• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III LATAR BELAKANG BERDIRINYA AFDEELING DELI EN

3.3 Memudahkan Pengawasan Wilayah

Jauh sebelum kedatangan Belanda, Deli dan Serdang sering mengalami konflik atas perebutan wilayah seperti Senembah, Denai dan Percut. Konflik ini terus berlangsung bahkan hingga pemerintah Hindia Belanda berkuasa di kedua wilayah ini. Setelah campur tangan Belanda terhadap pembagian wilayah-wilayah tersebut, konfilk ini justru menjadi semakin besar karena beberapa wilayah Serdang yaitu Denai, Percut, Padang dan Bedagai dirampas oleh Belanda. Pada tahun 1865 wilayah-wilayah tersebut diberikan kepada Deli yang lebih kooperatif terhadap pemerintah Hindia Belanda. Hal ini juga disebabkan karena Serdang masih melakukan perlawanan-perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda sehingga Deli lebih mempunyai keistimewaan dalam pembagian wilayah.103.

Selain konflik atas pembagian wilayah, Deli dan Serdang juga sering mengalami konflik perkebunan di wilayah masing-masing. Pembukaan perkebunan di wilayah Deli kerap menimbulkan kebijakan yang tidak adil untuk penduduk asli dan para penguasa pribumi, sehingga memicu konflik dan berujung pada pemberontakan.

102 Ibid.

103 J.A.M. van Cats Baron de Raet, Op.cit., hlm 24

Pemberontakan berlangsung pada Juli 1872. Beberapa bangsal-bangsal perkebunan dibakar dan menyebabkan pekerjaan terhenti. Hal ini terjadi sebab penduduk asli merasa kecewa terhadap Sultan Deli atas tindakannya yang menyebabkan tidak tersedianya lahan yang cukup bagi penduduk di wilayah sekitar perkebunan. Untuk mengantisipasi terhadap pengamanan kondisi perkebunan juga pengawasan wilayah Deli dan Serdang, pada tahun 1873 pemerintah Hindia Belanda menetapkan Sumatera Timur sebagai Keresidenan tersendiri dan Deli sebagai Afdeeling dimana Serdang termasuk kedalamnya dipimpin oleh Asisten Residen dan dibantu oleh beberapa Controleur.104

Pada tahun 1877 keamanan perkebunan Deli dan Serdang sangat buruk. Hal ini disebabkan oleh banyaknya perkebunan yang menjadi sasaran perampokan. Akar permasalahan terjadinya perampokan di perkebunan sebenarnya berasal dari kekejaman pihak perkebunan terhadap pekerja-pekerjanya. Perampokan yang terjadi di Deli dan Serdang ditangani dengan tindakan militer oleh pemerintah Hindia Belanda.105

Meluasnya perkebunan sampai ke wilayah pedalaman di awal tahun 1880 membuat penduduk tidak senang dan membakar lumbung-lumbung perkebunan.

Sikap penduduk tersebut hanya dianggap sebagai ulah pribadi dan dalih melakukan perampokan. Selanjutnya, pihak pemerintah Hindia Belanda menerapkan kebijakan untuk mengamankan wilayah pedalaman dengan cara menuntut para Kepala Luhak

104 Karl J Pelzer, op.cit., hlm. 169.

105 M. Said op.cit., hlm. 60.

untuk bertanggung jawab dan membayar ganti rugi jika terjadi pembakaran lumbung perkebunan di wilayahnya.106

Pada tahun 1906 kerusuhan juga terjadi di perkebunan Serdang Dusun, gudang gudang tembakau dibakar oleh orang orang Batak Timur. Pemerintah Hindia Belanda menyiapkan 20 orang prajurit bersenjata bayonet dan 30 orang polisi untuk melindungi perkebunan.107 Meluasnya areal perkebunan hingga Deli dan Serdang Dusun semakin banyak memicu kerusuhan, sehingga pemerintah Hindia Belanda melakukan penambahan personel pemerintahan. Namun, penambahan personel ini kurang efektif karena perkembangan perkebunan yang terlalu pesat serta kondisi politik yang menuntut urusan pemerintahan semakin besar.108

