• Tidak ada hasil yang ditemukan

MINIMNYA MINAT MEMBACA DIKALANGAN PELAJAR Oleh :

Dalam dokumen KUMPULAN ESAY PENDIDIKAN BIOLOGI KELAS 1 (Halaman 87-95)

Sebagai kata akhir, melalui pendidikan yang mengedepankan kecerdasan emosional, spiritual, dan intelektual diharapkan akan tercipta

MINIMNYA MINAT MEMBACA DIKALANGAN PELAJAR Oleh :

Bineng Syahara Ulumando

(Pendidilkan Biologi, Kelas 1B, NIM. 201610070311081)

Aku rela dipenjara dimana mana asalkan dengan buku aku bahagia” sebuah kalimat datar tanpa ekspresi yang menakjubkan di ungkap oleh seorang aktifis muslim yang telah merasakan manfaat dan keindahan dari membaca, di samping hal itu kodrat sebagai seorang manusia dipilih oleh Tuhan selaku pengawal dunia tentu harus dibekali oleh ilmu pengetahuan untuk menata alam semesta beserta isinya. Asumsi ini telah di Isyratkan oleh Al Qur’an sebagai Landasan kebenaran utama lewat ayat yang paling pertama ketika di Wahyukan yaitu “Iqra” yang dalam terjemahan secara harfiah dapat diartikan ” Bacalah “. Sebuah kalimat bermakna perintah/penegasan yang ditujukan kepada Makhluk bernama manusia untuk membaca sebagai pintu pertama atau langka awal untuk mendapatkan ilmu pengetahuan sebagai alat atau sarana untuk mengatur dan menata dunia.

Keutamaan membaca bukan baru diperkenalkan pada zaman yang serba moderen ini melainkan sudah diperintahkan oleh sang Pencipta di ratusan abad yang lalu sebab hanya dengan membacalah manusia dapat menentukan kemana dunia ini harus diarahkan, maka sudah menjadi suatu keharusan bagi manusia yang berpredikat pelajar untuk lebi menghidupkan minat membaca sebagai langkah paling bijaksana untuk menambah khasana pengetahuan dalam diri seorang. Perubahan perubahan Pada kurikulum pendidikan dari setiap Racing kepemimpinan semata semata memiliki tujuan yang paling prinsipil yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga di kurikulum pendidikan yang terakhir disepakati sekarang ( K 13) siswa di tuntut untuk lebih aktif dan kreatif dalam pembelajaran sementara guru/tenaga pendidik sekedar memfasilitasi atau memediasi selama kegiatan belajar mengajar berlangsung. Konsekuensi logis dari kesepakatan pemeberlakuan kurikulum ini pemerintah menyediakan Buku Buku siswa untuk menunjang kegiatan belajar mengajar, hal ini telah menjelaskan jika tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa ini akan dapat diwujudkan hanya ketika budaya membaca telah menjadi kebutuhan dasar bagi setiap pelajar di lembaga pendidikan yang tersebar di berbagai penjuru Nusantara.

Budaya membaca merupakan sebuah proses sadar yang semestinya harus dihidupkan di kalangan pelajar, maka pemerintah maupun guru tentu memiliki perananan yang lebih untuk menimbulkan benih kesadaran kepada anak anak atau pelajar yang sebagai generasi muda dari bangsa ini untuk melihat budaya membaca sebagai suatu kebutuhan vital yang tidak bisa untuk dihindarkan manfaatnya karena seorang pelajar tidak akan mampu menguasai pengetahuan pengetahuan teoritis yang disajikan oleh guru jika tidak di barengi dengan penguatan melalui proses membaca. Membaca tentu merupakan pekerjaan yang paling muda dan di dalam pelaksaanaanya tidak menuntut keahlian atau profesionalitas atau hanya individu atau golongan tertentu yang bisa melakukannya tapi pekerjaan membaca dapat di lakukan oleh semuah kalangan, semuah lapisan masyarakat karena membaca merupakan kebutuhan fitrawi bagi manusia yang tidak bisa untuk di hindarkan dalam menjalankan roda kehidupannya.

