futsal Om?” Herman: “Beko sore lah yo”.

Weki : “Panggia Ki beko yo Om”. Herman: “Jadih”.

Begitulah model percakapan seorang anak dengan om-nya. Sulit memang memahami posisi Om di sini. Apakah om ini adik Ibunya atau panggilan akrab sebagai tetangga. Jika dilihat dari konteks percakapan, jika om adalah adik Ibunya maka terasa kurang tepat penggunaan kata Om. Seorang kemenakan dengan ringannya memanggil mamak dengan Om tanpa ada rasa sopan bagaimana bersikap dan bertutur dengan mamak. Suatu hal yang sangat disayangkan raso pareso generasi Minang tidak terlihat lagi.

Jika Herman itu seorang anak muda maka Weki harusnya memanggil Uda atau Abang. Jika sebaya dengan ayahnya maka Weki memanggil dengan sapaan Bapak. Begitulah seharusnya Weki bertutur disesuaikan dengan ketentuan kata sapaan bahasa

di Sumbar. Hal ini lumrah dan tidak menjadi perhatian dari siapa pun termasuk para pemangku adat di negeri ini. Kondisi seperti ini menunjukkan dari masa ke masa, bahasa selalu mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan budaya manusia. Hal ini menjelaskan bahwa apa yang terjadi dalam masyarakat Minang disebabkan oleh budaya Minang yang mulai pudar diikuti oleh bahasa Minang itu sendiri. Hal ini relevan dengan pendapat Kepala Balai Bahasa Padang Agus Sri Danardana pentingnya meningkatkan rasa nasionalisme masyarakat Sumatera Barat melalui permartabatan bahasa dan sastra daerah Minangkabau.

Menyikapi permasalahan di atas sebagai generasi penerus bangsa, masyarakat Minangkabau tentu tidak tidur terhadap hal hal yang akan mengikis sendi sendi bahasa dan budaya Minangkabau. Seperti kata pepatah adat Minang indak lakang dek paneh indak lapuak dek hujan. Kata-kata ini mampu membangkitkan kembali Minangkabau dari tidur panjang akibat nina perkembangan dunia. Oleh karena itu ada dua hal yang perlu diperhatikan agar kata sapaan bahasa Minang kembali menjadi tuturan masayarakat Minangkabau.

Dua hal yang sangat signiikan ini adalah apa penyebab dan bagaimana solusi mengatasi kasus ini. Dengan melihat dua hal ini maka mengingatkan orang Minang pada warisan nenek moyang yang patut dibanggakan dan dipertahankan.

Banyak hal yang menyebabkan kurangnya penggunaan kata sapaan bahasa Minang oleh masyarakat Minang. Merujuk pada pendapat Suhardi (dalam Kushartanti, 2005:49) yang menyatakan bahwa suatu bahasa dipakai oleh masyarakat penuturnya untuk keprluan komunikasi sesuai dengan keadaan atau keperluan yang mereka hadapi. Peristiwa ini meliputi medan, suasana, dan cara. Masyarakat Minang yang berada pada suasana formal akan terpengaruh untuk menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa lainnya yang tidak berhungan dengan bahasa Minang. Dalam hal ini maka penggunaan bahasa bahasa Minang mudah terkontaminasi dengan bahasa lainnya yang membuat masyarakat sering lupa atau tidak sadar lagi untuk menggunakan bahasa Minang.

Hal ini disebabkan karena masyarakat Sumbar banyak beraktivitas pada kegiatan formal yang diharuskan menggunakan bahasa Indonesia. Selain itu, para perantau Minang pada saat pulang menggunakan bahasa rantau dalam berkomunikasi di Sumbar. Oleh karena itu, terlihat bahwa bahasa Minang mulai tergantikan oleh bahasa Indonesia atau bahasa yang berkembang saat ini. Problem bahasa yang dialami masyarakat Minang terlihat mempengaruhi budaya berbahasa masyarakat yang tidak lagi mengikuti aturan adat kato nan ampek.

D. Simpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fenomena kata sapaan Bahasa Minangkabau mengalami perubahan. Perubahan ini mempengaruhi budaya berbahasa masyarakat Minang. Dalam hal ini budaya berbahasa tidak lagi mengikuti aturan aturan kata sapaan bahasa Minang. Budaya berbahasa masyarakat Minang cenderung mengikuti tren bahasa yang sedang berkembang saat ini, yaitu bahaa Indonesia dan bahasa prokem serta bahasa media sosial.

Berdasarkan kesimpulan tersebut maka dapat disampaikan saran untuk beberapa pihak. Pertama, untuk pemangku adat agar tetap mengembangkan budaya Minangkabau dan memberi penyuluhan tentang pentingnya mempertahankan bahasa Minang. Kedua, untuk masyarakat Minangkabau agar mencintai dan bangga dengan bahasa dan budaya Minangkabau. Ketiga, untuk pemerintah Sumatera Barat agar membuat kurikulum muatan

lokal bahasa Minangkabau dari SD-SMA se-Sumatera Barat. Keempat, untuk peneliti selanjutnya dapat memanfaatkan penelitian ini sebagai pembanding untuk melanjutkan penelitian dengan topik ini. ●

E. DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2006. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Utama, Fefriadi Rangga, dkk. 2012. Kata Sapaan dalam Bahasa Minangkabau di

Kanagarian Tuik IV Koto Mudiak Batang Kapas Kabupaten Pesisir Selatan. ejournal. unp.ac.id › Home › Vol 1, No 1 (2012).

Dalam dokumen PROSIDING SEMINAR NASIONAL (Halaman 34-39)