• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.6 Metode Penulisan

Setiap penelitian haruslah menggunakan metode penelitian. Metode penelitian adalah suatu cara atau aturan yang sistematis digunakan sebagai proses dalam memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip untuk mencari kebenaran dari sebuah permasalahan. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Metode sejarah merupakan proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan jejak-jejak peninggalan di masa lampau. Dalam penerapannya metode sejarah sangat bertumpu pada empat metode yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi dan menjadi langkah operasional dalam penulisan sejarah.10

Tahap pertama adalah Heuristik, heuristik merupakan langkah untuk mendapatkan bahan atau sumber tertulis dari peristiwa yang terkait dengan penelitian.

10Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm 50.

Pada bagian heuristik penulis telah melakukan studi arsip dan studi pustaka. Studi arsip diperlukan mengingat cakupan periode yang akan dikaji dalam penulisan adalah periode kolonial, dan karena tidak mungkin dilakukan dengan mengandalkan data lisan. Studi arsip dilakukan agar memperoleh sumber-sumber primer. Penulis telah mengumpulkan arsip-arsip tentang Afdeeling Deli en Serdang yang didapat dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jakarta Selatan. Pencarian arsip penulis lakukan dimulai pada 10 Februari 2020 sampai 11 Maret 2020 bersama beberapa teman lainnya dan ini merupakan pengalaman pertama bagi penulis dalam mengunjungi dan mengakses arsip. Sebelumnya penulis sudah melakukan diskusi dengan senior yang lebih dulu mengunjungi ANRI sebagai bekal agar tidak kebingungan ketika di ANRI. Pada hari pertama dalam pencarian data penulis mengalami cedera di bagian kaki sehingga di 3 hari pertama penulis mengalami kesulitan dalam proses pencarian data di ANRI. Akan tetapi, Pelayanan pegawai ANRI yang sangat baik sangat membantu penulis dalam mengejar ketertinggalan beberapa hari akibat cedera dalam mencari data. Mereka menjelaskan mengenai arsip-arsip terkait, lokasi arsip, fungsi, serta cara penggandaan arsip. Dari studi arsip ini, data pertama yang penulis dapatkan adalah Algemeene Secretarie yang merupakan arsip-arsip pemerintahan yang dikeluarkan oleh Sekretariat Gubernur Jendral Hindia Belanda. Katalog arsip Algemeene Secretarie terbagi atas Algemeene Secretarie Grote Bundel ter Zijden Grote Agenda 1891-1942, Algemeene Secretarie Grote Bundel Besluiten 1981-1942 dan Algemeene Secretarie Grote Bundel Missive Gouvernements Secretaris 1890-1942. Dari ketiga seri arsip tersebut, penulis hanya

mendapatkan 2 Algemeene Secretarie yaitu Algemeene Secretarie Grote Bundel Besluiten 1981-1942 dan Algemeene Secretarie Grote Bundel Missive Gouvernements Secretaris 1890-1942. Penulis juga menemukan arsip terkait seperti Burgerlijke Opanbare Werken yang berisi tentang pembangunan infrastruktur disuatu wilayah, Binnenlandsch Bestuur yaitu arsip-arsip tentang desentralisasi pemerintahan dalam negeri. Arsip ini juga berisi tentang keputusan yang dibuat oleh pejabat Afdeeling Deli en Serdang.

Selanjutnya, penulis menemukan Memorie van Overgave Deli en Serdang, yaitu laporan serah terima jabatan dari seorang pejabat di akhir masa jabatannya.

Laporan ini ditulis oleh Asistent Resident maupun Controleur diakhir masa pemerintahannya. Selain MVO Afdeeling Deli en Serdang penulis juga mengumpulkan MVO Afdeeling Deli sebelum tahun 1910. Kemudian, penulis juga menemukan arsip Enyclopaedie van Nederlandsch Indie, yang berisi tentang rangkuman secara singkat suatu objek khususnya di wilayah Deli dan Serdang.