Melihat konfilk-konfilk yang sering terjadi di Deli dan Serdang baik konflik perkebunan maupun internal Kesultanan, serta Deli dan Serdang memiliki garis keturunan yang sama. Atas dasar tersebut, pada tahun 1910 Pemerintah Hindia Belanda kemudian menetapkan wilayah Deli, Serdang dan Padang en Bedagai disatukan dalam satu wilayah administratif. Setelah disatukannya kedua wilayah ini pemerintah Hindia Belanda berharap agar konfilk-konfilk internal kesultanan maupun perkebunan dapat diselesaikan. Sehingga pemerintah Hindia Belanda lebih mudah mengawasi wilayah kekuasaanya khususnya Deli dan Serdang.109

106 W.H.M Schadee, op.cit., hlm 78.‟

107 Jan Breman, op.cit., hlm.51

108 Gewestelijk Bestuur Residentie Oostkust van Sumatra, Medan 2 Desember 1907..

109 Aan Laura Stoler, op.cit., hlm. 79.

BAB IV

PERKEMBANGAN AFDEELING DELI EN SERDANG TAHUN 1910-1942

Bab II sebelumnya telah dipaparkan masa transisi setelah aneksasi Belanda melalui Tractaat Siak, kedua wilayah ini masing-masing memiliki kekuasaan yang berdaulat secara terpisah. Wilayah Serdang dimasukkan sebagai subdivisi dari administrasi Afdeeling Deli. Kemudian perkembangan kedua wilayah ini juga dipengaruhi oleh ekspansi perkebunan secara besar-besaran, oleh karena itu dibutuhkan personel pemerintahan skala besar. Sehingga pada tahun 1910 disatukanlah kedua wilayah ini menjadi Afdeeling Deli en Serdang.

Pada Bab IV ini akan dibahas mengenai perkembangan Afdeeling Deli en Serdang setelah menjadi kesatuan wilayah administratif yang baru dalam kurun waktu 1910-1942. Adapun perkembangan yang dimaksud seperti penetapan batas-batas wilayah Afdeeling Deli en Serdang, pemukiman penduduk, pemerintahan Gouvernement dan Swapraja, sarana dan prasarana seperti jalan raya, jalur kereta api, pelabuhan, pendidikan, dan kesehatan.

4.1 Wilayah

Berdasarkan besluit 7 Januari 1910 wilayah Deli dan Serdang disahkan menjadi satu wilayah secara administratif oleh pemerintah Hindia-Belanda. Luas keseluruhan wilayah Afdeeling Deli en Serdang setelah digabungkan secara defenitif diketahui sekitar ± 4.834 km2.110 Afdeeling Deli en Serdang meliputi Landschaap Deli dengan luas ± 1.725 km2, Landschaap Serdang ± 1.717 km2, dan Padang en Bedagai dengan luas ± 1.392 km2. Lebih dari ¾ wilayahnya merupakan area perkebunan yang terletak di dataran rendah. Sedangkan di dataran tinggi area perkebunan dimulai dari Arnhemia sampai ke Bangun Purba.

Sejak disatukannya wilayah Deli dan Serdang dalam satu wilayah administratif. Batas-batas wilayah Afdeeling Deli en Serdang mengalami perubahan.

Adapun batas-batas wilayahnya sebagai berikut :

Sebelah Utara : berbatasan dengan Selat Malaka

Sebelah Timur : berbatasan dengan Landschap Tanjung Kasau dan Pagurawan

Sebelah Selatan : berbatasan dengan Afdeeling Simalungun en Karolanden.

Sebelah Barat : berbatasan dengan Afdeeling Langkat

Perubahan selanjutnya terjadi pada tahun 1911, Afdeeling Deli en Serdang mengalami perubahan terhadap wilayah subdivisinya (Onderafdeeling). Berdasarkan

110 L. Kosteren, Memorie van Overgave van de Assistent Resident van de Afdeeling Deli en Serdang, Residentie Sumatra Oostkust, 15 September 1919 . hlm 7

Staatsblad 1911 No.434, Midden Deli yang mulanya merupakan subdivisi dari Afdeeling Deli en Serdang dihapuskan dan menjadi bagian dari wilayah Gemeente Medan. Perubahan lainnya juga terjadi pada Onderafdeeling Deli en Serdang Dusun, wilayah ini kemudian dihapuskan dan dibagi menjadi Deli Dusun dan Serdang Dusun. Pembagian wilayah administrasi untuk Deli Dusun dimasukkan ke dalam Onderafdeeling Boven Deli, sedangkan wilayah Serdang Dusun ditambahkan ke dalam administrasi Onderafdeeling Serdang.111