Jika membaca merupakan pekerjaan yang paling muda dan tidak menuntut keahlian dalam pelaksanaannya namun mengapa kebiasaan ini kurang di temukan di kalangan pelajara yang merupakan cikal bakal pemimpin negeri ini . . .? jika kondisi ini dikarenakan kurangnya literatur maka itu sulit untuk diterima sebab untuk pelajar di dunia perkotaan hampir di setipa gramedia ataupun di tokoh tokoh tertentu selalu menyediakan buku buku yang beragam mulai dari komikal, buku mata pelajaran samapi dengan buku buku umum bahkan akses untuk memperoleh buku elektronik

itupun telah disiapkan. Alasan ini jika diletakkan pada kalangan pelajar di pedesaan itu mungkin dapat diterima, semisal penulis mencoba melihat dari sudut pandang sebagai orang flores yang jauh dari perkotaan, sama sekali tidak ditemukan toko toko buku ataupun akses untuk memperoleh buku elektronik, sehingga konsumsi pelajar dalam melakukan budaya membaca sebatas terpaku pada buku mata pelajarn jika itu telah difasilitasi oleh lembaga pendidikan tempatan pelajar tersebut jika tidak difasilitasi maka tindakan membaca hanya terpaku pada catatan pelajaran yang diberikan oleh guru melalui penjelasan ataupun dari buku sumber guru. Sehingga kebudayaan membca pada kalangan pelajar di Flores bersifat moment, yang artinya mambaca akan menjadi suatu kebudayaan jika kalender pendidikan telah mengisyaratkan Waktu ulangan, ujian tenga semester dan ujian akhir semester. Tiga moment inilah menjadi bara untuk menghidupkan budaya membaca dikalangan pelajar di Flores. Sekalipun di pedesaan yang dikarenakan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang telah merambah hampir di seluruh lapisan manusia baik desa maupun kota, telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan kepada kebiasaan membaca pada kalangan pelajar. Dengan demikian melalui tulisan ini penulis mencoba hadir untuk sedikit memberikan analisa terhadap kondisi ini yaitu minimnya minat membaca dikalangan pelajar, yang dalam asumsi penulis di dasari oleh beberapa Fakto di antaranya sebagai berikut :

1.Sistem pembelajaran belum membuat anak anak, siswa dan mahaiswa harus membaca buku lebi banyak lebi baik

Faktor ini lebi jelasnya ditemukan pada Pelajar di pelosok pedesaan yang sampai saat ini belum diberlakukannya K 13 yang dikarenakan media pendukungnya kurang menunjang baik itu buku maupun media pembelajaran, al hasil guru tetap Kegiatan Belajar Mengajar dengan Metode ceramah sehingga siswa hanya di ibaratkan layaknya sebuah gelas kosong yang siap untuk dituangi sehingga wajar jika semangat siswa untuk melihat membaca sebagai kebutuhan utama tidak Nampak. Jika itu yang terjadi pada pelajar maka beda halnya dengan mahasiswa, sekalipun berbagai literatur telah disiapkan di perpustakaan kampus namun mahasiswa lebih memilih mengaksesnya lewat intenet karena di anggap jauh lebi muda untuk diperoleh. Internet saat ini tentu merupakan kebutuhan namun posisinya hanya sebagai kebutuhan pendukung pada kalangan mahasiswa/pelajar dan buku tetap pada posisi kebutuhan utama, sebab tulisan tulisan yang dimuatkan pada internet merupakan hasil pemikiran seseorang yang bersumber dari buku buku yang dibaca kemudian di ramu menjadi suatu kesatuan, yang selanjutnya menjadi suatu tulisan untuk dimuatkan pada Blog guna

dipublikasikan. Sehingga dasar kebenaran tulisan yang diperoleh melalui blog pada internet sangatlah kecil. Mengapa demikian, , ,?

Karena segalah sesuatu yang bersumber dari internet bersifat instant dan tidak menguraikan secara mendetail suatu pokok permasalahan. Kondisi inilah yang tidak dapat menghidupkan budaya membaca pada siswa/mahasiswa

2.Banyak jenis hiburan, permainan dan tanyangan tv yg mengalihkan perhatian dari buku.

Hiburan dan permainan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dengan pelajar, apalagi pelajar di usia SMP dan SMA yang seringkali gemar untuk mencoba sesuatu yang baru. Rasa penasaran begitu tinggi untuk mencobanya, ditambah dengan tanyangan tayangan pada televisi yang sensual tentu sangat memberikan pengaruh pada pelajar. Hal ini dapat mengalihkan konsentrasi anak anak untuk lebih menikmati hiburan dan permainan di bandingkan membaca. 3. Sarana untuk memperoleh bacaaan seperti perpustakaan atau taman bacaan

merupakan bareng aneh dan langkah.

Faktor ini tentu lebi terasa jika pada pelajar dikalangan pedesaan, sarana yang merupakan faktor X dari budaya membaca mestinya harus bisa diperioritaskan guna meghidupkan budaya membaca, Jika di kota kota hal ini adapun kebanyakan di jadikan pelajar atau mahasiswa sebagai tempat untuk hal hal yang romantis, sebab mainsed berpikirnya perpustakaan dan taman baca sebagai tempat yang aneh dan langkah sehingga malas untuk dikunjungi kecuali ada keperluan yang mendesak.