Penulis juga menemukan arsip Kolonial Verslag yaitu catatan laporan tahunan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda dalam segala aspek pemerintahan, politik, sosial dan ekonomi.

Selain itu, di ANRI penulis menemukan susunan peraturan perundangan-undangan pemerintah Hindia Belanda yang dimulai dari Staatsblad van Nederlandsch Indie yang berisi tentang pasal-pasal dan ketentuan yang disahkan oleh Gubernur Jendral. Kemudian, dari Staatsblad terdapat peraturan pendukung sejenis Peraturan Pemerintah (PP) yang disebut Bijblad op het Staatsblad van Nederlandsch Indie.

Ketentuan-ketentuan tersebut pada akhirnya dicatat dalam laporan akhir pemerintahan pusat yang disebut dengan Regering Almanak. Selain menemukan sumber-sumber tertulis, penulis juga menemukan peta kartografi berupa peta perkebunan yang diterbitkan oleh AVROS.

Data-data yang penulis peroleh dari ANRI, beberapa dimuat dalam bentuk CD seperti MVO dan peta kartografi, sedangkan data lainnya dalam bentuk hardcopy atau print out. Data-data dalam bentuk CD tersebut, kemudian penulis pindahkan ke flashdisk agar menjaga dari kemungkinan terburuk hilangnya data di CD dan juga agar lebih mudah untuk memasukkannya sebagai lampiran. Selain mendapatkan arsip-arsip di ANRI, penulis juga mengunjungi situs arsip digital. Sumber arsip digital yang diakses dan digunakan penulis adalah Delpher, KITLV, dan Tropen Museum. Arsip digital ini banyak berbentuk buku,gambar, majalah dan koran.

Selain sumber dari studi arsip tersebut, penulis juga telah mengumpulkan sumber melalui studi pustaka. Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan sumber-sumber yang berkaitan dengan topik penelitian ini baik dalam bentuk buku, skripsi, tesis, disertasi, jurnal, dan lainnya. Untuk memperoleh sumber melalui studi pustaka penulis telah mengunjungi beberapa perpustakaan yakni Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta Pusat. Di sini penulis mendapatkan Tijdschrift Indische Taal Land en Volkenkunde Bataviaasch Genootschap atau disingkat TBG yang merupakan laporan peneliti-peneliti dari lembaga penelitian Koninklijk Bataviasch Genootschap Kunsten en Wetenschapen. Data-data TBG dikeluarkan setiap tahunnya sehingga sangat banyak dijumpai, namun tidak semuanya mencatat tentang Deli dan

Serdang. Data serupa juga ditemukan di Museum Nasional yaitu Tijdschrift van het Nederlandsch Aardrijkskundige Genootschap atau disingkat TNAG. Hanya saja TNAG berisi tentang penjelasan topografi wilayah Hindia Belanda, mulai dari kondisi tanah, iklim, batas wilayah, dan jenis komiditi yang dominan.

Kemudian penulis juga mengunjungi perpustakaan lainnya seperti Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, Museum Deli Serdang dan Perpustakaan Tuanku Lukman Sinar. Pencarian data di tempat-tempat ini penulis lakukan sebelum berangkat mencari data arsip di Jakarta. Setelah studi arsip penulis tidak dapat mengakses perpustakaan tersebut karena terkendala pandemi Covid-19 yang menyebabkan ditutupnya akses perpustakaan.

Setelah data terkumpul, metode selanjutnya penulis gunakan adalah Kritik Sumber. Kritik Sumber merupakan tahap di mana sumber atau data-data yang didapatkan diuji atau diverifikasi kebenarannya. Kritik dibagi lagi menjadi dua yaitu kritik intern dan ekstern. Kritik intern adalah kritik yang akan menguji kebenaran dari isi sumber-sumber yang telah dikumpulkan, sedangkan kritik ekstern adalah pemilahan sumber-sumber mana yang akan dijadikan tulisan serta menganalisis keaslian dengan mengamati tulisan, ejaan, jenis kertas, stempel, dan tanda tangan.