Pemisahan Midden Deli dari wilayah administrasi Afdeeling Deli en Serdang, menyebabkan pemerintah Hindia Belanda merasa perlu untuk membuat subdivisi yang baru. Berdasarkan Besluit 6 Maret 1911 No.1183 pemerintah Hindia Belanda menetapkan pembagian wilayah Deli dan Serdang menjadi 2 bagian yaitu :

1. Gemeente Medan, dirangkap oleh Asisten Residen dibantu oleh controleur yang berkedudukan di Medan.

2. Afdeeling Deli en Serdang, dipimpin oleh Asisten Residen yang juga berkedudukan di Medan. Afdeeling Deli en Serdang kemudian dibagi atas 4 Onderafdeeling yaitu :

1. Beneden Deli : dipimpin oleh seorang controleur berkedudukan di Medan

2. Boven Deli : dipimpin oleh seorang controleur berkedudukan di Arnhemia 3. Serdang : dipimpin oleh seorang controleur

111Algemeene Secretarie Besluit 13 April 1911 No.17.

berkedudukan di Lubuk Pakam 4. Padang en Bedagai : dipimpin oleh seorang controleur

berkedudukan di Tebing Tinggi.112

Perkembangan perkebunan di Afdeeling Deli en Serdang, membawa pengaruh besar bagi Medan dan Tebing Tinggi. Wilayah ini menjadi pusat pemerintahan dan pusat ekonomi di Sumatera Timur. Pada tahun 1917 peningkatan penduduk Eropa dan Asing lainnya juga semakin meningkat di Tebing Tinggi. Sehingga pemerintah Hindia Belanda menetapkan Tebing Tinggi sebagai Gemeente. Gemeente Tebing Tinggi diberikan hak otonomi untuk mengurus wilayah dan keuangannya sendiri.

Pesatnya perkembangan perkebunan dan aktivitas pemerintahan serta mobilitas penduduk di wilayah Afdeeling Deli en Serdang membuat wilayah ini menjadi semakin penting. Maka tidak mengherankan jika Afdeeling ini memiliki dua Gemeente sekaligus.113

Sampai pada tahun 1939 wilayah Afdeeling Deli en Serdang sebanyak 357.716 Ha telah digunakan sebagai lahan perkebunan. Selebihnya penggunaan lahan di wilayah Afdeeling Deli en Serdang digunakan sebagai cadangan hutan dan pemukiman penduduk. Adapun persentase penggunaan lahan di wilayah Afdeeling Deli en Serdang tahun 1939 yaitu :

112Algemeene Secretarie 6 Maret 1911 No. 1183

113 Medan Pada Masa Pemerintahan Gemeente, Op.cit., hlm. 18.

Tabel 5

Persentase penggunaan lahan di Afdeeling Deli en Serdang Tahun 1939

Wilayah Persentase Lahan Perkebunan

Persentase Cadangan Hutan

Persentase Pemukiman Penduduk

Deli 68 % 9 % 23 %

Serdang 53 % 8 % 39 %

Sumber : Karl J Pelzer, Op.cit., hlm 134

4.2 Penduduk

Perkembangan penduduk di wilayah Afdeeling Deli en Serdang sangat dipengaruhi oleh berkembangnya perkebunan dan ekonomi di wilayah ini.

Perkembangan ini tampak jelas disebabkan oleh banyaknya orang-orang Eropa yang membuka usahanya terutama di bidang perkebunan. Sehingga dalam memenuhi permintaan akan komoditi di pasar dunia pihak perkebunan mendatangkan kuli-kuli dari luar Sumatera Timur seperti kuli Cina dan Jawa. Dengan demikian, pada tahun 1911 jumlah penduduk di wilayah Afdeeling Deli en Serdang meningkat mulai dari orang Eropa, orang Cina, serta etnis-etnis lainnya yang diklasifikasikan sebagai Oriental Asing lainnya diperkirakan sebagai berikut :

Tabel 6

Jumlah Penduduk Afdeeling Deli en Serdang Tahun 1911

Sumber: S. van Der Plas, Memorie van Overgave van de Assistent Resident van de Afdeeling Deli en Serdang, Residentie Sumatra Oostkust, 2 Juni 1913.