Demikianlah beberapa ulasan yang mampu penulis uraikan sebagai bentuk protes moralnya penulis menyaksikan kelemahan pada pelajar negeri ini yang menjauhkan diri dari kebudayaan membaca, sebuah kebudayaan mencerdaskan umat, sekaligus menjadikan senjata untuk bangsa ini mengalahakan musuh terbesarnya yaitu kebodohan dan kemiskinan.

31

Budaya Mencontek di Kalangan Remaja Oleh:

Bela Dina

(Pendidikan Biologi, Kelas 1B, NIM. 201610070311082)

Pendidikan merupakan cara untuk meraih kesejahteraan. Pendidikan juga berfungsi untuk membentuk karakter bangsa juga untuk mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa. Dengan itu, pendidikan menjadikan membuat stadart kelulusan yang lumayan tinggi untuk di tempuh pelajar pelajar di Indonesia.

Telah kita ketahui bersama, pelajar jadi lebih mementingkan kuantitatif yaitu nilai dan hasil yang tinggi dari pada kualitatif yang mereka tempuh dalam belajar mengajar. Akhirnya terjadilah hal hal yang tercela untuk mendukung mendapatkan nilai dan hasil yang bagus dengan cara instan yaitu mencontek.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Pustaka Pheonix, 2009), menyontek berasal dari kata sontek yang berarti melanggar, menocoh, menggocoh yang artinya mengutip tulisan, dan lain sebagainya sebagaimana aslinya, menjiplak. Kata menyontek mungkin sudah tidak asing lagi bagi pelajar dan mahasiswa. Masalah menyontek selalu terkait dengan tes atau ujian. Banyak orang beranggapan menyontek sebagai masalah yang biasa saja, namun ada juga yang memandang serius masalah ini. Fenomena ini sering terjadi dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah atau madrasah, tetapi jarang kita dengar masalah menyontek dibahas dalam tingkatan atas, cukup diselesaikan oleh guru atau paling tinggi pada tingkat pimpinan sekolah atau madrasah itu sendiri.

Proses belajar yang orientasinya hanya untuk mendapatkan nilai menurut Megawangi (2005), biasanya hanya melibatkan aspek kognitif (hafalan dan drilling), dan tidak melibatkan aspek afektif, emosi, sosial, dan spiritual. Memang sulit untuk mengukur aspek-aspek tersebut, sehingga bentuk soal-soal pasti hafalan atau pilihan berganda (kognitif). Pelajaran agama, PPKN, dan musik yang seharusnya melibatkan aspek afektif, ternyata juga di "kognitifkan" (hafalan) sehingga tidak ada proses refleksi dan apresiasi. Karena, menghafal buku teks (yang memang diwajibkan untuk bisa menjawab soal ujian), adalah skill yang paling tidak penting bagi manusia . Jadi, mereka didik hanya menjadi robot; tidak ada inisiatif, dan pasif. Manusia ini biasanya tidak dapat berpikir kritis, dan tidak dapat menganalisis permasalahan, apalagi

mencari solusinya, sehingga mudah dipengaruhi dan diprovokasi untuk melakukan hal-hal yang negatif. (Megawangi, 2005).

Anehnya perbuatan menyontek tersebut dibiarkan saja oleh pengawas ujian (pada waktu itu ulangan umum), tidak dilaporkan kepada guru, Meskipun ada guru yang mengetahuinya, mereka tidak menanggapinya dengan serius, tidak memberi teguran serta sanksi sama sekali, mungkin hal tersebut adalah hal biasa saja dan bagian dari usaha para siswa.

Jika tidak ada sanksi, maka orang akan cenderung mengulangi lagi. Jelas ini merugikan siswa-siswi yang rajin belajar, karena objektifitas penilaian tidak ada sama sekali yang dilihat hasil ujian bukan keseluruhan proses dalam pembelajaran. Dan pernah terjadi siswa yang jujur dalam menjawab pertanyaan nilainya lebih rendah

daripada siswa yang jelas-jelas menyontek siswa yang jujur tersebut. Akibatnya ia menjadi prustasi, dendam dan marah kepada diri sendiri yang mudah sekali dicontek teman, marah kepada teman yang menyonteknya, marah kepada guru yang memberi nilai yang tidak obyektif. Penulis pernah merasa kecewa sekali ketika ujian salah satu mata pelajaran yang penulis sendiri yakin akan kebenaran jawaban itu tiba-tiba ada pengawas yang menuliskan jawaban itu di papan tulis. Tentu mengembirakan siswa- siswi yang tidak bisa menjawab tetapi mengecewakan siswa-siswi yang benar menjawabnya.