Tahap selanjutnya adalah interpretasi, yang merupakan tahap di mana penulis akan menuangkan semua ide yang telah didapatkan melalui sumber-sumber yang telah diuji keabsahannya. Dalam tahap ini penulis melakukan analisis dan sintesis.

Analisis berarti menguraikan sumber-sumber yang telah dikritik sebelumnya.

Kemudian dari proses analisis diperoleh fakta-fakta yang disintesiskan sehingga mendapatkan sebuah kesimpulan.

Tahap terakhir adalah Historiografi (Penulisan Sejarah), yang merupakan proses mendeskripsikan rangkaian sejarah secara kronologis. Hasil penulisan di tahap ini ditulis secara deskriptif-analitis, Maksudnya adalah penulisan ini dapat menggambarkan dan menjelaskan secara rinci sehingga akan menghasilkan sebuah deskripsi yang cukup jelas mengenai Afdeeling Deli en Serdang dan tentunya berpedoman dengan outline yang telah disusun sebelumnya.

BAB II

AFDEELING DELI EN SERDANG SEBELUM TAHUN 1910

Bab II ini akan mendeskripsikan mengenai keadaan Deli dan Serdang sebelum tahun 1910. Awalnya, Afdeeling Deli en Serdang merupakan dua kerajaan besar yaitu Kerajaan Deli dan Kerajaan Serdang yang terletak di Sumatera Timur. Kedua kerajaan ini memiliki genealogi yang sama dari Gotjah Pahlawan. Kerajaan Deli dan Serdang juga merupakan sasaran konflik kedaulatan antara Aceh dan Siak sampai kedatangan Belanda.

Sejak diberlakukannya Tractaat Siak wilayah Deli dan Serdang dinyatakan takluk kepada Kesultanan Siak, hingga akhirnya dipisahkan oleh Belanda menjadi Afdeeling tersendiri tahun 1873. Seiring dengan itu investasi perkebunan mulai masuk di kedua wilayah ini sehingga terjadi peningkatan penduduk, dan komoditi perkebunan. Pembagian wilayah perkebunan mulai diberlakukan di kedua wilayah ini. Di sisi lain intervensi pemerintah Hindia Belanda ini juga mengurangi hak-hak Sultan.

Dalam bab ini, terdapat tiga hal utama yang akan dibahas, yaitu mengenai wilayah, penduduk, dan pemerintahan. Rentang waktu yang dibahas dalam bab ini adalah sejak tahun 1858 awal mulanya intervensi pemerintah Belanda terhadap wilayah di Sumatera Timur, melalui Tractaat Siak. Inilah awal mulanya campur tangan Belanda serta minatnya terhadap wilayah Sumatera Timur khususnya Deli dan Serdang. Pembahasan dalam bab ini diakhiri tahun 1909 setahun sebelum terbentuknya Afdeeling Deli en Serdang.

2.1 Wilayah

Kerajaan Deli dan Kerajaan Serdang merupakan dua kerajaan besar yang terletak di pesisir pantai timur Sumatera. Keduanya merupakan kerajaan yang berasal dari rumpun genealogi yang sama.11 Sejak lama kedua wilayah ini diperebutkan oleh Kesultanan Aceh dan Siak untuk dijadikan sebagai wilayah jajahannya. Kesultanan Aceh ketika dipimpin oleh seorang Raja Wanita (Tadjul Alam Tsafiatuddin) kekuasaannya menjadi lemah di sebabkan oleh terjadinya perebutan tahta dan perang saudara di Aceh. Oleh karena itu Deli dapat melepaskan diri dari kekuasaan Aceh dan menjadi wilayah yang merdeka.