Pada tahun 1916 pemerintah Hindia Belanda membuat peraturan dalam membedakan kaula Swapraja dan kaula Gubernemen. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan keteraturan penduduk dan menghindari konflik antar penduduk.

Peraturan tersebut menetapkan bahwa buruh bebas dan orang-orang pendatang yang sudah tinggal 5-8 tahun di dalam kampung, ataupun sudah menikah dengan penduduk setempat ditetapkan sebagai penduduk (kaula) kerajaan. Sedangkan untuk kaula Gubernemen pemerintah Hindia Belanda menetapkan orang-orang Eropa, Timur Asing, serta penduduk yang menjadi pegawai pemerintahan Hindia Belanda sebagai penduduk (kaula) Gubernemen.114

114 S. van Der Plas, Memorie van Overgave van de Assistent Resident van de Afdeeling Deli en Serdang, Residentie Sumatra Oostkust, 2 Juni 1913, hlm. 17.

Onderafdeeling Orang

Peningkatan penduduk selanjutnya terlihat ketika dilakukan sensus penduduk di tahun 1920. Penggolongan populasi penduduk dalam setiap subdivisi Afdeeling Deli en Serdang diperoleh sebagai berikut :

Tabel 7

Jumlah Penduduk Tahun 1920

Onderafdeeling Orang

Eropa Pribumi Asing lainnya Total

Beneden Deli 3601 99090 38228 140929

Boven Deli 139 37000 5287 42426

Serdang 579 113669 15102 129350

Padang en Bedagai 559 70508 12000 83067

Afdeeling Deli en Serdang 4878 320267 70617 395762 Sumber : W.P.F.L. Winckel, Memorie van Overgave van de Assistent Resident van de Afdeeling Deli en Serdang, Residentie Sumatra Oostkust, 9 Maret 1925, hlm 23.

Kuli-kuli Cina dan Jawa yang bekerja di perkebunan, ketika masa kontraknya sudah selesai sebagian dari mereka ada yang menetap di wilayah perkebunan dan ada pula yang menetap di luar perkebunan. Pada tahun 1926, sebagian penduduk Jawa yang menetap diluar perkebunan bekerja sebagai petani atau buruh dan bermukim dikota-kota terdekat. Sementara itu, orang-orang Cina lebih banyak tinggal di perkotaan seperti di Medan dan Tebing Tinggi. Selain itu, orang-orang Cina juga menetap di kota pelabuhan seperti Belawan.

Banyaknya tanah-tanah yang dikonsesikan kepada pengusaha perkebunan sedangkan penduduk tidak suka bekerja pada perkebunan, maka penduduk banyak kehilangan tanah dan mata pencahariannya. Untuk mengatasi keadaan ini, penduduk yang masih bertahan tinggal didaerah tersebut diizinkan untuk mengerjakan

tanah-tanah bekas tanaman tembakau selama tanah-tanah itu belum ditanami. Tanah-tanah-tanah yang dikerjakan ini disebut sebagai tanah jaluran.115

Pada tahun 1929, kuli-kuli yang menetap di perkebunan semakin meningkat disebabkan oleh terjadinya krisis Malaise. Sehingga banyak perkebunan di wilayah Afdeeling Deli en Serdang ditutup dan para kuli memutuskan untuk tetap tinggal di wilayah perkebunan. Adapun jumlah penduduk yang menetap di perkebunan-perkebunan Afdeeling Deli en Serdang berdasarkan subdivisinya (Onderafdeeling) adalah sebagai berikut :

Tabel 8

Jumlah Penduduk yang tinggal di Perkebunan Tahun 1929

Wilayah Jumlah Penduduk

Beneden Deli 50.247

Boven Deli 19.634

Serdang 49.805

Padang en Bedagai 41.940

Total 161.626

Sumber : Volkstelling 1930 Deel IV Inheemsche Bevolking van Sumatra. Batavia : Departemen van Economische Zaken. 1935. hlm. 6.