Tetapi ada juga guru yang mempunyai pengalaman yang luas dan mengetahui karakteristik siswanya, sang guru akan curiga jika siswa yang sehari-harinya biasa- biasa saja, ketika ulangan atau ujian nilainya bagus semua, dan semakin curiga lagi jika jawaban siswa tersebut sama persis dengan buku catatan dan sama dengan jawaban anak yang pintar dan duduk didekat atau disebelahnya.

Satu hal lagi yang merugikan para siswa adalah sistem penilaian guru sangat subyektif, kebanyakan menilai jawaban siswa saja, tanpa melihat proses bagaimana ia mendapatkan nilai tersebut, sehingga menimbulkan kerugiaan tidak hanya pada siswa yang pintar tetapi juga pada siswa yang malas.

Jika ini terus dibiarkan saja oleh kita sebagai guru, orang tua murid, pemerhati pendidikan, pejabat pemerintah dan semua komponen masyarakat lainnya, maka dunia pendidikan tidak akan maju, malahan menciptakan manusia tidak jujur, malas, yang cenderung mencari jalan pintas dalam segala sesuatu dan akhirnya menjadi manusia yang menghalalkan segala cara untukmencapai tujuan yang diinginkannya.

Faktor – Faktor Mencontek

Menurut Brown dan Choong (2003), faktor-faktor perilaku menyontek ada empat, yaitu:

1. Ingin mendapatkan nilai dengan cara yang mudah

Faktor pertama dari perilaku menyontek ini yaitu dimana siswa ingin mendapatkan nilai yang baik tanpa usaha yang keras, sehingga melakukan perilaku ini, bahkan dianggap tidak merugikan orang lain.

2. Lingkungan Pendidikan

Pengaruh lingkungan di sekolah atau institusi pendidikan lain karena tekanan teman sebaya, budaya sekolah, budaya bersenang-senang, dan rendahnya resiko untuk ditangkap atau dihukum jika melakukan perilaku menyontek.

3. Kesulitan yang dihadapi

miliki untuk mengerjakan tugas dan pada kesulitan yang ada pada materi pelajaran. Ini merupakan kesulitan yang benar-benar dihadapi siswa. 4. Kurangnya kualitas pendidik

Kualitas pendidik juga merupakan faktor penyumbang terjadinya perilaku menyontek. Siswa melihat tugas, bahan yang tidak relevan dan sikap guru yang acuh tak acuh, yang menjadi faktor timbulnya perilaku menyontek.

Bentuk-bentuk Perilaku Menyontek

Perilaku menyontek sebagai perilaku yang kompleks (rumit) dapat disebabkan berbagai macam faktor, juga dapat terlihat dalam berbagai bentuk perilaku yang terkadang tidak kita sadari bahwa sebenarnya kita sudah melakukan perilaku menyontek. Hetherington dan Feldman (Anderman dan Murdock, 2007) mengelompokkan empat bentuk perilaku menyontek, yaitu:

1.Individualistic-opportunistic

dapat diartikan sebagai perilaku dimana siswa mengganti suatu jawaban ketika ujian atau tes sedang berlangsung dengan menggunakan catatan ketika guru atau guru keluar dari kelas.

2.Independent- planned

dapat diidentifikasi sebagai menggunakan catatan ketika tes atau ujian

berlangsung, atau membawa jawaban yang telah lengkap atau telah dipersiapkan dengan menulisnya terlebih dahulu sebelum ujian berlangsung.

3.Social-active

yaitu perilaku menyontek dimana siswa mengkopi, melihat atau meminta jawaban dari orang lain.

4.Social-passive

adalah mengizinkan seseorang melihat atau mengkopi jawabannya.

Daftar Pustaka

Tim Pustaka Pheonix. 2009. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Baru. Jakarta : PT. Media Pustaka Pheonix.

Megawangi, Ratna, 2005, Indonesia Merdeka, Manusia Indonesia Merdeka?. http://www.suarapembaruan.com.

Brown, B.S., dan Choong, P. (2003). Identifying The Salient Dimensions of Student Cheating and Their Key Determinants in a Private University. Journal of Business and Economics Research Volume 1, Number 3.