Melemahnya kekuasaan Aceh di Deli menjadi titik awal Siak dalam menanamkan pengaruhnya di Deli dan Serdang. Pada tahun 1780 Sultan Siak (Sultan Ismail) menyerang Deli dan Serdang. Namun, pada masa kekuasaan Sultan Ismail, kekuasaan Siak mengalami kemunduran dan sering terjadi perselisihan antara keluarga kerajaan dan beberapa kerajaan kecil di Sumatera Timur yang mulai beralih ke hegemoni Aceh.12 Kemudian untuk mempertahankan kekuasaannya, Kesultanan

11 Nama Deli diambil dari nama Delhi yaitu tempat asal Tuanku Sri Paduka Gotjah Pahlawan yang bernama Delikhan atau Deli Akbar di India. Adapun kemungkinan nama Deli diambil dari Deli Tua bekas ibukota Kerajaan Aru II, yang namanya diambil dari sebuah sungai dekat Deli Tua bernama Lau Petani Deli. Untuk nama Kesultanan Serdang berasal dari nama sebuah pohon “Serdang” yang daunnya digunakan untuk atap rumah. Berdirinya Kesultanan Serdang diawali dengan perang suksesi dalam perebutan tahta di Deli sekitar tahun 1723. Konfilk perebutan tahta tersebut bermula saat Tuanku Panglima Paderap mangkat pada tahun 1723. Tuanku Gandar Wahid, anak kedua Tuanku Panglima mengambil alih tahta dengan tidak memperdulikan abangnya Tuanku Panglima Jalaluddin dan adiknya Tuanku Umar. Tuanku Jalaluddin tidak bisa berbuat apa-apa karena cacat fisik yang dialaminya, sementara Tuanku Umar Djohan Alamsyah melanjutkan mengungsi ke wilayah Serdang karena tidak berhasil merebut haknya atas tahta Deli. Tuanku Umar bersama ibundanya Tuanku Puan Sampali mendirikan Kampung Besar (Serdang). Lihat Tengku Lukman Sinar, Sari Sejarah Serdang Jilid I, Medan: tanpa penerbit, 1971, hlm.30.

12 Ibid. hlm 31.

Siak meminta bantuan kepada Belanda. Pada tahun 1858 Siak berhasil mendapatkan pengakuan atas kedaulatannya di Sumatera Timur melalui Tractaat Siak yang dibuat oleh Belanda. Setelah diadakannya Kontrak Politik Belanda dengan Siak maka pemerintah Hindia Belanda mulai meluaskan wilayah kekuasaanya seperti menaklukkan Deli dan Serdang untuk dijadikan bagian dari wilayah kekuasaan Hindia Belanda.13

Setelah wilayah Deli dan Serdang ditaklukkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1862, wilayah Deli dan Serdang belum mengalami perkembangan yang menonjol. Kedua wilayah ini berkembang justru bukan disebabkan oleh pemerintah Hindia Belanda melainkan karena masuknya perusahaan-perusahaan kapitalis swasta Eropa dalam bentuk industri perkebunan. Awal munculnya industri perkebunan yang di mulai pada tahun 1863 di Deli, dirintis oleh Jacobus Nienhuys dengan komoditi tembakau dan sangat sukses di pasaran dunia.

Sehingga wilayah Deli maupun Serdang mulai dikenal dan mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah Hindia Belanda.14

Pada tahun 1864 melalui peraturan De Indische Compatible Wet yang bertujuan untuk memangkas anggaran dana dan memudahkan segala urusan

13 Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863-1947, (terj. J. Rumbo) Jakarta: Penerbit Sinar Harapan , 1985, hlm. 41

14 Terbukanya kesempatan bagi para pengusaha Eropa untuk menanamkan modalnya di Deli juga didukung oleh pemberlakuan Undang-Undang Agraria 1870. Undang-undang tersebut memberi peluang untuk membuka lahan perkebunan seluas-luasnya di Sumatera Timur khususnya di Deli.