Pada tahun 1930 ketika pemerintah Hindia Belanda melakukan sensus penduduk, hasilnya menunjukkan bahwa etnis Jawa menjadi etnis dengan jumlah

115 Tanah jaluran adalah tanah bekas tanaman tembakau yang baru dipanen. Penduduk menggarap tanah tersebut, dan mereka boleh menanaminya dengan tanaman semusim seperti jagung dan padi. Apabila sudah panen maka tanah tersebut tidak boleh ditanami lagi karena harus dihutankan kembali guna penanaman tembakau selanjutnya. Akan tetapi kadang-kadang penduduk tidak menghiraukan ketentuan tersebut dan tetap saja menanami tanah jaluran, yang sering menimbulkan perselisihan antara penduduk dan pengelola perkebunan. Lihat Karl J. Pelzer, op.cit., hlm. 96.

terbesar yang bermukim di Afdeeling Deli en Serdang dibandingkan dengan etnis-etnis lainnya yang telah mengalami pergeseran. Berbeda halnya dengan etnis-etnis Tionghoa meskipun jumlah mereka tidak terlalu banyak, mereka dapat menduduki bangku pemerintahan dan berperan penting dalam perkembangan ekonomi.116 Berikut jumlah penduduk di Afdeeling Deli en Serdang pada tahun 1930 :

116 Anthony Reid, Perjuangan Rakyat Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1987, hlm. 84.

Tabel 9

Jumlah Penduduk di Afdeeling Deli en Serdang Tahun 1930.

Wilayah Pribumi Eropa China Timur

Total Keseluruhan Afdeeling Deli en Serdang 536.003 Sumber : Volkstelling 1930 Deel IV Inheemsche Bevolking van Sumatra. Batavia :

Departemen van Economische Zaken. 1935. hlm. 116.

Melalui uraian di atas dapat dilihat bahwa pertumbuhan penduduk di Afdeeling Deli en Serdang terus meningkat sampai tahun 1942. Hal ini disebabkan oleh perkembangan ekonomi perkebunan yang begitu pesat. Selain itu, pertambahan penduduk di Afdeeling Deli en Serdang juga disebabkan oleh berkembangnya kota-kota baru di wilayah ini. Dalam perkembangannya para pendatang sebagian besar mencari pekerjaan di kota untuk bekerja sebagai kerani, guru sekolah, pedagang kaki lima, pengrajin, dan bekerja di sektor jasa.117

4.3 Pemerintahan

4.3.1 Pemerintahan Hindia Belanda

Politik kontrak yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Deli dan Serdang menyebabkan banyak perubahan dari bentuk pemerintahan yang berlaku di kedua wilayah ini. Para Sultan memberikan izin kepada pemerintah Hindia Belanda untuk menjalankan pemerintahan secara otonom dan menjalankan kekuasaan hukum berdasarkan bentuk aristokrasi Melayu sepenuhnya.118

Sebelum masuknya pemerintah Hindia Belanda, dalam menjalankan pemerintahannya Sultan di bantu oleh Raja Muda dan kepala-kepala suku. Kekuasaan Raja Muda ini bahkan sering kali tumpang tindih terhadap kekuasaan Sultan. Untuk itu, pemerintah Hindia Belanda pada awal abad ke-20 mencoba menyederhanakan sistem pemerintahan di Afdeeling Deli en Serdang dengan cara menghapus fungsi

117 Suprayitno, Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia Dari Federalisme ke Unitarisme : Studi tentang Negara Sumatera Timur 1947-1950, Yogyakarta: Tarawang Press, 2001, hlm. 34

118 Anthony Reid, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987, hlm. 88.

Raja Muda. Mereka menganggap bahwa suatu pemerintahan dengan banyak kepala-kepala pemerintahan untuk wilayah Landschaap yang kecil tidak berjalan efektif terutama dalam hal pembagian kerja. Selain itu, kekuasaan tertinggi antara Sultan dengan Raja Muda juga kerap memicu keributan. Setelah fungsi dari Raja Muda dihapuskan, maka hanya terdapat satu orang saja yang memerintah di kerajaan dan Orang Besar yang menjadi anggota pemerintahan diubah fungsinya sebagai pegawai kerajaan.119