Anderman, E. M., dan Murdock, T. B. (2007). Psychology of Academic Cheating. San Diego, C.A.: Elsevier

Pendidikan Gratis Awal Dari PemberantasanMasalah di Indoneisa Oleh :

NadyaMeuthiaPutri

(PendidikanBiologi, kelas 1B, NIM 201610070311083)

Masalahterbesar yang ada di Indonesia

salahsatunyaadalahmasalahpendidikan.Pemerintah Indonesia menerapkansistemwajibbelajar 12 tahun.Namun, sayangnyatidaksemuamasyarakatdapatmenikmatipendidikan 12 tahun di Indonesia.Ada banyakfaktor, faktorutamanyaadalahfaktorperekonomian.Merekamenyebutkanbahwaperekonomian menjadihalanganterbesarbagibersekolah.Banyak orang berkatabahwasekolahhanyaakandinikmatiolehmasyarakatgolonganmenengatatas, sedangkanmasyarakatdengangolongonmenengahbahwahanyagigitjari.

Merujukpada data KementerianPendidikandanKebudayaan (Kemendikbud), pada 2015-2016 terdapatsekitas 946.013 siswa lulus SD yang

ternyatatidakmampumelanjutkanketingkatmenengah

(SMP).Dengantingginyaangkaanakputussekolahmakaseharusnyapemerintahmencaris olusi.Solusi yang tepatmungkindenganmengadakan program sekolah gratis.

Pendidikan gratis dapatmemberantasmasalahpendidikan yang ada di Indonesia.Denganpendidikan gratis

dipastikanseluruhmasyarakatdapatmenikmatibangkupendidkan.Tidakhanyapendiidka n gratis yang di dapatkanwalaupunmasihbeberapadaerah yang

menerapkansistempendidikan

gratis.Pemerintahpusattidaktinggaldiamdalammengatasimasalahpendidikan di Indonesia.Misalnya, pemerintahmengeluarkanKartu Indonesia Pintar (KIP).

Sudahadabeberapakota di Indonesia yang menerapkansistematau program sekolah gratis. Salah satukota yang sudahmenerapkansisteminiadalah Kota Blitar. Pemerintah Kota Blitarmengadakansekolah gratis darijenjang TK hinggajenjang SMA.Seluruhsekolah di Blitar yang berstatusNegerimendapatkanfasilitas

gratis.Pendidikan gratis di Kota blitarhanyaberlakubagisiswa yang berdomisili di Kota sedangkan yang berdomisili di luar Kota Blitardikenakanbiaya.

Pendidikan gratis inisendirimenjadipemberantasanmasalah di

Blitar.Sebelumditerapkannyapendidikan gratis banyakwarga Kota Blitar yang tidakdapatbersekolahdan yang

putussekolah.Sedangkansetelahditerapkansistempendidikan gratis iniseluruhwarga Kota Blitardapatmenikmatibangkupendidikandenganmendapatkanfasilitas-fasilitas yang telahdisediakan.

Pendidikan gratis sendirisebenarnyajugaadadampak negative nya.Salah satunyayaituketidakseriusanpesertadidikuntukbelajardikarenakanmerekaberpikirbahw amerekabersekolahtidakmengeluarkanbiayajadikenapaharusberpikirkeras.

Tugaspemerintahdisinisangatpentinguntukterwujudnyapendidikan gratis di Indonesia.DimulaidariWalikotaatauBupati yang

berperankhususdidaerahnyauntukmenerapkansistempendidikangrtaisini.Tidakhanyad enganpendidikan gratis disini pen didikan gratis yang

sayatekankanbukanhanyamendapatkanbuku gratis tetapijugamendapatkanbiayaspp, uanggedung gratis.Dapat pula diberikanseragam, sepatu, tas, danperalatantulissecara gratis. Dengansudahdiberifasilitas yang gratis danmemadaimanaadaanakdanorangtua yang masihmenolakuntukmendapatkanpendidikan.Pendidikan gratis

sangatdibutuhkanolehmasyarakatkalanganmenengankebawah.Program

inisanganmembantuuntukpara orang tua yang tidakmampuuntukmembiayaianaknya. Pemerintahseharusnyajugamemberikan program inisecarameratakeseluruh Indonesia.Yang lebihdiutamakanmenurutsaya di desa-desapelosok.Karena di desapelosoklebihbanyaklagianak yang tidakmengenyambangkupendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2016. Angka anak putus sekolah (online). (https://www.bps.go.id/index, diakses 10 Desember 2016

33

Pengaruh Kreativitas Guru dalam Pembuatan Multimedia Guna

Dalam dokumen KUMPULAN ESAY PENDIDIKAN BIOLOGI KELAS 1 (Halaman 87-95)