Pembukaan hutan belantara menjadi daerah perkebunan dimulai dari daerah Deli. Lihat Mohammad Said, Koeli Kontrak Tempo Doeloe Dengan Derita dan Kemarahannya, Medan: PT. Harian Waspada, 1990, hlm. 51. Lihat juga Edi Sumarno, Pelestarian dan Perlindungan Tembakau Deli Sebuah Perpektif Historis, Dalam Jurnal Pertanian Tropik Vol.3, Medan: Dapartemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU, 2016, hlm. 187.

administrasi.15 Sehingga pemerintahan Hindia Belanda merencanakan menjadikan wilayah Deli sebagai Afdeeling. Pada tahun 1870 perkebunan di wilayah Deli maupun Serdang berkembang dengan pesat, sehingga pada tahun 1873 secara resmi Deli ditetapkan sebagai Afdeeling yang berpusat di Labuhan Deli. Sedangkan Serdang dijadikan sebagai subdivisi (Onderafdeeling) dari Afdeeling Deli. Dikarenakan pesatnya ekspansi perkebunan yang sampai ke wilayah Serdang maka pemerintah Hindia Belanda menempatkan seorang Controleur-nya di Rantau Panjang.16

Setelah ditetapkan sebagai wilayah administratif Hindia Belanda, Afdeeling Deli memiliki luas berkisar 77.000 hektar. Wilayah Afdeeling Deli ditetapkan membentang mulai dari Temiang hingga ke Padang termasuk Onderafdeeling Serdang di dalamnya.17 Adapun batas-batas wilayah Afdeeling Deli yaitu :

Utara : Berbatasan dengan Selat Malaka Timur : Berbatasan dengan Afdeeling Asahan Selatan : Berbatasan dengan Simalungun Barat : Berbatasan dengan Kesultanan Aceh

15 Soetandyo Wignjosoebroto, Desentralisasi Dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, Malang: Bayu mediea Publishing, 2004, hlm. 3.

16 Pada tahun 1873 pantai timur Sumatera memisahkan diri dari kesultanan Siak dan menjadi keresidenan sendiri yaitu Keresidenan Sumatera Timur . Sumatera Timur kemudian dibagi atas tiga Afdeeling, salah satunya adalah Afdeeling Deli yang berkedudukan di Labuhan, Afdeeling Asahan berkedudukan di Tanjung Balai, dan Afdeeling Bengkalis berkedudukan di Bengkalis. Pada tahun 1879 ibukota Afdeeling Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan. Lihat W.H.M Schadee, Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust Deel II, Amsterdam: Oostkust Van Sumatra-Instituut, 1919, hlm.76.

17 Afdeeling adalah wilayah pemerintahan yang merupakan bagian dari Keresidenan yang dikepalai oleh Asisten Residen. Lihat Willem Westerman, De Tabakscultuur op Sumatra’s Oostkust, Amsterdam: J.H Bussy, 1901, hlm. 17.

Gambar 1

Peta Afdeeling Deli Tahun 1875

Sumber : KITLV (diakses pada https://digitalcollections.universiteitleiden.nl tanggal 01 April 2020).

Iklim di wilayah Deli dan Serdang ini relatif sama. Daerah pantai rata-rata bersuhu 250C maksimum 320C, sedangkan di daerah pegunungan suhu menurun mencapai 120C dan berkisar antara 5,50C dan 180C. Musim hujan di Deli dan Serdang mulai pada bulan Agustus dan berakhir pada bulan Januari, sedangkan musim kemarau pada bulan Februari. Bulan ini ditetapkan sebagai bulan terkering. Terdapat angin darat dan angin laut. Badai dahsyat dan angin puyuh jarang terjadi. Angin bahorok juga kadang-kadang terjadi. Hal ini dapat menyebabkan kegersangan terhadap tanaman akibat hembusan angin yang sangat kencang.18

Wilayah Afdeeling Deli, sebagian besar terdiri dari tanah aluvial yang tanahnya bewarna merah atau putih bercampur pasir. Pesisir wilayah Deli dan Serdang memiliki tekstur tanah yang rendah, berawa dan juga berlumpur. Sepanjang pantai banyak ditumbuhi hutan bakau. Dataran rendah maupun dataran tinggi di Deli memilik tanah yang subur. Kesuburan ini disebabkan karena endapan lumpur yang dikeluarkan dari letusan gunung berapi di Bukit Barisan. Tanahnya subur dan kaya akan humus dan sangat cocok untuk budidaya tembakau, lada, pinang dan kakao. 19