Setiap urusan pemerintahan di daerah Hindia Belanda ditangani oleh sebuah departemen yang disebut Departement van Binnenlandsche Bestuur atau yang sekarang dikenal dengan Departemen Dalam Negeri. Pengelolaan pemerintahan di Afdeeling memakai sistem dualisme pemerintahan, dimana pemerintahan dibagi menjadi dua yaitu pemerintahan yang menangani urusan orang-orang Eropa atau disebut Europeesche Bestuur dan pemerintahan yang menangani urusang orang-orang pribumi disebut Indlandsche Bestuur. Kepentingan golongan orang Eropa diurus oleh Gubernemen yang dilaksanakan oleh pihak Residentie beserta aparat bawahannya yaitu Asisten Residen dan Controleur ataupun pihak stadsgemeente (Gemeente).

Sedangkan golongan pribumi diurus oleh Inlandsche Bestuur dilaksanakan oleh Swapraja dan tetap berada di bawah pihak Gubernemen. Sementara untuk golongan Timur Asing mempunyai perangkat pemerintah tersendiri yang disebut Bestuur over Vreemde Oosterlingen Afdeeling Deli en Serdang yang dipimpin oleh Asisten Residen dibantu dengan beberapa aparatnya seperti Controleur, Gezaghebbers, dan

119 Ibid, hlm 89.

lain-lain.120 Adapun beberapa nama Asisten Residen yang pernah memerintah Afdeeling Deli en Serdang yaitu:

Tabel 10

Nama-nama Asiseten Residen Afdeeling Deli en Serdang 1910-1938.

Nama Asisten Residen Awal Menjabat G.L.J.D Kok 30 Juni 1910 S.Van Der Plas 2 Juni 1913

L.Van Koesteren 15 September 1915 H.E.K Ezerman 21 Desember 1921 W.P.F.L Winckel 9 Maret 1925 R.J. Koppenol 7 Agustus 1927

S.Bouwman 1 Desember 1929

Sumber : Koleksi Microfilm Reel 19 Arsip Nasional Republik Indonesia Asisten Residen Afdeeling Deli en Serdang tetap mempunyai kekuasaan penuh atas wilayah Medan meskipun telah ditetapkan sebagai Gemeente. Asisten Residen juga dibantu oleh Dewan Kota (Gemeenteraad). Akan tetapi, pada tahun 1917 setelah adanya posisi Burgemeester, kekuasaan Asisten Residen menjadi terpisah. Asisten Residen tidak lagi bertanggung jawab atas urusan pemerintahan Kota Medan. 121

120 Proyek Penelitian dan Pencatatan kebudayaan Daerah, Sejarah Daerah Sumatera Utara, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978, hlm.81.

121 Ibid, hlm 82

Pemerintah Hindia Belanda tetap mempertahankan posisi pemerintah pribumi dengan maksud untuk mengutip pajak atas penduduk pribumi terutama di kampung-kampung. Pemerintah Hindia Belanda menempatkan seorang penghulu yang akan mengutip pajak atas penduduk kampung. Pajak-pajak yang ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda seperti pajak ekspor dan transit, pajak ganti rugi candu , pajak jalan dan jembatan, serta pajak bisnis. Setiap penghulu yang mengutip pajak mendapatkan upah dari pemerintah Hindia Belanda atas kerjanya tersebut.122

Pada tahun 1922 melalui surat perintah Gubernemen No. 1418 dibentuk sebuah Landschap kas untuk kampung-kampung yang berada di Afdeeling Deli en Serdang. Hasil pajak yang dikutip dari kampung-kampung ini akan dimasukkan kedalam dana kampung (dana lokal) kemudian digunakan untuk mengelola dan mengembangkan kampung. Alasan dibentuknya Landschap kas ini juga disebabkan karena hasil pengutipan pajak di kampung-kampung lebih banyak masuk ke kantong pribadi para pemerintah pribumi sehingga kampung tidak berkembang. Adapun beberapa kampung yang memiliki Landschap kas setelah penerapan peraturan ini yaitu : 1. Pulo Brayan

2. Hamparan Perak

3. Deli Tua Beneden Deli

4. Sunggal 5. Titi Papan

122 S. Bouwman, Memorie van Overgave van de Assistent Resident van de Afdeeling Deli en Serdang, Residentie Sumatra Oostkust, 1 Desember 1929, hlm 32

6. Sungai Rampah

7. Dolok Masihul Padang en Bedagei 8. Tanjung Beringin

9. Bandar Kalifah.123

Selain itu, pemerintah Hindia Belanda juga tidak memperbolehkan pemerintah pribumi menetapkan pajak dan kontrak atas konsesi lahan tanpa persetujuan pemerintah Hindia Belanda. Kontrak atas konsesi lahan yang dilaksanakan oleh pemerintah pribumi pada awalnya tidak memiliki model khusus secara resmi dalam pemberian konsesi lahan. Sehingga pemerintah Hindia Belanda mulai campur tangan dalam mengembangkan model dari konsesi lahan ini. Beberapa peraturan konsesi lahan yang ditetapkan pemerintah Hindia Belanda di wilayah Afdeeling Deli en Serdang dengan model sebagai berikut :

1. Jika seseorang ingin memiliki sebidang tanah, harus mendapatkan izin terlebih dahulu oleh Sultan dan Datuk, dan langkah pertama yang harus dilakukan setelahnya yaitu membuka lahan di sebidang tanah yang diminta.

2. Setelah pemberian lahan, dilakukan audiensi antara penduduk dengan Datuk serta pengusaha yang akan membuka lahan. Untuk membahas apakah ada keberatan dari penduduk setempat.

3. Ketika penduduk tidak merasa keberatan, maka pemegang konsesi harus membuat pemetaan lahan agar dilakukan survey untuk mengetahui batas dan luas yang akan digunakan sebagai lahan konsesi.

123 Ibid, hlm 35.

4. Setiap kampung yang berada di wilayah konsesi akan diberikan tanah seluas 4 hektar sebagai tanah cadangan untuk setiap kepala keluarga.124

Setelahnya, pemberian konsesi lahan lebih mudah didapatkan oleh pihak-pihak perkebunan di wilayah Afdeeling Deli en Serdang ini. Hal ini yang menyebabkan meluasnya perkebunan bahkan sampai ke wilayah-wilayah kampung.

Akan tetapi, pada tahun 1930 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan yang disebut “peraturan wajib tanam”. Peraturan ini diberlakukan sebab semakin banyaknya pendatang ke wilayah Afdeeling Deli en Serdang, sedangkan wilayah ini sudah kekurangan lahan untuk ditanami bahan pangan (beras). Peraturan ini kemudian menetapkan bahwa setiap onderneming diwajibkan memberikan lahan yang telah dikosongkan untuk perluasan lahan pertanian dan mencukupi bahan pangan di wilayah ini.125

Pemerintah Hindia Belanda juga mengubah sistem peradilan untuk wilayah Afdeeling Deli en Serdang. Pemerintah Hindia Belanda ikut campur tangan dalam setiap peradilan di wilayah Deli maupun Serdang dengan membentuk beberapa dewan Eropa. Keterlibatan orang-orang Eropa dalam peradilan ini terutama dalam hal hal berikut :

1. Sebelum peradilan dilaksanakan, putusan pidana diserahkan kepada kepala pemerintah daerah (kepala penghulu). Kemudian diserahkan kepada peradilan pemerintahan Gubernemen.

124 G.L.J.D Kok, op.cit., hlm. 12.

125 Karl. J. Pelzer, Op,ci.t, hlm. 179.

2. Pihak Gubernemen dapat membatalkan dan menunda peradilan. Putusan yang dijatuhkan pada tingkatan tertinggi adalah penjara selama lebih dari 1 tahun atau denda lebih dari 100 gulden.

3. Peradilan dengan hukuman penjara atau penahanan diubah menjadi pengasingan pelaku pidana khususnya perempuan, kerabat atau wali pemerintahan Gubernemen, dan orang-orang besar yang memiliki jabatan atau kekayaan.

4. Untuk kasus hukum perdata dengan denda diatas 500 gulden, pemerintah Hindia Belanda dapat memberikan putusan untuk penafsiran kembali putusan dalam 14 hari.

5. Pemerintah Hindia Belanda dapat mengubah putusan setelah melakukan pertimbangan, hal ini juga dapat mengurangi kewenangan pihak pemerintah

5. Pemerintah Hindia Belanda dapat mengubah putusan setelah melakukan pertimbangan, hal ini juga dapat mengurangi kewenangan pihak pemerintah

Dokumen terkait