Pemerintah Hindia Belanda menyebut wilayah Deli dan Serdang sebagai cultuurgebied middlepunt atau pusat perkebunan di Sumatera Timur.20 Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya pengusaha-pengusaha Eropa yang membuka perkebunan di

18 J.Paulus, Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, Vol. I, The Hague: Martinus Nijhoff, 1917, hlm. 576.

19 Daniel Perret, Kolonialisme dan Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut.

Jakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, 2010 ,hlm.86.

20 G.L.J.D Kok, Memorie van Overgave van de Assistent Resident van de Afdeeling Deli en Serdang, Residentie Sumatra Oostkust, 30 Juni 1910, hlm. 11.

wilayah ini. Adapun beberapa perkebunan yang tersebar di wilayah Deli dan Serdang di tahun 1876 yaitu :

Tabel 1

Wilayah Perkebunan di Wilayah Deli dan Serdang Tahun 1876

Deli Serdang

20. Si Haltong (Koeta Rih II) 21. Atap silin.

Sumber : E.A. Halewijn, Geographische En Ethnographisce Gegevens Betreffende het Rijk van Deli ( Oostkust van Sumatra ), Tijdschrijft voor Indische Taal, Land en Volkenkunde van Batavia Genootschap, Deel XXIII, 1876, hlm.149.

Beberapa tanah di Serdang tidak sesuai untuk budidaya tembakau. Hal ini disebabkan karena bagian selatan Serdang tidak menerima cukup hujan sehingga penanaman tembakau tidak menguntungkan. Akan tetapi, daerah Serdang berhasil dalam penanaman karet dan kopi. Tanah-tanah di Serdang sangat cocok untuk

penanaman kopi sehingga tanah di Serdang terkenal tepat untuk tanaman kopi. Kopi yang ditanam kebanyakan jenis Liberia yang tidak memerlukan tanaman pohon pelindung.21

Kesuburan tanah di kedua wilayah ini mendukung berkembang pesatnya perkebunan di Afdeeling Deli. Hal ini membuat beberapa wilayah dijadikan sebagai konsesi lahan, sekitar 7% wilayah Deli dan juga Serdang di konsesikan sebagai wilayah perkebunan. Kemudian pemerintah Hindia Belanda menetapkan pembagian wilayah atas Kerajaan Deli maupun Kerajaan Serdang. Adapun pembagian atas wilayah Kerajaan Deli terdiri atas :

1. Wilayah Langsung Kesultanan (Kota Matsum, Kota Maimun, Sukarame, Pulo Brayan, Glugur, Tanjung Mulia, Kampung Besar, Labuhan, Belawan, Mabar, Titi Papan dan Martubung)22

2. Daerah Datuk-datuk 4 suku : Sepuluh Dua Kuta, Serbanyaman, Suka Piring dan Senembah.23

21 Jacobus De Ridder, De Invloed Van De Westersche Cultures Op De Autochtone Bevoeking ter Oostkust Van Sumatra, Leiden: IDC, 1990, Koleksi mikrofis Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, hlm. 19 .

22 Wilayah Langsung Kesultanan sebelah Timur berbatasan dengan Urung Sepuluh Dua Kuta, disebelah Barat berbatasan dengan Urung Serbanyaman, sebelah Utara berbatasan dengan Urung Suka Piring, dan sebelah Selatan berbatasan dengan Urung Senembah. Lihat E.A. Halewijn, Geographische En Ethnographisce Gegevens Betreffende Het Rijk van Deli ( Oostkust van Sumatra ), Tijdschrijft voor Indische Taal, Land en Volkenkunde van Batavia Genootschap, Deel XXIII, 1876, hlm. 149.

23 Wilayah Urung Sepuluh Dua Kuta berbatasan dengan wilayah Kesultanan Kerajaan Deli yang dibatasi melalui sungai Sikambing melewati sungai Deli hingga Ke Glugur. Dari arah Selatan Glugur menuju kampung Medan Putri melewati arus sungai Babura hingga ke sungai Deli merupakan batas antara Urung Sepuluh Dua Kuta dengan Urung Suka Piring. Perbatasan antara Urung Suka Piring dengan wilayah Kesultanan dipisah melalui sungai Balinling ke sungai Tangkahan. Wilayah Urung Senembah berbatasan melalui sungai Si Meme hingga ke hulu sungai Deli. Wilayah Urung Serbanyaman disebelah Utara dan Timur wilayah ini berbatasan dengan Timbang Langkat atau lebih tepatnya dari sungai Mencirim sampai ke Sungai Binge. Ibid, hlm. 150.

3. Daerah jajahan : Percut, Denai, Padang, Bedagai.24

Wilayah-wilayah Urung seperti Sukapiring, Patumbak, Hamparan Perak, dan Sunggal menolak wilayahnya dijadikan sebagai lahan konsesi perkebunan, sebab Sultan Deli mengabaikan hak-hak Datuk dalam memberikan konsesi kepada para investor asing. Hal ini diantaranya memicu kemarahan Datuk Sunggal, sehingga terjadi pemberontakan di wilayah Sunggal yang dikenal dengan sebutan ”Perang Sunggal”.25

Wilayah Percut, Denai, Padang, dan Bedagai sebelumnya selalu menjadi perebutan antara Kesultanan Deli dan Serdang. Pada tahun 1882, oleh Residen R.C Kroesen Denai diserahkan kembali kepada Serdang karena dianggap kurang makmur dan sering mengalami banjir. Selanjutnya, Percut ditetapkan sebagai batas antara Serdang dan Deli, yaitu kawasan Sungai Tuan dan Batang Kuis. 26

Pembagian wilayah ini justru menimbulkan permasalahan antara kedua kerajaan tersebut. Wilayah yang masih menjadi permasalahan adalah wilayah Senembah. Persoalan daerah dan batas - batas Senembah yang belum selesai ini merupakan perselisihan yang terus menerus antara Deli dan Serdang. Para pengusaha

24 Wilayah Percut di sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah timur dengan Batang Kuis, sebelah selatan dengan kampung Longser, dan sebelah barat dengan Sungai Karang.

Namun, batas wilayah ini juga diklaim oleh Serdang yang Percut yakini sebagai daerahnya. Untuk wilayah Denai, Padang, dan Bedagai selama bertahun tahun belum ditentukan secara akurat batas-batas wilayahnya oleh Kerajaan Deli maupun Serdang. Ibid, hlm. 151.

25 Pada tahun 1870, Sultan Mahmud menyerahkan tanah yang terletak di wilayah Sunggal kepada perusahaan Belanda “De Rotterdam”. Hal ini menimbulkan kemarahan penduduk Sunggal dan Datuk kecil terutama suku Karo selaku pemilik tanah ulayat, sehingga terjadi pemberontakan-pemberontakan di wilayah Sunggal. Lihat Tengku Luckman Sinar, Sejarah Pemerintahan Kabupaten Deli Serdang, Medan : Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Deli Serdang, 1951, hlm. 59.

26 J.A.M. van Cats Baron de Raet Vergelijking van den Vroegeren Toestand van Deli, Serdang en Langkat, Tijdschrijft voor Indische Taal, Land en Volkenkunde van Batavia Genootschap, Deel XXIII, 1867, hlm. 22.

perkebunan mendesak pemerintah Belanda agar menyelesaikannya secepat mungkin.

Pada akhir abad ke-19 dibuatlah suatu perjanjian perdamaian antara Deli dan Serdang oleh pemerintah Hindia Belanda. Perjanjian tersebut berisi tentang daerah-daerah Senembah sebagai berikut:

1.Medan Senembah (Kepala daerah diangkat Datuk Kolok, putera dari

1.Medan Senembah (Kepala daerah diangkat Datuk Kolok, putera dari

Dokumen terkait